Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

05 June 2011

Kejujuran dalam Hasil UN, Refleksi untuk UN SMP 2011

Keteguhan kami untuk tetap dan terus memegang kejujuran dalam pelaksanaan UN selalu diuji ketika UN masih kami persiapkan, dilaksanakan, hingga hasilnya keluar. Keteguhan ini tidak saja karena kebetulan saja motto sekolah kami adalah; jujur dan terhormat, yang selalu kami dan anak didik kami ikrarkan setiap pagi hari sebelum pelajaran dimulai. Tetapi karena kami yakin, seyakin-yakinnya bahwa, dengan menjadikan standar kompetensi lulusan (SKL) atau kisi-kisi Ujian Nasional dari BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan), yang kami jadikan sebagai peta belajar peserta didik kami dan peta bekerja kami sebagai guru di sekolah, jauh hari sebelum UN itu berlangsung, pasti akan berhasil.

Maka dari yakin itulah kami bertanya; Jadi untuk apa lagi kami harus melakukan ketidakjujuran dalam menghantarkan anak didik kami untuk sukses lulus, bahkan dengan nilai optimal, bila dengan jujurpun kami yakin bisa dapatkan itu? Inilah salah satu filosofi dasar kami untuk menghantarkan generasi di sekolah kami sebagai generasi yang jujur dan terhormat.

Karena SKL atau kisi-kisi adalah panduan bagi peserta ujian untuk menguasai apa yang akan diujikan. Dengan logika inilah kami justru dapat dengan gamblang membuat target seberapa persen keberhasilan yang kami inginkan. Logika ini juga membelajarkan kepada kami bahwa hasil Ujian Nasional hanyalah implikasi atau akibat atau konsekuensi dari ikhtiar cerdas dan keras kami.

Ketidakjujuran dalam memperoleh hasil ujian sebaik apapun, bagi kami, akan menjerumuskan kami Kepada lenyapnya percayadiri untuk yakin dapat berhasil. Juga akan menghilangkan etos kerja yang unggul pada diri kami. Dua bentuk perilaku yang justru merupakan pintu gerbang keberhasilan hidup yang sesungguhnya bagi kami dimasa nanti. Masa ketika peserta didik kami adalah penentu kehidupan diri mereka masing-masing dan lingkungannya.

Dan manakala percaya diri serta komitmen kerja keras dan cerdas yang merupakan benih bagi lahirnya etos kerja, maka berarti jalan kebohongan, ketidakjujuran, kelicikan, atau bentuk kerja yang tidak luhur lainnya, hanya akan melahirkan pola kerja atau etos kerja bobrok di masa berikutnya. Ia tidak akan berujung kepada keberkahan. Ia selalu akan melahirkan kesengsaraan dan ketidakbermaknaan hidup. Karena hidup telah teraliri oleh darah ketidaktentraman sejak dimulainya.

Hasil UN

Apa yang saya sampaikan di atas tidak lain dari kenyataan yang harus kami alami. Dimana dihari terakhir palaksanaan UN SMP pada Kamis, 28 April 2011, satu dari siswa kami memberikan testimoni bahwa jawaban yang didapatnya dari SMS adalah benar.

Tantu kami tidak percaya atas apa yang disampaikannya. Mengingat Ada 5 jenis soal UN dalam setiap ruangan ujian. Dengan dua pengawas ujian dari sekolah luar. Sehingga bilapun mendapat SMS tentu mereka harus benar-benar dituntut kepintaran juga untuk menentukan apakah kunci dari SMS tersebut cocok dengan model soal yang menjadi miliknya? Selain itu kami juga telah bersepakat bersama seluruh komponen sekolah untuk berpegang teguh kepada kejujuran. Namun itulah cerita yang tidak dapat kami percayai. Setidaknya ketika hasil UN belum dapat membuktikannya.

Dan kayakinan itupun datang bersamaan ketika kami terima daftar nilai hasil UN Kamis, 2 Juni 2011. Meski saat itu nilai masih menjadi rahasia kami, kami dibuatnya kaget, tidak percaya, dan gemes. Bahwa SMS yang semula tidak kami yakini, sedikit banyak telah membuat kami geleng-geleng kepala.

Bagaimana mungkin siswa yang sehari-hari berada di bagian tengah ke bawah, dalam nilai UN menjadi paling atas? Lalu kami berpikir, bagaiamana jika anak-anak itu nanti dipanggil untuk naik ke panggung atas 'keberhasilannya' itu saat pelepasan siswa kelas IX? Apa yang akan menjadi reaksi dari masing-masing pihak yang hadir.

Dengan kenyataan itulah saya membuat refleksi ini; Dimanakah kejujuran itu terlihat dalam hasil nilai UN peserta didik kita? Atau; Harus bagaimanakah kami berjuang mempertahankan prinsip hidup jujur dan terhormat itu dikemudian hari? Dan tanpa harus mengeluh, saya meminta semua dari kami, untuk tidak meninggalkan khittah perjuangan luhur kami. Meski udara tetap dipenuhi polusi kebohongan!

Jakarta, 5 Juni 2011

02 June 2011

Curug Cibogo, Cibodas


Perjalanan waktu telah merubah akses jalan menuju Curug Cibogo dari pintu gerbang masuk di Taman Cibodas tertata relatif baik. Meski akses jalan itu bukan merupakan konstruksi baru. Namun cukup membuat pengunjung, termasuk saya saat itu, merasakan kenyamanan saat memasukinya dan mengambil gambar sebagai kenangan.

Itulah yang saya alami saat mengunjungi lokasi wisata di Taman Cibodas yang berjarak tempuh lebih kurang tiga setengah jam perjalan dari Jakarta melalui jalur jalan tol Jagorawi, Puncak, hingga masuk di wilayah taman. Tentu dalam keadaan jalur lalu lintas ramai lancar.

Cahaya matahari yang terang tidak terasa hangat atau bahkan menyengat disini. Karena udara yang sangat sejuk membuat hangatnya matahari seperti tidak sampai di Cibodas. Saya harus berjalan lebih kurang 20 menit saja dari pintu gerbang taman. Jalan santai. Berdekatan dengan curug, terdapat pula Taman Sakura. Taman yang terlihat sangat jelas begitu kita memasuki jalan setapak menuju curug.

Namun seperti tempat wisata lain di tanah aor tercinta ini, yaitu keberadaan tempat jajanan atau warung yang beridiri baik secara legal atau mungkin ilegal, yang tidak bersinergi dengan kecantikan taman dan pesona alam yang disuguhkan. Seperti tampak pada gambar tersebut. Dimana warung tenda biru yang membuat pesona keindahan langsung lenyap begitu mata menatapnya.

Mungkinkah hal seperti ini tidak terjadi di masa mendatang saat anak atau bahkan cucu kita menjadi penguasa menggantikan kita di negeri tercinta ini? Atau mungkin justru sebaliknya yang akan terjadi? Semua bergantung kepada sejauh mana komitmen kita untuk menjaga 'tata krama' sosial yang dalam ranah ketatapemerintahan dinamakan peraturan. Mungkinkah? Semoga selalu mungkin. Amin.

Jakarta, 3 Juni 2011

01 June 2011

Di Manakah Jujur Berada?


Dimanakah jujur itu berada dalam khasanah hidup kita sekarang ini? Apakah masih berada dalam hati kita masing-masing sehingga masing-masing kita tidak mampu untuk saling mengintip? Apakah berada dalam buku catatan kita masing-masing. Apakah ada di dalam nilai ujian kita sehingga darinya akan tercermin dengan jelas pada angka-angka nilai ujian tersebut? Atau adakah jujur itu hanya tersimpan dengan apik di halaman kamus besar kita? Dimana? Bukankah jujur itu berada dalam ranah operasional kehidupan kita yang bernama amal?

Ini harus saya tanyakan karena saya merasa frustasi ketika menjadikan dan meyakini bahwa jujur adalah modal utama untuk mencapai kehebatan paripurna di kehidupan kita ke depan. Tapi dalam kenyataan hidup, jujur menjadi barang yang asing. Dimanapun di ranah hidup kita, hidup Anda, dan pastinya hidup saya. Jujur menjadi sulit kita jumpai tanpa terkontaminasi ketidakjujuran. Ia seperti menjadi satu.

Seperti hari ini dan hari-hari sebelumnya, belum selesai saya membaca halaman pertama dalam surat kabar, saya seperti mencium gelagat tidak jujur. Demikian juga dalam halaman-halaman berikutnya. Jikalau berita dalam koran atau surat kabar tersebut mempu bersaksi secara ‘live’ di hadapan kita, pasti gelagat itu akan menjadi semakin mudah saya tangkap. Dan kita semua menjadi pasti untuk memberikan ponten kepada pelakuknya.

Bahkan bukan saja ketidakjujuran itu hanya merambah di ranah politik, namun juga telah menghunjam dengan sangat dalam dan membekas dalam ranah kehidupan sekolah. Seperti juga proses pelaksanaan yang menggunakan dana atau bahkan untuk penilaian sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas.

Pendek kata, jujur, menjadi barang yang sangat langka. Dan oleh karenanya, tidak perlu kita mengharap kebaikan bagi generasi penerus kita akan menjadi lebih baik, karena sekarang saja kita telah melihat betapa tidak jujur menjadi salah satu jalan atau indikator tersembunyi dari sebuah nilai di rapot dan atau ijazah keberhasilan anak-anak kita. Sikap seperti ini bukan berarti saya pesimis melihat masa depan, tapi inilah refleksi kengerian saya terhadap apa yang  dilakukan oleh sebagian dari kita. Betapa kita telah mengharapkan sesuatu yang baik dimasa depan namun kita upayakan hari ini dengan sesuatu usaha dan jalan yang tidak baik?

Sulit, karena ketikapun kita telah bertekad untuk melaksanakan proses jujur itu selama mempersiapkan anak-anak kita tumbuh, masih ada penetrasi ketidakjujuran itu dari pihak luar kita yang  juga, sangat sulit bagi kita memproteksinya. Apakah perlu di masa mendatang kita menyita seluruh seluler siswa menjelang dan hingga akhir pelaksanaan ujian nasional?

Tapi haruskah begitu protektifnya kita untuk supaya proses jujur itu dapat berlangsung dengan baik?

Jakarta, 30 Mei-1 Juni  2011.

Terserang Penyakit Berhenti Menulis


Saya beberapa waktu kemarin tiba-tiba merasa terserang penyakit berhenti menulis. Terutama sejak pertengan bula Mei hingga hari ini, Senin, 30 Mei 2011. Penyakit yang benar-benar menyerang jiwa dan raga saya dengan parah. Dengannya, saya dibuat tidak berkutik sama sekali. Jadilah selama waktu itu saya tidak membuat refleksi tertulis di ‘buku’ saya yang manapun. Buku harian, blog, catatan, dan juga halaman tercinta ini. Semua saya biarkan kosong. Tidak tercermin darinya suasana apa yang sedang saya rasakan.

Apakah karena tidak ada kejadian yang pantas saya buat tulisan selama waktu itu? Tidak juga. Ada. Bahkan terlalu banyak jika saya menyebutnya satu persatu. Baik yang berkait dengan apa yang ada dalam diri saya atau juga yang ada di luar diri saya.

Apakah malas yang menjadi virus dari penyakit berhenti menulis itu? Tidak juga. Saya dengan tekad bulat sudah menyingkirkan sejauh yang dapat saya lakukan keberadaan virus malas itu. Walau kadang memang masih datang menghampiri saya, tapi hasil terapi yang saya jalani telah mampu menyingkirkan dan mengkarantinakan virus malas itu.

Lalu apa penyebab terserangnya diri saya ini oleh penyakit berhenti menulis itu? Tidak lain adalah data yang dapat saya percayai bahwa saya menulis hanya menghasilkan bunyi sunyi, katarsis yang tanpa memberikan resonansi pada dunia di sekeliling saya. Data inilah yang meyakinkan pada diri saya untuk tidak perlu lagi menulis. Apapun bentuk tulisan itu.

Tapi hari ini, saya mencoba untuk berpikir yang berbeda. Saya harus membuang jauh motivasi menulis saya. Saya tidak memperdulikan apakah ada atau terjadinya resonansi di sekitar saya dengan tulisan saya itu? Saya mencoba untuk tidak merasa besar atau merasa penting. Tidak juga merasa pintar, merasa lihai, atau juga marasa diperlukan dengan atau dari tulisan saya itu. Saya harus merasa biasa saja.

Saya harus merasa cukup bila ketika berhasil menulis adalah berarti saya telah beroleh pikiran yang akan melahirkan kebugaran dalam ranah kejiwaan. Sehat jiwa inilah tujuan akhir yang harus saya gapai dari kegiatan yang selama ini saya lakuan.  Itulah tujuan baru dari kegiatan saya menulis ini. Bukan untuk yang lain.

Semoga bermanfaat.

Jakarta, 30 Mei - 1 Juni 2011