Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

29 April 2012

UN SMP 2012 #2

Kamis, 26 April 2012, merupakan hari terakhir pelaksanaan Ujian Nasional untuk tingkat pendidikan SMP. Hari terakhir itu mata pelajaran yang diujikan adalah mata pelajaran IPA. Alhamdulillah, seperti apa yang barangkali juga sekolah Anda alami, anak didik kami semua hadir lengkap sejak hari pertama UN semua berjalan lancar. Bagaimana dengan hasilnya? Allahua'lam bi shawab. Harapan kami semua sebagai guru anak-anak itu, tentu mendapatkan hasil ujian yang maksimal dan optimal.

Ada beberapa alasan sehingga saya perlu membuat tulisan setelah prosesi nasional dalam bentuk evaluasi kognitif, yang antaralain diikuti oleh anak-anak didik kami pada tahun pelajaran 2011/2012 ini usai. Namun dari beberapa alassebut, untuk saat ini saya hanya akan menceritakan satu hal saja.

Satu hal tersebut adalah; bahwa kami masih dihantui oleh permainan drama yang berkisar tentang SMS kunci jawaban. Dimana drama ini pada tahun lalu membuat kami terpana. Bagaimana tidak, karena anak-anak pada waktu itu telah berada di sekolah sebelum pelaksanaan shalat dhuha kami mulai bersama. Dan saya sendiri melihat ada anak didik kami yang menulis dengan pensil di papan tatakan yang berwarna cokelat, yang nantinya menjadi alas untuk membulati LJUN. Namun karena kami tidak menyadari, maka hal itu tidak menjadi perhatian kami. Kami tidak menaruh curiga, karena kami yakin sebagaimana para pejabat meyakinkan kepada kami bahwa sulit untuk peserta ujian memperoleh kunci jawaban yang benar-benar benar. Mengingat ada lima jenis soal yang masing-masingnya berbeda. Juga posisi duduk anak yang setiap hari berubah.

Dengan melihat seperti itu, maka jika ada 'pemesanan' kunci jawaban, maka anak akan menerima lima kunci jawaban. Dan mereka harus dapat memastikan kunci jawaban yang mana yang sesuai dengan soal yang pada hari itu menjadi bagiannya? Artinya, meski anak didik kami pada waktu itu sudah mendapatkan kunci jawaban pun, ia masih dituntut untuk cerdas dalam membuat keputusan mana kunci jawaban yang cocok untuk soal yang dikerjakan. Hal terakhir yang saya kemukakan ini bukan berarti bahwa saya setuju dengan apa yang telah mereka dapatkan saat itu.

Sebagaimana yang telah pernah saya sampaikan dalam artikel saya sebelumnya, tentang bagaimana kami mempromosikan kepada anak didik kami bahwa hasil belajar dengan cara mencotek, seperti juga mendapat kunci jawaban melalui SMS, kalau kunci itu benar, maka hasil tersebut tidak akan membuat menjadi lebih berrtarbat pada diri kita. Dan bahkan akan membuat kita menjadi bahan tertawaan.

Logika itu, saya ulangi disini, misalnya pada saat pengumuman hasil UN di perpisahan siswa. Maka kepala sekolah akan memanggil para pemilik nilai UN yang tertinggi untuk naik ke atas panggung. Yang bisa jadi para orangtuanya diminta untuk menyertai. Nah, ketika dipanggil nama kita yang mendapatkan hasil UN tertinggi, padahal pada keseharian kita berada di peringkat tujuh dari bawah, maka akan seperti apakah muka yang akan kita pasang ketika kita menginjakkan kaki ke atas panggung? Bukankah semua mata teman kita dan para guru akan menatap kita sembari menutup mulutnya karena menahan geli? Begitulah gambaran ketidakberhargaan yang akan kita dapatkan jika hasil UN yang kita peroleh dengan cara yang haram.

Dengan berbekal pengalaman tahun lalu berkenaan dengan SMS kunci jawaban UN, sekali lagi saya mensyukuri, bahwa pada tahun ini kami tidak melihat indikasi itu terjadi. Kami, karena setelah UN berlangsung, saya dan teman-teman membuat kesimpulan bersama. Dan semoga itulah memang yang terjadi.

Jakarta, 29 April 2012.

26 April 2012

Melihat Bagaimana Peternak Sukses

Ada kesempatan yang diberikan teman kepada saya untuk ikut serta, ketika  yang bersangkutan bersama romobongan akan bertemu dengan pemilik perternakan Attawakal, di Cimande, Jawa Barat,  dalam rangka untuk menjalin kerjasama yang kesepuluh kalinya dalam penggemukan kambing sebagai hewan Kurban untuk tahun 1433 H.

Ini menjadi kesempatan bagi saya, karena cerita tentang bagaimana hebatnya Pak Haji Bunyamin, si pemilik peternakan tersebut sudah saya cium beberapa tahun lalu. Namun kesempatan itu baru benar-benar terwujud beberapa waktu lalu.

Dan benar saja. Saya kagum bukan main dibuatnya. Kagum dengan bagaimana ikhtiar yang tiada hentinya dalam melakukan pengembangan usahanya, juga ilmu yang dimilikinya. Dan dari kesempatan itu jugalah saya memiliki persfektif beternak yang memakmurkan. Sebagaimana yang terlihat pada foto paling atas, dimana kandang kambig yang dibuat secara teratur, kokoh, bersih, dan sehat. Juga rumah-rumah atau mes untuk hunian bagi para pekerjanya.

Pada saat kami datang, seorang penjaga sedang menyiapkan 'makan pagi' untuk hewan ternak dalam bentuk ampas tahu yang dikirim dari pabrik tahu yang telah lama menjalin kerjasama. 



Kambing-kambing dalam kandang tetap sabar menunggu asupan makan yang sedang disiapkan.










Setiap hewan, memiliki jatah  kapling sendiri-sendiri.

Refleksi Pengunjung

Sebagai orang awam dalam hal beternak kambing secara profesional, kunjungan saya itu benar-benar memberikan udara dan semangat baru. Bahwa peternak juga dapat memetik hasil dalam bentuk kesejahteraan. Dan semangat itulah yang tetap membara di dalam benak saya hingga refleksi ini saya tulis. Semoga pengetahuan tentang bagaiamana menjadi peternak sukses pada hari itu menjadi pintu bagi saya dan orang lain untuk menuju hidup sukses dengan jalan yang berbeda dari jalan apa, yang selama ini dijalani secara normal.

Jakarta, 26 April 2012.

18 April 2012

Home Schooling atau Sekolah Rumah, sebagai Pilihan

Pagi itu, di halaman sekolah, saya terlibat bincang-bincang dengan seorang driver yang sedang asyik dengan kemocengnya. Ia seperti biasa akan mengambil alat pembersih kendaraan yang tersimpan di bagasi. Salah satu alat yang dia gunakan pagi itu adalah kemoceng. Ia memang penikmat kendaraan bersih. Artinya, ia slalu dan sangat care dengan kendaraan yang dibawanya dalam kondisi bersih. Seperti pagi itu, kemocengnya dia kibas-kibaskan untuk membersihkan kendaraannya dari debu.
  • Bagaimana kabarnya hari ini Pak? Sapa saya kepada driver itu.
  • Alhamdulillah selalu baik Pak. Wah Pak, sebentar lagi saya sudah tidak akan parkir di halaman sini setiap hari ya Pak. Katanya. Memang dia akan tidak lagi mengantar anak ke sekolah kami lagi terhitung bulan Juli nanti. Karena ananda yang dibawanya sudah lulus dan melanjutkan ke tingkat sekolah yang lebih tinggi.
  • Oh iya Pak. Kemana sekolah berikutnya Pak? Tanya saya.
  • Di Jakarta Selatan Pak. Tapi seperti tidak akan lama betah untuk terus sekolah. Lanjutnya dengan tambahan keterangan yang membuat saya sendiri sebagai teman bercengkerama sedikit tersentak atas penilaian yang diberikannya.
  • Mengapa tidak lama? Apakah akan ada rencana untuk pindah domisili? Desak saya untuk mencoba menelisik pernyataan 'tidak akan lama' sang driver tersebut.
  • Ya, seperti yang lain Pak. Kalau ngak enak akan cari tempat lain. Kalau tetap ngak enak juga, ya milih home schooling. Jelasnya apa adanya.
Sebagai Pilihan

Ini mungkin pendapat saya dengan beberapa referensi dalam bentuk pengalaman yang saya dapatkan dari para siswa yang telah melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, bahwa ada gejala anak-anak muda sekarang yang menjadikan home schooling sebagai pilihan. 

Sebagai pilihan untuk jalan keluar bukan karena si pemilihnya tidak menyepakati prinsip-prinsip sekolah formal yang ada dengan segala implikasinya, tetapi lebih sebagai pilihan paling memungkinkan atas tuntutan yang ada di sekolah formal yang ada. Misalnya saja karena tuntutan harus datang ke sekolah sejak pukul 06.30-14.45. Atau karena tuntutan pembelajaran yang terlalu mengarah kepada akademik. Atau karena kesulitan dalam menikuti irama sosial antar siswa.

Dan karena sebagai pilihan dengan dasar yang sebagaimana saya kemukakan tersebut di atas, maka lulus dengan sistem kejar paket menjadi solusi. Tentu dengan pilihan seperti itu, maka kegiatan untuk bangun siang,  atau tuntutan tugas belajar yang padat, tidak lagi menjadi rutinitas yang harus dihadapi. 

Walau tetap ada sebagain lain yang memilih home schooling karena prinsip-prinsip yang di pegang oleh pendidikan formal tidak lagi menarik dan tidak lagi menantang. Maka pemilih pada bagian inilah yang memang berkomitmen untuk terus mengeksplorasi lingkungan dan diri menjadi lebih optimal.

Dengan fenomena baru tersebutlah, maka saya sebagai teman diskusi anak-anak di sekolah itu memberikan sedikit pengetahuan kepada anak-anak kami yang akan lulus tahun pelajaran ini, untuk dan agar tetap memegang teguh komitmen untuk berprestadi dalam kondisi apapun. Dan semoga keinganan kami itu, menjadi pegangan baginya dalam menapaki jalan yang masih panjang dalam sukses hidupnya. Semoga.
Jakarta, 17-18 April 2012.

16 April 2012

Cerita Bully antar Guru di Sekolah

Pekan-pekan ini, bontot saya, yang tengah duduk di kelas XI sebuah SMAN di Jakarta, dipenuhi cerita intrik antar guru di sekolahnya. Dan cerita itu tidak urung memakan hampir seluruh perhatiannya. Termasuk juga menggalang informasi dan pendapat dari teman-temannya dengan cara membuat survey jejak pendapat dan merangkumnya menjadi sebuah proposal untuk modal beraudiensi dengan kepala sekolah.

Cerita berawal ketika para guru yang ada di sekolahnya tidak memenuhi kuota minimal jumlah jam mengajar sebagaimana yang dipersyaratkan dalam sertifikasi guru. Hal ini tentu saja karena jumlah guru dan jumlah kelas yang harus diajar tidak memungkinkan untuk terjadinya pemenuhan kuota tersebut. Alhasil,maka mutasi menjadi pintu keluar bagi guru-guru yang ada. Terutama bagi guru-guru yang mengajar pada mata pelajaran yang sama. 

Namun bukan mutasinya yang menjadi kendala dan masalah berikutnya. Masalah datang ketika guru-guru yang dimutasi adalah guru-guru yang di mata siswa bagus. Dalam hal apa? Dalam hal mengajar atau menyampaikan pembelajaran. Bahkan tidak sekedar itu, menurut bontot saya, guru-guru yang akan dimutasi itu adalah guru-guru yang menjadi aset besar untuk kemajuan sekolah dimana ia berada. Mereka adalah guru-guru yang memiliki kepedulian terhadap kepribadian siswa dan prestasinya

Namun ketika audiensi terjadi, kepala sekolah tidak mungkin membuat usulan pembatalan atas keputusan mutasi tersebut. Namun, saya jadi teringat akan pengalaman yang menimpa guru anak saya yang sulung ketika ia masih duduk di SMA pada tahun pelajaran 2008/2009. Inilah cerita si sulung tentang intrik para gurunya di SMA: 

***
Guru Menekan Guru

Anda pasti pernah mendengar murid senior menekan murid juniornya. Dimana siswa senior secara berkelompok dan sembunyi-sembunyi melakukan aksi yang menurut mereka baik untuk dilakukan kepada juniornya. Mereka menunjukkan kesenioritasan dalam bentuk tindak-tindak arogan kepada juniornya. Inilah yang di dunia pendidikan dinamakan bullying. Sebuah penyakit sosial yang terlanjur tumbuh. Tapi pernahkah anda mendengar perilaku bullying tersebut terjadi pada strata guru disekolah? Misalnya dalam bentuk guru menekan guru?

Berikut penulis akan memberikan sebuah anekdot berkenaan dengan fenomena sosial tersebut. Sebut saja Bu Dian, seorang guru yang usianya masih relatif muda. Mengajar bidang studi Bahasa Inggris di sebuah sekolah SMA swasta di wilayah Jakarta. Memiliki sifat terbuka dan egaliter ketika berhadapan dengan siswa SMA yang menjadikannya mungkin berbeda dengan guru lain di lembaga tempatnya mengabdikan diri.

Kejadian ini berawal pada saat Ibu Dian mendapat amanah untuk menjadi guru wali kelas. dengan cara dan gayanya, menjadikan siswa di kelasnya sangat menyukai dan menjadikannya sebagai guru favorit. Kecintaan siswa terhadap dirinya tidak saja datang hanya dari kelas dimana dirinya menjadi guru wali kelasnya. Tetapi hampir di seluruh kelas dimana ia mengajar Bahasa Inggris. Waktupun berjalan dengan baik-baik saja. Tidak ada masalah sedikitpun terhadap kedekatan dirinya dengan seluruh siswanya.

Namun dengan berjalannya waktu, ada saja guru yang menjadi tidak nyaman dengan kondisi demikian. Sehingga yang ingin menjatuhkanya di mata siswanya sendiri dengan cara konspirasi yang dimainkan orang jahat tersebut. Dan yang menjadi sasaran adalah anak murid Ibu Dian. Masalah kecil dibesar-besarkan hingga sampai pada pemanggilan orang tua, hanya karena masalah sepele. Misal: memakai kaus oblong, baju di keluarkan, kaus kaki tidak berwarna putih dan rambut panjang padahal murid tersebut rambutnya sudah pendek. Intinya orang tersebut terus mencari-cari masalah dengan anak murid Bu Dian. Tapi Bu Dian yang sabar terus menasehati murid muridnya agar tidak melawan. Sampai kami naik kelas menjadi kelas XII IPA. Karena di sekolah tersebut kelas IPA hanya satu kelas jadi ketika naik kelas kami hanya berpindah ruangan tapi anak anaknya tidak berubah.

Wali kelas XI IPA berganti yang tadinya di pegang oleh Ibu Dian sekarang menjadi Ibu Tiwi. Sepertinya tidak ada masalah tapi disinilah masalah itu berawal. Murid-murid XII IPA yang sudah menganggap Ibu Dian sebagai Ibu kandung dan bukan sekedar sebagai wali kelas membuat Ibu Tiwi cemburu dan tidak senang. Padahal wali kelas mereka sudah diganti menjadi Ibu Tiwi. Ibu Tiwi pun memutar otak supaya murid murid XII IPA tidak dekat lagi dengan bekas anak muridnya itu. Ibu Tiwi yang jaga dekat dengan wakil kepala sekolah itu mulai mencari masalah, dengan merazia kolong-kolong meja yang berisi banyak buku murid-murid yang ditinggal di sekolah. Lalu memanggil murid-muridnya satu per satu dan menanyakan pertanyaan yang menjatuhkan nama Ibu Dian di depan guru guru yang lain sehingga Ibu Dian dikucilkan di ruang guru. Rencana Ibu Tiwi berjalan dengan sempurna dan ia pun semakin bersemangat mencari cari kesalahan murid murid XII IPA. Memang mengherankan ketika guru-guru yang lain berusaha keras untuk memoersiapkan ujian nasinonal tapi Ibu Tiwi malah sibuk menjatuhkan Ibu Dian dari depan maupun belakang.

Ibu Dian pun bingung kenapa Ibu Tiwi itu begitu membenci Ibu Dian, sebenarnya apa salah Ibu Dian kepada Ibu Ibu Tiwi hingga melibatkan para murid murid XII IPA?. Masalah ini mencapai puncaknya ketika kasus demi kasus menyapa murid-murid XII IPA. Dan ironisnya kenapa kalau murid murid XII IPA membuat suatu kasus yang di salahkan adalah Ibu Dian?. Padahal yang harus di salahkan adalah Ibu Tiwi itu sendiri sebagai wali kelas, ibu Dian bukan wali kelas XII IPA. Sampai sampai ditahun pelajaran berikutnya Ibu Dian dinonaktifkan dari sekolah SMA swasta tersebut akibat kasus yang menyapa murid-murid XII IPA. Dan ada orang yang tertawa melihat kejadian ini.

Tidak heran sekarang banyak video-video kekerasan yang dilakukan oleh para siswa dan siswi di sekolah kalau guru gurunya saja seperti itu. Pantas negara ini tidak mengalami kemajuan malah terancam kemunduran. Guru-gurunya saja seperti itu. Bagaimana mau memberantas korupsi kalau lingkungan sekolahnya saja seperti itu. Anda pasti tahu peribahasa yang mengatakan guru kencing berdiri murid kencing berlari. Artinya apa yang dilakukan guru pasti diikuti juga oleh murid tidak peduli itu baik atau pun itu buruk.

Ditulis si sulung pada April 2009.

Jakarta, 16 April 2012.

15 April 2012

Saya Menemukan Kecerdasan di Ruang UKS

Siang itu saya belajar banyak sekali dari seorang peserta didik saya yang sudah duduk di kelas tiga sekolah dasar tentang tipe seseorang. Saya juga mensyukuri bahwa saya pergi ke UKS siang itu untuk sekedar mampir ketika saya akan membuka koran hari itu di perustakaan, yang ruangannya berdampingan, di sekolah saya. Saya yang lebih dahulu datang ke ruang UKS itu. Dan ketika masuk seorang anak dengan keluhan sakit di bagian perutnya, maka suster UKS memintanya untuk naik ke divan periksa dan membalurinya dengan minyak gosok untuk supaya menjadi lebih hangat. Maka dari sinilah cerita saya ini berawal.

***

Saya yang berada di posisi yang berbeda, tetap dapat mengikuti seluruh proses penanganan suster UKS kami itu dengan seluruh dialog yang dilakukannya kepada sang anak tersebut. Dan diantara dialog itu adalah komunikasi akrab antara suster tersebut dengan sang anak yang memang telah memiliki hubungan saling kenal dianatar mereka. Dikatakannya kepada anak tersebut, untuk melakukan self therapy dengan cara memijit sesuai dengan kebutuhan badannya sendiri. Dan self therapy itu dilakukan oleh anak dengan baik dan benar.

Standar baik dan benar ini, dalam pandangan saya hanya dilihat dalam bentuk cara dan implikasi dari apa yang dilakukan anak tersebut terhadap perutnya. Dimana, anak tersebut dengan jemari kedua tangannya, meraba dan memijit permukaan perutnya yang menjadi keluhan. Suster sekolah kami, yang memang mengenal benar siapa anak tersebut, hanya memberikan masukan atas pijitan yang dilakukan sang anak.

Sedang implikasi dari pijitan lembut anak itu adalah sendawa yang tiada habisnya dari anak tersebut. Ketika saya bertanya:
  • Mengapa ia bisa sampai sendawa seperti itu? Suster menjelaskan bahwa;
  • Itu bentuk energi negatif tubuh akibat pijitan. 
  • Mengapa anak itu begitu sakti? Komentar saya pada suster. 
  • Tidak sakti Pak. Itu self therapy yang memang ia dapatkan dari bundanya yang therapies. Jelas suster. 
Saya yakin saja atas apa yang menjadi penjelasannya. Mengingat hubungan anak tersebut dengan suster adalah tidak sekedar hubungan antara suster UKS di sekolah dengan siswa atau anak peserta didik di sekolah. Rupanya, suster adalah lulusan dari sekolah perawat yang dikelalola dengan baik oleh bunda anak tersebut.
Dan setelah anak itu menyelesaikan proses self therapy-nya, maka saya menyaksikan pertunjukkan berikutnya yang tidak kalah dahsyatnya. Dimana anak tersebut mempu memberikan penilaian kepada saya yang berkenaan dengan jenis karakter yang saya miliki. 
  • Bapak adalah orang yang memilik karakter melayani orang. Dengan selalu ingin untuk membuat orang yang Bapak layani senang. Bapak mudah tersenyum dan penggembira. Jelasnya. Saya tentu kaget dan sedikit meragukan apa yang menjadi penjelasan tentang klasifikasi dan sifat dasar yang saya miliki. Oleh karenanya, saya meminta hal yang sama terhadap Guru Kelasnya. Dan tanpa memakan waktu lama, ia dapat menjelaskan dengan pas. Mengapa pas? Karena saya dan suster UKS sama-sama mengenal dengan baik dengan Guru Kelasnya atau juga teman-teman lain yang kami akhirnya minta pendapat si anak itu.
  • Dari mana anak itu belajar hal itu? Tanya saya kepada suster UKS saat anak itu telah kami ijinkan meninggalkan UKS untuk melanjutkan kegiatan sekolah berikutnya.
  • Dari Bundanya, ketika selama ia belum masuk bangku sekolah dasar. Dan selama itu pula, ia menjadi pengawal bundanya selama bundanya memberikan seminar. Jelas suster.
***
Luar biasa. Saya terkaget dengan kecerdasan yang ditunjukkan anak itu kepada kami sepanjang keberadaannya di ruang UKS.  Dari peristiwa itu, saya sungguh tergoncang atas ketidaksinkronan anatara nilai akademis yang dimiliki anak tersebut dengan pengetahuan yang maha luar tentang self therapy yang telah dikuasainya?
Perlu saya sampaikan disini bahwa, secara akademis, kemampuan anak itu berada di sekitar urutan 17an dari 25 siswa yang ada di dalam kelas kita. Tetapi pertemuan siang itu? Semua telah menjungkirbalikkan pemahaman saya tentang kecerdasan akademik. Tidak terlalu salah bila saya bangga atas pertemuan saya dengan Fulan di ruang UKS siang itu! Terima kasih Fulan, dan tentunya suster, atas kesempatan untuk bertemu dan belajar.

Jakarta, 12-15 April 2012.

Siswa Saya, Ngambek

Untuk memudahkan, panggil saja Fulan, nama siswa saya yang ngambek di halaman sekolah kami yang multi fungsi. Saya mendapati dia telah tertelungkup di tepi lapangan futsal dimana saya sedang menjadi wasit pertandingan antara siswa kelas 9 A melawan kelas 9 B. Waktu sudah menunjukkan lebih kurang pukul 15.40, waktunya anak pulang sekolah. Namun seperti biasa, untuk menghilangkan kejenuhan, maka masih banyak anak-anak yang menunda kepulangannya dengan bermain futsal di lapangan multi fungsi itu. Dan sayalah yang menjadi wasit di sore yang lumayan terik itu. Jangan ditanyakan mengapa begitu seringnya saya menjadi wasit anak-anak itu. Itu karena saya ingin berlama-lama menemani keceriaan mereka. Karena saya menyadari sepenuhnya, ketika saya berada dengan mereka maka itu berarti saya sesungguhnya sedang menyerap ilmu yang mereka punya. Seperti sore itu.

Karena posisi saya yang ada di seberang lapangan, dan berjarak lebih kurang lima belas meter dengan penghalang badan anak-anak yang sibut memperebutkan dan mempermainkan bola, tidak terlihat sama sekali oleh saya apa yang menjadi penyebab Fulan menelungkupkan dirinya di tepi lapangan, dimana teman-temannya sedang sibuk dan asyik bermain. Saya meminta informasi dari teman yang kebetulan berada di dekatnya, tetapi tidak mengetahui juga apa yang sebelumnya terjadi pada diri Fulan. 

Juga bertanya kepada kakak Fulan yang kebetulan sedang bermain futsal, dan juga kepada sang adik yang juga saat itu sedang berada di dekat Fulan. Tidak ada yang dapat memberikan jawaban. Akhirnya, saya datang dimana Fulan berbaring. Saya berjongkok dan mendekatkan kepala saya untuk dapat berkomunikasi lebih baik dengannya. Saya sampaikan pertanyaan yang menurut saya paling mengena untuk memperoleh informasi. Tidak ada jawaban yang tegas darinya. Tetapi saya sempat menatap raut muka yang memerah dan sepasang matanya yang basah oleh air mata.

***
Fulan tetap bersikukuh tidak menjawab apa yang menjadi pertanyaan saya. Namun ia memberikan isyararat bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Setidaknya ketika saya bertanya mungkin ada bagian badannya yang sakit karena tadi bermain futsal dengan temannya? Dia memastikan diri tidak merasakan apa-apa dengan gelengan dan anggukan. Dari komunikasi simbolis itulah maka saya berkomitmen untuk tetap berdiri di dekatnya dengan terus menjadi wasit pertandingan. Keberadaan saya untuk tetap berdiri di situ tidak lain adalah untuk melindungi Fulan agar tidak terkena bola futsal yang sedang dimainkan. Karena jika sampai itu yang terjadi, maka saya menduga bahwa proses recovery Fulan dari ngambeknya akan memakan waktu lebih lama lagi.
Di tengah lapangan, sang kakak berteriak kepada saya bahwa adiknya sedang melakukan komunikasi protes dengan tujuan untuk mencari perhatian. Lalu saya memanggil kakak untuk berhenti sejenak menjadi keeper dan menyampaikan apa yang ingin disampaikannya kepada saya. Setidaknya, saya sedang mengajak agar anak-anak tidak perlu menyampaikan pendapatnya dengan berteriak. Alhamdulillah berjalan dengan baik. Bahwa pendapat sang kakak tersebut, saya lihat sebagai masukan yang sangat besar kebenarannya.

Setidaknya, sang adik ingin segera kembali ke rumah dan beristirahat, karena sopir dan kendaraannya telah menunggu di halaman parkir sekolah, namun niat itu belum juga dapat direalisir hanya karena kakak dan adiknya masih ingin melepas energi yang masih tersisa banyak dengan bermain futsal. Dan karena tujuan itu belum juga dapat disetujui akak dan adiknya dengan segera, maka jalan ngambek itulah yang menjadi pilihannya.

Ini memang peristiwa kecil yang sering terjadi di sekolah atau bahkan di rumah kita dengan berbagai bentuk dan koordinat perilaku yang mirip. Namun dari peristiwa kecil itu, bagi saya adalah bagian yang membahagiakan dari hidup saya. Yaitu tentang bagaimana melihat setiap fenomena yang ada di sekolah sebagai bagian penting bagi saya untuk mendapatkan hikmah dan pelajaran.

Jadi, tidak terlalu berlebihan kalau saya sampaikan kepada siswa saya yang ngambek itu ucapan terima kasih bahwa ia telah membelajarkan saya tentang perhatian,

Jakarta, 11-15 April 2012.

10 April 2012

Buah Jatuh tidak Jauh dari Pohonnya #5

Seperti orangtua, seperti itulah anak-anak mereka. Begitu kata pepatah. Dalam realitas sehari-hari di sekolah, saya banyak melihat dari beberapa pola hidup anak yang setelah bertemu dengan para orangtuanya, menemukan indikasi kemiripan. Untuk itulah saya punya sedikit pembenaran dengan bersandarkan kepada peribahasa tersebut di atas, atau kepada judul tulisan ini.

***

Nah untuk kali ini yang saya akan sampaikan adalah kebiasaan anak untuk terlambat masuk sekolah. Kebiasaan karena nyaris setiap hari anak itu terlambat masuk sekolah. Meski untuk keterlambatan yang kelima, orangtua harus mengantar anak hingga sampai bertemu degan guru piket, tetapi tetap hari pertama pada pekan berikutnya, anak akan memulai jadwal terlambat datang ke seklahnya. Begitulah anak itu.

Tapi yang menarik bagi saya atas apa yang disampakan gurunya kepada saya adalah bahwa sang Ibu pun selalu saja ada alasan untuk disampaikan kepada guru piket tentang mengapa anak-anaknya terlambat. Jika hari ini disebabkan oleh karena adik paling kecil yang mendadak panas badannya, esok hari karena baju seragam yang ada di rumahnya yang satu lagi sehingga harus mengambilnya dahulu, lain waktu karena menunggu supir yang terlambat datangnya, dan seterusnya. Pendek kata selalu ada yang kurang dalam setiap waktu akan ke sekolah. 

Pernah suatu kali guru di sekolah berpikir, apakah kalau setiap hari akan pergi ke sekolah maka sebagai orangtua tidak mempersiapkan diri, misanya dengan apa saja keperluan yang akan atau harus anak bawa esok hari dengan terlebih dahulu melihat jadwal atau pengumuman yang ada di buku komunkasi buah hatinya? Atau mungkin untuk melatih kemandirian anaknya maka orangtua mengingatkan sang anak untuk bersiap atau mempersiapkan segala hal yang berkenaan dengan perlengkapan sekolah esok harinya? Sehingga ketika pagi hari, dimana hanya memiliki waktu yang tidak panjang sejak anak bangun hingga masuk kendaraan menuju sekolah, situasi di rumah menjadi lebih siap dan tidak mudah untuk diantisipasi jika terjadi suatu hal di pagi hari? Mengapa guru terpikir seperti itu? Karena terlambat masuk sekolah sudah menjadi rutinitas. Dan bkakah jadwal masuk sekolah pagi hari selalu sama jamnya? Dan juga bukankah jarak tempuh antara rumah kita masing-masing menuju sekolah dengan kendaraan plus kemacetannya telah terhitung dalam benak kita sebagai pelakunya? Jadi mengapa terlambat sekolah tidak menjadi tekad yang sungguh-sungguh untuk dipecahkan? Atau mungkin kita membutuhkan sangsi atau konsekuensi yang lebih tegas dari sekolah untuk masalah keterlambatan tersebut?

***

Atas seluruh argumentasi itu semua, maka pihak guru mencari tahu sumber masalah yang harus diurai dari masalah tersebut. Dengan mengundang anak, orangtua yang terdiri ayah dan ibu, untuk beraudiensi, berdiskusi. Dan dari hasil dialog tersebut, maka disimpulkan bahwa masalah tidak akan cepat untuk ditemukan solusinya. Mengapa? Karena pola yang ada, yang menjadi teladan di rumah, belum memungkinkan untuk terjadinya perubahan. Maka tidak salah bukan bila saya menjadi teringat peribahasa buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya? Sementara teman yang lain mengingatkan saya agar hati-hati menbuat kesimpulan. Jangan terburu-buru. Siapa tahu esok mereka menjadi insyaf? Amin. Semoga. Karena saya juga yakin bahwa naluri kita adalah yang baik-baik saja.

Jakarta, 09 April 2012.

09 April 2012

Cerita Supir Taksi tentang Pandangannya


Dalam sebuah perjalanan yang mengharuskan menggunakan taksi, karena di kota ini kendaraan umum sama sekali sudah tidak lagi beroperasi menjelang pukul setengah enam sore, saya berkesempatan mendengarkan cerita panjang lebar tentang pandangannya terhadap negeri yang dicintainya. Dan dari cerita yang disampaikan itu saya mendapat kesempatan untuk belajar tentang bagaimana menjalani hidup. Atau mungkin lebih tepatnya adalah bagaimana memosisikan diri dalam konstelasi hidup sosial dewasa ini. Adgar tidak salah posisi.

Tapi mengapa dari seorang supir taksi saya harus belajar? Karena saya melihat dia sebagai sosok yang mandiri. Semua pendapatnya murni dari kearifan pribadi sendiri. Meski kadang dari pandangan-pandangannya itu masih terbalut emosi kegemasan. Tidak ada kepentingan diluar dirinya yang mampu mengintervensinya. Dia berangkat narik penumpang dengan taksinya dengan tekad yang sederhana, mengumpulkan rezki untuk setoran dan untuk pemenuhan kebutuhan bagi keluarganya dengan menggunakan standar hidup secukupnya dan apa yang ada. Tidak terlalu sulit sesungguhnya pola hidupnya. Tetapi juga tidak sederhana.

Esemka

Ini berkenaan dengan mobil hasil karya anak-anak bangsa yang dimotori oleh pemerintah daerah kota Solo. Membanggakan sekaligus mencengangkan walau pada akhirnya semua kita memaklumi mengapa harus berakhir seperti itu. Namun seperti berita yang ada di media, bahwa nasibnya harus menunggu uji emisi kembali. Ini karena pada ujian pertama belum berhasil lolos.  Sebagai anak bangsa, saya pribadi optimis. Seperti optimesmenya Pak Habibi yag saat dengar pendapat di gedung DPR/MPR pada masa Orba dulu berkata; Bagaimana Indonesia tidak bisa membuat mobil sendiri? Sedang pesawat terbang saja bisa? Tapi Pak Supir taksi itu berkata:
  • Tidak lulus uji emisi itu juga salah satu skenario Pak. Bayangkan kalau sampai lolos dan kemudian mobil itu laku di pasaran, habis sudah mobil negera jiran yag kualitasnya tidak terlalu lebih jauh baiknya di banding mobil itu. Bapak kenal Pak Sukiat? Nah, dia itu jagonya mobil dari Klaten. Bengkelnya itu terkenal bagus. Taksi sudah melintas di samping gereja yang akses jalannya masih di tutup untuk Misa Malam pada hari Paskah itu. Saya tidak bergeming mendengarkan pidato sang supir taksi yang fasih bicara kondisi sosial. Mungkin dia senang membaca koran pada rubrik politik atau di head line. Atau mungkin juga baca opini dari surat kabar yang memuat pendapat-pendapat kritis para praktisi dan orang cerdik pandai. Tetapi setidaknya, saya bersama anak menikmati pandangan tentang suatu hal dari kaca mata yang berbeda. Setidaknya berbeda sebagimana yang ada di layar tivi yang pada peserta didkusinya bercincin mahal serta berjas.
  • Coba Pak, apakah ada di Indonesia ini yang pemimpinnya berani menjadi tumbal seperti Jokowi itu? Tetapi ya itu, atasannya malah sinis berkomentar. Ngurus jalanan di wilayahnya yang rusak saja ngak bisa, malah nimbrung terus... Wah, ini pendapat yang menjurus pribadi. Saya masih diam. Paling saya berguman untuk memberikan tanda bahwa saya tetap menyimak apa yang menjadi pendapatnya.
Penetapan

Ini isu panas berikut yang memang menjadi bahan diskusi sangat menggairahkan bagi warga DIY. Siapapun mereka. Termasuk supir taksi yang saya tumpangi ini. Juga tukang becak yang beberapa waktu lalu kisahnya pernah saya muat dalam blog ini ketika saya pada April 2011 naik becak dari Jalan Dagen untuk diantar ke Jalan Wijilan begitu pagi menjelang. Dan tukang becak menyampaikan pandangannya dengan penuh emosi. Dan pada saat itu, saya diberikan selebaran dari Pengawal Amanah HB IX 5 September 1945 dengan judul leaflet: Alasan-Alasan Penetapan Berbasis 'Ijab Qobul'.
  • Siapapun yang menyatakan bahwa Jogja ini harus ada pemilihan kepala daerah, sebaiknya membaca sejarah kembali. Apa kata sejarah. Tapi kalau memang mau dipaksakan, ya monggo. Kami rakyat biasa mas. Kami akan bela keyakinan kami. Jenengan boleh buktikan tekad kami ini. Wah, saya semakin takut dengan pandangan-pandangannya yang panas. Oleh karena itu saya tetap mengiyakan apa yang disampaikannya. Sebagai pegunjung di kota ini, saya tidak ingin menyampaikan pandangan saya karena ini saya pikir bukan tempat yang pas dan cocok untuk bertukar pikiran. Saya justru tertarik untuk melihat dan lebih tahu lagi tentang bagaimana masyarakat memandang sosial kultural masyarakatnya. Ini menarik bagi saya untuk dapat melihat konstelasi sosial dari kaca mata yang berbeda.
  • Ketetapan baru dari pemerintah, dalam hal ini dari Meteri Dalam Negeri, diberikan perpanjangan satu tahun lagi agar pembahasan RUUnya kelas. Tapi saya yakin sekali kalau pemerintah akan mencari solusi terbaik.
Alhamdulillah, taksi segera melewati Selokan Mataram. Yang berarti bahwa tuuan saya sudah hampir dekat. Dan berarti pula saya yang memberikan komando Pak Supir untuk mengambil jalan yang benar menuju tempat kos. Saya bersiap turun ketika Pak Supir meminta maaf kepada saya, karena ia lupa memencet argo ketika kami tadi naik di jalan KS Tubun. Ya sudahlah. Pikir saya sembari memberikan uang ongkos kami kepada Pak Supir yang kritis ini.

Masih ada beberapa topik yang diceritakan Pak Supir itu kepada saya sepanjang perjaanan itu, tapi saya pikir dua topik itu cukup untuk saya bagikan kepada Anda.

Ciasem, 8 April 2012.

08 April 2012

Belajar tentang Bersih

Sebuah kampanye bersih dari sponsor saat Idul Fitri 2011.
Sebagai anak kampung yang datang ke jakarta, untuk kemudian menjadi guru di sebuah  sekolah swasta yang para peserta didiknya dari keluarga mampu, keluarga yang memberikan lingkungan bersih dan apik sebagai budaya dasar mereka, maka citarasa saya  tentang bersih dan kebersihan menjadi tertinggal. Untuk itu, peserta didik itulah sumber belajar saya dalam belajar tentang bersih. Belajar dari siswa yang setiap pagi hadir di sekolah dengan necis dan wangi untuk ukuran kebersihan diri. 

Juga belajar tentang bersih dari para cleaning service terhadap apa itu kebersihan lingkungan belajar yang ada di sekolah, dimana diantara mereka sesungguhnya baru memiliki tingkat kesejahteraan  berada pada standar kesejahteraan daerah dimana mereka bekerja. Belajar dari orangtua siswa, yang meski sekolah sudah terlihat bersih tetapi kadang masih ada yang menyampaikan kekurangan. Dan belakangan ini untuk hal bersih saya juga belajar dari ketua Yayasan pada saat beliau meninjau serta berkeliling ke lokasi yang ada di sekolah sekaligus memberikan nilai.

Pendek kata, jika dikomparasi citarasa bersih saya kali pertama datang ke Jakarta dengan apa yang saya miliki sekarang ini, mungkin hanya pas diperbandingkan antara bumi dengan langit. Dan untuk itu saya bersyukur. 

Dan citarasa itu, pada ujunganya juga menjadi bagian dari kehidupan saya di rumah. Atau paling tidak ketika saya mendapat amanah untuk membantu di sebuah lembaga lain, citarasa itu dapat menjadi sumber inspirasi bagi teman-teman yang berada di lembaga tersebut.

Mengapa saya terlambat belajar bersih padahal ketika di kampung halamanpun sudah mendapat doktrin bahwa bersih dan kebersihan itu merupakan bagian dari pada iman? Menurut saya, ini tidak lain karena ketika di kampung belajar bersih sebagai bagian dari iman, masih dalam bentuk konsep mengingat dan belum menjadi bentuk budaya. Konsep mengingat tersebut belum memiliki cantolan yang berkenaan dengan ukuran bersih itu sendiri. Misalnya, bersih yang seperti apa? Tidak ada bayangan bersih yang seperti apa? Tapi yakin bahwa bersih itu merupakan bagian dari iman.

Maka, bila kita meyakini taksononi bloom dalam hasil belajar, posisi mengingat tersebut baru dalam tahapan awal dalam hasil belajar. Sedang untuk sampai sesuatu seperti kebersihan itu menjadi budaya, seharusnya mengingat itu harus menjadi aplikasi perilaku yang sudah berubah dalam perilaku kebiasaan. Dan ketika mengingat menjadi perilaku, maka kepahaman akan bersih, sudah dalam bentuk pengertian yang tergambar kualifikasinya.

Itulah maka ketika konsep bersih itu sudah saya ketahui, tetapi karena baru pada tataran konsep, maka perilaku saya kadang atau sering tidak sinergi dengan apa yang terjadi di lapangan kehidupan sehari-hari. Untuk itulah saya mengalami proses belajar yang relatif panjang, meski itu  hanya belajar tentang bersih.

Misalnya ketika bersama teman-teman yang dari udik saya masuk menjadi bagian di sebuah sekolah dengan standar bersih yang baik. Maka di tempat inilah saya kemudian naik kelas dalam  pemahaman tentang bersih. Lucunya lembaga saya belajar paham bersih itu justru bukan lembaga yang berbasis agama.

Tetapi itulah kenyataannya. Dan ketika saya harus melakukan ritual di lokasi yang semestinya bersih menjadi bagian dalam aplikasi agama, saya terhenyak oleh realita toilet atau tempat wudhu yang kotor atau bahkan jorok. Kondisi yang sungguh memprehatinkan sekaligus jungkir balik. 

Haruskah proses belajar bersih yang saya lakukan dapat menjadi inspirasi para pemangku kewenangan di tempat-tempat seperti itu? Allahua'lam bishawab.

Jakarta-Buntu, 05-06 April 2012

Antri di Ciregol (Lagi)

Bus-bus malam terlihat antri menuju jalanan yang longsor.

Benar lagi, karena pada April 2011 saya bersama istri mengalami hal yang sama dengan apa yang saya dan anak alami (lagi) pada April 2012. Di ruas  jalan yang sama. Dan dengan problem jalan yang sama pula. Hanya memang dalam koordinat keberuntungan yang berbeda. Tahun 2011 saya mengalami lebih ringan denga apa yang saya alami tahun 2012 ini.

Pada tahun 2011 lalu, nyaris tidak ada antrian. Karena jauh hari orang sudah mengathhui kondisi jalan yang ambrol, sehingga tidak menjadikan jalur Brebes-Ajibarang melalui jalur Tonjong-Bumiayu. Ini karena tanjakan Ciregol putus. Sehingga bus malam saya termasuk pemberani untuk memilih melalui jalur ini pada saat itu. Kami, penumpang laki-laki hanya diminta untuk turun bus dan berjalan kaki menuju bagian atas jalanan yang masih mulus. Sementara bus dan penumpang perempuan tetap tinggal dalam bus dan merangkak marayapi tanjangan yang pada dini hari itu tampak begitu tajam.

Tetapi tahun 2012 ini, jalan ini longsor separuhnya. Oleh karena itu arus kendaraan masih dari dan ke Brebes-Ajibarang terlihat normal. Namun pada malam itu volume kendaraan lebih banyak dari hari sebelumnya. Baik kendaraan truk dengan muatan penuh dan atau bus malam serta juga kendaraan pribadi. Alhasil, penumpukan akibat bottle neck terjadi pada ruas itu. Antrian berkilometer tidak dapat dihindari.

***
Anehnya, ketika saya membuka situs berita, kembali saya melihat sebuah logika merayu, yang menurut akal saya merupakan bentuk rayuan murahan. Beginilah cuplikan beritanya: Bank Dunia menyatakan batalnya kenaikan harga BBM jadi Rp 6.000 per liter bakal membuat anggaran subsidi BBM membengkak dan akhirnya anggaran pembangunan infrastruktur dikorbankan. Inilah berita itu: http://finance.detik.com/read/2012/04/07/163910/1886942/1034/pilih-mana-subsidi-bbm-atau-bangun-infrastruktur?f9911033. 

Mengapa akal saya mengatakan ini merupakan bentu propaganda tidak cerdas dan terkesan serampangan serta murahan? Karena, menurut saya, mengapa baru sekarang berpikir betapa pentingnya tentang infrastruktur (jalan)? Apakah karena untuk merayu agar konsumen bbm merasa Ikhlas dengan kenaikan yang belum jadi diberlakukan? Untuk itu murahan bukan? Mengapa tidak dari dulu pemangku jabatan yang ada dui daerah hingga pusat itu menyisihkan anggarannya untuk melayani kami dengan membuatkan infrastruktur jalan yang baik? Mengapa untuk melintasi jalu Losari- Ajibarang-Buntu-Tambak-Kebumen-Purworejo hingga Yogyakarta masih tetap dengan lintasa kereta api? Dan semua jalan raya yang harus melintasi jalur kereta api  ini ada di wilayah Jawa Tengah? 

Untuk inilah saya menghimbau agar kita semua menjadikan amanah kepemimpinan itu untuk melayani. Agar kelak dikemudian hari, para pengguna infrastruktur itu dapat memberikan kesaksian atas apa yang Bapak/Ibu pemimpin sudah lakukan saat berada di atasan kami. Semoga harapan ini terwujud. Amin.

Bayan, 07 April 2012.

Nenek dengan Cucunya


Bertemu di Toyan, Kokap saat bus Prayogo yang saya tumpangi penuh sesak. Nenek itu naik bersama rombongan yang lebih kurang berjumlah delapan orang yang sebelumnya adalah penumpang dari bus BUMN yang berangkat dari Bogor dengan tujuan akhir perjalanan adalah Yogyakarta. Jam di tangan saya menunjulkan pukul 16.15 saat nenek itu naik bus saya setelah di oper. Sementara pertigaan Toyan, lokasi dimana operan penumpang antar bus tersebut  itu, sedang disiram gerimis.

Nenek itu naik ke bus yang saya tumpangi dengan menggendong seorang anak balita, dengan kain batiknya. Ditangannya masih ada tas tangan Ibu-Ibu warna hitam. Anak balita yang digendongnya bermata cerdas dengan topi woll yang menutupi kepalanya. Anak itu perempuan dengan anting yang menyembul keluar dari topinya. Saat bicara, anak itu tampak benar-benar smart. Saya dan anak yang baru mendapat duduk di sekitar Temon, memepersilahkan nenek itu duduk menmpati tempat duduk anak saya.

  • Maturnuwun nggih Mas. Nenek itu menyambut kesempatan yang kami  berikan. 
  • Kulo niki saking Bogor wingi dalu jam wolu. Kok yah menten nembe dugi mriki... Keluhnya bercerita tentang perjalannannya. Perjalanan yang tidak mudah dan tidak ringan untuk seorang nenek yang lebih kurang telah berusia 60 tahunan bersama cucunya.
    Alhamdulillah putu kola niki mboten rewel babar blas. Alhamdulillah mas. Niki sampun nderek kulo Wiwit alit. Bapak kalian ibunipun wonten Bogor pados damelan. Saya diam tidak memberikan komentar apapun. Saya hanya membayangkan apakah para peminpin kita punya pengalaman atau empati terhadap apa yang dialami oleh nenek itu.
Dikatakannya bahwa kendaraan yang ditupanginya terjebak macet panjang di tanjakan Ciregol, Tonjong, Kabupaten Brebes. Antrian itu butuh waktu lima jam untuk dapat melaluinya. Maka tidak keliru jika nenek itu bersama rombongan saya temui di pertigaan lampu lalu lintas Toyan.

***
Masalah antrian dan kemacetan yang dialami oleh nenek itu sesungguhnya juga saya alami. Hanya mungkin saya lebih beruntung karena bus malam saya tiba di Ciregol lebih dahulu. Sehingga antrian saya ada di depan kendaraan yang ditumpangi nenek itu. Dan pasti bukan menjadi milik nenek dan saya saja, mengingat hari itu adalah hari pertama untuk libur panjang akhir pekan.

Namun bagi saya pada saat pertemuan itu lebih trenyuh pada kondisi nenek bersama cucunya. Dimana orangtua sicucu harus meninggalkan anaknya untuk bekerja di luar kota. Mengapa orangtua itu harus meninggalkan anaknya dan tidak membawa serta? Dugaan saya karena dalam hitungan Ibu-Ayah tersebut pendapatan mereka akan kurang bilamana salah satu dari mereka harus tinggal bersama anaknya atau juga bila mereka berdua bekerja dengan seorang pembantu yang harus merawat anaknya.

Dengan kondisi demikian, maka pilihan bahwa nenek itu harus bersama Cuçu yang tinggal di tempat yang jauh dari kedua orangtua si Cuçu tersebut merupakan pilihan yang paling mungkin. Benarkah? Allahua'lam.

Yang jelas, bahwa nenek itu tetap belum selesai dan pensiun dari merawat balita. Meski usianya sudah lewat dari usia tua. Tapi itulah realitas hidup yang ada di sekitar kita. Lalu bagaimana nenek atau Ibu dari kita masing-masing. Jugakah mereka sedang menggendong cucunya yang adalah anak-anak kita? Lalu adakah hak pensiun bagi mereka dari tugas terhadap generasi para cucunya?

Gamping, 06/04/2012.

Cerita Saya tentang Tokoh Hebat


Siang itu, di teras mushala sekolah, saya bertemu dengan dua siswa saya yang baru saja selesai menunaikan shalat dhuha. Alhamdulillah. Pikir saya. Saya bersyukur bahwa anak-anak itu tetap menyampaikan doanya untuk kesuksesan mereka dalam ujian nasional yang sebentar lagi akan mereka hadapi. Tentu selain dengan doa juga pastinya ikhtiar pokok yangharus mereka jalani, yaitu belajar. Mereka berdua tampak sedang mengenakan sepatu sembari bercengkerama dengan guru BK yang selalu setia bersama anak-anak remaja kami itu pada saat saya datang.

Saya menyapa mereka dengan bertanya apakah sudah selesai dhuhanya? Tidak ketinggalan juga bertanya kabar masing-masing. Dan dialog itu tumbuh ketika saya bertanya tentang SMA mana yang akan mereka pilih nanti setelah meninggalkan bangku SMP. Yang seorang telah mantap menentukan pilihannya. Sedang yang seorang lagi meski telah membayar uang pangkal di SMA yang semula dipilihnya, namun dalam perjalanan waktu ia berubah pikiran. Alhasil sekarang ini Ia sedang menunggu hasil tes masuk di SMA yang lain. Kok bimbang? Tanya saya pada siswa saya yang jago main games on line, yang akhir tahun lalu mewakili Indonesia berangkat ke Seoul untuk pertandingan games.

Dan jawaban dari pertanyaan itu adalah pertimbangannya bahwa jika dia nanti masuk di SMA pilihan pertamanya, dikawatirkan hobi main gamesnya akan tidak berkembang. Itulah maka Ia mencari Sekolah yqng masih memungkinkan baginya untuk malannjutkan hobinya.

Cerita Saya

Dialog tersebut akhirnya melebar. Dan seperti biasanya, saya tidak menyia-nyiakan momen itu untuk memprosfek mereka dengan cerita motivasi saya. Dan cerita yang saya sampaikan adalah cerita tentang hebatnya tokoh nasional yang terkenal dengan nama Sandiaga Uno, pemilik Saratoga Capital, Perusahaan yang mempu membuat Mandala Airlines terbang kembali setelah satu tahun stop mengudara. Ini barangkali link beritanya: VIVAnews TERPOPULER BISNIS - Sandi Uno: Alhamdulillah Mandala Terbang Lagi http://t.co/kiwKzUSu. Atau dapat dilihat profilnya di:http://sandiaga-uno.com/tentang-saya/

Saya juga menyampaikan sepanjang yang saya ketahui tentang tokoh itu, yang saya harapkan dapat menjadi inspirasi bagi remaja siswa saya itu. Dan bagaimana bila Indonesia memiliki puluhan atau bahkan ratusan orang dengan kiprah kepiawaiannya serta integritas seperti tokoh muda itu. Dan ternyata anak-anak didik saya itu tahu beberapa hal berkenaan dengan tokoh tersebut.

Dialog akhirnya meluncur ke tokoh lain, yang merebut kursi nomor 1 di negeri berpengaruh di dunia dengan slogan kampanyenya Perubahan! Dimana dengan kecerdasan ákademiknya, Ia memperoleh beasiswa untuk tingkat sarjana dan masternya di sekolah tinggi paling bergengsi di dunia. Pertanyaan bagi kita adalah: Mengapa kita tidak termotivasi untuk berjuang memperebutkan hal yang sama. Bukankah secara ekonomi kitalah yang memiliki hak paling besar untuk mendapatkan kesempatan semacam itu di perguruan-perguruan tinggi milik pemerintah di negeri ini?

Dialog yang menyenangkan saya itu harus berakhir persis saat waktu istirahat anak-anak selesai. Saya berharap selalu agar dialog yang terjadi itu bukan menjadi ceramah saya yang membosankan anak. Harapan saya adalah semoga saya mampu memberikan percikan motivasi bagi sebuah pintu gerbang kesuksesan bagi anak-anak didik saya yang ada di sekolah ataupun juga bagi anak saya sendiri yang ada di rumah. Amin.

Ciregol, Tonjong, Brebes, 06/04/2012-Jakarta,08/04/2012.