Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

31 March 2015

Sertifikasi Guru #4; Guru Sertifikasi, Aset atau Beban?

Sebagai sekolah swasta, keberadaan siswa yang cukup dalam setiap kelasnya sesuai dengan target atau standar yang telah dibuat,  adalah sebuah gambaran nyata bagi keberlangsungan hidup sekolah tersebut. Terlebih lagi dengan sekolah swasta yang menolak untuk menerima dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, dana yang berasal dari sumbangan masyarakat, dalam hal ini melalui uang sekolah yang berasal dari siswanya, menjadi satu-satunya sumber dana mulai dari dana investasi, kepegawaian, hingga operasional sekolah secara keseluruhan.

Atas dasar pemikiran itulah maka sekolah-sekolah swasta harus mengembangkan diri untuk berbeda dalam segi kualitas. Karena hanya dengan pembeda itulah, maka masyarakat akan terus mempercayakan pendidikan putra-putrinya ke sekolah tersebut untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, berbeda dengan sekolah-sekolah lain. Konsep inilah yang kemudian melahirkan daya saing untuk setiap sekolah.

Kemampuan berdaya saing inilah yang kemudian menjadi sumber vitalitas bagi sekolah tersebut dalam mempertahankan, atau bahkan terus mengembangkan diri dalam meraih reputasi di mata masyarakat yang menjadi market-nya.

Dalam ranah pengembangan daya saing itulah maka sekolah-sekolah swasta berlomba untuk berkualitas jika memang kelanggengan menjadi tujuan. Maka tidak heran bila sebuah sekolah swasta yang mampu akan memenuhi standar sarana dan prasarana belajarnya sesuai dengan standar sekolah yang telah dibuat oleh pemerintah.

Dan bahkan, untuk meraih daya tawar tersebut, sekolah juga melirik program-program yang menjadi penarik minat bagi masyarakat pengguna sekolah. Seperti kurikulum yang berasal dari luar negeri untuk diadopsi. Atau juga usaha lain yang pada ujungnya adalah menjaga reputasi sekolah agar sekolah mampu bersaing.

Guru?

Lalu bagaimana dengan posisi guru sebagai salah satu sisi daya saing dari sebuah persaingan tersebut? Tidak bisa tidak, ia adalah bagian yang paling vital. Karena sebaik dan bahkan semewah apapun saran dan prasarana sekolah yang ada, kurikulum luar negeri yang diadopsi sekolah, tetapi semua berujung kepada guru. Karena guru akan menjadi pengguna sarana tersebut, akan mengoperasionalkan kurikulum yag diadopsi, dalam setiap interaksinya dengan para peserta didiknya.

Dan di sekolah, guru-guru yang telah memiliki latar belakang mengajarnya lebih dari belasan tahun, merekalah kelompok guru yang telah menerima sertifikat sebagai guru profesional dari pemerintah. Sebuah status yang kemudian akan mendapatkan tunjangan profesi dari APBN, yang normalnya keluar setiap tiga bulan sekali.  Dan sekolah-sekolah swasta yang telah berusia, pasti akan memiliki guru tersertifikasi sebagai guru profesional dengan presentasi lebih banyak dari komunitas guru yang ada. 

Pertanyaannya: apakah guru sertifikasi itu benar-benar profesional sebagai sertifikat yang disandangnya sehingga mereka menjadi aset bagi sekolahnya dalam menjaga reputasi sekolahnya? Atau justru kelompok itulah yang sebagian besarnya menjadi beban bagi keberlangsungan sekolahnya?

Inilah sebuah pertanyaan tidak mudah bagi setiap sekolah swasta. Dan dari sisi ini jugalah kita seharusnya berangkat untuk benar-benat mewujudkan bahwa guru sertifikasi itu bukan sekedar guru profesional dalam status sebagai sertifikat yang dimilikinya. Tetapi memang itulah yang terjadi di lapangan. Ini menjadi alasan kuat karena guru sertifikasi adalah guru yang sebagian besarnya sebagai guru yang senior di lembaganya. Maka layak pula jika kepada mereka teladan profesional itu hidup setiap harinya. Amin.

Jakarta, 31 Maret 2015.

26 March 2015

Proposal Transformasi

Suatu malam, disebuah ruang pertemuan, saya terlibat dialog dengan teman tentang bagaimana 'ruh' transformasi menjadi langkah awal yang tercermin dalam sebuah proposal kegiatan di sekolah. Pemikiran ini lahir ketika dalam setiap Permohonan Uang Muka atau PUM untuk sebuah kegiatan di sekolah mensyaratkan pembuatan proposal kegiatan yang dibuat oleh panitia kegiatan dan disetujui oleh Kepala Sekolah.

Akan tetapi, proposal kegiatan yang dibuat oleh panitia kegiatan yang berlangsung dari tahun ke tahun seperti tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas dari kegiatan yang berlangsung. Ini bermakna juga bahwa kegiatan-kegiatan yang berlangsung dari tahun ke tahun di sekolah hanya merupakan kegiatan reguler. Sebuah rutinitas yang berulang.

Apa indikasi dari pernyataan tersebut? Bagi saya, indikasi yang paling mencolok adalah bahwa rencana kegiatan yang sudah tertuang dalam proposal yang dibuat panitia kegiatan, sudah memberikan gambaran akan seperti apa kegiatan tersebut berlangsung. Bahkan, sembari berkelakar, teman kepala sekolah saya itu berkata; "Gambaran hasil kegiatan yang akan dilaksanakan saya sudah tahu Pak. Padaha kegiatan baru akan berlangsung satu pekan yang akan datang" Katanya dengan percaya diri yang penuh.

"Apa kira-kira yang dapat ibu ambil contoh dari pernyataan Ibu seperti itu?" Tanya saya meminta konfirmasi dan penjelasan lebih lanjut. 

"Karena sejak rapat pertama panitia, dimana saya ada di dalamnya sebagai peserta, beberapa masukan untuk merubah format kegiatan yang disampaikan oleh anggota panitia tidak diakomodasi Pak. Bahkan ketua panitia memberikan statmen kalau mereka tidak perlu membuat kagiatan yang melibatkan anak-anak dengan format yang beda dan aneh-aneh. Itu hanya akan merepotkan." Kata Ibu Kepala Sekolah itu. 

"Pernyataan ketua panitia itu sudah cukup buat saya bahwa kegiatan akan berlangsung sebagaimana yang berlangsung tahun lalu. Tidak ada kemauan apa lagi keberanian untuk merubah." Lanjutnya lagi.

Apa yang menjadi penjelasan Ibu Kepala Sekolah itu cukup buat saya untuk melihat bahwa dalam langkah awal sebuah kegiatan, seperti misalnya pada saat diskusi perumusan pembuatan proposal dalam sebuah kegiatan, semangat transformasi sudah dapat memberikan harapan akan adanya sesuatu yang berbeda. 

"Jika ide-ide segar diakomodasi dan menjadi format kegiatan yang berbeda dengan tahun sebelumnya, maka itu sudah memberikan angin segar bagi sebuah semangat transformasi." Jelas Ibu Kepala Sekolah itu lebih lanjut. "Maka saya hadir di forum semacam itu untuk memastikan bahwa gagasan bagus meski akan membuat format kegiatan rutin berubah, akan menjadi perhatian saya Pak Agus. Dan saya membantu panitia tersebut merumuskan proposal kegiatan lama dengan format baru yang dapat menggambarkan bagaimana bentuk operasional dari konsep yang disampaikan." Katanya lagi.

Itulah yang mereka sebut sebagai proposal transformasi di sekolah mereka. Karena sejak curah gagasan hingga kegiatan usai dilaksanakan, seluruh personal yang ada di dalamnya berhak untuk memberikan kontribusi. Sehingga ketika kegiatan dimaksud terlaksana dengan baik, itu menjadi miliki mereka bersama. Maka tidak salah bila proposal kegiatan sekolah yang mereka sebut sebagai proposal transformasi tersebut menjadi wahana dalam mengembangkan kompetensi personel yang ada di dalamnya. 

Dan saya, sebagai bagian dalam dialog tersebut, memetik pelajaran baik bagi pengembangan kualitas guru dan karyawan di sekolah dimana saya berada di dalamnya. Semoga. 

Jakarta, 26 Maret 2015.

Berpengetahuan = Berpikir Kritis?

"Begitu hebatnya Bapak itu. Bagaimana tidak, dalam satu wadah air minum, beliau menawarkan kepada tamunya air minum rasa apa yang diinginkan. Lalu beliau tuang." Kata sahabat saya berapi-api menguraikan kisahnya di suatu sore kepada kami ketika sedang menikmati waktu luang dengan berdiskusi utara-selatan atau ngalor-ngidul kalau menurut istilah jawa. Dikatakan diskusi utara-selatan karena memang topik yang menjadi perbincangan kami bebas. Boleh apa saja. Kebetulan saja ketika sahabat saya sedang menyampaikan kisahnya itu, ia sedang menceritakan pengalamannya ketika hidup masih diusia muda.

"Lalu mereka yang ingin minum soda atau teh atau kopi terpenuhi?" Kata saya penuh heran dan sekaligus terkesima dengan kisah sahabat saya itu. Dan tentunya tidak kalah semangatnya si sahabat saya ini ketika memberikan lanjutan kisahnya.

"Benar. Terpenuhi." Jawabnya dengan yakin dan sekaligus juga rasa bangga. Ekspresi rasa itu begitu jelas terlihat diraut mukanya yang begitu sumringah dihiasi dengan senyum.

"Pak Agus tidak percaya dengan apa yang saya sampaikan ini?" Sahabat saya tiba-tiba mengalihkan perhatiannya kepada saya yang kebetulan juga sebagai saksi dalam penyampaian kisah tersebut.

"Percaya itu bisa terjadi. Tetapi pasti itu bukan karena buah dari sebuah kelurusan. Saya yakin pasti bahwa itu terjadi karena izin Allah. Dan juga karena ada pihak lain yang ikut serta dalam kejadian semacam itu." Kata saya biasa saja. Mungkin karena biasa saja itulah ketika mendengar apa yang disampaikan kepada kami kisah tersebut sehingga membuat sahabat saya membidik saya.

"Maksudnya?" Sahabat saya masih belum puas atas apa yang saya sampaikan. Dan itu saya sadari sebagai hal biasa saja. Karena teman lain yang ada dalam diskusi tersebut semua enjadi terkesima akan kompetensi si Bapak yang menjadi pusat kisah sahabat saya tersebut. Sedang saya tanggapannya datar.

"Karena dalam sejarah yang saya baca, tidak ada Nabi dan sahabat-sahabatnya memiliki kompetensi yang ditampilkan di ranah publik dengan begitu enteng sebagaimana cerita barusan. Pertanyaan saya kepada Anda; Siapa yang menjadi anutan dalam kita mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat nanti?" tanya saya kepada semua yang ada.

"Ya tentu dan pasti Nabi kitalah. Bukan Bapak yang ada di cerita itu?" sambut teman saya yang lain yang juga ada di dalam forum tersebut.

Diskusi masih berlanjut. Tapi ada hal yang membuat saya menjadi yakin bahwa hafalan dan pengetahuan tentang sesuatu yang dimiliki seseorang, kadang belum membuatnya menjadi pemikir kritis. Mungkin...

Jakarta, 26 Maret 2015.

25 March 2015

M. Assad: Sukses sebagai Perjalanan

Selasa, 24 Maret 2015, saya beserta anak-anak SMP,  di ruang serba guna sekolah, menyimak dengan tekun apa yang menjadi visi dan misi tokoh muda, Muhammad Assad, M.Sc., yang antara lain menulis buku 99 Hijab Stories. Kegiatan ini berlangsung dalam rangka menginspirasi anak-anak SMP di Special Event yang bertema Moslem Fashion Week

Banyak cerita dan kisah yang disampaikan untuk menginspirasi. Juga pertanyaan yang disampaikan anak-anak, seperti apa misalnya tentang apa saja kunci sukses? Bagaimana menghadapi jatuh dan bagaimana usaha untuk bangkit lagi?
M Assad, ketika berbicara di hadapan anak-anak didik kami.
Dalam uraiannya, Muhammad Assad memberikan penjelasan bahwa yang dinamakan  sukses itu bukanlah sebuah tujuan. Sukses adalah sebuah perjalanan. Maka menjadilah pribadi yang memiliki ‘nilai’ yang baik sehingga dirasakan bagi orang banyak  yang ada di lingkungannya. Kejarlah sukses dunia dan akherat! Semoga. Amin.

Jakarta, 25 Maret 2015.

24 March 2015

'Cerdas Pendengaran'

"Pak bagaimana saya dapat melakukan apa yang Bapak sampaikan itu semua kalau program yang Bapak susun itu tidak ada yang menyentuh kami, atau setidaknya saya." Demikian seorang teman guru menyampaikan pendapatnya di sebuah forum diskusi yang kebetulan saya ikut serta hadir di dalamnya. Kata-katanya terasa cerdas dan berbobot. Saya mencoba mencerna saja kata-kata itu. Sebagaimana kata-kata lain yang bergantian mengudara di ruangan diskusi guru tersebut.

Diskusi tetap berlangsung setelah pertanyaan dan pendapat yang disampaikan mendapat jawaban atau penegasan dari para nara sumber. Termasuk juga pendapat yang sudah saya kutip di atas. Mendapat jawaban yang baik menurut saya. Walau terus terang konteks dari makna yang tersembunyi itu tetap bukan menjadi pemahaman saya.

"Bapak dan Ibu sekalian, jangan pernah kita untuk naik kelas, untuk meningkatkan daya saing diri kita sendiri, harus bergantung dari program atau uluran tangan lembaga atau orang lain. Konsepkan bahwa daya saing kita di masa depan adalah hasil dan buah dari jerih payah kita hari ini. Juga jangan sampai ketika kita menunggu kesempatan program pengembangan itu tidak datang-datang, tetapi justru kitalah sebenarnya yang paling banyak menikmati program pengembangan dari lembaga tersebut?"

Jawaban itu mengalir begitu saja. Penggalan kalimat pertama saya setuju sekali. Bukan karena memang begitu konsep yang seharusnya. Tetapi juga masuk akal sehat saya. Namun penggalan kalimat yang kedua atas jawaban itu, saya tidak atau setidaknya belum faham konsepnya.

"Itu karena Ibu yang bertanya tersebut adalah guru yang selama ini mendapat tugas dari sekolah untuk mendampingi peserta didiknya ke luar negeri." Jelas teman diskusi saya yang berada di satu atap dimana si penanya tersebut bertugas sehari-hari sebagai guru.

"Jadi jawaban tersebut justru mengenai pada apa yang sedang di ungkapkan tersebut. Tetapi kalau telinganya juga cerdas menangkapnya." Lanjutnya.

Saya hanya diam saja. Karena saya memiliki konsep pengembangan diri pada diri saya sebagai bekal untuk meningkatkan daya saing saya adalah mulai dari diri saya sendiri, sekarang juga, dan awali pengembangan itu dari yang paling mungkin dilakukan!

Jakarta, 24 Maret 2015.

Bersih dan Sekaligus Santun

Pagi ini, Sabtu, 21 Maret 2015, melalui berita on line saya disuguhi berbagai judul berita yang mengulas sosok pemimpin yang nampaknya  bersih dan tegas tetapi sering mengeluarkan kata kasar. Sebagiannya mungin ada yang memaknai bahwa kata-kata tersebut  bukan kasar, tetapi tegas. Apapun kata-kata yang terlanjut terucap itu telah masuk dalam ranah sosial, misalnya saja yang berada di saluran tivi, maka kita sebagai warga yang berada di depan tivi tentu akan tahu kata-kata yang dimaksud. Bahkan kita pun dapat menyimpan kata-kata yang terucap sekaligus bentuk ekspresi yang mengucapkanya dalam file. Karena semua itu sekarang ini memungkinkan untuk dilakukan.

Catatan saya ini bukan akan mencatan bagaimana dan seperti apa kata-kata pemimpin yang diindikasi bersih dan jujur serta tegas itu. Tetapi akan melihat bagaimana kita belajar dan menyerap apa yang ada di lingkungan sekitar kita sebagai sumber belajar. Dan kita yang saya maksudkan bukan saya saya dan Anda yang telah baligh usianya, tetapi semua kita yang dapat mengakses berita yang ada di udara kita masing-masing tanpa dibatasi usia dan jenjang pendidikan terakhirnya. 

Bahwa apa yang tertangkap oleh telinga dan mata, yang berasal dari lingkungan manapun itu telah masuk dalam kepala kita untuk dilakukan proses selanjutnya. Dan itulah yang oleh sebagian pendidik sebut sebagai kurikulum masyarakat. Yaitu kurikulum yang memberikan pengaruh kepada kita untuk sebagai wanaca saja, atau bahkan ada yang mengkloningnya. Menirunya untuk kemudian berlanjut sebagai perilaku. Maka lahirlah perilaku pongah. Jadi sudah bukan lagi sekedar pada tataran perilaku sombong atau angkuh saja, tetapi lebih dari itu, pongah. Sebuah kata yang pernah saya dengar dari Bapak Mantan Bupati Solok, dan Gubernur Sumatera Barat, serta juga mantan Menteri Dalam Negeri Indonesia.

Santun

Atas dasar catatan sekelumit itulah saya justru sedang merindukan seorang pemimpin yang jujur atau bersih, juga tegas dan komitmen dalam apa yang pernah disampaikan kepada kami semua sebelum menjadi pemimpin, dimana langit pernah mencatatnya, namun sekaligus ia adalah sosok yang luar biasa santun.

Semoga.

Jakarta, 21-24 Maret 2015.

20 March 2015

Jujur Paripurna

"Pak, minta info ya, apa yang seharusnya menjadi langkah kita pada posisi seperti ini?" Begitu permohonan salah satu anggota Satpam sekolah kepada saya di suatu pagi ketika kedatangan tamu yang bertanya tentang alamat seseorang. Lalu kami sedikit berdiskusi tentang persoalannya kepada mereka.

"Mohon maaf bahwa kita tidak mungkin memberikan bantuan. Mengingat ini persoalan ayah dan Ibunda peserta didik. Jadi sekolah berkewajiban untuk tidak memberikan bantuan kepada pihak ketiga." Begitu jawaban saya kepada Satpam tersebut untuk menjadi pijakan ketika ia harus bertemu dengan seorang tamu istimewanya.

Anehnya, beberapa waktu setelah berlalu, datang kepada saya guru untuk menyampaikan informasi bahwa ayah dan ibunda anandanya sudah menyelesaikan semua kewajiban dan persoalan, dengan status seperti itu maka mereka tidak merasa kawatir jika ada tamu istimewa ke sekolah anandanya untuk mencari-cari informasi. Ternyata? Semua adalah langkah menghilangkan jejak buruk yang ada di belakang. Tujuannya tidak lain adalah menutupi apa yang memang sesungguhnya terjadi.

Dan ini, menjadi pembelajaran yang lain buat saya dari sebuah perjalanan kehidupan yang selalu saya jalani bersama teman-teman saya yang baik. Harapan saya dan teman adalah lahirnya sebuah kesadaran bahwa; mendidik anak itu adalah bagaimana orangtua mengelola kehidupan keluarganya sehari-hari secara apa adanya. Itulah jujur yang paripurna.

Jakarta, 20 Maret 2015.

'Simpanan' Sebatas Angan

"Apakah masih bisa diundur hingga 10 hari ke depan ya Pak? Mengingat proyek saya sudah gol semua tetapi hanya kesulitan dalam pencairan dananya. Mudah-mudahan dalam sepuluh hari ke depan dana-dana saya sudah cair dan dapat segera menunaikan semua tugas saya yang masih menggantung." Kata seorang Bapak kepada seorang Bapak yang lain, yang selama ini telah berkontribusi dalam kelancaran transportasi anandanya.

"Ketika mendapat pesan seperti itu saya benar-benar bingung Pak. Mau apa lagi jawaban saya untuk Bapak itu. Bukankah kata-kata saya sebelumnya benar-benar telah jelas dan sangat mudah dimengerti?" Bapak itu mengadukan kapada saya suatu siang di halaman sekolah.

"Maka setelah menghitung-hitung berapa besar kontribusi yang telah saya berikan kepada Bapak itu dan keluarganya sejak tahun pelajaran yang lalu, maka saya bertekad untuk berani mengatakan tidak." Kata Bapak itu dengan raut muka yang tentunya tidak bahagia. Karena sebagai seorang pengemudi, mendapat langganan adalah sebuah anugerah. Dan anugerah itu selalu terbayang sebagai simpanan kelak ketika ditunaikan. 

Nyatanya? Simpanannya itu belum juga ditunaikan. Maka tidak ada kata lain selain mengatakan tidak. Meski masih ada janji baru, yaitu mundur sepuluh hari. Itulah yang akhirnya saya bilang kepada Bapak itu bahwa simpanannya masih sebatas angan. Semoga kelak dicukupkan Allah.

"Amin. Terimakasih Pak Agus."

Jakarta, 20 Maret 2015.

Bicara tentang Konten yang tak Difahaminya

Kami datang di ruang rapat hanya lima menit sebelum jadwal rapat, sebagaimana undangan yang kami terima kemarin siangnya. Berdua. Saya mewakili pihak yang menjaga secara operasional sekolah. Dan seorang yang menjadi atasan saya di yayasan, dimana kalau dalam struktur organisasi adalah sebagai pengelola sekolah. Ruang rapat berada di sebuah gedung bertingkat-tingkat yang kalau dilihat dari luar terlihat mentereng. Sedikit berbeda dengan apa yang ada di dalamnya. Mulai dari toilet dan rupa-rupanya.

Jangan kaget. Karena apa yang saya lihat pada saat rapat terakhir itu, ruangan sudah relatif rapi. Sekat-sekat ruang kerja para karyawan terlihat dan tertata rapi. Meski di setiap meja kertas-kertas, nampaknya dokumen penting, masih menumpuk. Tetapi yang paling menonjol selain dari penataannya adalah lenyapnya bau rokok dari ruang rapat. Pendek kata, apa yang saya alami dalam ruangan tersebut masih belum sinergi 'wah' nya dengan tampilan gedung tersebut dari luar.

Rapat dimulai setelah 45 menit jadwal dalam surat undangan yang kami terima. Artinya terlambat. Sebagai orang yang berasal dari luar institusi, kami berdua menunggu dan hadapi saja apa yang akan berlangsung. Dan, antara lain, kami melihat dan menonton sekaligus bagaimana gaya bicara yang mendekati duplikasi sebagaimana gaya bicara pemimpin mereka ketika diwawancarai.

"Begini saja Pak Ketua Rapat, kalau memang lembaga ini sudah tidak bisa atau tidak sanggup mengelola aset yang kita punya, mungkin yang lain masih banyak yang mampu dan sanggup mengelolanya." Kata seorang peserta rapat dengan gaya bicara yang pintar.

"Begini Bapak dan Ibu semua, apa yang kita lakukan bersama Bapak-Bapak ini berlandaskan kepada nota kerjasama. Jadi kita harus melihat dengan cermat sumber hukum yang ada ini. Jadi bukan sanggup atau tidak sanggup." Pemimpin rapat mencoba menengahi.

Kami diam dan menunggu kesempatan yang akan diberikan untuk mengemukakan pendapat. Dan sementara kami menunggu kesempatan yang diberikan itu, saya mengambil pelajaran, jangan asal bicara kalau konten yang akan kita bicarakan kosong. 

Pendek kata, rapat itu berlangsung hingga 120 menit kemudian dengan pola bicara yang sebagiannya tidak sadar konten apa yang dibicarakan. Padahal orang-orang yang berada di ruang rapat tersebut sedang mengundang kami untuk diajaknya berdiskusi tentang apa yang seharusnya kami lakukan. dan mereka adalah representasi pemimpin mereka?

Jakarta, 20 Maret 2015.

19 March 2015

Benar-Benar 'Kesing'

Saya pernah menuliskan catatan dari dialog antara saya dengan tukang bajaj sepulang dari sebuah lokasi di Pondok Indah beberapa waktu lalu. Dan dalam dialog tersebut si tukang bajaj mengungkapkan pendapatnya bahwa dewasa ini kelakuan pengguna jalan telah sama saja. Dia sesungguhnya ingin menyatakan bahwa perilaku menyodok antrian saat kendaraan harus antri karena lampu lalu lintas atau karena galian kabel, bukan menjadi monopoli pengendara kendaraan plat kuning saja. Bahkan kendaraan plat hitam pun juga. Dan dilalahnya, pas kami sedang asyik bicara pada tema seperti itu, ada kendaraan 4 X 4 yang memotong antrian kami melalui bahu jalan. Jadilah komentar si tukang bajaj saya itu : "Tu kan Pak, baru saja saya selesai ngomong, Bapak sudah melihat buktinya kan? Jadi kelakukan plat kuning dan hitam kan sama saja. Yang embedakan kami hanya 'kesing'nya!".

Itu adalah catatan saya ketika berdiskusi dengan si tukang bajaj. Lalu bagaimana catatan saya yang lain yang senada dengan hal yang saya temui itu? Tidak lain adalah perilaku buruk, yaitu dengan nebeng untuk mendapat donasi dengan cara mengakali teman kerjasamanya, yang dilakukan secara berulang. Anehnya, orang yang saya kenal itu adalah sosok yang sehari-harinya tidak bisa naik kendaraan umum semacam taxi atau naik sepeda motor. Tetapi masih mengantar anaknya ke sekolah dengan kendaraan pribadi (?). 

Artinya, tidak akan mengira orang yang baru kenal dengannya memiliki pendapat bahwa orang tersebut layak untuk dikasihani. Karena apa yang dia kenakan dan lakukan dalam menjalani hidupnya layak masuk dalam kelompok super mapan. Tetapi saya dan teman-teman yang mendapat aduan akan sisi yang berbeda tentang orang tersebut, benar-benar geleng-geleng kepala dengan apa yang dilakukannya.

Bahwa ia harus berpindah armada angkutan yang satu ke armada angkutan lain karena apa yang orang tersebut lakukan dan komitmenkan benar-benar hanya omong kosong untuk durasi sekian bulan (?). Juga beberapa orang lain yang bertanya tentang keberadaan orang tersebut selama ini, sesuatu yang pasti saya tidak tahu menahu, karena sudah sekian ribu juta rupiah belum dikembalikannya (?). 

Dan atas kenyataan itu, saya benar-benar yakin bahwa 'kesing' telah menjadi topeng yang relatif sempurna bagi orang tertentu. 

Jakarta, 19 Maret 2015.

Terseret oleh Praktek Sosial

Saya benar-benar merasa sumpek dengan apa yang sedang berlangsung di ranah sosial kita. Dan koran Kompas hari Rabu, 18 Maret 2015, telah memuatnya dalam beberapa rubrik. Yang satu dengan lainnya terasa membuat saya bodoh serta terasing.
Bukankah kita Bangsa Pedagang? Apa yang akan diekspor? Alat tulis isi 3 warna saya ternyata made in luar!
Menunggu efek baik dan kelahiran zaman baru dari formula ini.
Jangan sampai batu yang menjadi pihak yang dipojokkan.

Jakarta, 19 Maret 2015

Bertanya tentang Praktek Sosial

Pada sebuah dialog di sekolah, ada teman guru yang mengeluhkan praktek kehidupan yang sepanjang hari berada di depan kamera sehingga mereka menjadi bagian yang selalu ada dan hadir di ruang tamu kita. " Itu adalah bagian pola dan sisi kehidupan yang lambat tapi pasti akan menjadi budaya peserta didik kita. Ini tidak lain karena kehidupan yang tersaji dalam sinetron fiksi serta berita realiti, adalah bagian dari kurikulum kehidupan." Demikianlah lebih kurang dari apa yang disampaikan.

Dan dengan apa yang disampaikan oleh teman itu, tidak ada yang saya sangkal kebenarannya. Karenanya, saya setuju. Bahwa realitas hidup yang anak didik kita, atau juga anak kita sendiri di rumah adalah bagian dari 'peserta didik' hal itu. Kita tidak akan dapat menghindar dari kenyataan itu sekalipun mengisolir diri.

Kenyataan tersebut sekaligus memberikan gambaran kepada kita sebagai orangtua di rumah dan guru di sekolah, bahwa tugas yang diemban dalam mendidik anak-anak adalah penuh tantangan. Untuk itu perlu  bagi kita semua tambahan semangat.

Karena hal-hal yang dikemukakan tersebut adalah apa yang benar berada di luar otoritas kita sebagai guru yang berada di sekolah dan di kelas. Dan akan menjadi penyakit bila kondisi yang berada di luar genggaman serta kuasa kita itu terus menerus menjadi rujukan ketidaksemangatan kita untuk berinteraksi secara positif kepada para peserta didik.

Terlebih lagi jika hal tersebut justru meracuni semangat yang terlanjur menipis. Maka akan membuat keyakinan yang menebal tentang eksistensi pembelajaran moral selama interaksi guru-siswa di sekolah. Dan pada titik inilah saya ingin mendorong diri saya untuk menjadikan apa yang berada dalam wilayah serta otoritas sebagai bagian utama bagi penegakan apa yang berada di luar tampak porak poranda.

Dan semangat serta dorongan untuk melaksanakan amanah itulah yang selalu menjadi bagian penting dalam memicu andrenalin. Pada ranah inilah saya ingin sekali mengejawantahkan apa yang teman-teman guru sebut sebagai 'praktek sosial' yang positif. Membangun mimpi akan lahirnya sebuah praktek sosial yang bebas teriakan, pencelaan, mempengaruhi untuk hanya satu pilihan, dan lain sebagainya yang bermuara kepada keburukan. Semoga. Amin.

Jakarta, 8-19.03.2015.

04 March 2015

Kreativitas Mencari Nafkah

Kunjungan saya kali itu bersama dengan teman-teman zaman sekolah dulu sungguh banyak sekali memberikan manfaat buat kami selain memang tujuannya kebersamaan. Dan manfaat bagi saya sendiri atas kepergian saya dan teman-teman itu disebuah kota yang sekarang sedang in menjadi tujuan wisata bagi penduduk Jakarta selain kota Bandung, harusnya juga dibarengi kreativitas Pemerintah Daerahnya dan juga seluruh warganya untuk 'sadar wisata'. Ini karena sejak kunjungan saya kali pertama hingga kunjungan terakhir saya kalai itu, kota yang saya kangeni dengan kuliner dan batiknya itu sedikit terganggu oleh dua hal penting; PKL dan pengemis.

Dan tampaknya, semakin hari, dua hal yang lumayan sekali membuat image sebuah daerah menjadi kumuh dan seakan tidak memberikan sambutan yang baik buat kami para pengunjungnya itu, semakin bertambah dalam berkontribusi terhadap ketidaknyamanannya. PKL dan para pengemis, terus tumbuh dan berkembang di daerah tujuan yang akan kami kunjungi, meski tiket masuk daerah wisata tersebut naik sesuai dengan harga ke lokasi 'indah' dan 'bermakna' lainnya. Sungguh dua hal yang benar-benar mulai mengusik. PKL dan pengemis seperti dua komoditi yang tidak tersentuh oleh pekerjaan pemerintah daerah. Mengherankan!

Walau demikian, ada juga cara mengais rezeki yang tergolong kreatif. Seperti ketika kami tiba di sebuah lokasi wisata, dimana banyak sekali 'juru foto' yang selalu mengincar keberadaan kami. Ini mengingatkan saya ketika saya bersama anak-anak saya datang ke sebuah gedung disaat kegiatan perpisahan sekolah.  Para 'juru foto' itu berlomba menemukan sudut jepreten paling asyik. Mungkin karena melihat kami yang datang secara berbondong mengenakan pakaian seragam sehingga para 'juru foto' itu mudah sekali dalam mengenali kami. Tapi ini model dan cara mencari rezki yang tidak mencitrakan aura negatif bagi pengunjung di sebuah lokasi wisata.
Kreatif dan sungguh-sungguh. Hebat! Semoga berkah. Amin.

Dan ketika kami berada di sebuah distinasi berikutnya, ternyata foto-foto kami yang tadi di jepret sudah ada di halaman depan dimana kami keluar. Dan cukup dengan lima ribu rupiah, kami sudah memiliki dokumentasi sebuah  foto. Sebuah kenangan yang sekarang jarang kami punyai selain dalam bentuk digital.

Jakarta, 4 Maret 2015.