Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

29 September 2016

Yakin itu Nalar

Beberapa harii ini kita disuguhi drama tengah keyakinan dan akal. Drama ini tidak tanggung-tanggung, karena pemerannya antara lain adalah tokoh-tokoh yang ada di peringkat nasional. Dan bahkan sekolahnyapun juga tidak cukup hanya ada di lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Jadi memang spektakuler gendeng. Tentunya jika diukurnya dengan jalannya akal yang liner.

***

Satu: Oh... jadi orang ini sudah tenar dalam melipatgandakan keberadaan uang sebelum kasusnya terbongkar belakangan ini?
Dua: Benar. Ini Pak youtube nya. Sebuah praktek yang mempertunjukkan uang yang keluar.
Tiga: Pantas. Tapi bagaimana mungkin orang kapasitas nasional kepincut jadi santri?
Dua: Mungkin tidak untuk ikut serta sebagai peserta yang menggandakan Pak.

***


Tiga: Wah kalau itu benar terjadi Indonesia bisa inflasi ya.
Dua: Bener. Bahkan kalau memang memungkinkan, Peruri tidak perlu lagi. Justru penghematan anggaran kalau dihitung secara nasional. 
Satu: Masalahnya apakah uang itu bisa dibawa ke bank untuk menjadi tabungan?
Dua: Dalam beritanya tidak ada yang menyampaikan ini.

***


Dua: Ini apakah bisa dilakukan oleh manusia dengan seperti itu ya Pak?
Satu: Bisa. Karena saya melihat ada yang menjadikannya dalam tontonan sulap. Hanya memang perlu pembuktian apakah uangnya laku untuk menjadi DP cicilan mobil atau rumah?
Tiga: Tapi, dalam video di youtobe meyakinkan Pak?

***

Satu: Kalau sudah bicara yakin, saya justru tidak akan meyakini. Karena kalau memang benar dan uangnya laku, pasti uang dia sendiri yang akan digandakan. Kerabatnya. Baru kemudian kita yang menjadi tetangganya.
Dua: Masuk akal itu Pak.
Tiga: Mungkin adakah kalau kita komparasi dengan Nabi kita? Supaya menjadi yakinnya kita semakin yakin?
Satu: Nah itu yang dalam sejarah saya belum pernah dengar atau baca.
Tiga: Wah... Dia ini justru lebih hebat dari Nabi?
Satu: Benar logika itu. Dan itu menjadi sangat tidak mungkin untuk masuk di tataran yakin. Karena tidak nalar.

Jakarta, 29 September 2016.

13 September 2016

Wawancara Siswa

Siang itu saya yang sedang duduk menemani anak kelas 2 sedang melaksanakan kegiatan pembelajaran di plasa dihampiri oleh dua siswa kelas lima. Mereka berdua datang kepada saya sembari menenteng alat tulis dan papan tulis jalan.

"Apakah Pak Agus bersedia untuk diwawancarai?" Kata salah satu dari anak itu.

"Boleh sekali." Kata saya sembagi mengalihkan pandangan mata kepada mereka berdua yang sudah berada di hadapan saya. Dan setelah saya lihat mereka hanya membuat lima pertanyaan kepada saya.

"Apakah kalian berkelompok ada saat melakukan wawancara ini?" Tanya saya. Sebelum mereka berdua yang datang kepada saya, telah datang beberapa anak. Dengan pertanyaan yang relatif sama dan dengan jawaban yang mengutarakan pengalaman 'dahsyat ' atau penuh hikmah bagi saya pribadi, yang pernah saya alami. Jadi kehadiran mereka berdua saat itu tidak lagi menjadi pertanyaan saya.

"Betul Pak Agus. Kami satu kelompok. Harusnya kami ber-lima Pak. Tapi tiga anggota kelompok kami sedang mencari nara sumber untuk dapat diwawancarai." Jelas anak itu.

"Apakah pertanyaan kalian saya dengan kelompok yang sebelumnya datang kepada Pak Agus? Kalau sama ini jawabannya." Kata saya. Dan saya kemukakan bahwa saya mempunyai pengalaman kurang enak yang terkenang selalu. Yaitu ketika saya tersesat di jalan. Dan itu terjadi sekitar tahun 1976 di Punggur, Lampung Tengah.

Namun bukan itu yang yang menjadi fokus dari kedua anak tersebut ketika mewawancarai saya. Setelah selesai saya menyampaikan jawaban atas pertanyaan mereka, mereka justru bertanya kepada saya.

"Apa hebatnya Pak dengan pengalaman tersesat itu?" Saya tentu mencoba membuat argumentasi mengapa saya tersesat menjadi bagian hidup yang tidak terlupakan? Maka saya sampaikan bahwa itu pengalaman ketika saya berusia tidak lebih dari 8 tahun. Ketika Bapak saya menitipkan saya kepada tukang potong rambut agar saya tidak pergi setelah beliau selesai memotong rambut saya. Bapak saya tidak menunggui saya karena usai menghantarkan saya ke tukang potong rambut beliau kembali ke kantornya yang tidak jauh dari Pasar Punggur. Yang pada tahun itu kendaraan yang lalui lalang hampir semuanya adalah sepeda. Beberapa saja yang merupakan sepeda motor. Dengan kondisi jalanan utama yang sudah beraspal.

Nasehat itu ternyata tidak saya patuhi. Karena saya mencoba menemui Bapak di kantornya ketika si tukang potong rambut itu sedang memotong rambut langganan berikutnya. Namun sial. Ancar-ancar yang menjadi patokan saya tentang lokasi kantor Bapak ternyata tidak terlalu jelas. Maka setelah lebih kurang 2 jam saya berjalan kaki, dan tidak juga menemui kantor Bapak, saya berinisiatif kembali menyusuri jalan yang telah saya lalui.

Namun setelah selesai saya memberikan ilustrasi bagaimana bermaknanya pengalaman tersesat jalan itu, satu dari anak tersebut menyampaikan usul kepada saya.

"Apa lagi pengalaman yang bermakna bagi hidup Bapak." katanya sembari bersiap menuliskan apa yang akan saya utarakan. 

"Loh sama seperti apa yang Pak Agus sampaikan kepada temanmu itu. Bukankah kalian dalam satu kelompok?" Kata saya kepadanya.

"Saya tidak mau sama Pak. Pasti Pak Agus punya banyak pengalaman hidup yang lain." Katanya berargumentasi. 

Saya mencoba berpikir apa kiranya pengalaman hidup yang saya miliki yang memang menjadi pelajaran dalam perjalanan hidup saya, yang dapat saya sampaikan kepada anak tersebut. Selain saya sendiri merasa bangga atas kepintaran anak itu...

Jakarta, 9-13.09.2016

06 September 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #32; Menolak Ikut Forum Diskusi

Beberapa waktu lalu saya harus kecewa terhadap apa ketidaksiapan teman-teman dalam mengikuti sebuah ajakan kemajuan yang ditawarkan oleh lembaga lain kepada saya secara gratis. Penawaran berupa forum diskusi calon pemimpin sekolah, yang mana saya benar-benar menginginkan forum semacam itu, yang pastinya akan memberikan manfaat besar bagi para guru-guru bagus di lembaga dimana saya berada untuk ikut serta dalam forum tersebut. Namun harapan saya harus terkubur satu hari sebelum hari pelaksanaan kegiatan tersebut berlangsung.

Hal ini karena pada beberapa hari sebelumnya saya telah menyampaikan berita berupa penawaran kegiatan yang dimaksud kepada para calon pemimpin sekolah di lembaga saya, untuk dapat hadir. Dan karena forum tersebut akan dihadiri oleh orang-orang prosfektif dan kompetitif bagi sekolah swasta seperti kami, maka saya berharap sekali ada beberapa teman yang dapat ikut serta.

Tampaknya, harapan saya untuk dapat mengikutsertakan teman-teman yang saya anggap memungkinkan untuk dapat menerima estafet kepemimpinan di sekolah pada tahun-tahun berikutnya tinggal harapan. Sebagaimana yang saya sampaikan di atas, maka satu demi satu dari teman-teman yang direkomendasikan datang dengan membawa argumentasi bahwa ia tidak dapat hadir dalam forum yang saya tawarkan. 

Saya mengangguk atas apa yang disampaikan mereka satu persatu. Dan saya menangkap dengan jelas apa yang sesungguhnya ada di balik argumentasi tersebut. Saya mencoba memahami alasan mereka. Sekaligus berfikir siapa lagi teman-teman guru yang layak menggantikan kami di bagian pimpinan sekolah. Tentunya sekolah yang memiliki daya saing yang kompetitif.

Saya jadi teringat apa yang dijalani teman saya di awal karir dia, di waktu usianya masih di bawah 35 tahun, sehingga sekarang ia mampu mengelola pembangunan gedung 7 lantai! Teman saya yang di usia itu telah mampu membuat orang lain iri karena dengki atas tambahan pekerjaan yang dilakukannya atas nama tugas. Teman yang orang lain jarang mampu melihatnya kalau ia tidak pernah menolak tugas yang padahal dia sendiripun tidak tahu bagaimana menyelesaikan tugas yang diberikan kepadanya.

Namun dengan jalan seperti itulah ia sekarang diberikan kapasitas untuk membangun gedung 7 lantai! Lalu bagaimana dengan teman-teman saya yang menolak untuk menghadiri forum diskusi para calon pemimpin sekolah?

Saya berpikir untuk mencari kandidat lain yang dapat saya kader sebagai calon pemimpin sekolah kami di masa depan.

Jakarta, 6.09.2016.

Menemani 'Perubahan' Guru #31; Harus Berkoordinat

Ini adalah hasil diskusi saya dengan beberapa teman yang menjabat sebagai pemimpin di unit sekolahnya masing-masing. Ada yang sudah menjabat sebagai Kepala Sekolah dan wakil lebih dari lima tahun, ada yang baru menjabat sebagai Kepala Sekolah, ada pula yang baru menjabat jabatannya beberapa bulan. Karena baru diangkat pada awal Juli 2016 lalu. Maka pada saat pertemuan dengan mereka beberapa waktu lalu, saya berkesempatan melakukan dialog dengan mereka secara terbuka dan menyenangkan. Paling tidak buat saya sendiri yang telah lama tidak berkecimpung dengan kepemimpinan di sekolah secara struktural. 

"Pak Agus, ada diantara kami yang hari ini masih sering tersengal-sengal napasnya ketika dapat tamu." kata salah satu teman di tengah-tengah waktu diskusi sedang berlangsung. Lalu kami semua berpaling kepadanya untuk mendapatkan rangkaian cerita yang sedikit utuh.

"Terutama ketika tamunya adalah teman sendiri yang menjadi seniornya di sekolah, yang menjadi bagian dari tanggungjawabnya." Lanjut teman itu dengan nada yang serius. Lalu kami sembari tersenyum-senyum ketika ungkapannya selesai dan saling pandang. Mimik tersebut seolah memberikan isyarat kepada saya bahwa beberapa teman masih menyimpan rasa sungkan ketika menunaikan tugasnya di lapangan. Dan rasa sungkan ini yang membuat teman itu harus mengatur nafas ketika menghadapi seniornya.

"Saya faham. Karena memang begitu lumrahnya. Namun jangan terlalu lama di atur oleh perasaan yang bernama sungkan. Jadi cara yang paling pas dalam menghadapinya adalah melawan perasaan itu sendiri. Tidak ada cara lain yang paling mujarab untuk menghilangkannya."  Kata saya memberikan pendapat dalam diskusi itu. Semua mencoba mencerna apa yang saya maksudkan. Saya juga menyadari bahwa pengalaman saya sendiri sangat mungkin tidak cocok menjadi jalan keluar dari teman tersebut. Namun saya ingin memberikan pemahaman bahwa sebagai pemimpin, meski perlu waktu, dan meski hanya sebagai pemimpin di unit sekolah, harus memberikan sinyal berkenaan dengan koordinat sikapnya kepada teman-teman yang dipimpinnya. Dan melawan sungkan, menurut saya adalah bagian penting dalam memberikan sinyal kepada 'masyarakat' yang dipimpinnya, adalah bentuk dari sinyal berkenaan dengan koordinat yang saya maksudkan.

Misalnya dalam hal masukan yang datang dari teman-teman senior terhadap sebuah keputusan yang sudah menjadi kesepakatan dan sudah juga tersosialisasikan dalam bentuk surat, maka masukan tentunya tetap diterima, namun tidak untuk mengubah keputusan yang sudah diambil. Maka ini juga akan menjadi bagian dari refleksi dari koordinat kepribadian sebagai pemimpin. 

Jakarta, 5-6.09.2016.

05 September 2016

Pergi ke Semarang #2; Lawang Sewu

Site-plan pembangunan jaringan kereta api yang dibuat di Belanda.
Di ambil dari diorama yang terpajang di salah satu ruangan Museum Lawang Sewu
Tidak banyak yang saya ketahui berkenaan dengan destinasi di Semarang, khususnya juga tentang Lawang Sewu. Sebuah bangunan yang dahulunya menjadi lokasi dimana para penguasa Belanda 'membangun' jaringan kereta api untuk kebutuhan transportasi. Dan meski beberapa kali saya melintas di depan gedung tersebut, baru Sabtu, 27 Agustus 2016 malam lalu saya berkesempatan masuk dan berkunjung di lokasi.
Tokoh-tokoh yang berada di balik pembangunan kereta api di 'Hindia Belanda'.
Ada terpampang beberapa rencana pembangunan jaringan kereta api yang dibuat Belanda saat itu. Baik jaringan yang direncanakan dibangun di Pulau Jawa, Madura, Sumatera, Sulawesi, juga para tokoh yang menaungi perencanaannya itu.

Tampak salah satu sisi Lawang Sewu dari halaman bagian dalam gedung di waktu malam.
Berkunjung ke Lawang Sewu yang pada awalnya adalah sebuah gedung instansi pemerintahan Belanda di Semarang, maka sekaligus juga melihat keterpaduan pembanguan sebuah kota pantai yang berada di dataran rendah, dengan udara yang terik. 

Jakarta, 5 September 2016.