Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 April 2013

Belajar Hidup Berbeda di House Family

Beberapa waktu lalu saat mempersiapkan anak-anak yang akan menjalani kagiatan Misi Budaya yang antara lain adalah kegiatan home stay di rumah tangga yang ada di kota yang akan dituju, saya memberikan bekal sedikit kepada anak-anak itu. Sebuah pekal pengetahuan dan wawasan untuk bersiap secara mental. Tentu dengan berkaca kepada pengalaman yang pernah saya ikuti beberapa tahun lalu di negara yang total berbeda, atau juga pengalaman anak saya ketika berangkat ke sebuah tempat di Victoria.

Dua pengalaman itu memang pengalaman yang benar berbeda. Berbeda dengan beberapa teman lain yang pernah tinggal di rumah orang di negeri orang namun karena keluarga yang ditinggalinya masih satu ras, maka keberbedaan itu tidak membawanya untuk benar-benar dapat mereguk kehidupan yang berbeda.

Juga seperti pengalaman anak yang lain, yang mengikuti program home stay untuk belajar Bahasa Inggris di sebuah kota di Kabupaten Kediri, Pare. Dimana anak-anak juga akan mengalami hidup yang berbeda. Namun bukan berbeda budaya karena suku atau ras. Melainkan berbeda karena budaya hidup antara buada hidup ada yang mayoritas anak-anak jalani sehari-hari di Jakarta dengan hidup di daerah Kabupaten tersebut.

Maka ketika anak-anak didik kami itu akan berangkat ke sebuah negara yang memiliki kultur budaya yang berbeda, meski itu hanya untuk lebih kurang lima (5) hari, tetap saja saya memberikan wanti-wanti dan sekaligus tantangan kepada anak-anak itu. Saya khawatir jika dalam lima hari anak-anak itu tinggal bersama keluarga yang baru dikenalnya, tetap akan mengalami kendala atau bahkan masalah.

Apa bentuk tantangan itu? Saya berikan gambaran kepada mereka untuk memilih satu yang paling seru dari tiga model pilihan yang akan mereka hadapi nanti. Pertama adalah pilihan bete. Ini adalah pilihan sengsara yang akan menyeret anak-anak itu ke ranah galau tidak ada habisnya sepanjang lima hari mereka berada di lokasi home stay tersebut. Jika pilihan ini yang mereka pilih, maka solusi yang paling dinantinya adalah pindah rumah ke house fam yang berbeda. Walau pjndah house fam seolah menjadi solusi, namun sesungguhnya kita sendiri belum mengetahui pilihan apa yang nanti akan kita pilih? Artinya, jika pilihan ini yang kita ambil, maka memang sengsara itu yang paling mungkin kita rasakan dan nikmati!

Pilihan kedua, adalah pilihan netral. Maksudnya, ketika home stay dan pembagian house familynya sudah terjadi, maka suka atau tidak, ya kita pilih rasa yang tengah-tengah saja. mencoba dinikmat-nikmati meski memang kurang nyaman bila berada di ranah yang berbeda tersebut. Sedang pilihan ketiga, sebagai pilihan terakhir, adalah pilihan untuk enjoy. Kita benar-benar menikmati keberbedaan hidup sebagaimana kita menjalani petualangan!

Dan dalam memberikan tips akan pilihan-pilihan ketika kita harus menjalani hidup bersama house family yang seringnya belum kita kenal tersebut, nyatanya masih juga ada yang tidak lolos, alias fail. Yaitu anak-anak yang merasa tidak kerasan di 'keluarga baru' mereka saat menjalani home stay. Anak-anak inilah yang memilih pilihan pertama saat harus hidup bersama keluarga yang memang berbeda.

Akan tetapi, saya juga merasa senang ketika mendapat cerita bahwa ada seorang anak kami yang ketika kembali ke Jakarta ketika program home stay berakhir, maka seluruh anggota keluarga barunya yang ditinggalkan merasa begitu kehilangan.

Dan dari pilihan-pilihan dan pengalaman kegiatan home stay yang terakhir itu, saya kembali harus membuat kesimpulan bahwa, anak-anak kita yang tinggal di Jakarta ini, sesungguhnya sudah dapat kita lihat pilihan yang mana yang akan dipilihnya ketika program home stay menjadi program yang akan kita jalani. Karena itu terlihat dari karakter dasar anak-anak itu sendiri...

Jakarta, 30 April 2013.

Istanbul; dari Cerita Bapak, Saya Menjadi Terinspirasi untuk Menikmatinya!

Ada dua buah bab kejadian yang saya dan siswa saya alami. Berbeda pada keduanya, namun keduanya bertemu pada satu muara yang sama. Bab pertama adalah apa yang saya sampaikan kepada anak-anak ketika di pagi hari saya bercerita bagaimana Sultan Mahmed II bin Murad, yang adalah penakluk kota Konstantinopel. Sebuah sejarah yang saya dapatkan dari dua buku dengan fokus peristiwa di tahun 1453. Satu buku ditulis oleh seorang berkebangsaan Barat. Sedang satu buku lagi, yang adalah hadiah dari seorang teman kakak saya yang kebetulan menjadi orangtua siswa pada saat mengundang si penulisnya, Felix Siauw.

Sedang bab kedua, adalah sebuah peristiwa yang saya dapatkan ketika kami, saya dan anak didik saya bertemu di halaman belakang sekolah di sebuah siang hari ketika anak-anak itu kembali ke tanah air setelah selama dua pekan berada di Izmir, Ankara, dan Istanbul, Turki untuk sebuah kegiatan Misi Budaya pada akhir April ini.

"Apa yang di cerita Bapak, saya melihatnya dengan mata kepala saya sendiri Pak."
"Luar biasa indah!"

Begitu kalimat yang terucap dari anak-anak yang menjadi bagian dari kegiatan Misi Budaya tersebut. Ia menceritakan bagaimana ia bersama rombongan di dalam kendaraan bus mengelilingi benteng yang juga mengelilingi kota. Sebuah benteng yang pada mulanya memang berfungsi sebagai perlindungan akan bahaya yang akan datang.

"Di bagian paling depan dari benteng itu, adalah sebuah parit. Dan itu masih benar-benar ada Pak. Para petani bercocok tanam di dalam parit tersebut. Saya melihatnya Pak!"

Saya yang memang belum pernah ke kota yang oleh Napoleon katakan sebagai kota pelabuhan terbaik di dunia ini selain dari imajinasi yang tercipta ketika uraian kata itu saya cerna di dalam pikiran saya.
Buku Roger Crowley.

Sebuah penggambaran, yang melayangkan saya pada apa yang pernah junjungan kita, Rasulullah SAW, lakukan bersama kaum Muslimin dlam menghadapi pasukan koalisi di peristiwa Khandak.

Sebuah gambar hidup yang lahir dalam benak saya, dimana tembok kota yang menginspirasi pasukan Mahmed II bin Murad menggali terowongan untuk menyelinap dan menyusup masuk ke balik benteng karena ketika pasukan darat tetap terhalang oleh kokohnya dan tegarnya tembok yag menjadi perlindungan kota.

Dan dari ketertarikan itu jugalah saya menceritakan kembali fragmen pengepungan kota Konstantinopel pada April-Mei 1453 oleh pasukan Usmaniah tersebut kepada para siswa saya di sebuah pagi dua bulan yang telah lalu itu. Sebuah cerita yang, alhamdulillah, membuat anak-anak didik saya yang ikut ke Turki itu begitu memiliki dorongan untuk menikmati perjalanannya ke Istanbul.

"Saya benar-benar menikmati Istanbul!" 

Buku Felix Y Siauw.
Begitu kata siswa saya siang itu. Dan sebagai guru, saya ikut serta menikmati apa yang menjadi kenangannya tentang Istanbul. Meski begitu inginnya saya untuk membuktikan apa yang anak didik saya kemukakan siang itu. Semoga. Amin.

Jakarta, 30 April 2013.

Komitmen itu, pada Tataran DO!

"Orang boleh saja berkomitmen Pak Agus, tetapi bukan berkomitmen hanya pada tataran konsep. Kalau seperti itu, maka itu namanya masih berkeyakinan. Orang yang meyakini pada sebuah pendapat, itu belum masuk dalam tataran kinerja. Ia masih menjadi orang yang memiliki konsep. Tapi orang yang berkinerja baik itu bila keyakinan yang baik tersebut dioperasionalisasikan dalam tataran kerja!"

Begitu antaralain butir-butir hasil pertemuan saya dengan teman lama yang datang mengunjungi saya untuk sebuah kegiatan silaturahim. Tukar pendapat danpandangan. Sebuah pertemuan yang tidak saya menyegarkan otak dan mensejahterakan pikiran, tetapi juga mengurai simpul kepenatan hidup atas situasi dan kondisi yang sehari-hari dapat menjauhkan kita kepada sebuah semangat untuk terus menerus berbeda dan membaik dari hari ke hari.

Ketika saya mencoba membuat rumusan dari hasil curah gagasan tersebut, sedikit bingung juga ketika saya harus menuangkan kata dalam rangkaian sebuah alur pikir. Namun agar tugas saya segera tuntas, maka perjalanan harus selalu maju. Dan paragraf itulah yang akhirnya mampu saya tuang disini.

Salah Merumuskan 

Apa yang menjadi bahan diskusi kami pada siang menjelang sore itu adalah tentang bagaimana masih ada teman-teman kita di sekolah yang selalu pintar dan hebat ketika merangkai kalimat tanya dan berpendapat pada saat sebuah seminar digelar. Bukan itu saja, karena kalimat-kalaimat yang terurai itu megalir bersama logika yang mengisyaratkan kepintaran.

Atau juga ada teman lain yang begitu memesona hadirin yang mengikuti training atau pelatihannya ketika sohib tersebut berdiri di depan mimbar sebuah seminat atau pelatihan tentang profesionalisme dan kreatifitas, atau tentang menjadi guru yang baik. Tetapi ketika kami juga adalah teman-teman mereka di saat yang bersamaan sebagai guru di dalam kelas, maka kami menjadi kecewa.

Ada jarak yang lumayan jauh antara konsep dan pemikiran yang  mereka sampaikan dalam kalimat-kalimat di dalam seminar tersebut dengan ranah operasional di dalam kelas, ketika mereka harus berhadapan dengan anak didik dan materi pelajaran di dalam kelas. Jarak yang jauh itu misalnya, karena sulitnya anak-anak di kelas mendapati teman-teman saya itu untuk datang tepat pada waktu dimana teman saya itu punya jam pelajaran di sebuah kelas, misalnya.

Dari realitas itulah saya takut untuk terlibat salah dalam merumuskan apa yang berkembang dalam curah gagasan dan diskusi tersebut. Lalu seorang teman mengatakan kalau kadang kita masih sering kurang memberi arti bahwa; komitmen kita terhadap sesuatu itu tercermin pada sejauh mana do yang kita lakukan dalam keseharian hidup selama menjalankan amanah profesi. Mungkin.

Jakarta, 30 April 2013.

RA Kartini di TK

RA Kartini oleh siswa TK A


"Ini adalah gambar Raden Ajeng Kartini, tokoh perjuangan kaum wanita Indonesia. Anak-anak belajar tentang Ibu Kartini sebagai pahlawan wanita Indonesia yang giat belajar. Dan setelah mereka belajar tentang RA Kartini, anak-anak itu juga diminta menggambar Kartini. Dan inilah diantara hasil gambar anak-anak itu."
 Itulah tulis Ibu Kiki Zakiyah, yang adalah salah satu guru yang bertugas memuat kegiatan dan aktivitas anak-anak yang ada di unit TK di sekolah saya di Buletin sekolah yang terbit setiap akhir bulan.
Belajar Sejarah
Apa yang dikemukakan oleh Ibu Kiki dalam media sekolah tersebut, adalah semacam bagaimana anak-anak belajar tentang sejarah di usia anak yang masih sangat muda, yaitu dengan menggambar. Dan dari hasil gambar yang saya muat dalam catatan saya ini, sebuah rumusan akan seorang tokoh yang dikenalkan kepada anak-anak oleh gurunya dalam sepenggal cerita dan gambar.
Tidak mirip? Benar tidak mirip jika hasil gambar seorang anak ini kita perbandingkan dengan gambar tokoh RA Kartini yang asli, yang banyak di pajang di buku. Ini karena anak-anak di usia TK hanya disodori sebuah foto doro dari tokoh RA Kartini.
Namun bagi saya, itulah gambaran otentik dari anak-anak di usia TK tersebut dalam berbagai persepsi dan kompetensi menggambar. Keeragaman itu yang menurut saya menarik untuk dilihat satu-satu. Bagaimana jika anak kita sodori  foto copi gambar diri RA Kartini untuk kemudian meminta anak-anak TK yang ada dengan memberi warna atau mewarnai? 
Itulah belajar sejarah yang disodorkan kepada anak-anak TK. Sebuah kegiatan yang boleh dibilang tidak monoton bukan?

Jakarta, 30 April 2013.

Malam Minggu di Jalan Raya

Mungkin sediit norak jika harus saya ceritakan bagaimana pemandangan yang saya lihat pada hari Minggu, 21 April 2013 dini hari di bberapa ruas jalan yang saya lalu. Ini karena bisa jadi sudah menjadi pengalaman sebagian dari Anda. amun demikian, saya akan menceritakan dalam catatan ini berkenaaan dengan apa yang saya lihat di dini hari itu, Hari Kartini, UN Nasional, dan tentunya bagaimana kira-kira perilaku anak-anak tersebut ketika di bangku sekolah? Meski yang terakhir ini adalah asumsi dari saya sendiri, setidaknya saya ingin membuat benah merah dari pendidikan di rumah.

Cerita berawal dari kedatangan saya naik Sawunggalih Malam di stasiun Jatinegara pada saat jam menunjukkan pukul 02.39. Dan kebetulan saya harus mampir ke tempat dimana saya menyimpan kendaraan saya. Sesampai di halaman parkir, lebih dari dua Bapak-Bapak yang mendekati saya untuk mengantarkan saya ketujuan. 

Saya memilih Pak Tarj*, yang kemudian saya tahu, adalah salah seorang dari supir mobil ambulan di sebuah rumah sakita yang dekat dengan tujuan yang saya tuju. Karena pas, maka megalirlah cerita Pak Tarj*  tentang rawan dan sekaligus riskannya jalur jalan untuk menuju tujuan saya. Bahkan Pak Tarj* berujar; "Saya tahu Pak siapa dan dari mana anak-anak yang suka metik motor di daerah situ." Meski tanpa pembuktian, saya percaya saja dengan tukang ojeg ini. Lalu saya kemukakan dua orang yang penah tertangkap cctv di sekolah saat kami kehilangan 2 sepada motor sekaligus. Semua adalah motor penjaga!
Dua maling yang terekam kamera sedang membawa motor yang dimalingnya.
Lalu saya coba utarakan kedua jenis maling motor yang tertangkap kamera itu. Meski tidak secara pasti Pak Ojeg itu memberikan penjelasan tentang dua maling itu, saya pun saat itu tidak terlalu menganggabnya pusing.

Pemotor

Di luar obrolan saya dini hari itu dengan Pak Tarj* tentang si kecil tinggi dan si pendek gembul, saya sendiri tercengang-cengang dengan fenomena anak-anak remaja tanggunggung yang berkendara motor roda dua secara berombongan dan atraktif tanpa pengaman kepala. Suatu pemandangan yang mengenaskan bagi kaum Bapak. Karena diantara mereka berpasang-pasangan dengan amat bebas. Sebuah fenomena yang saya tidak temukan di daerah saya selama ini.

Atau mungkin memang pengamatan saya yang terbatas sehingga hanya dini hari itu saya dapat menangkap fenomena semacam itu? Sebuah fakta yang akan menjadi sebuah masalah lima atau mungkin sepuluh tahun yang akan datang.

Namun dari apa yang saya tangkap dari obrolan bersama Pak Tarj* pada saat yang bersangkutan mengantar perjalanan dri stasiun menuju tujuan saya, tidak henti-hentinya Bapak Ojeg itu mensyukuri anak-anaknya yang tidak pernah tertarik melakukan apa yang dini hari itu ada di hadapan kami di sepanjang jalan di daerah Pulogadung, Jakarta.

Jakarta, 22-30 April 2013.

22 April 2013

UN 2013; Generasi Para Juara 100%!

Menghadapi UN 2013 ini, tentunya dengan generasi yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, saya justru melihatnya dengan kacamata yang berbeda. Juga karena pada tahun ini, selain anak-anak didik sya untuk tingkat SD dan SMP, juga kebetulan anak di rumah juga menghadapi UN untuk tingkat SMA. Maka dapat saya ambil pelajaran dari berbagai cerita dan pengalaman dari semua peristiwa gelaran tersebut.

Ada banyak ceriota menarik yang kadang membuat saya sungguh-sungguh gemas dan kesal yang teramatsangat. Dan pada sisi berbeda, dari peristiwa yang kurang membuat enak hati itu terbit sebuah kenangan yang mengagumkan akan tekad beberapa anak-anak bermental juara.

Tentu, apa yang saya sampaikan ini bukan sesuatu yang berkait dengan karut marut pelaksanaan UN SMA tempo hari. Juga bukan karena saya menjadi bagian dari orang-orang menentang UN. Namun lebih karena sata melihat dan bergaul langsung dengan anak-anak yang sedang menghadapi UN itu sendiri. Spebagaimana yang saya kemukakan tadi, baik di sekolah atau juga di rumah.

Pada awal April, beberapa hari sebelum UN SMA dan sederajat dilaksanakan, saya mendapat cerita menjengkelkan dari anak sendiri tentang niat teman-temannya untuk ikut serta bergotong royong 'patungan' membeli kunci jawaban. Dan karena saya saat itu tidak terlalu percaya dan yakin akan bagaimana bentuk operasionalisasi pelaksanaan bocor tersebut, maka saya katakan kepada anak saat itu; "Terlalu sulit untuk bocor nak. Karena ada 20 model soal. Bahkan untuk memastikan bahwa salah satu kunci dari 20 kunci yang teman-temanmu akan terima nanti masih membutuhkan kepintaran. Jadi, biar saja teman-teman itu terjebak kebodohannya sejak dari start sebelum UN dimulai!" 

Tapi argumen saya belum meredakan amarah anak saya akan kenyataan yang dia alami. Lalu sebagai pamungkas saya katakan kepadanya bahwa; "Pembocor soal UN, penjual bocoran soal UN dalam bentuk menjual kunci jawaban UN, pembelinya, dan pemakainya, ada dalam ranah kebodohan yang berlapis. Mereka generasi yang terjangkiti kebodohan murokab, berlapis."

Generasi Juara!

Itu juga yang dapat kita liat bersama di sekolah-sekolah yang terdapat anak-anak yang mengkonsumsi bocoran soal UN. Mereka adalah yang ketika datang ke sekolah masih menyisakan 'kelelahannya' karena tidak tampa semangat sebagai siswa yang berhak akan piala kejuaraan yang menjadi miliknya. Perilaku santai yang melewati batas kewajaran, yang sama sekali tidak menerbitkan sikap kebanggaan sebagai pelajar. Mengapa?

Itulah yang menjadi perenungan saya. Mungkinkah sikap dan perilaku demikian itu adalah resonansi dari knerja kami sebagai gurunya di sekolah? Dan inilah yang selalu menghentak-hentak dalam batin saya. Sehingga berbagai skenario sebagai guru, saya benar-benar memperoleh beban yang amat berat.

Boleh jadi saya bukan menjadi bagian dari konspirasi dari kebocoran UN. Namun mengapa anak didik kami masih mau mengeluarkan uang untuk ikut serta menggunakan kunci bocoran itu benar-benar menjadi refleksi saya. Karena itu, pantaslah kalau perjuangan untuk mendidik anak-anak kami sebagai generasi juara, belum cukup. Tetapi mendidik anak-anak itu sebagai 100% generasi juara tanpa kekecualian, itu menjadi visi kami selanjutnya. Semoga!

Jakarta, 22 April 2013.

21 April 2013

Mempertemukan Orangtua Siswa dengan Lokasi Sedekah

Suasana stand pameran sebelum 'basar' dimulai.
Awal April ini, kami di sekolah belajar tentang sedekah. Tema yang kami usung adalah care and share. Pada tema ini anak-anak di sekolah akan melakukan berbagai usaha yang pada akhirnya dapat menerbitkan rasa kepeduliannya untuk secara ikhlas berkontribusi kepada lingkungan disekitarnya, yang membutuhkan kontribusinya. Kegiatan yang berlangsung secara serentak di sekolah kami itu berdurasi satu pekan saja. Konsep belajar seperti ini seolah-olah keluar dari rutinitas kurikulum yang ada, meski sesungguhnya semua kegiatan yang kami lakukan tersebut selalu dalam ranah belajar.

Dalam satu pekan spesial itu, teman-teman guru merancang berbagai kegiatan yang berbeda-beda untuk setiap kelas yang ada dari tingkat Kelompok Bermain (KB) hingga tingkat pendidikan SMP, untuk sebuah keberhasilan proyek mereka masing-masing. Namun secara garis besar, bila siswa akan berkontribusi dalam bentuk donasi uang kepada lingkungan yang mereka pilih masing-masing, maka uang yang mereka donasikan tersebut  atau mereka sedekahkan, adalah uang atau juga barang yang merupakan dari hasil usaha mereka sendiri. Jadi bukan uang yang didapat secara cuma-cuma dari orangtua mereka masing-masing, bukan juga uang jajan yang menjadi jatahnya dari orangtua yang mereka sengaja sisihkan.

Lalu bagaimana anak-anak itu memiliki uang sendiri untuk kemudian mampu memberikan sedekah? Inilah yang saya lihat. Misalnya untuk Siswa yang duduk di kelas TK B.
Suasana stand setelah 'basar'  dimulai dalam blur.
Dalam dua foto tersebut, tergambar bagaimana kelas TK B, membuat karya seni yang mereka telah lakukan sepekan sebelum pekan spesial tersebut berlangsung. Barang seni tersebut antara lain adalah foto diri anak-anak dengan bingkainnya, topi dngan nuansa seni, tas belanja, dan lain sebagainya. Tujuan dari produk karya seni tersebut adalah basar sekolah, dimana market pembelinya adalah para orangtua anak-anak sendiri.

Kegiatan basar dibuat bersamaan dengan kegiatan 'panggung' anak-anak, atau kami sering menyebut dengan istilah assembly, agar semua semua orangtua dapat menyisihkan waktunya untuk melihat penampilan anak-anaknya. Nah pada saat itu pula 'basar' diselenggarakan.

Maka dapat kita duga, bahwa barang seni produk anak-anak itu akan benar-benar ludes diborong oleh para pembeli yang adalah para orangtua anak-anak masing-masing. Dan hasil penjulan itulah yang menjadi sumber utama dari donasi anak-anak kepada sebuah lembaga pendidikan gratis yang dikelola oleh Rumah Zakat.

Lalu apa yang anak-anak itu dapatkan selama mereka melaksanakan kegiatan di pekan spesial yang kami rancang tersebut? Kami berharap agar anak-anak dapat belajar ikhlas terhadap hasil kerja kerasnya. Lalu bagi orantua? Kami ingin mengajak para orangtua melihat langsung sebuah lembaga pendidikan gratis yang boleh jadi nanti menginspirasinya sebagai lokasi sedekah. Semoga.

Jakarta-Kebumen-Jakarta, 20-21 April 2013.

19 April 2013

UN 2013; Masih ada 'Bocoran' Soal!

Siapa bilang bahwa dengan menjadikan model soal UN  sebanyak 20 jenis dalam satu ruang ujian menjadikan kebocoran soal tidak terjadi? dari halaman teman-teman Facebook yang tergabung dalam IGI, saya menemukan foto-foto kunci cawaban, plus cerita-cerita teman-teman yang pada saat menemukan kunci jawaban tersebut sedang mengawas UN!

Apa yang saya lihat di halaman FB tersebut, akhirnya saya merasa menemukan jawaban tentang bagaimana soal UN yang sudah dibuat dalam 20 model yang akan dikerjakan oleh siswa di dalam satu ruang ujian tetap jebol! Ini adalah sebuah prestasi untuk sebuah praktek pendidikan di negeri tercinta ini. 

Contekan 'kunci jawaban' itu
Karena modus seperti inilah yang pada pekan-pekan terakhir sebelum UN SMA/sederajat ini di gelar pada Senin, 15 April yang lalu. Tepatnya ketika anak bontot saya murung dan sekaligus marah ketika pulang sekolah. Tepatnya anak bontot saya bersama dua temannya yang duduk di kelas XII. Ini karena hampir semua temannya, selain mereka bertiga, bersepakat mengumpulkan uang untuk disetor kepada seseorang sebagai imbalan akan bocoran soal!

Lalu untuk menenagkannya, maka saya mengajaknya berdiskusi tentang betapa akan sulitnya anak-anak itu nanti memperoleh kunci yang dijanjikan. Mengingat akan ada 20 model soal dalam satu ruang ujian. Artinya, setiap anak akan mengerjakan soal yang berbeda satu sama lainnya. Lalu bagaimana anak-anak itu akan 'menyimpan' bocoran tersebut ke dalam kelas? Apakah 20 kunci sekaligus yang akan anak-anak 'simpan' sebagai contekan?

Dan dari logika kami tersebut, maka saya berkeyakinan bahwa anak-anak itu hanya akan masuk perangkap para tokoh penipu. Namun kenyataan yang ditulis oleh seorang teman guru di dinding FBnya, meruntuhkan logika kami.

Jakarta, 19 April 2013.

UN 2013; UN Harus Ditunda

Saya belum tahu persis apa yang ada di dalam benak masing-masing siswa kelas XII pada tahun ini ketika UN ternyata dilaksanakan berbeda dengan pengumuman semula. Ini karena pemerintah menunda pelaksanaan UN di 11 provinsi. Mungkin saja marah karena apa yang telah mereka persiapkan harus tertunda dilaksanakan, sehingga kalau diibaratkan bisul, maka penyakit itu akan masih terus maradang dan tentunya membawa sakit yang tidak terhan. Mungkin juga menambah beban yang menjadi lebih berat atau malah stres. Tapi saya hampir yakin kalau penundan UN di 11 provinsi tersebut, yang diumumkan pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudaya hanya satu hari menjelang pelaksnaannya, justru malah membuat siswa berhati lega dan senang?

Tetapi apapun argumentasi yang akan dikatakan sebagai pembenar bahwa UN SMA/sederajat tahun 2013 harus di tunda di beberapa provinsi, tetap menjadi sesuatu yang paling tidak bermutu. UN menjadi tidak penting sehingga harus dilaksanakan dengan POS yang nasional, yang benar-benar standar!

Coba kita bandingkan dengan ulangan harian yang akan guru lakukan di kelasnya. Maka ketika guru telah memberitahukan tentang jadwal ulangannya kepada para siswanya, namun harus menunda ulangan ketika hari pelaksanaan tiba dengan dalih soalnya lupa di buat? Apa kata siswanya? Apa juga pendapat para orangtua siswa jika mereka mengeetahuinya? Lalu apa yang halal untuk dilakukan oleh kepala sekolah terhadap model guru yang seperti ini?

Nah, bagaimana dengan UN?

Mungkinkah Pak Menteri, dan semua orang pintar-pintar yang berada di sekelilingnya itu lupa kapan tanggal Ujian Nasional sehingga harus ditunda? Apakah Pak Menteri menyangka kalau kita percaya bahwa penundaan UN SMA/sederajat di 11 provinsi tahun 2013 karena keterlambatan percetakan soal UN?

Bukankah ini masalah yang hebat? Lalu untuk apa selama ini kita menjadikan UN sebagai alat ukur kualitas dan keberhasilan pendidikan anak Indonesia yang valid dan reliabel, namun dalam pelaksanaannya juga tidak secara sungguh-sungguh dipersiapkan? Untuk apa?

Jakarta, 19 April 2013.

16 April 2013

Dari Sebuah Seminar

Saya masih mengingat benar apa yang pernah disampaikan oleh teman kerja saat yang bersangkutan pulang dari sebuah seminar yang diikutinya. Dan apa yang disampaikan itu adalah sebuah pernyataan yang begitu menusuk akal sehat saya. Maka dengan itulah saya tidak akan pernah melupakan kata-kata yang dibuatnya pada waktu itu. Apa pernyataannya? Sederhana. Ia hanya menyampaikan sebuah pernyataan kagum terhadap presenter, yang kebetulan menjadi pembicara dalam seminar yang diikutinya. Dan pernyataannya itu adalah sebuah rangkaian dialog antara teman saya itu dengan saya.

Dialog itu

"Pak, pasti, sekolah Pak Tub bagus sekali ya Pak?" Begitu teman saya memulai dialog setelah ia kembali ke sekolah. Hari sebelumnya, ia bersama teman yang lain mengikuti sebuah seminar yang menampilkan seorang trainer nasional di bidang pendidikan, yang kebetulan juga adalah seorang pimpinan ekskutif di sebuah lembaga pendidikan di sebuah wilayah di Jakarta. 

"Lho kok Bapak mengenal Pak Tub? Darimana Bapak mengenalnya?" Kata saya. Saya tidak tahu apakah teman saya itu tahu bahwa saya juga kenal sekali dengan Pak Tub, sang presenter secara pribadi, juga kenal lembaga sekolah yang dipimpinnya, juga kenal para tenaga pengajar dimana Pak Tub sebagai pimpinannya.

"Kan, kemarin yang menjadi presenter kami Pak Tub Pak." Jelas teman saya.
"O... begitu. Lalu darimana kesimpulan Bapak kalau sekolah Pak Tub pasti bagus?" kata saya lagi.

"Dia kemarin menyampaikan seminar dengan bagus sekali Pak. Saya atau kami semua sebagai peserta seminar, kagum dengan dia."

Berhati-Hati

Dari apa yang dikemukakan teman tentang seorang presenter yang menjadi trainer nasional itu, saya justru menarik banyak sekali pelajaran berharga. Yang dari situlah pada ujungnya saya mengenal untuk bagaimana menyampaikan sesuatu kepada orang lain, terlebih dalam forum seminar atau mungkin forum pelatihan, agar memegang teguh pada kehati-hatian.

Terlebih kalau apa yang disampaikan adalah sesuatu yang sesungguhnya sangat mungkin kita praktekkan dulu di sekolah dimana kita berada, sebelum kita omongkan kepada orang. Inilah yang saya maksudkan dengan testimonial. Dan dari kenyataan itu pula saya juga belajar tentang bagaimana berhati-hati. Semoga!

Jakarta, 16 April 2013.

14 April 2013

UN 2013; Pengalaman Baru, UN dilaksanakan tidak Serentak!

Sungguh, sebagai guru yang telah berdiri di depan kelas sejak tahun 1985, dengan berbagai kebijakan penilaian akhir tingkat sekolah yang sudah pernah dilaksanakan di negeri ini, maka pelaksanaan Ujian Nasional 2013 untuk seluruh Indonesia tidak dilaksanakan pada hari dan tanggal yang berbeda untuk tingkat pendidikan SMA/MA dan SMK pada UN tahun 2013, adalah sebuah pengalaman baru. 

Sebuah pengalaman baru, yang benar-benar layak jika saya mencatat sejarah ini sebagai salah satu dari prestasi Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat ini, M Nuh. Mengapa? Karena penundaan dengan penyebab bahwa soal-soal ujian belum siap sampai di lokasi ujian, hanya diumumkan oleh Pak Menteri 1 hari sebelum hari pelaksanaan. Bayangkan jika seorang peserta ujian itu tinggal jauh dari sekolah dengan tiadanya alat komunikasi, apakah mungkin berita itu sampai kepadanya sebelum ia sendiri sampai di gerbang sekolah pada esok harinya?

Apakah Pak Menteri ini tidak pernah menjejakkan kakinya di pelosok tanah air yang memiliki demografi yang berbeda-beda dan tidak sama seperti di Pulau Jawa dimana kantor Pak Menteri ini berada? Please deh ah...

Sebagaimana yang diberitakan bahwa; Akibat naskah soal yang tak kunjung tiba di sejumlah provinsi, Ujian Nasional (UN) 2013 tidak lagi digelar secara serentak. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya memutuskan untuk menunda penyelenggaraan UN 2013 di daerah yang belum menerima naskah soal UN hingga saat ini. (http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/14/16105327).

Jakarta, 14 April 2013.

12 April 2013

UN 2013; Masihkah ada Pembeli "Bocoran" Kunci?

Hari ini, Jumat, 12 April 2013, tiga hari pelaksanaan Ujian Nasional SMA dan sederajat pada Senin, 15 April 2013, seluruh siswa SMA dan sederajat belajar di rumah, alias libur. Untuk kelas XII mereka harus belajar di rumah sebagai hari persiapan melaksanakan UN. Sedang siswa kelas X-XI juga harus belajar di rumah mengingat seluruh guru yang terlibat dalam suksesnya pelaksanaan UN harus bertemu/rapat kepanitiaan untuk melakukan koordinasi. 

Itulah sedikit gambaran tentang betapa UN benar-benar memang sebuah hajatan nasional. Karena itu, maka hasil Ujian Nasional akan menjadi ukuran keberhasilan bagi kualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah formal.
Jadwal UN SMA dan sederajat dari; http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/pengumuman/1013
UN Jujur?

Karena hasil Ujian Nasional menjadi bagian dari alat ukur bagi hasil belajar di sebuah lembaga, juga bagi sebuah daerah, maka disinilah justru awal mula bagi sebuah ikhtiar  daerah-daerah agar tidak kehilangan muka (baca:martabat) bagi daerahnya masing-masing. Usaha atau ikhtiar itu antaralain dapat berupa pembentukan semacam 'tim sukses'. Dan tim ini bekerja kadang bukan hanya bertumpu kepada bagaimana proses belajar yang berkualitas untuk sebuah hasil UN yang maksimal. Namun usaha-usaha lain yang menyakitkan hati dan sekaligus jiwa bagi stake holder pendidikan yang berotak waras.

Maka jika dalam situasi yang dimikian ini masih ada penguasa suatu daerah yang berprinsip jujur, mereka akan menjadi barang langka. Seperti apa yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta di koran on-line:Tak Pasang Target; Jokowi: Yang Penting UN Jujur
(http://kampus.okezone.com/read/2013/04/10/373/789220/jokowi-yang-penting-un-jujur).

Namun bagaimanakah praktek tidak jujur dalam usaha mendongkrak harga diri suatu lembaga sekolah atau sebuah daerah? Bukankah dalam satu ruang ujian yang terdiri dari 20 peserta ujian, mereka masing-masing akan menerima jenis soal yang berbeda satu sama lain namun tetap dalam tingkat kesulitan yang sama seperti apa yang diamanahkan dalam POS UN tahun 2013?

Apakah mungkin seorang anak menerima SMS 'bocoran' kunci jawaban UN di pagi hari beberapa menit sebelum Ujian Nasional digelar? Bukankah kalau demikian anak harus menerima 20 model kunci jawaban tersebut? Bagaimanakah anak-anak yang tertular virus bodoh dan anti kejujuran tersebut membawa masuk kunci-kunci jawaban itu ke dalam ruang ujian?

Masukkah di akal kita? Itupun kalau masih ada para penjual dan sekaligus pembeli 'bocoran' kunci jawaban UN...

Jakarta, 12 April 2013.

11 April 2013

UN 2013; Kognitif, Afektif, Psikomotorik? Atau Cukup Menjadi Pengajar?

Senin, 15 April 2013, adalah hari pertama hajanan nasional dunia  pendidikan Indonesia yang kita sebut dengan Ujian Nasional atau UN SMA/sederajat. Ada berbagai isu menarik yang berada di seputar pelaksanaan Ujian Nasional tahun ini. Misalnya, ada beberapa siswa/siswi di tingkat SMA, yang mendapat surat 'dikeluarkan' dari sekolah oleh kepala sekolahnya karena kasus menikah. Juga tentunya masih seputar memperkecil kemungkinan masih akan adanya kebocoran terhadap soal ujian tersebut.

Gagal Moral

Untuk kasus yang pertama, beberapa hari menjelang pelaksanaan UN banyak menjadi polemik. Mengingat apa yang telah diputuskan oleh para kepala sekolah terhadap anak-anak yang telah menikah tersebut harus berhadapan dengan surat dari Pak Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh, yang membolehkan anak-anak dengan kasus tersebut untuk mengikuti UN yang akan digelar mulai tanggal 15 April tersebut.

Sementara anak-anak yang telah mendapat surat keluar dari kepala sekolahnya, juga tidak tinggal diam. Mereka mendatangi Komite Nasional yang melindungi hak-hak mereka untuk memperjuangkan agar mereka dapat mengikuti kegiatan nasional tersebut. Dan itulah yang terjadi. Dukungan terhadap anak-anak yang telah menikah atau bahkan telah hamil tersebut untuk terus ikut serta dalam UN, dan juga dukungan atas apa yang telah dibuat oleh kepala sekolah untuk tidak mengizinkan anak-anak tersebut ikut serta dalam UN di sekolahnya.

Seperti apa yang disampaikan dengan lantang oleh seorang anggota DPR RI, di sebuah stasiun TV swasta, pada Rabu, 10 April 2013, dalam sebuah dialog. Bahwa ia setuju dengan apa yang telah diputuskan oleh kepala sekolah dengan mengeluarkan anak-anak tersebut. Karena, menurutnya, anak-anak dengan kasus menikah di usia sekolah tingkat SMA, secara moral telah gagal. Logika ini bersinergi dengan apa yang menjadi anutan dalam pendidikan formal kita bahwa hasil pendidikan siswa terdapat tiga ranah. Yaitu ranah kognitif, yang diujikan secara nasional dalam bentuk Ujian Nasiona, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.

Oleh karenanya, jika sekolah memberikan izin kepada anak-anak tersebut untuk mengikuti Ujian Nasional hanya karena melihat dari sisi hak anak, maka sesungguhnya sekolah memang hanya melihat bahwa hasil pendidikan hanya pada ranah kognitif.

Mengapa gagal moral? Ini karena asumsi dari mereka yang menyetujui oleh apa yang diputuskan oleh kepala sekolah bahwa, anak-anak yang sudah menikah pada saat sedang menempuh belajar di bangku SMA tersebut, diduga merupakan efek dari sebuah pilihan dalam bergaul. 

Allahua'lam.

Namun dari kacamata sebagai pelaku pendidikan formal, saya sungguh masih membaca bahwa untuk memahamkan kepada masyarakat tentang hasil pendidikan yang tidak hanya kognitif, masih perlu sebuah perjuangan yang panjang. Karena jika kita benar hanya ingin menghasilkan kognitif yang bagus sebagai hasil dari proses pendidikan formal di sekolah, maka cukuplah bagi semua guru hanya sebagai pengajar!

Jakarta, 11 April 2013.

09 April 2013

Menulis Gagasan atau Cerita Pengalaman?

Ketika saya berbaring di  tempat tidur di sebuah rumah sakit, karena satu dan lain hal, beberapa tahun yang telah lampau, saya membaca sebuah opini di koran nasional, yang mengupas tentang Ujian Nasional. Dan tatkala tuntas saya membacanya, saya merenungi bagaimana sosok yang pintar dari seorang teman saya dan secara kebetulan adalah guru yang menjadi teman kerja saya.

Tentu kagum yang tidak terhingga saya mendapati artikel yang nagkring di opini sebuah koran nasional dengan oplah yang wuih tersebut. Pasti banyak honor yang akan diterimanya. Bahasa yang dignakan pun, memberikan gambaran yang jelas sekali tentang bagaimana logika kepintarannya itu. Saya pun segera menulis SMS  sebagai ucapan selamat kepadanya. Beberapa hari kemudian, setelah saya benar-benar sehat dan dapat kembali masuk sekolah, serta merta saya mencari dia untuk mengucapkan selamat.

Beberapa waktu kemudian, tentu dengan pemicu artikel opini yang ditulis oleh teman tersebut, lahir kembali semangat saya untuk menulis. Maka, beberapa waktu kemudian, beberapa artikel yang saya tulis, kemudian dimuat di koran dan dalam kolom yang sama, seperti yang dilakukan oleh teman saya itu. Dan rupanya semangat itu terus muncul dan tumbuh di koran lain yang mewajibkan saya untuk mengirimkan artikel pendidikan setiap pekannya. Saya selalu sanggupi kewajiban itu hingga lebih kurang berlangsung dua tahun penuh.

Dalam sebuah pertemuan mingguan yang rutin saya hadiri di Cikreteg, Bogor, teman saya menyangka bahwa selama ini saya mendapatkan honor yang wuih dari aktivitas yang saya telah lakukan dalam tulis menulis di koran tersebut. Meski selama ini saya tidak pernah mau begitu dalam masuk dan berpikir tentang hal tersebut, tetap saya itu menyadarkan pada saya bahwa saya tetap bukan siapa-siapa. Maksudnya, karena bukan siapa-siapa, maka layaklah bila pihak koran tersebut tetap menghargai saya apa adanya sebagaimana yang mereka telah tunaikan.

Meski selalu ada pikiran positif yang memberikan harapan; "Mungkin artikel saya yang ke berapa, maka honor saya akan signifikan." Dan harapan tersebut terus tumbuh. Pada sisi yang lain, beberapa teman atau pembaca artikel saya tersebut untuk mengkonfirmasi bagaimana operasionalisasi ide-ide bagus dalam tulisan tersebut di sekolah saya sendiri. Bentuk-bentuk konfirmasi tersebut sungguh mengugah tekad saya untuk selalu hanya menulis apa yang memang telah saya jalani dan bukan teoritikal.

Dalam bingka paradigma itulah, maka sejak kala itu, saya tidak ingin mengungkapkan apa-apa yang belum saya alami ke dalam ranah publik dalam bentuk gagasan.

Jakarta, 9 April 2013.

Diluar Menulis dan Berhitung, ada Kecerdasan Lain

Pagi itu, saya menemani tamu-tamu yang baru saja datang ke Jakarta utnuk mengunjungi antara lain adalah ke sekolah kami. Nah kebetulan sekali ada kegiatan sekolah yang memang berbeda pada hari-hari biasa. Karena pagi itu siswa TK akan perform dalam perj\tunjukan kelas dengan para orangtua sebagai audiensnya. Jadi para tamu itu dapat mendapatkan pengalaman yang memang berbeda.

Maksudnya berbeda adalah, kalau dalam kegiatan sehari-hari anak akan berada di dalam kelas sebagian waktu belajarnya. Sedang pada saat seperti itu, anak-anak akan tampil di depan teman-teman sekolahnya dan para orangtuanya masing-masing.
Terlihat anak-anak yang perform dan para audiensnya saat 'pertunjukan kelas'.
Secara kebetulan juga, pada hari-hari itu, kami sedang kedatangan sahabat yang ingin melihat bagaimana sekolah kami sehari-hari. Mereka terdiri dari guru dan manajemen sekolah. Maka pada saat anak-anak itu tampil di depan kami semua yang menjadi audiens, seorang dari sahabat saya yang menjadi tamu itu berkomentar: "Mereka cerdas ya Pak."

Dari kalimatnya itulah saya kemudian merangkai linier: "Kalau begitu, ada kecerdasan selain dari kecerdasan yang lahir dari menulis dan berjitung?"

Jakarta, 5-9 April 2013.

04 April 2013

Cerita tentang Para Relawan dari sebuah Kunjungan

Hari itu, saya mendengar bagaimana sigap, terampil, ramah, tulus, dan uletnya para perkerja pendamping atau penghubung yag bertugas sebagai relawan bagi komunitas marginal yag dikunjungi oleh anak-anak didik di sekolah kami yang kebetulan selama satu pekan sedang belajar dengan tema care and share. Tetapi tidak saja cerita yang saya dengar dari teman-teman guru yang menjadi pemandu anak-anak itu untuk mendatangi komunitas yang berada di berbagai tempat tersebut, namun juga adalah rekaman dalam bentuk gambar, film, dan bahkan ada satu acara yang diliput media tv, sekaligus disiarkan pada dua jam sesudah kunjungan itu berakhir!

Itulah bagian yang menjadi catatan saya kali ini. Sebentuk keirian hati saya kepada para pejuang investasi akherat. Yang dengan ketulusan, keuletan, dan mungkin kesabarannya mendampingi kehidupan yang ada di tempat-tempat marjinal itu, untuk kemudian memandunya. Dan hasil panduannya itulah yang saya dapatkan dari cerita testimonial teman-teman guru setelah kunjungan itu berlalu. 

Misalnya, karena anak-anak didik yang akan ajak untuk berkunjung ke tempat marjinal tersebut adalah usia sekolah dasar, maka komunitas yang kami pilihpun adalah komunitas marjinal yang para anggotanya antara lain adalah anak-anak seusia mereka. Dan anak-anak tersebut memang hidup besama keluarganya di lokasi-lokasi yang benar-benar mencengangkan. Misalnya, kelas 1 SD yang berkunjung ke komunitas marginal di lokasi pembuangan sampah di wilayah Jakarta Timur. Dimana anak-anak tersebut beribu dan berayah dengan profesi sebagai pemulung. Juga, contoh lainnya, adalah kelas 4 SD yang berkunjung ke komunitas kaum marjinal yang bertempat tinggal di bantaran kali Ciliwung, dengan atap tempat tinggalnya adalah beton kokoh jembatan.

Dari kunjungan-kunjungan tersebut, dan dari testimoni yang para guru sampaikan kepada saya, saya menjadi takjub sekaligus iri kepada para orangtua dan para pendamping dari komunitas kaum marjinal tersebut. Karena dari testimoni tersebut, saya menangkap kesan yang sangat kuat bahwa anak-anak dari kaum marjinal tersebut  memiliki sikap santun dan jujur.

Seperti misalnya pada saat anak-anak datang di lokasi tersebut dan bertukar performance, maka anak-anak didik kami akan menyerahkan bantuan kepada mereka. Lalu datang seorang anak dari komunitas tersebut yang berkata: "Aku sudah dikasih tadi Kak."

Kalimat itu cukup bagi kita untuk mengukur bagaimana anak tersebut dididik oleh pendamping-pendamping komunitasnya, dan juga visi orangtuanya, dalam setiap edukasi yang diberikan. Itulah bekas dari interaksi yang menjadi sebuah pola diri yang luhur. 

Maka pada titik itulah saya benar-benar merasa iri hati. Karena para pendamping itu bekerja dengan ketulusan hatinya. Meski tanpa ada sertifikat yang mengikat pekerjaan yang dijalaninya. Luar biasa!

Jakarta, 4 April 2013.

03 April 2013

Ada Pengamen yang Datang Silih Berganti di Ruangan Kami

Begitulah yang terjadi. Hampir setiap hari sepanjang pekan tanggal 1-5 April ini, selalu ada para pengamen yang mendatangi ruang kerja kami. Mereka datang berkelompok dan silih berganti. Itulah pengamen-pengamen istimewa. Karena hanya membawakan lagu-lagu yang memang mereka kenal. Seperti lagu mars sekolah, lagu wajib nasional, dan pasti bukan lagu-lagu pop yang sedang hit di radio.
Salah satu grup yang datang dan memberikan jasanya kepada saya.

Itulah kelompok pengamen yang adalah para siswa dan siswi yang sedang giat mengumpulkan dana bagi sebuah proyek sosial mereka yang berjudul care and share. Apa yang mereka lakukan adalah salah satu usaha yang menjadi kesepakatan di kelas mereka masing-masing. Tentunya masih ada kegiatan lain yang memiliki tujuan sama. Seperti membuat sebuah produk seni yang nanti diujungnya akan menjadi barang jualan.

Dan kami, sebagai orang yang mendapat kunjungan tamu istimewa itu, tidak serta merta mengulurkan uang sebagai saweran atau upahnya. Juga tidak serta merta menolak kehadiran anak-anak yang baik itu. Al hasil, ada teman yang dalam beberapa tempo saja telah berhasil mendermakan dan menginvestasikan beberapa rupiah dari kantongnya melalui anak-anak itu.

Jakarta, 3 April 2013.

Air dalam Buah Kelapa?

Pagi itu, saya membawa dua butir buah kelapa gading yang saya dapat dari pohon yang ditanam di sekolah ke dalam kelas TK A. Sebagai guru 'tambahan' yang tentunya tidak tercatat di dalam roster belajar di kelas tersebut, saya datang tanpa mempersiapkan perlengkapan administratib sebagaimana guru-guru yang tersertifikasi. Namun demikian, dengan dua butir buah kelapa gading tersebut, saya benar-benar ingin mengajak anak-anak di usia yang belia itu memulai berpikir; darimana air bisa berada di dalam buah kelapa yang tertutup rapat?

Pertama yang saya laukan adalah meinta siswa untuk secara bergantian mengangkat buah kelapa tersebut secara bergantian dengan hati-hati. Lalu setelah semua anak merasakan bagaimana merasakan mengangkat buah kelapa tersebut, saya meminta beberapa anak secara bergantian pula untuk berdiri di depan temannya, dan saya berikan kepadanya dua buah kelapa tersebut untuk menentengnya sembari berjalan di depan kelas bolak-balik. 

Tentu anak-anak itu akan merasakan keperbedaan antara mereka masing-masing mengangkat satu buah dengan dua buah. Dan dari pengalaman itu, saya mengajak anak-anak didik itu untuk meihat secara langsung pohon kelapa yang ada di halaman sekolah. Di lokasi itu, saya meminta anak-anak pintar tersebut menghitung buah yang ada di pohon kelapa. 

Saya juga meminta anak-anak itu untuk mendorong pohon kelapa yang teguh berdiri. Ini untuk memberikan pengalaman kepada anak-anak itu bahwa pohon dengan buah kelapa yang lebih dari dua buah kelapa tersebut tetap tegak. Padahal anak-anak itu sebelumnya telah mencoba untuk menenteng dua buah kelapa secara bergantian dalam jarak tempuh lebih kurang 4 meter.

Untuk kegiatan berikutnya, saya meminta tolong kepada pramubakti yang bertugas sebgai tukang kebun, untuk membelah buah kelapa tersebut. Menampung air buahnya, mencicipi air tersebut dengan dibantu oleh guru kelasnya, membuka buah dan mengerok buah kelapa muda tersebut, untuk kemudian juga merasakannya.

Dan sebagai penutup dari kegiatan tersebut adalah mengajak anak-anak untuk pergi ke tempat wudu guna bersama-sama secara bergantian mencuci tangan. Tentunya dengan  kran yang tidak dibuka secara seluruhnya.

Dari pengalaman mengajar saya pada pagi itu, sesungguhnya saya ingin sekali mengajak teman-teman untuk menjadikan apa yang ada di lingkungan yang kita punya sebagai sumber belajar. Dan kebetulan pada pekan tersebut, anak-anak sedang belajar tentang care and share. 

Dan dengan itu saya ingin mengajak anak-anak untuk selain care dengan lingkungan pergaulanannya juga dengan alam sekitar. Dan dari kegiatan kecil tersebut, saya ingin sekali agar anak-anak mengingat kegiatan tersebut sebagai bagian dari pembelajaran untuk mensyukuri apa yang dinikmatinya. Semoga.

Jakarta, 3 April 2013.