Siang itu saya terkagum oleh kecerdasan horisontal seorang anak didik ketika sedang melaksanakan shalat berjamaah. Sebuah kepintaran yang terlihat dan terekam dalam diri saya. Sesuatu yang membangkitkan rasa bahagia luar biasa. Menumbuhkan optimisme yang dahsyat.
Kejadiannya adalah ketika shalat berjamaah telah selesai dan dilanjutkan dengan doa bersama dengan guru yang memimpin, ada jamaah dewasa yang ketika selesai shalat segera menunaikan shalat Sunahnya. Orang dewasa itu kebetulan berdekatan lokasinya di shaf siswa kelas empat Sekolah Dasar. Seorang anak didik yang berada persis di samping orang tersebut, yang kebetulan memakai perlengkapan sajadah, segera melakukan sesuatu yang menurut saya luar biasa membuat simpati mata batin saya. Yaitu; menggeser sajadahnya untuk hingga sampai ke tempat sujud orang dewasa yang sedang menjalankan shalat tersebut.
Tidak banyak dan tidak besar usaha yang anak didik saya itu lakukan untuk 'tetangganya' yang menjalankan shalat sunah. Tetapi sesuatu yag sedikit itu telah dengan jelas dan gamblang, adalah wujud kecerdasan hoeisontal anak tersebut. Apa yang sedikit itu telah membangkitkan rasa bahagia kami semua yang menjadi guru. Bahkan jika cerita ini sampai ke telinga orangtuanya, pasti akan menjadikan mereka juga merasakan apa yang kami rasakan. Mungkin jauh lebih dari pada yang kami rasakan karena para orangtua itu pasti memiliki kadar rasa memiliki yang lebih tinggi.
Dan setelah peristiwa kebahagiaan itu menjalari darah yang ada di badan saya, selanjutnya menyiratkan tanda tanya pada diri saya; dari manakah anak didik kami itu belajar menjadi peduli?
Tanpa mengurangi akan apa yang telah teman-teman saya semua lakukan, yang selama mendampingi para peserta didiknya, saya merasa yakin bahwa anak itu belajar dari apa yang dia dengar dan dia lihatnya secara inten. Dan kenyataan ini membawa jawaban yang pasti. Yaitu kepada lingkungannyalah anak didik kami itu belajar.
Jakarta, 8 Januari 2013.
No comments:
Post a Comment