Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 September 2009

Warung Ibu Gun

Saya sudah tidak tahu lagi apakah Warung Ibu Gun sekarang ini masih ada atau sudah pindah atau justru sudah berkembang membangun ruko. Karena saya sendiri terakhir kali mengunjungi warung itu, sebagai kebiasaan saya dan teman-teman sekantor, adalah pada tahun 2003 yang lalu. Dengan perkembangan pemukiman yang begitu pesat, saya tidak yakin lagi akan keajegan dari penampilan warung itu. Maksud saya, apakah warung itu tetap menjadi bagian dari teman-teman yang masih bekerja di sekitar itu.

Kami mengunjungi hampir setiap waktu disaat makan siang. Selain jus yang segar, warung itu juga menyediakan gudeg dengan cita rasa Yogja. Namun selain dari menu yang tersedia di sana, pertemuan antara kami di tempat itu dengan suasana bebas, justru yang menjadi seru. Seolah menu itulah yang paling utama.

Kami bisa bercengkerama tentang apa saja termasuk tentang hal yang ada diluar kerjaan. Bahkan ngrumpi atau sering juga sebagai bagian dari rapat informal. Artinya, materi rapatnya bisa formal sekali tetapi dalam situasi dan tempat yang informal.

Pernah juga sebagai tempat curhat. Baik curhat diantara kami sesama teman kerja atau pernah juga sekali suami Bu Gun yang curhat tentang masa lalunya yang PNS di BPK RI. Yaitu bagaimana beliau bekerja dibawah Bapak M Yusuf selaku ketua BPK kala itu. Tentang kebenaran dari apa yang diceritakan kepada kami, Allahu a'lam.

Pernah pula saya menyampaikan kata-kata pedas kepada teman ketika teman tersebut telah keluar dari tempat kerja dimana kami waktu itu masih berada dan bertemu kami saat makan siang di Warung Bu Gun. Pertemuan yang menyenangkan semestinya. Tetapi menjadi pertemuan yang mambuat kami jengah hanya karena teman saya itu menjelek-jelekkan apa yang dirasa kurang di bekas tempat kerjanya dihadapan kami.

Meski kami sendiri juga sebagai karyawan dan bukan pemilik kantor, tapi perilaku merendahkan mantan kantornya sendiri, menurut saya pribadi, adalah sebuah budi perkerti yang buruk. Disaat seperti itulah saya berkomentar pedas kepadanya. Karena saya meyakini bahwa apa yang ada pada kita sekarang ini antara lain adalah kontribusi masa lalu.

Dan sekelimut masa lalu saya, antara lain adalah kontribusi dari cengkerama antara kami di Warung Bu Gun tersebut.

Jakarta, 30 September 2009.

Memilih KS dengan Diskusi Panel

Dalam sebuah wawancara untuk menentukan siapakah yang akan menggantikan jabatan kepala sekolah atau wakilnya, yang kebetulan penjabatan sebelumnya mengundurkan diri, saya dan teman-teman selalu mengajak komunitas sekolah tersebut berdialog. Dialog inilah yang kemudian kita formulasikan sebagai diskusi panel. Kita sebut demikian karena peserta dialog tidak hanya terdiri satu orang. Tetapi lebih dari satu. Maka kita sebut panel.

Kandidat yang menjadi peserta diskusi adalah para guru yang memiliki reputasi dan kinerja baik, yang, katakanlah telah lulus uji administrasi. Forum itu menjadi sebagai pengayaan bagi kami untuk membuat kami yakin kepada siapakah amanah akan disandarkan.

Pelaksanaan diskusi kami lakukan saat sebelum kepala sekolah meninggalkan kami. Sehingga ia merupakan bagian dari panel tersebut.

Kami akan berbicara tentang sekolah, tentang persaingan dengan seklah lain karena kami adalah sekolah swasta, tentang guru, tentang bagaimana pembelajaran berlangsung di kelas, tentang pembelajaran karakter, tentang masyarakat sekolah lainnya seperti orangtua siswa. Komplit. Dan karena begitu luas bahan yang menjadi pembahasan dalam diskusi, maka jatah waktu yang semestinya satu jam bisa diperpanjang. Fleksibel.

Dalam diskusi ini, kami banyak menemukan mutiara yang kadang selama ini tidak muncul dipermukaan. Mutiara inilah yang nantinya menjadi bahan kajian kita selanjutnya. Kita juga bisa menangkap model manajemen seperti apa dari para peserta diskusi. Namun untuk menentukan satu dari sekian pilihan yang ada, kami masih melanjutkan diskusi internal.

Diskusi internal adalah diskusi tentang hasil dari diskusi panel para kandidat. Peserta diskusi ini adalah kepala sekolah yang akan meninggalkan kami ditambah pihak yayasan. Saya biasanya akan bertanya kepada kepala sekolah yang akan meninggalkan kami:

Dari kandidat yang Ibu rekomendasikan dan telah mengikuti diskusi panel tadi, apa pendapat Ibu tentang mereka masing-masing?

Dan sebelum diskusi ditutup, biasanya kami telah memperoleh gambaran siapa dari orang yang ada tersebut untuk menggantikan kepala sekolah yang resign.

Pola pemilihan kepala sekolah seperti ini, berdasarkan pengalaman kami, lebih memberikan ketenteraman dalam perjalan sekolah berikutnya. Bila dalam perjalanan masih ditemukan beberapa hal yang mengganjal, kami biasanya memberikan dorongan dalam bentuk dialog dan pertemanan sebelum penilaian kinerja.

Jakarta, 05 November 2009.

27 September 2009

Penilaian dan Pengembangan Diri


Self assessment atau penilaian diri, menjadi bagian penting dalam rangka pengembangan diri atau pengembangan lembaga sekolah. Termasuk pula dalam proses akreditasi sekolah, penilaian diri adalah prasyarat sebelum visitasi dilakukan oleh asesor.

Namun penilaian diri yang dilakukan diri sendiri seringkali membuat diri kita kurang berkata apa adanya. Tentu tidak sampai pada titik tidak apa adanya. Padahal jika penilaian diri itu berkait dengan pengembangan diri atau pengembangan sekolah berikutnya, maka penilaian diri adalah acuan kemana kita akan bergerak tumbuh.

Maksudnya, dalam kerangka pengembangan diri atau lembaga yang didahului dengan self assessment, maka temuan dari penilaian diri itu adalah bahan masukan bagi arah pengembangan berikutnya. Semakin jujur kita dalam melakukan, memberikan dan membuat penilaian diri, maka semakin valid dan reliabel data yang dibutuhkan bagi arah pengembangan berikutnya. Demikian pula sebaliknya.

Oleh karenanya, seberapa tuluskah kita ketika berhadapan dengan penilaian diri dalam semua kebutuhan baik yag menyangkut diri atau lembaga?

Tulisan ini memberikan satu bentuk perilaku yang kadang menjadi hambatan bagi langkah pengembangan diri atau lembaga. Paling tidak seperti apa yang pernah saya alami di beberapa lembaga yang selama ini menjadi sahabat saya dalam menumbuhkan diri. Hambatan itu bermuara pada tingkat ketulusan untuk berkata apa adanya. Motivasi utamanya bagi kita untuk tidak mengemukakan apa adanya tentang diri kita adalah karena harga diri.

Kadang, dalam sebuah proses penilaian diri, ada dalam benak sebagian kita yang mendorong kita untuk tidak terlalu vulgar. Tidak terlalu apa yang ada ya itu yang ditulis atau dikemukakan. Hal ini mengingat kerahasiaan diri atau lembaga. Karena jika dalam komponen dan aspek pinilaian diri tersebut saya menuliskan apa adanya tentang saya, tentang lembaga dimana saya berada, bukankah itu merupakah hasil penilaian saya? Yang berarti bahwa atasan atau lembaga penilai akan mengetahui siapa saya? Siapa kita? Dan jika pengetahuan ini dimiliki bukankah ini justru akan berimplikasi pada citra tidak baik tentang saya? Tentang kita?

Maka untuk alasan pengembangan diri atau pengembangan lembaga sekalipun, yang membutuhkan data valid tentang saya atau tentang kita hari ini, saya atau kita perlu berlaku sedikit menjaga harga diri dengan tidak serta merta mengatakan saya atau kita seperti apa adanya.

Padahal sekali lagi, bagi sebuah pengembangan ke arah yang lebih maju, kejujuran dalam mengatakan dan mengetahui telah sejauh mana saya atau kita berjalan adalah unsur yang paling utama. Dan tanpa kejujuran serta ketuluan pada unsur ini, pengembangan akan selalu menjauhkan kita dengan realita yang ada.

Oleh karenanya, perlu kita semua sadari bahwa, penyakit ini lebih sering terjadi pada kita yang telah terlanjut establis. Dan inilah saat dimana kita harus selalu menakar diri dengan satu kalimat tanya: Berada dimanakah zona aman kita? Bagimanakah dengan apa yang ada pada kita sekarang ini?
Mintalah sahabat memberikan jawaban. Atau lihatlah bagaimana lingkungan memberikan tanda-tanda pada diri kita. Meski itu juga perlu sebuah perjuangan untuk jujur dan tulus...


Jakarta, 24 September 2009/5Syawal 1430H.

Mudik: Berebut Tempat untuk Tidur

Bagi pemudik, menjadi bagian dari sebuah kemacetan panjang yang memakan waktu dan menguras tenaga, sungguh-sungguh membutuhkan kesabaran, ketabahan, ketahanan dan stamina yang luar biasa. Namun kemudian akan menjadi cerita tersendiri saat kita berjumpa saudara ketika sampai tujuan. Itu antara lain yang saya dengar dari beberapa saudara dalam perjuangannya untuk menunaikan silaturahim dan reuni mudik Idul Fitri.

Ya saya dengar dari cerita saudara. Karena mereka berangkat selalu mepet dengan hari Idul Fitri 1 Syawal. Sedang saya, karena harus bersilaturahim dengan Ibu dari pihak istri yang ada di Jakarta, maka selalu menunaikan mudik setelah 1 Syawal. Dan terjebak macet yang tidak terlalu berarti. Tapi setelah semua bertemu di kampung halaman, kisah itu menjadi bumbu dari keseluruhan kisah perjuangan.

Kami sama-sama melihat fenomena tersebut sebagai romantika yang selalu siap kami tempuh pada mudik tahun berikutnya. Tak akan pernah kami kapok malakoni mudik satu milimeter pun!

Siang hari di kampung di masa mudik, kami selalu bercengkerama dengan sanak famili dan handaitualan yang mungkin setahun lalu kami terakhir bertemu. Hampir penghuni di satu kampung kami adalah bersaudara. Kami memanggil mereka dengan sebutan Mbah (simbah atau kakek), Pak dan Bu De, Pak dan Bu Lek (paman atau tante), Kakak, Adik dan mungkin juga cucu. Kamipun dipanggilnya Mbah, Pak De, Om, Mas, atau Adik. Butuh waktu khusus untuk benar-benar menyelesaikan seluruh kunjungan.

Dan karena istri sejak lahir tinggal di kota, biasanya kami akan pergi ke kota sebagai penutup hari itu.

Dan untuk memastikan seluruh anggota keluarga yang berkumpul terjamin konsumsinya, maka orangtua dan sebagian dari kami mengambil bagian untuk berjibaku memasak. Orangtua selalu menawarkan untuk memotong ayam atau peliharaan lain. Sedang kami yang datang dari kota akan meminta dipetikkan daun singkong dan kadang pula minta direbuskan gembili yang kami dapat di pasar (yang hanya buka dengan ketentuan hari). Boleh dikata, bagian dapur adalah bagian yang selalu sibuk hampir sepanjang hari.

Di malam hari, anak-anak kami yang sudah remaja kadang akan membuat makanan dari ayam bakar. Mereka akan memiliki pengalaman menyembelih ayam, membersihkan ayam dari bulu dan kotorannya, membuat bumbu, membuat perapian, dan membakarnya. Tentu dibawah panduan dari Om-nya yang tinggal di kampung.

Hari belum berakhir hingga kami semua disibukkan mencari tempat tidur. Dan bagi yang terlalu asyik ngobrol di depan tv, sangat boleh jadi dia akan sulit untuk mencari tempat mengistirahatkan badannya. Seluruh tempat di rumah kami nyaris terisi penuh. Kami tidak bicara dimana kamar yang kosong. Mengingat rumah orangtua kami hanya memiliki 5 bilik yang dapat dikatakan sebagai kamar. Dan tempat itu sudah ada jatah kepemilikannnya masing-masing. Kesulitan mendapatkan tempat tidur ini bagi keluarga kami memang khas masalah laki-laki, karena seluruh kamar menjadi jatah kaum hawa.

Inilah situasi mudik di rumah orangtua kami di Bagelen, Purworejo Jawa Tengah. Tapi ini yang selalu membuat kami rindu. Idul Fitri, adalah waktu yang membuat itu semua terjadi...

Jakarta, 24 September 2009/5 Syawal 1430 H.

Refleksi Sebuah Reuni


Ada hubungan erat antara Idul Fitri dan Reuni. Paling tidak ini yang saya alami. Karena dalam dua kali Id saya ikut dalam perhetan reuni. Id 2008 saya hadir dalam reuni sekolah. Dan Id 2009 saya ikut reuni tempat kerja.
Id 2008 atau 1429 H, kami berkumpul di sekolah pendidikan guru (SPG) Bruderan di Purworejo dalam rangka reuni, atau saya lebih suka menyebut sebagai silaturahim. Saat itu tepat tanggal 7 Oktober 2008 yang juga Id hari ke-7. Panitia berpikir akan banyak yang akan datang jika bersamaan dengan waktu Idul Fitri. Benar saja, menurut pengakuan beberapa teman yang lebih dari sekali datang saat reuni, reuni tahun 2008 adalah reuni yang paling berhasil mengumpulkan banyak alumni untuk datang. Sebelumnya, reuni diselenggarakan pada saat leburan sekolah diluar hari Idul Fitri.

Ya, bagi saya sendiri, sebagai bagian dari orang yang dibesarkan di kampung, dan orangtua masih lengkap dan setia dengan kampung halamannya, pulang bersilaturahim pada hari Idul Fitri adalah sebuah dorongan yang luar biasa dahsyatnya. Dan karena di Jakarta juga tinggal seluruh keluarga Istri, maka pulang selalu di Id hari ke-2 atau ke-3. Sehingga kemacetan sudah berlalu. Terlebih pada Id tahun 2008 kala itu.

Banyak teman yang membuat saya harus melakukan tebak muka. Karena kami terpisah oleh waktu lebih kurang 24 tahun. Diamana sebagaian kami tidak saling berjumpa lagi setelah kami lulus pada Juni tahun 1984.

Namun saat itu ada juga rasa menyesal, karena ada diantara sahabat kami yang tidak atau berhalangan atau bahkan ada dengan sengaja tidak menghadiri penggilan persahabatan dalam reuni itu.

Saya Gus, tidak peduli meski baru saja diangkat sebagai PNS setelah menjadi honor selama nyaris 2o tahun! Dan mungkin diantara teman SPG, sayalah yang paling belakangan menerima pengangkatan. Tapi saya datang. Karena momen ini adalah momen persahabatan. Saya tidak akan malu kepada sahabat bahwa saya yang paling terakhir diangkat. Itu yang ada dipikiran saya. Sedang mereka (teman yang tidak hadir dalam reuni), merasa malu karena masih naik sepeda motor (...).
Tutur sahabat karib saya, Saridi, yang tinggal di Krendetan, Bagelen, Purworejo.

Apa yang disampaikan teman saya itu, menjadi sebuah refleksi bagi saya setelah pertemuan di aula sekolah kami tahun 1981-1984 itu. Saya berpikir bahwa, kadang kita masih terperosok pada fenomena siapakah saya. Sehingga karena saya belum menjadi siapa-siapa, maka lebih baik saya menunda bertemu sahabat.

Padahal, dalam persahabatan yang dilandasi rasa tulus pertemanan, siapa saya menjadi tidak berharga.

Demikian pula dengan reuni saya pada Id 1430 H atau 2009. Jauh hari sebelum Ramadhan datang, ada sahabat saya dari UK yang kebetulan mudik mengajak kita bertemu di sebuah warung yang ada di Mal di daerah Cilandak Jakarta Selatan. Saat itu disepakati kalau kita akan bertemu kembali saat buka puasa di almamater kita di Bintaro. Tetapi hingga sahabat kami kembali ke UK, undangan itu tidak terjadi juga. Hingga pada akhirnya seorang dari kami berprakarsa untuk silaturahim bersama di rumah yang saya tempati di Slipi.

Dan dari pertemuan kami, ada rasa tulus. Yang adalah tali persahabatan untuk selalu mengikat pertalian kita bersama. Dan pertemuan dengan berbagi cerita tentang perjalanan kami masing-masing akan menguatkan persahabatan berikutnya.

Cipete 3, Cilandak, Jakarta Selatan, 27 September 2009.

10 September 2009

Cerita Alumni


Setelah sekolah memasuki beberapa pekan di tahun pelajaran ini, datang beberapa alumni sekolah kami yang kangen dengan teman-teman sekolahnya, yang terpaksa harus berpisah karena mereka melanjutkan ke sekolah yang berbeda-beda. Juga kangen dengan Bapak dan Ibu Gurunya serta dengan atmosfer sekolahnya yang sudah menjadi kenangan.

Ya, setelah harus melanjutkan ke sekolah lain, mungkin diantara mereka ada perasaan kehilangan. Beginilah awal-awal mereka berpisah dengan teman satu kelas selama lebih kurang tiga tahun.
Maka bertemulah kami dengan mereka yang sekarang sudah mengenakan pakaian seragam berbeda. Banyak cerita mengalir dari apa yang telah mereka alami di sekolah baru. Tentang jumlah siswanya satu kelas yang lebih dari 25, tentang 'kehangatan' gurunya ketika bertegur sapa dengan siswanya, tentang wcnya, tentang cat sekolah barunya, bahkan tentang bagaimana pelajaran berlangsung di dalam kelasnya. Mereka, para alumni ini bercerita dan menyita perhatian kami sebagai mantan gurunya.

Bu, saya punya cerita aneh. Kata salah satu dari mereka. Kami semua memperhatikan cerita aneh macam apa yang akan ia sampaikan.

Ada pelajaran Bahasa Inggris, dan guru meminta kita untuk membuat greeting. dalam 10 menit saya telah menyelesaikan tugas itu. Karena saya anggap ini pelajaran gampang sekali. Maka setelah selesai, saya diam saja. Lalu guru bertanya: siapa yang beum selesai? Salah satunya adalah teman yang duduk di depan bangku saya. Dan benar. Anak itu asli belum selesai. Padahal tahu ngak Bu, teman yang belum selesai itu nilai UN-nya jauh lebih tinggi dari saya. Kok saya yang lebih jelek nilai UNnya justru mudah saja mengerjakan tugas itu. Jadi aneh kan Bu? Begitu cerita menggebu-gebu alumni kami ini. Kami diam sejenak.

Nah, itulah kejujuran. Nilai kamu yang lebih rendah itu adalah nilai asli kamu. Jadi kamu harus mensyukuri bahwa sekolah kita ini adalah sekolah yang berprinsip jujur dan terhormat. Dan kamu telah membuktikannya dengan nilai ujian asli. Oleh karenanya, pegang teguh prinsip hidup untuk selalu berlaku jujur dan terhormat. Kata salah satu dari kami tidak kalah semangatnya.

Masih banyak cerita ajaib lainnya yang disampaikan alumni itu kepada kami semua. Namun sekelumit cerita tentang nilai itu, cukuplah bagi kita untuk melihat bagaimana kejujuran masih menjadi barang yang selalu berharga untuk terus diperjuangkan.

Ini karena, meski pada saat Ujian Nasional yang diawasi dan dipantau oleh pihak independen, tetapi indikasi tidak jujur terus saja masih terjadi. Dan untuk menjadi jujur dan tidak jujur, itu semua kembali kepada kita sebagai insan pendidikan bagi generasi masa depan bangsa. Insan yang mempunyai peran paling sentral dalam menegakkan nurani dan nilai luhur kehidupan.

Pulomas Jakarta, 10 September 2009.

08 September 2009

Guru yang Beda

Ada pengalaman menarik yang membuat saya saat itu, Maret 1996 lalu, terperangah. Yaitu saat diajak keliling, Pak Joni, sekretaris di sekolah tersebut, yang mengajak dan mendampingi saya untuk berkeliling, menyebut apa yang sedang kami jalani dengan kata touring untuk melihat kelas-kelas yang ada sebelum saya akhirnya saya di interview untuk posisi menjadi guru di sekolah tersebut.
Terperangah, karena baru kali pertama saya melihat sebuah sekolah yang setiap dinding kelas, dinding koridor sekolah, dan seluruh wilayah yang terbuka diberi papan pajangan yang dipenuhi oleh tempelan karya siswa. Banyak sekali papan pajangan itu menggugah saya dan mengajak saya berpikir; Bagaimana para guru mengajar dan melakukan ini semua di sekolah ini? Sebuah pertanyaan lugu yang apa adanya.
Lugu karena saya sendiri guru yang berada dalam ranah yang berbeda dengan apa yang ada dihadapan saya kala itu. Saya kemukakan pertanyaan lugu saya itu, dan diberikan gambaran bahwa guru di sekolah ini mengajar dengan pendekatan dan metode yang berbeda.
Jawaban yang mestinya memberikan sedikit gambaran tersebut masih tetap belum memberikan penjelasan. Harap Anda maklum, bahwa saat touring tersebut saya sudah didewasakan selama 11 tahun sebagai guru kelas di tingkat sekolah dasar. Maka gambaran pendekatan dan metode yang berbeda, belum memberikan gambaran konkrit seperti apa berbedanya.
Dan selama 11 tahun tersebut, saya di kelas dengan 40 siswa, akan memberikan penjelasan terhadap materi pelajaran dan diakhir sesi siswa akan saya berikan soal latihan. Demikian pula jika materi pelajaran yang ada dalam satu bab telah selesai, maka saya akan membuat soal ulangan untuk mereka. Begitulah rutinitas saya mengajar sebagai guru kelas.
Tentang pajangan? Di kelas saya memiliki gambar Garuda Pancasila, Presiden dan Wakil Presiden serta Pahlawan Nasional. Gambar-gambar itu hampir tidak berganti sepanjang tahun atau bahkan lebih dari itu. Dan sekarang? Seluruh dinding pajangan dipenuhi karya siswa.
Bagaimana pendapat Bapak tentang sekolah kami? Tanya Pak Carl di ruang interview. Saya menjawab jujur; Luar biasa!
Jawaban jujur saya tersebut, harap dimaklumi mengingat pada tahun 1996 kala itu, sekolah itu adalah bentuk sekolah yang total berbeda dengan apa yang sudah kami jalani sebagai guru. Dimana kami juga mengikuti pelatihan tentang bagaimana membuat tema, bagaimana belajar dengan CBSA, juga bagaimana Bapak dan Ibu guru membelajarkan siswanya di SD N di Cianjur yang menerapkan CBSA tersebut, namun semua itu belum mampu memberikan kompetensi dan keterampilan bagi saya untuk merealisasikan pengetahuan tersebut ke dalam interaksi saya dengan siswa di kelas.

Maka disinilah awal saya belajar menjadi guru yang beda.

Dan untuk menjadi guru yang beda, adalah bukan suatu hal yang tanpa pengorbanan. Dan pengorbanan terbesar yang saya harus berikan, adalah pengorbanan bahwa saya harus melupakan kalau saya pernah menjadi guru selama 11 tahun sebelumnya.
Slipi Jakarta, 8 September 2009.

06 September 2009

Akreditasi dan UAN


13-14 Agustus dan 11-12 September 2009, sekolah kami dijadwalkan untuk di re-akreditasi oleh Badan Akreditasi Sekolah, Depdiknas. Yaitu untuk unit SD dan SMP. Mengingat ini adalah re-akreditasi, mestinya kami tidak se-megap-megap kala kali pertama diakreditasi. Namun pada kenyataannya, hal itu tidak terjadi. Karena ternyata komponen dan indikator yang akan menjadi penilaian dalam akreditasi kali ini berbeda dengan komponen dan indikator yang ada pada akreditasi sebelumnya, maka kami sekali lagi mengerahkan segala daya upaya untuk akreditasi ini agar optimal dihadapan asesor.

Dan sebagai insan pendidikan yang peduli terhadap kualitas, perbedaan itu justru kami syukuri. Mengapa? Karena komponen yang ada dalam Perangkat Akreditasi pada kali ini benar-benar cerminan dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Yang artinya secara konseptual antara visi yang ada di dalam Undang-Undang sinergi dengan aplikasi di lapangan.

Komponen akreditasi tersebut terdiri dari: (1). Standar isi; (2). Standar proses, (3). Standar kompetensi lulusan; (4). Standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5). Standar sarana dan prasarana; (6). Standar pengelolaan; (7). Standar pembiayaan; dan (8). Standar penilaian.

Delapan komponen tersebut adalah cerminan dari cita-cita sekolah berkualitas menurut UU Sisdiknas, karena setiap sekolah pada akhirnya akan dikualifikasikan dengan apa yang divisikan sebagai sekolah berkualitas dalam UU tersebut. Dengan kata lain bahwa, hasil dari akreditasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah di setiap Provinsi nantinya adalah pemetaan kualitas lembaga pendidikan yang ada. Ini adalah bentuk penjaminan awal dari sebuah kualitas pendidikan.

Dan tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan dari kareditasi tersebut. Setidaknya ada perubahan menuju kualitas yang baik secara signifikan. Dimana asesor datang ke sekolah tidak saja memferifikasi data dan fakta yang terdapat dalam Instrumen Akreditai yang disi Kepala Sekolah dan di kirim ke Badan Akreditasi Sekolah dengan cara melakukan observasi dan interviu ke lokasi sekolah.

Lalu apa hubungannya dengan Ujian Nasional? Tentunya, jika semua sistem berjalan dengan sebaik konsepnya, pada akhir tahun pelajaran kita semua dapat melihat korelasi hasil UAN setiap sekolah yang telah distandarisasi oleh BAS Depdiknas melalui akreditasi. Dan jika informasi hasil akreditasi tersebut dapat diakses oleh masyarakat luas, maka sesungguhnya khalayak dapat jauh lebih mudah menentukan pilihan sekolah bagi putra-putrinya.

Pemerintah dan masyarakat juga akan mudah menduga apa yang sebenarnya terjadi jika ada sekolah yang kualifikasi akreditasinya kurang maksimal tetapi siswanya memperoleh hasil UAN yang mencolok bagus. Demikian juga sebaliknya. Bahkan masyarakat luas juga bisa memprediksi akan seperti apa hasil UAN dari sekolah yang terakreditasi bagus.
Implikasi lebih lanjutnya adalah, sejauh mana kita, sekolah dan masyarakat memberikan jaminan akan proses pendidikan yang berbasis kejujuran.

Jakarta, 7 September 2009


01 September 2009

Pemudik itu, Mulia

Idul Fitri 1430 H ini, kemungkinan saya tidak akan mudik. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pas hari pertama Idul Fitri tanggal 1 Syawal, saya bersama keluarga akan ngumpul di Jakarta bersama keluarga besar. Pagi hingga siang saya akan berada di Bekasi bersama keluarga saya, lalu lanjut siang harinya di keluarga istri.
Jika ada rencana mudik, maka akan saya pilih berangkat dari Jakarta paling cepat pada tanggal 2 Syawal. Pilihan ini selain untuk membagi waktu dengan keluarga besara istri yang seluruhnya tinggal di Jakarta, juga sebagai strategi memilih jalanan yang longgar. Yang tidak perlu bermacet-macet parah di jalan.
Mengapa Mudik?
Mungkin ada diantara Anda yang bertanya hal ini kepada saya? Maka jawaban paling esensi adalah karena saya dari Udik. Maka saya mudik. Jawaban ini tak mungkin terbantah oleh siapapun. Di mana-mana di penjuru dunia ini ada budaya mudik. Kalau saya mudik saat Idul Fitri, sedang teman-teman yang pernah satu kerjaan dulu di bulan Desember. Tak peduli kemana lokasi mudik mereka.
Mudik adalah silaturahim. Karena pada saat itu situasi yang mengemuka adalah menjalin silaturahim. Setelah sekian lama tidak bertemu muka, maka silaturahim di saat mudik memungkinkan bagi masing-masing kita mengenal dan mempererat kembali jalinan saudara. Tanpa silaturahim, masing-masing kita akan diputus hubungannya dengan lupa. Lupa kalau Pak Ahmad adalah masih memiliki hubungan family, misalnya.
Mudik adalah reuni. Mengingat banyak atau sebagian besar orang melakukan silaturahim hanya pada saat mudik di hari Idul Fitri, maka mudik Idul Fitri adalah waktu dan saat yang paling tepat untuk mempererat kembali jalinan persahabatan di masa lalu diantara kita setelah sekian lama tidak berjumpa.
Mudik adalah perjalanan wisata. Ini paling tidak berlaku bagi kami sekeluarga. Minimnya kegiatan tamasya yang khusus bagi keluarga, maka kegiatan mudik adalah juga sebagai perjalanan tamasya keluarga saya. Menikmati setiap kilo meter jalan yang membawa makna serta ketakjuban akan bumi Allah.
Sebagai perjalanan wisata, kami tidak memiliki target harus sampai tujuan dengan lama perjalanan sekian jam. Perjalanan kami adalah perjalanan santai yang tidak segan-segan untuk berhenti setiap 2 jam. Juga ruas jalan yang kami lalui. Jika berangkat kami memilih jalur Cikampek, Indramayu, Palimanan, Kanci, Losari, Ketanggungan, Bumiayu, Wangon, Buntu, Kebumen dan Purworejo, maka kembali ke Jakarta kami bisa pilih ruas jalan Purworejo, Prembun, Wadaslintang, Banjarnegara, Karangkobar, Kajen, Pekalongan, lalu lanjut Jakarta lewat Pantura. Pedek kata, kami ingin benar-benar menikmati indahnya bumi Allah di sepanjang perjalanan.
Mudik adalah bagi-bagi. Kami harus menyediakan sebagaian pengalaman, cerita dan mungkin rezki untuk Bapak dan Mamak kami, untuk suadara kami dan mungkin juga untuk tetangga dan sahabat kami.
Maka jangan pernah larang kami untuk mudik jika kerangkan berpikirnya bukan pemudik. Bagi kami pemudik, harapan terbesarnya adalah tersedianya kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan perjalanan dengan aman dan nyaman sepanjang perjalanan yang kami lalui. Hanya itu.

Maka, hormatilah kami sebagai pemudik.
Selamat mudik 1430 H. Mohon maaf lahir dan batin.
Jakarta, 5 September 2009.