Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

31 March 2014

Sebuah Hajatan Bernama Penerimaan Rapot

Lima tahun setelah saya berhijrah di sekolah yang sekarang menjadi tanggungjawab saya itu, ada satu hal yang belum saya sampaikan kepada teman-teman guru untuk kita adopsi. Dan saya berpikir bahwa waktu lima tahun setelah kebersamaan saya, barangkali cocok waktunya untuk menambah beban baru kepada teman-teman. Ini menjadi penting karena saya berpikir bahwa melakukan adopsi terhadap sesuatu yang baru berarti juga adalah memberi ruang pembelajaran baru. Dan itu bagia sebagian kami juga adalah tambahan kewajiban. Dan sebagian yang lain adalah tantangan baru.

Dan melihat serta mempertimbangkan semua hal itu jugalah saya mencoba untuk menawarkan sesuatu yang dapat menjadi diferensiator bagi lembaga kami terhadap lembaga sejenis yang bertebaran di sekeliling kami. Dan sebagai tantangan, maka kami ingin menwarkan 'kelas baru' bagi teman-teman untuk menjadi tantangan.

Sesuatu yang saya ingin sampaikan pada catatan saya kali ini adalah model penerimaan rapot yang berbeda dari apa yang pernah kami lakukan selama ini, sesuatu yang kami anggap bagus bila menjadi menjadi dari kultur untuk sebuah sekolah. Utamanya untuk melatih anak-anak dalam mempertanggungjawabkan hasil belajarnya. Juga untuk merubah paradigma bahwa anak didik adalah fokus pembelajaran.

Model tersebut adalah adopsi dari cara penerimaan rapot yang ada di sekolah IB, yang mereka sebut sebagai student-led conference, atau sering pula teman-teman singkat sebagai SLC. Dan kami, atas hasil adopsi sesuai dengan karakter sekolah, tataran berpikir masyarakat serta guru, dan juga sesuai dengan kebutuhan kami, maka pembagian rapot itu kami namakan sebagai konferensi siswa.

Maka, dengan modal pengetahuan itu, saya mencoba untuk memaparkan kepada teman-teman akan adanya model penerimaan rapot hasil belajar itu . Saya mencoba untuk berangkat mulai dari paradigma berpikir tentang model penerimaan rapot tersebut. Setelah semua sepakat, baru saya sampaikan teknis pelaksanaannya. Tentu tidak semua teman saya optimis dengan model penerimaan rapot tersebut. Ini karena model tersebut benar-benar begitu asing. Sehingga, ada diantara teman yang berkomentar; "Apa bisa anak-anak menyampaikan apa yang diekspektasikan dalam model penerimaan rapot tersebut?"

Dan Sabtu, pada akhir Maret 2014 lalu, untuk tahun ke-4, saat kami mengaplikasikan pengetahuan kami itu, atau untuk ke-8 kalinya kami mempraktekkan metodologi tersebut, saya membuat kesimpulan atas apa yang saya lihat langsung di kelas-kelas sejak dari kelas TK B hingga kelas IX SMP, menemukan betapa jauh teman-teman sudah melakukan jawaban atas tantangan tersebut dalam bentuk peningkatan kualitas pelaksanaannya. Sungguh ini adalah realita yang patut membuat tonggak yang kebanggaan.

Di kelas-kelas itu, saya melihat begitu variatifnya kualitas pelaksanaan penerimaan rapot tengah semester dengan model konferensi siswa tersebut. Teman-teman guru tidak hanya mengajarkan kepada seluruh peserta didiknya untuk mempresentasikan hasil belajar mereka dalam kurun waktu satu triwulan tersebut sesuai dengan templete standar yang menjadi patokan kami, tetapi anak-anak itu telah begitu siap dalam mempresentasikan apa yang telah dilaluinya, dan apa yang yang menjadi harapan dan mimpinya di durasi triwulan beruikutnya. Sungguh hebat.

Maka jika kali pertama saya mendengar komentar keraguan sebagaimana yang saya ungkapkan di atas, pada saat kami pertama sekali menyampaikan ide untuk mengadopsi model penerimaan rapot tersebut, sungguh beda dan bertolak belakang terhadap apa yang saya lihat pada hari Sabtu di akhir Maret kemarin ini.

Peristiwa dan kualitas anak-anak dalam mempresentasikan pada saat konferensi siswa itu memberikan gambaran tegas kepada saya akan capaian pengetahuan dan skill teman-teman guru dalam memberikan panduan kepada para peserta didiknya dalam mempresentasikan porto folionya di hadapan ayah dan bundanya. Mengagumkan!

Maka tidak berlebihan jika saya mengucapkan terima kasih yag banyak atas ilmu yang saya dapatkan pada saat saya melihat berkeliling kelas yang ada sepanjang pelaksanaan konferensi siswa tersebut. Terima kasih.

Jakarta, 31 Maret 2014.

Bangga sebagai Sekolah Nasional

Catatan saya ini hanyalah refleksi pribadi. Dan karena saya adalah guru yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dalam mengejawantahkan usia produktif saya, maka catatan ini berkutat tentang dunia pendidikan, dunia sekolah, dan dunia anak-anak Indonesia. Juga perlu saya utarakan bahwa, catatan ini berkenaan dengan kegiatan sekolah yang kami rancang sebelumnya bersama guru-guru yang ada di sekolah dimana kami disatukan dalam satu lembaga pendidikan.

Sekolah Nasional

Perlu saya memberikan tekanan pada sebutan sekolah kami yang berstatus Sekolah Nasional. Mengingat belakangan ini begitu hebatnya fenomena label internasioanl. Apapun itu. Apakah lembaga pendidikan, rumah sakit, atau apapun itu. Kata internasioanl sebagai tambahan identitas seperti magnet mujarab untuk menjadi daya tarik. Bahkan pemerintah dengan keputusannya  untuk melahirkan Sekolah Bertaraf Internasional dengan sebagai tahapan awalnya adalah RSBI, telah menggelontorkan baratus-ratus juta setiap sekolahnya, sebelum akhirnya diakhiri dengan keputusan Mahkamah Konstitusi.

Tapi tidak buat kami. Kalau orang dengan pongah bertanya kepada kami tentang sekolah kami, maka dengan kepala tegak, kami menjawab bahwa sekolah kami adalah sekolah dengan status Nasional! Inilah kebangaan kami.

Karena kami tidak ingin menipu diri dengan memberikan tambahan identitas pada sekolah kami dengan status bukan sekolah  nasional, padahal etos, sumber  daya dan sarana, infrastruktur yang kami punya bahkan nasionalpun belum, alias lokal! Untuk itulah kami begitu bersemangat menjadi bagian dari komunitas global dengan modal dan semangat serta  etos dan jiwa nasional.

Kami yakini itu secara total, sehingga untuk berpikir bahwa dengan label bukan internasional tersebut justru akan menjadikan kami kalah bersaing, tidak. Karena internasional bagi kami, adalah bentuk dan cara pikir, cara pandang, dan model bekerja yang multi tasking, terbuka, egaliter, berwawan dan berpandang luas, serta profssional. Itulah yang kami jadikan prinsip dalam menunaikan amanah keguruan kami di sekolah. Jadi bukan sekedar tambahan dengan label internasioanl di belakang nama sekolah kami.

Kami memimpikan sebuah generasi sebagaimana yang kami utarakan tersebut dalam proses ineraksi kami bersama komunitas sekolah sehari-hari. Kami memberikan kesempatan yang sama kepad peserta didik kami untuk mengemukakan pe dapat baik tertulis dan lisan, kami memberikan wahana agar anak didik kami dapat mengembangkan pola berpikir terbuka dan bersikap egaliter, kami mendorong agar anak-anak kami berani tampil membawakan sesuatu di depan teman-teman dan orangtuanya di dalam pertunjukkan kelas, kami juga memberikan tanggungjawab atas keberhasilan belajar anak-anak kami kepada orangtuanya dengan cara mempresentasikan hasil belajar tengah semesternya.

Dengan prinsip itulah kami begitu bangga dengan menyebutkan bahwa kami adalah sekolah nasional. Semoga keyakinan kamiitu menjadi bekal dalam memegang prinsip identitas diri kami. Semoga. Amin.

Jakarta, 31 Maret 2014.

27 March 2014

Ingat Pergelaran 'Klompencapir"

Pagi itu, dalam kegiatan assembly siswa di TK, atau kegiatan pertunjukkan kelas yang bertema sumber daya alam Indonesia. Hadir dalam kegiatan yang rutin dilaksanakan oleh TK tidak kurang dari 5 kali tersebut adalah para orangtua siswa, pengunjung, utamanya saya sendiri, dan pastinya guru-guru sendiri sebagai kreator dalam kegiatan tersebut. 
Salah satu sudut dari karya siswa.

Cerita yang anak-anak suguhkan dalam bentuk drama, musikalisasi, dan tari itu, sungguh telah mengingatkan saya kepada sebuah pergelaran di masa lalu yang relatif sering dilakukan dan disiarkan tv pada saat Bapak Presiden Soeharto blusukan ke lokasi pertanian dan melakukan dialog dengan mereka. Itulah yang bernama klompencapir. Saya sendiri lupa kepanjangan dari singkatan ini. Namun yang pasti, klompencapir tersebut adalah kelompok pertanian yang melakukan talk show bersama presiden.

Maka pagi itu, di hall sekolah yang disulap menjadi panggung pertunjukkan, dan ruangan pengunjung, anak-anak dari usia tiga setengah tahun hingga usia lima setengah tahun beradu akting. Menyenangkan dan membuat kepala saya lebih tegak karena berpikir.

Secara singkatnya, datanglah seorang kepala negara disertai staf dan pengawalnya ke sebuah acara talk show pertanian dengan para petani. Maka kepala negara itu disuguhi berbagai karya petani dan petambang, dengan berbagai hasil pertanian dan pertambangannya. Tentu itu merupakan pertunjukkan yang memberikan gambaran betapa kayanya kita.

Tentu ini bukan sekedar pertunjukkan. Karena ini adalah pertunjukkan yang merupakan selebrasi atas berakhirnya sebuah kegiatan pembelajaran dalam satu tema. Maka pertunjukkan tersebut adalah puncak temanya. Dan karena sebagai selebrasi, maka seluruh orangtua hadir untuk 'menikmati' bagaimana putra-putrinya menampilkan hasil belajarnya dalam satu tema tersebut.

Sebagai konklusinya, saya sendiri menjadi berdecak kagum dan merasa bangga dengan apa yang telah dan sedang guru-guru lakukan dalam pembelajaran dalam tema sumber daya alam Indonesia itu. Sungguh sebuah kegiatan yang memberikan gairah untuk terus bergerak dan berbeda dari satu kegiatan ke kegiatan yang lainnya. Sungguh menakjubkan hasil dari sebuah keinginan untuk terus berubah!

Jakarta, 27 Maret 2014. 

Menjadi Pintar karena 'Blusukan'

Blusukan, tiba-tiba menjadi kata yang begitu populer ketika DKI Jakarta ini di pimpin oleh mantan Wali Kota Solo, Jawa Tengah ini. Seolah-olah inilah kata baru yang baru saja masuk dalam bagian dari Bahasa Indonesia. Dan seperti juga bahasanya, demikian pula dengan aktifitasnya. Dan mumpung kata ini masih bebas untuk digunakan, karena saya menjadi kawatir kalau kata ini hanya boleh disandangkan pada seseorang saja nantinya, maka dalam catatan ini saya menggunakannya. Semoga tidak akan menjadi masalah.

Ketika pertama kali saya menjadi bagian di manajemen di lembaga sekolah, maka pada saat itu pulalah sesungguhnya saya tidak memiliki citarasa dalam melakukan pembelajaran di dalam kelas. Dan ini menjadi sebuah kehilangan buat saya. Mengingat ketika di awal-awal tahun 2000an, dimana keterampilan membelajarkan materi pelajaran di kelas, masih begitu menyenangkannya untuk terus digali dan dimiliki.

Dan di beberapa tempat serta lokasi, ketika bertemu dengan guru atau manajemen sekolah dalam berbagai ukuran dan latar beklakang sekolahnya, keterampilan membelajarkan yang menarik, inovatif, menantang peserta didiknya, adalah keterampilan yang wajib harus kami miliki. Karena itulah wujud nyata dari pa yang dahulu disebut sebagai pendekatan pembelajaran dari Kurikulum Berbasis Kompetensi, atau juga sekarang, Kurikulum 2013.

Maka dengan posisi saya sebagai bagian dari manajemen sekolah, proses belajar saya dalam hal keterampilan berinteraksi dengan peserta didik di dalam pembelajaran di kelas tidak seakseleratif dengan teman-teman guru yang pada waktu itu masih ada di dalam kelas. Namun bagaimana dalam perjalanan selanjutnya? Inilah yang akan saya sampaikan dlam catatan ini. 

Menjadi Pintar

Dimana ketika sebagai manajemen di sekolah, maka berkunjung ke kelas dalam rangka monitoring, observasi, atau bahkan anjangsana, memungkinkan saya untuk tetap berada di dalam kelas-kelas, termasuk ketika teman-teman guru sedang melakukan pembelajaran di kelas. Mungkin inilah yang saya analogikan istilahnya dengan kata blusukan.

Dan pada kesempatan itulah saya menemukan mutiara dan berlian keterampilan teman-teman saya sebagai guru tersebut. Termasuk misalnya bagaimana ketika saya masuk kelas lima sekolah dasar dan ternyata anak-anak sedang seru melakukan debat dengan tema makanan cepat saji?

"Bagaimana anak-anak bisa melakukan kegiatan debat yang relatif nyata terjadi sebagaimana saya lihat tadi?" tanya saya kepada guru kelas setelah kegiatan debat itu selesai. Tentunya saya menyampaikan rasa kagum saya tentang kegiatan debat yag dilakukan anak-anak tersebut.

Dan Ibu Guru itupun dengan semangat memberikan informasi kepada saya sejak dari memilih kelompok yang mewakili kelompok debat dengan topik debat yang dipilihnya. Dimana masing-masig kelompok tersebut diwajibkan untuk melihat makanan cepat saji dari sudut yang berbeda-beda antara kelompok satu dan lainnya.

"Berapa lama kegiatan tersebut berlangsung sebelum kegiatan debat dilaksanakan?"

"Pembelajaran ini sesungguhnya belajar tentang makanan sehat Pak. Waktunya ada tiga pekan untuk satu mata pelajaran. Jadi kami lakukan eksplorasi informasi berkenaan makanan sehat tersebut sejak tiga pekan lalu. Dan debat inilah yang menjadi puncak kegiatan kami." jelas guru itu.

Tak terasa, bahwa pengalaman yang saya dapatkan ketika saya berkeliling ke kelas-kelas yang ada di bangunan sekolah yang menjadi amanah saya itu, menajikan saya bertambah pintar.

Tentunya tidak itu saja yang saya dapatkan dari kegiatan saya senang berkunjung ke kelas-kelas atau bahkan lingkungan sekolah lainnya. Banyak sekali. Dan saya merasakan betapa banyak juga yang akan saya dapat jika waktu saya itu sering saya plotkan untuk melakukan blusukan...

Jakarta, 27 Maret 2014.

21 March 2014

Untuk Musim Pemilu

Ini hanya kebetulan sekali. Bahwa saya baru saja membaca kalimat-kalimat dari Buku Saduran Negarakertagama dalam mengisi waktu-waktu saya di kendaraan yang mengantar perjalanan saya. Sebuah buku kecil terbitan PT Tiga Serangkai, Solo.

Sebuah kebetulan, karena sesungguhnya buku saku ini telah ada beberapa lama di lemari buku saya yang ada di kantor. Sebuah buku yang saya peroleh ketika membeli buku tetraloginya Langit Kresna Hariadi, berjudul Gajah Mada.

Artinya, karena buku ini bukan baru, maka sesungguhnya kebetulan sekali jika kalimat-kalimat yang saya peroleh dalam rangkaian Pupuh. Seperti dalam Pupuh LXXXVIII, pasal (?) 2, yang berbunyi; 

Berkatalah Sri nata Wengker di hadapan pebesar dan wedana:
"Wahai, tunjukkan cinta serta setya baktimu kepada Baginda raja
Cintailah rakyat bawahanmu dan berusahalah memajukan dusunmu
Jembatan, jalan raya, beringin, bangunan dan candi supaya dibina

Juga dalam pasal selanjutnya;

Terutama dataran tinggi dan sawah, agar tetap subur, peliharalah
Perhatikan tanah rakyat, jangan sampai jatuh ke petani besar
Agar penduduk jangan sampai terusir dan mengungsi ke desa tetangga
Tepati segala peraturan untuk membuat desa bertambah besar

Dua pasal dalam kutipan tersebut benar-benar kebetulan sekali saya baca di musim kampanye dan Pemilu tahun ini. Sungguh, menjadi butiran pencerahan bagi saya, tentunya karena saya melihatnya pada musim menjelang demokrasi ini. Meski, saya menyadari bahwa saya bukan siapa-siapa. 

Atau apa yang dituliskan dalam Pupuh selanjutnya, Pupuh LXXXIX, pasal 2;

Negara dan desa berhubungan rapat seperti singa dan hutan
Jika desa rusak, negara akan kekuragan bahan makanan
Kalau tidak ada tentara, negara lain akan mudah menyerang kita
Karenanya perihalarah keduanya, itu perintah saya!

Pada pasal 3;

Begitu peritah Baginda kepada wedana, yang tunduk mengangguk
Sebagai tanda mereka sanggup mengindahkan perintah beliau
(...)

Untaian kalimat dalam pupuh itu belum berakhir. Masih panjang dan terlalu memperjelas akan apa dan bagaimana seharusnya. Sekali lagi, ini menjadi bahan refleksi saya sebagai bagian dari 'butiran angka' yang bernama 'suara' di TPS pada Pemilu tahun ini.

Jakarta, 21 Maret 2014.

17 March 2014

Kemapanan VS Perubahan

Beberapa hari lalu, saya menerima email dari teman. Dan ini bukan email formal masalah yang berkait dengan pekerjaan, meski yang mengirim dan menerima adalah teman-teman kantor juga. Ini karena email dikirim dengan isi yang lebih tentang diskusi dan tukar pikiran antara kami tentang situasi yang sedang kami alami bersama. Yaitu tentang pengembangan lembaga dengan bekejasama dengan sebuah lembaga konsultan.

Jadi, arah diskusinya tentang situasi mapan, tentang kondisi lembaga yang seolah menjadi stagnan, tentang kondisi penerimaan siswa didik baru yang menunjukkan arah kurang menggembirakan, tentang kualitas SD yang sepertinya bukan lagi menjadi pilihan bagi calon orangtua siswa, tentang sekolah dan semua perlengkapannya yang memang bukan menjadi pilihan.

Dan seperti dalam pikiran kami semua, itu barangkali masih fenomena, atau fakta, karena perjalanan waktu untuk sebuah tahun pelajaran baru baru saja akan berakhir dan saat penerimaan peserta didik baru juga baru berjalan di seperempat awal perjalanan. 

Dan yang lebih kami semua belum ketahui secara pasti adalah, apakah perilaku dan kinerja yang selama ini menjadi pakaian kami sehari-hari adalah indikator atau menjadi bagian dari apa yang dinamakan mapan atau masuk dalam kategori kepamapanan?

Lalu, apa lebih kurang isi dari email yang saya terima itu? Tidak lain adalah bahwa saya mendapat apresiasi dari teman tentang sebuah langkah yang sedang kami lakukan dan jalani bersama untuk sebuah pengembangan bagi lembaga kami. Dan karena email itu antaralain mengandung  kata-kata kemapanan dan perubahan, maka saya kemudian menjadi berpikir; jangan-jangan saya dan teman-teman faham tentang kata mapan dan berubah, tetapi sungguh blank jika itu menyangkut dengan apa yang menjadi bagian dari kemapanan dari keseharian saya dan kami semua, serta apa yang harus kemi lakukan dengan perubahan sebagaimana yang dimaksudkan sebagai lawan dari kemapanan itu?

Dal kalau itu yang terjadi, maka sesungguhnya saya dan teman-teman sesungguhnya sedang mengalami kefakuman makna. Saya tahu tentang maksud dari kata itu, namun buta ketika kata itu harus terwujud dalam perilaku sehari-hari. Tentunya kalau saya sebagai guru, maka apa saja yang dimaksud dengan kata mapan dalam tataran perilaku saya, yang harus menjadi fokus saya untuk saya lakukan perubahan dalam bentuk perilaku yang tidak mapan?

"Mungkin harus ada yang menjadi cermin  bagi kita bersama. Benchmark, sekolah kompetitor, barangkali bisa kita jadikan sebagai cermin. Kita eksplor bagaimana guru di sekolah tersebut menhabiskan waktu dan berkomunikasi bersama peserta didiknya di sekolah?" Demikian yang sahabat saya sampaikan dalam kalimat emailnya yang terakhir.

Diskusi dalam email itu harus berhenti. Karena memang tidak ada satu dari kami yang paling mujarab memberikan jalan keluar...

Jakarta, 17.03.2014.

15 March 2014

Wisata Kantor, Destinasi atau Silaturahim?

Ada bagian dari kami yang mempertanyakan kepergian kami bersama seluruh komponen pegawai dan pengelola ke Bromo dan Malang beberapa waktu yang lalu. Karena mempertanyakan, tetntunya sesuatu yang patut sekali saya membuatkannya penjelasan dan bukan sama sekali sebagai pembelaan. Karena apa yang saya sampaikan adalah kenyataan yang kami alami.

Pergi Bersama?

Ini adalah pernyataan yang menurut saya sendiri sebagai pertanyaan orang-orang yang sok profesional. Sungguh pertanyaan dan pernyataan yang benar-benar tidak memiliki keyakinan atas Penguasa dari semua penguasa! 

Mengapa? Beginilah apa yang disampaikan orang modern ini kepada kami; "Di kantor suami saya, tidak boleh seluruh pegawai pergi bersaa-sama dengan manajemen atau pengelola dalam waktu bersamaan."

Saya paham apa yang dimaksudkan dari yang diungkapkannya. Ini jika terjadi semacam kecelakaan fatal, maka fatal pula lembaga yang mereka ampu. Masuk di  akal sebagian kita barang kali tentang apa yang disampaikan. Tapi bukan untuk otak saya. 

Karena tujuan kepergiannya adalah untuk membangun kebersamaan dan sinergitas, maka tidak mungkin untuk tidak bersama-sama. Fatal? Itu adalah pikiran negatif. Wasangka akan masa depan. Karenanya, saya yakin bahwa kepergian kami adalah untuk membangun kebersamaan diantara kami. Bukan sebuah kejadian fatal. Pikiran positif saya dilandasi oleh apa yang tertera dalam dasar keyakinan saya bahwa: Aku (Allah Swt.) adalah bagaimana hamba-Ku berprasangka kepada-Ku.
 
Boros?

Bukankah menjadi terau mahal jika waktu tempuh perjalanan kami, kami perpanjang yaitu dengan misalnya, menggunakan kendaraan yang lebih murah? Juga, berapakah biaya untuk sebuah komunitas yang tidak memiliki kedekatan satu sama lainnya sehingga dengannya akan melahirkan perilaku saling tak acuh dan tidak sinergi? Lebih lagi jika ini adalah sebuah lembaga swasta yang peredaran uangnya bukan dari APBN?

Artinya, jangan pernah menghitung pengeluaran dari angka yang keluar saja. Tetapi berhitunglah dari logika sebab dan akibat. Berhitunglah dengan akal yang panjang. Karena hanya dengan cara berpikir seperti itulah sebuah lembaga dapat eksis dan berusia panjang.

Dan dengan logika semacam inilah maka tidak dapat kita memberikan kesimpulan boros, mahal, atau bahkan murah hanya dengan menyebutkan angka. Terlalu cetek jika investasi kesadara untuk berprestasi disebut sebagai boros.

Manfaat; Destinasi atau Silaturahim?

Lalu untuk apa m,enempuh destinasi jauh? Inilah yang saya sampaikan sebagai penjelasan. Bahwa destinasi dari sebuah wisata kantor, buat saya yang melihatnya bahwa wisata sebagai  wahana silaturahim, tidak menjadi begitu penting. Namun memang tetap menarik sebagai loikasi yang dituju. Karena ketika kami sampai ke destinasi yang ditentukan, kami semua akan disibukkan oleh kamera dan seluler masing-masing. Tidak ada gesekan yang membuat sesama kami  untuk saling bergandengan tangan kecuali ketika kami akan mengambil gambar foto.

Rombongan berfoto di depan bukit Teletabies
Tetapi perjalanan menuju lokasi, waktu ketika kami sedang bersiap menuju kendaraan yang akan membawa kami, sarapan atau makan bersama di meja-meja yang tersedia, adalah waktu-waktu emas untuk saya dan pengelola lainnya untuk mendengar cerita dan getaran hati dari para pegawai yang bersama kami. Ini adalah waktu-waktu bagi  kita semua menjadi setara. Juga melihat bagaimana teman-teman itu dapat melakukan kegiatan sesuai dengan perannya masing-masing. Dan pada sisi inilah, kami benar-benar mengucapkan terima kasih atas  daya dan upaya sehingga wisata kantor tahun 2014 ini terwujud dan spektakuler!

Kepada yang menjadi panitia, kami dapat melihatnya bagaimana mereka bersikap baik selama membantu kami semua melakukan perjalanan. Kami dapat melihatnya dari sisi kepemimpinan, keluasan pandangan, dan juga cara dan model mereka dalam membuat keputusan.

Kepada peserta, kami pun dapat memnajdikannya pelajaran. Bagaimana teman-teman itu ada yang selalu disiplin, atau sebaliknya, selalu terlambat ketika kendaraan harus berangkat. Ata perilaku lainnya yang dapat menjadi masukan kami dalam membuat rancangan pelatihan di kantor ketika kami kembali bekerja.

Jakarta, 15 Maret 2014.

Absensi VS Kompetensi

Ketika di sebuah kantor sedang sibuk memperbincangkan absensi keterlambatan para pegawainya, atau juga tentang keterlambatan atas kehadiran oleh beberapa staf saja namun dalam intensitas sering, maka keluarlah aturan baru sebagaimana antisipasi agar perilaku tersebut tidak berkelanjutan. Demikian juga dengan apa yang terjadi di sebuah lembaga yang kebetulan teman saya berada di bagian dari lembaga tersebut.

Apakah berhenti hingga disitu berkenaan dengan cerita absensi pegawai tersebut? Tentunya tidak. Karena, meski mesin absensi kehadiran talah memberikan catatan kepada akan waktu kedatangan di pagi hari dan waktu kepulangan di sore hari bagi seorang pegawai, bukankah itu belum memberikan jaminan akan keberadaan pegawai tersebut sepanjang jam datang dan jam pulangnya?

Apakah catatan saya ini menjadi sak wasangka akan komitmen seorang pegawai dengan kredibilitas absensinya yang dilaporkan oleh mesin absensi tersebut? Tidak juga. Namun dalam realitanya bahwa, sahabat saya itu masih mendapati area kerja yang benar-benar kosong dari para penanggungjawabnya. Pekerjaan tertinggal begitu saja tanpa ada pegawai yang seharusnya berada di tempat yang sudah ditentukan tersebut. 

Dan setelah berputar di lokasi yang seharusnya keberadaan pegawai itu dapat ditemukan, kosong. Bahkan untuk mempercepat pencarian, dibantu stafnya, dihubungilah nomor-nomor kontak yang seharusnya menjadi bagian inheren dari identitasnya sebagai pegawai, kosong juga. Bahkan nomor selularnya berada pada posisi off!

Tentu belum berhenti di situ saja. Karena kondisi ini benar-benar memberikan implikasi pengaruh kepada lini yang berbeda di lokasi kerja tersebut. Beberapa rekan sejawat, memberikan masukan agar ada tindakan nyata atas apa yang terjadi. 

"Apa yang harus saya lakukan Pak Agus?" Ucapnya kepada saya.
"Masukkan dalam anecdotal record Bu." Jawab saya."Kumpulkan catatan-catatan itu, dan carilah acuan untuk melakukan tahapan berikutnya."

Pertama, adalah Kehadiran!

Aneh memang kalau ada seseorang yang masih menyimpan ambisi untuk menjadi bagian dari manajemen di lembaganya sendiri, namun tidak menunjukkan kesungguhannya dalam membuat jenjang anak tangga menuju ke arah yang dijadikannya kiblat. 

Aneh? Benar sekali anehnya. Karena ia hanya menggantungkan kiblat dan keinginannya sekedar sebagai panorama yang menghiasi seluruh potensi yang dimilikinya. Dan potensi itu tetap tidak menjadikan langkah nyata dalam bentuk pencapaian menuju. Aneh bukan?

Dan sesungguhnya ada yang lebih aneh menurut saya. Ini karena ia adalah seorang sarjana yang berpikiran cerdas dan penuh gagasan bagus. Juga bahkan, dalam lingkungannya, ialah motivator.

Namun hanya karena catatan di mesin absennya yang sungguh buruk, maka potensi yang dia miliki, baru menjadi bagian yang memberikan asesoris di lingkungan kerjanya sebagai pegawai. Karena kehadirannya di kantor menjadi bagian paling penting bagi apa yang dinamakan kompetensi!

Jakarta, 15 Maret 2013.

12 March 2014

Perbandingan Teks

Menarik sekali membandingkan teks sejarah yang ditulis oleh orang yang berbeda. Meski ini bukan hal yang baru saya temukan. Namun saya benar-benar tertarik untuk mentatatnya di sini. Mungkin sekali ini terjadi karena teks yang saya baca adalah teks sejarah yang runtutan atau kronologi perjalanannya selalu sama, sehingga ketika saya ingin membacanya dalah satu topik kecilnya, menjadi tampak sekali perbedaan itu. 

Beberapa waktu  ini, saya sedang gandrung dan tertarik untuk membaca pegalan sejarah nasional, yang selain saya baca dari teks sejarah hingga buku putihnya, tak luput pula saya membcanya dari teks fiksi yang kebetulan memiliki setting waktu yag bersamaan dengan pada saat perjalanan sejaran tersebut berlangsung. Jadilah saya melihat diorama yang berbeda-beda. Tetapi tetap menarik.

Dan dari membaca itu, saya kemudian mengetahui tujuan  para penulis sejarah itu. Pada sisi ini, buat saya menarik sekali. Ada yang berusaha untuk tidak memperlihatkan semua yang terjadi pada masa tersebut, seperti misalnya dengan cara memenggal awal, atau tengah, atau akhir perjalanan sejarah tersebut. Tentu ini sebuah cara untuk mencapai tujuan yang bisa jadi ia sendiri yang mengetahuinya. Ada juga yang memang menguasai perjaanan pada sisi yang berbeda sehingga 'laporan pandangan mata'nya menjadi berbeda pula. Meski tetap memiliki titik kebersinggungan.

Bahira

Akan halnya dengan  bagian kisah yang ini. Ini adalah kisah yang jauh menjadi menarik ketika saya melihatnya dari buku yang berbeda. Dari buku yang ditulis oleh seorag yang asli Indonesia, dengan dua buku yang dialihbahasakan. Ketiganya menarik. Dan karena hanya pada satu titik yang saya coba ihat, maka dari dinilah saya benar-benar dapat menikmati apa dan bagaimana para penulis tersebut memaparkan kepada saya tentang sebuah peristiwa.

Pada satui titik ini pulalah saya dapat belajar tentang bagaimana penulis mengutarakan dengan gaya bahasa, atau dengan ketelitian, atau kehati-hatian sesuatu yang dia pelajari dari bahan riset kepada saya melalui tulisan di buku.  Dan meski bukan buku baru, tetapi informasi yang ditorehkan dalam narasi tersebut membuat saya merasakan adanya jarak waktu yang tidak begitu lama. 

Dari satu titik itu juga, saya dapat belajar tentang kejujuran. Karena ada penulis yang benar-benar merangkai hasil temuannya dalam kalimat-kalimat yang dia susun di dalam bukunya itu. Tidak terlalu banyak kata atau kalimat yag dibuat penulis dalam mengetengahkan informasi tersebut kepada saya.

Setidaknya itulah yang saya dapatkan dari beberapa halaman buku yang mampu saya baca beberapa waktu belakangan ini. Tentu, antara lain ini karena saya membaca sebuah titik dari buku yang berbeda. Itulah yang dalam catatan ini saya sebut sebagai 'perbandigan teks'.

Jakarta, 12 Maret 2014.

11 March 2014

'Membangun' Anak Tangga

Untuk istilah anak tangga bagi sebuah perjalanan kesuksesan seseorang, saya mengambilnya dari kolumnis asal Yogyakarta, Cak Nun. Dan saya merasa cocok serta pas menggunakan frasa anak tangga ini, untuk memberikan gambaran kepada seseorang yang berangkat menuju keberhasilan dalam karir. 

Itu juga yang saya saksikan dengan orang-orang yang berada di sekeliling saya. Termasuk diantaranya adalah teman-teman saya. Mereka begitu sibuk dengan agenda pengembangan dirinya. Tidak saja dengan menempuh sekolah dan kuliah untuk jenjang yang lebih tinggi, dan di tempat yang prestisius, tetapi juga pengembangan diri di lokasi non formal, atau bahkan dengan cara swadaya yang antara lain dengan membaca.

Aka adanya situasi yang demikian itu, saya merasa mendapat vibrasi positif dari mereka itu. Dan itu saya lakukan sesuai dengan apa yang saya bisa lakukan. Meski sejengkal, semangat itu menjadi bagian penting dalam ikut serta mengalir.

Kalau ada motivator yang mengatakan bahwa, sukses berangkat dari mimpi, barangkali itulah yang teman saya yakini,  jalani, dan perjuangkan. Misalnya, sebagaimana yang saya selalu lihat, dia selalu mempersiapkan diri untuk selalu sibuk dengan hal-hal yang berbau pengembangan diri. Juga selalu menjadi bagian individu yang begitu on time serta full time dalam mengemban tugasnya. Etos kerja inilah yang diyakininya sebagai bagian inheren dari ketercapaian apa yang ingin di raihnya di masa-masa berikutnya.

Sikap, keyakinan, dan etos kerja yang seperti itulah, yang menjadikannya sebagai anak tangga bagi ketercapaian mimpinya. Itulah yang saya maksudkan sebagai 'membangun' anak tangga.

Benar saja, ketika kami bertemu di beberapa tahun berikutnya, ia telah berada di suatu tempat kerja yang memiliki beban tugas lebih banyak. Hingga terus berkelanjutan. 

Mimpi Tinggalah Mimpi

Bagaimana dengan teman-teman lain yang juga punya mimpi menjadi apa yang diingini tetapi dalam mengejawntahkan tugasnya sehari-hari tidak melakukan sebagaimana dengan teman saya yang benar-benar melakukan tahapan 'membangun' anak tangga? Ya itulah yang terjadi. Mimpinya hanyalah tinggal mimpi. Karena pada realitanya kawan saya ini justru bukan semakin mendekat dengan apa yang diingininya, akan tetapi justru semakin menjauh dari apa yang diimpikanya. 

Jakarta, 11 Maret 2014.

09 March 2014

Komputer sebagai Fesyien

Belakangan ini saya mulai teracuni dengan istilah fasyien untuk pengguna komputer. Baik tablet atau lap top. Apa yang saya maksudkan dengan komputer sebagai fasyien? Ini jarena ada beberapa teman yang saya benar-benar kesulitan berkomunikasi dengannya kecuali dengan teleponan atau SMSan. Padahal di lokasi kerjanya terhampar alat komunikasi yang memungkinkannya untuk berhubungan dengan lingkungannya secara cepat, efektif, dan murah. Selulernya sendiri saya pastikan jika tidak menggunakan teknologi Android atau jaringan BB. Tetapi ya itulah kenyataannya. Seluler yang smart pun tidak mereka maksimalkan sebagaimana fungsi bawaannya.

Pada titik inilah kemudian kami berpikir adanya dua kemungkinan. Kemungkinanan yang pertama adalah ketidak mauan para pemegang smartphone itu untuk membeli paket internet yang ditawarkan. Alasan ini bisa jadi karena keterbatasan dana. Tapi dengan posisinya di lembaga yang dipimpinnya, apakah kemungkinan tersebut layak untuk saya kedepankan?

Kemungkinan yang kedua adalah karena adanya jarak antara kompetensi diasebagai pengguna dengan  seluler atau peralatan komputer yang ada dan dimilikinya. Kemungkinanan ini tidak lain karena masalah kegagapan teknologi. Meski tersedia tetapi tidak digunakannya.

Dan ketika datang kepada saya seorang teman yang bergerak di bidang perkomputeran, ia menyampaikan bahwa  ada sebagian besar orang, uatamanya yang sejak awal adalah mereka yang tidak mau ikut serta dalam kegairahan dalam menggunakan dan menikmati perkembangan teknologi komputer termasuk di dalamnya adalah jeringan internet.

Jangan ditanyakan kepada mereka bagaimana membuat deretan angka dari sebuah data menjadi deretan informasi yang mempu memberikannya pandangan bagaimana yang akan terjadi di kemudian. Ini karena ketidak mampuannya menyusun angka-angka tersebut dalam format apapun di dalam komputernya. Demikian pula dengan presentasi.

Hal ini, salah satunya, karena selama ini mereka dininabobokkan dengan semua bantuan yang begitu membuatnya merasa nyaman. Tampil sebagai presenter tanpa harus melakukan persiapan dari pikiran dan keterampilannya sendiri. Inilah bentuk rasa percaya diri yang semu. Kelihatan gagah dan pintar di depan, padahal tumpul dalam mengasah keterampilan membuat, meramu, dan mengutak-atik alat teknologi.

Karena mereka adalah pemilik alat-alat teknologi canggih tersebut namun buka sebagai pengguna yang aktif, menyebabkan alat genget yang dimilikinya hanya difungsikan sekitar kisaran 30 %. Inilah posisi yang oleh kawan saya sebut sebagai fasyien. Alat dan perlengkapan yang dimiliki dan ditentengnya, apapun bentuk dan ragamnya, tidak lebih baru sebagai fasyien.

Jakarta, 9 Maret 2014.

07 March 2014

Move On...

"Pak Agus, Dea itu belum juga move on Pak..." begitu kalimat yang saya dengar dari seorang remaja putri kelas IX, yang adalah peserta didik kami di sekolah. Sebuah kalimat yang sesungguhnya menjadi pemberitahuan kepada saya dan sekaligus meledek temannya yang ada di sampingnya pada saat mereka berdua bertemu saya di tangga keluar sekolah. Seperti gaya remaja biasanya, maka kalimat itu segera menjadi bahan diskusi yang berbau kalah menang.

Apa sesungguhnya yang mereka maksudkan dengan move on itu? Dari informasi berikut yang saya dapatkan, bahwa anak yang dipanggil Dea itu sedang putus dengan cowok yang disukainya. Namun status putus tersebut dirasakan oleh Dea dengan berkepanjngan. Maka sahabatnya itu mengatakan kepada saya bahwa Dea belum ingin move on dari situasi putus itu.

Itulah setidaknya makna dari istilah move on yang disampaikan peserta didik saya tersebut. Bagaimana juga jika saya menggunakan istilah yang bagus itu dalam ranah saya sebagai guru? Ini karena pengertian yang saya tangkap dari istilah siswi saya tersebut benar-benar pararel.

Saya menemukan pengalaman yang sepertinya pas. Ini berkenaan dengan peristiwa yang baru saja saya alami. Move on pada tararan pengalaman saya itu saya dapat artikan sebagai berpikir ke depan. Bergerak maju. Tidak menunggu. Atau jika menggunakan bahasa Stephen R Covey dalam Kebiasaan Efektif, maka move on bermakna proaktif.

Teman di Infus

Beberapa pekan lalu, saya masuk melakukan pejalanan bersama teman-teman yang lainnya. Kami harus terhenti untuk sebuah urusan yang memang benar-benar emerjensi. Ini karena satu dari kami harus mendapatkan perawatan yang lumayan serius. Dan sebagai bagian dari peserta, maka saya menunggu instruksi dari panitia akan kelanjutan penanganan dan perjalanan. Tentunya, karena tidak ingin dirugikan oleh situasi, maka sembari menungu perawatan, saya membaringkan badan untuk mengusir penat yang bergelayut sejak kemarin malam. Jadilah saya tidur.

Namun setelah terbangun pada satu setengah jam kemudian, saya mencoba untuk mencari informasi tentang sahabat saya yang mendapatkan perawatan dari teman-teman yang menunggui di dekatnya. Dan karena tidak satupun dari teman yang mampu memberikan gambaran jelas mengenai kondisi sahabat saya yang sedang di rawat tersebut, jadilah saya diajak oleh teman yang lain bertemu dengan penanggungjawab dari penanganan sahabat saya itu.

"Tidak apa-apa. Sejauh ini perkembangannya baik. Bapak dapat membawa teman Bapak untuk melanjutkan perjalanan setelah usai dengan cairan infus itu." Jelas Ibu Dokter di ruang perawatan.

Maka dengan bekal penjelasan dokter tersebut, kami memecah rombongan menjadi dua bagian. Dan itu adalah kesimpulan setelah menunggu sekian waktu. Maka pertanyaan berikut yang lahir dari kami adalah; 

"Mengapa tidak sedari tadi kami mencoba untuk menemukan informasi tentang kondisi teman?"

"Bukankah jika informasi tersebut kami dapatkan lebih awal, maka keputusan terbaik dapat kami ambil dengan lebih cepat?"

Dan seperti pembukaan catatan saya di atas, ini semua karena kami kurang memiliki semangat untuk move on...

Jakarta, 7 Maret 2014.

Hati-Hati dengan Komentar

Dalam sebuah rubrik tetapnya, di hari Sabtu di koran Kompas, Eileen Rachman dan Sylvina Savitri menulis mengenai komentar yang tidak efektif yang dilakukan oleh pelaku yang seharusnya menjadi role model di sebuah lembaga. Karena tidak efektif, maka perilakunya itu akan menjadi mudah tersebar sebagai bentuk sikap yang kontra produktif (Kompas, Sabtu, 1 Maret 2014). Setidaknya itulah yang saya tangkap dari artikel tersebut.  Tulisan itu sendiri mengupas tentang role model.

Saya tertarik sekali dengan apa  yang dikemukakannya. Ini tidak lain karena setiap tulisan beliau selalu dapat memberikan kepada saya pengetahuan dan sekaligus pemahaman terhadap sebuah perilaku atau terminologi dari sebuah transformasi perilaku dan budaya kerja atau lembaga pada tataran praktek. Itulah sebabnya, mengapa saya selalu  menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan yang hanya hadir di koran tersebut setiap hari Sabtu.

Akan halnya pengalaman saya yang bersinggungan dengan tulisan tersebut, yang saya alami pada saat saya menyampaikan struktur baru di sebuah lembaga pendidikan, yang mana saya menjadi bagian. Maka pada saat itulah saya mendengar komentar yang sungguh mengagetkan saya. sebuah komentar yang sungguh tidak perlu dikemukakan. Karena selain negatif justru berimplikasi kepada taraf pemahaman yang kurang baik bagi yang berkomentar.

Ini karena tidak saja pada bagaimana komentar itu. Tetapi juga oleh siapa komentar  itu berasal. Dua hal yang menjadikan saya memberikan ponten amat tidak bagus untuknya. Meski ia adalah bagian dari manajemen yang merupakan bagian dari mereka yang mendapat jatah untuk menjadi lulusan megister.

Mengada-ada

Itulah komentar yang dia sampaikan di sebauh forum sosialisasi yang kebetulan saya yang harus menyampaikannya. Tentu komentar buruk itu menjadi konsumsi langsung bagi mereka yang  duduk di sekitar meja makan dimana kami mengadakan sosialisasi tersebut.

Sebuah struktur yang memang baru di lingkungan kami, yang kami adopsi dari lembaga pendidikan modern. Namun dengan mengadopsi sesuatu yang modern di lokasi atau di lembaga pendidikan semacam yang kami diamanahi tersebut,  antara lain justru mendapat komentar yang sangat tidak pantas, yang disampaikan oleh bagian dari manajemen lembaga.

Apa langkah berikutnya yang harus saya sampaikan? Maka sebuah presentasi kecil menjadi sosialisasi baru. Sebuah oresentasi yang merupakan kumpulan halaman depan dari web lembaga yang saya maksudkan. Dimana strutur baru tersebut nempel di halaman depan web sehingga apa yang kami adopsi sesungguhnya adalah sesuatu yang telah menjadi barang lama di sekolah lain.

Artinya? Komentar teman saya itu justru sebagai pembuktian bahwa tingkat pengetahuan, pemahaman, dan wawasan yang masih terbatas. So, hati-hatilah dengan komentar yang negatif.

Jakarta, 7 Maret 2014.

05 March 2014

Ada Masjid 'Dijual'

Dalam perjalanan kami dari kota Malang ke kota Batu, saya tentunya tidak tahu persis lokasinya, disebelah kiri jalan kami ada masjid yang memasang reklame untuk menjadi donatur bagi pengembangan masjid dengan pilihan kata yang memang sungguh berbeda, dan menarik perhatian para pelitas jalanan itu.

Perlu kecerdasan dan keberanian dari pengurus masjid ini untuk memasang himbauan seperti ini. Hebat!
Sebagai orang yang datang dari luar kota, realitas itu sungguh menarik perhatian kami, para rombongan, termasuk saya. Meskipun ini adalah pejalanan saya kali kedua melewati lokasi itu. Dan dengan demikian, saya telah bersiap untuk mengambil gambar dan kemudian mencoba membaca kata-kata yag tertera dalam spanduk secara lebih jelas dan teliti.

Keren. Inilah penampakan masjid yang 'dijual'.
Dalam perjalanan saya kali pertama di bulan Nopember  2013 lalu, yang tertangkap oleh mata saya saat melintas di lokasi tersebut hanyalah kalimat Masjid Dijual. Dan kendaraan yang tidak berhenti untuk memberikan kesempatan kepada kami sehingga kami menjadi lebih paham akan apa yang dimaksudkan, menjadikan saya penasaran. Apa gerangan maksudnya. Apakah benar-benar masjid itu 'dijual' ?

Maka untuk perjalanan kali kedua kemarin, dengan tidak mengurangi kenyamanan teman lain dalam rombongan, saya jauh sebelum melintas di lokasi tersebut, telah mempersiapkan kamera guna mengabadikan spanduk tersebut. 

Jadi, dengan melihat hasil jepretan saya ketika berada di atas kendaraan rombongan, saya justru menyimpulakan bahwa DKM masjid itu berani dan sekaligur cerdas! Itulah dua kata yang saya dapat belajar dari mereka. Bukankah itu baru kali pertama saya dapatkan  pengetahuan dan pengalaman sepanjang hidup saya?

Jakarta, 5 Maret 2014.

04 March 2014

Mensyukuri Anugerah di Bromo

Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk menemani teman-teman yang akan ber-rihlah ke Jawa Timur. Ini yang saya maksudkan dengan mendapatkan anugerah. Karena kesempatan ini menjadi pengalaman kali pertama bagi saya jalan keluar kota mengunjungi distinasi wisat yang memang belum pernah saya datangi sebelumnya. Jadilah itu pengalaman pertama yang pastinya menyenangkan.

Meski dalam pengalaman tersebut ada beberapa yang kami alami diluar dari apa yang kami rencanakan semua. Yang pertama adalah adanya anggota rihlah yang harus mendapat asupan dari cairan infus di salah satu RSUD di daerah Tongas, Jatim. Dan juga adanya satu dari kami yang pada hari berikutnya harus kembali ke Jakarta lebih cepat untuk menghadiri pemakaman ayahndanya tercinta yang meninggal di pagi harinya.

Namun dengan dua pengalaman yang diluar rencana kami itulah yang membuat soliditas dan sikap tanggap dari para panitia pelaksana kegiatan menjadi terlihat. Dan dengan dua kejadian tambahan itu pulalah kami menjadi memiliki tambahan ilmu dan pengalaman.

Mengintip Matahari Pagi

Inilah momen awal yang ditunggu-tunggu pengunjung di Pananjakan I. Matahari terbit!
Inilah yang menjadi destinasi paling penting dan sekaligus paling ditunggu oleh seluruh rombongan. Tidak saja pada lanskap pemandangannya yang ingin dilihat oleh semua rombongan, tetapi juga perjalanan awal dari kemunculan matahari pagi.

Rombongan pengunjung asyik berfoto ria dengan latar belakang bukit indah.
Jadilah kami dari bandara langsung menuju desa Sukapura sebagai transit terakhir bagi bus-bus wisata yang membawa kami selama keberadaan kami di Jawa Timur tersebut. Saat itu waktu masih menunjukan sekitar  pukul 02.00 dini hari. Akan tetapi, suasana pagi itu di 'terminal' Sukapura sudah sibuk, antara lain oleh rombongan kami. 

Udara tentu jauh sekali berbeda dengan asal daerah kami berada selama ini. Oleh karenanya di pagi buta itu sudah banyak penawran dari para pedagang pakaian hangat seperti; jaket tebal, kaos kaki dan sarung tangan juga tebal, kupluk untuk penutup kepala yang tebal, juga slayer.

Deretan jeep angkutan pengunjung dengan latar bukit yang penuh dengan kabut.
Toilet adalah tempat pertama yang menjadi pilihan bagi kami begitu bus selesai parkir. Jeep dengan identitas nomor sesuai dengan bagian kami masing-masing, yang oleh panitia telah ditentukan dan tertera dalam buku panduan kami, belum menjadi perhatian.

Dan ketika waktu bergerak ke pukul 03.00, jeep-jeep dengan usia lebih kurang 35 tahunan itu bergerak secara berobongan menuju lokasi Penanjakan I, yang menjadi lokasi bagi kami, seluruh pengunjung, untuk mengintip 'bangunnya' matahari pagi. Tentunya dengan berbagai alat penjepret.

Bromo

Pemandangan dataran Bromo dilihat dari tepi kawah Bromo yang ada di atas.
Melihat kawah dari Gunung Bromo, adalah distinasi berikutnya. Di sinilah kami mengalami sendiri apa yag oleh teman-teman lainnya telah lebih dahulu datang ke tempat wisata ini, yang sudah di up load ke media sosial. Naik kuda dari tempat parkir jeep hingga tangga menuju kawah Bromo PP, berfoto ria di bukit Teletabis dan juga Pasir Berbisik. 

Terima kasih untuk semua kesempatan yang sudah saya nikmati.

Jakarta, 4.03.2014.