Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

29 July 2012

Siswa Rapat di Plasa Sekolah, sebuah Hasil Belajar

Siang itu, seusai Shalat berjamaah, ada beberapa anak kelas lima sekolah dasar kami yang berkumpul di plasa sekolah. Di antara anak-anak itu juga saya lihat dua ibu orangtua yang saya kenal dengan baik. Dari koridor sekolah, di balik jendela, saya melihat mereka sedang melakukan diskusi. Ini karena saya masih mendengar berbagai ungkapan pendapat dan usulan yang berseliwer seperti tanpa moderator, juga karena mereka membuat posisi duduk melingkar. Saya saksikan juga bahwa dua ibu yang berada tiodak terlalu jauh dari anak-anak yang sedang melakukan diskusi seru itu hanya manyaksikan diskusi yang berlangsung.

Ada beberapa menit saya berada di koridor di balik jendela yang memisahkan saya dengan ruang plasa dimana mereka berdiskusi itu. Saya dapat memastikan bahwa ini adalah kelanjutan dari apa yang anak-anak itu perbincangkan kemarin pada waktu yang sama. Dimana anak-anak itu mengungkapkan bahwa mereka bersepakat untuk mengadakan buka puasa bersama. Lingkupnya adalah kelas. Jadi buka puasa khusus kelas mereka. Dan tentunya, atas prakarsa mereka, anak-anak itu sendiri.

Waktu itu, seorang diantara anak-anak yang memimpin rapat siang itu, mengatakan kepada saya bahwa waktu dan tempat sudah disepakati. Namun kapannya, waktu pelaksanaan dari acara buka bersama tersebut masih dinegosiasikan. Belum ada kesepakatan.  Jadi dari gambaran kejadian kemarin, saya menduga bahwa rapat pada siang itu adalah rapat dalam rangka untuk memutuskan waktu pelaksanaannya.

Karena didorong rasa ingin tahu saya, maka saya mendekati anak-anak itu tanpa sedikit juga memiliki niat untuk mengungkapkan sesuatu. Selain saya bukan peserta rapat, keberadaan saya di lokasi rapat tersebut hanya ingin tahu apa dan bagaimana anak-anak itu berdiskusi untuk menentukan kapan pelaksanaan kegiatan. Atau juga saya ingin tahu bagaimana mefreka membuat keputusan dalam rapat itu. Tentunya rapat yang terbuka. Karena dilakukan oleh anak-anak diluar koordinasi guru atau orang dewasa lainnya. Dan dari mengikuti bagaimana jalannya rapat, saya mengagumi anak-anak itu.

Kagum saya ini dilandasi oleh beberapa fakta bahwa; Pertama, anak-anak itu melakukan rapat atas inisiatif mereka sendiri. Kedua, bahwa apa yang akan mereka lakukan adalah sesuatu yang luar biasa bagus bagi memupuk ukhuwah atau kebersamaan diantara mereka. Atau dalam bahasa mereka yang paling pas adalah persahabatan. Ketiga, apa yang mereka sedang jalani itu adalah bentuk konkrit aplikasi dari konsep belajar. Anak-anak dengan kemauannya sendiri telah mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari di kelas. 
Meski rapat itu hanya memutuskan waktu dan tempat pelaksanaan bagi kegiatan buka puasa bersama, dan melupakan budget yang mereka butuhkan, setidaknya menjadi wujud nyata dari sebuah hasil belajar.

Jakarta, 29 Juli 2012.

22 July 2012

Barang Tertinggal di Loker Sekolah

Banyak barang tertinggal dan di simpan dengan baik di loker sekolah. Semua, adalah barang-barang siswa kami. Ada beragam bentuk barang. Kalau dinilai harga, mungkin botol minum dan pakaian seragam menjadi hal yang pantas untuk dihitung. Tapi kertas ulangan yang tercecer dan kemudian berhasil kita kirim ke kelas dimana anak tersebut berada juga bukan hal yang remeh untuk tidak dihitung. Tetapi itulah sekelumit catatan saya pada awal libur akhir pelajaran yang baru berlalu.

Sudah menjadi kebijakan kami bahwa seluruh barang yang tertinggal dimana saja, atau ditemukan oleh siapa saja di lingkungan sekolah, dan kebetulan tidak bernama dan beralamat kelas, maka loker yang kami sediakan di dekat pintu gerbang sekolah adalah tempatnya. Ini kami lakukan karena tidak jarang keesokan harinya akan ada utusan dari rumah siswa untuk mencari barang-barng yang tertinggal itu.

Dan pada siang itu, saya meminta kepada seorang diantara peramubakti kami untuk membantu saya membersihkan seluruh loker-loker yang ada dari berang-barang tertinggal. Baik yang berupa botol minum yang jumlahnya pada siang itu lebih kurang dua puluhan, dan juga barang-barang lain, baik pakaian seragam atau perlengkapan sekolah lainnya. Pendek kata, semua barang itu saya minta untuk benar-benar tidak berada lagi di dalam loker.

Ini kami lakukan karena anak-anak yang tertinggal barang-barangnya itu, tidak merasa kalau ada barang yang dimilikinya tertinggal atau bahkan hilang. Seperti misalnya jika kami mengumumkan beberapa barang yang ada di loker adalah barang-barang kalian yang tertinggal hingga kami eminta mereka mencari barangnya yang mana? Tetapi memang benar-benar bahwa anak didik kami itu benar-benar  tidak tahu dan merasa kalau ada barang yang dimilikinya tertinggal. Jadi? Yang menumpuk saja barang-barang itu di dalam loker untuk selamanya bila kami tidak mengambil tindakan untuk membersihkannya yang berencana untuk menghibahkan kepada pihak yang membutuhkan.

Kenyataan bahwa anak-anak itu tidak mengenali botol minum atau bahkan pakaian seragamnya yang tidak diberi nama oleh orangtuanya, menurut pengamatan saya, karena memang anak-anak itu tidak dibelajarkan untuk mempersiapkan diri sejak dari rumah. Semua serba bantuan dari pihak lain. Jangankan botol minum, saya justru menduga kalau buku pelajaran anak-anak didik saya itu pun masih diintervensi oleh orang dewasa di rumah mereka masing-masing. Alhasil, anak-anak itu semacam robot yang tidak menyadari bahwa botol minum menjadi bagian dari perlengkapan sekolah yang mereka harus bawa pulang kembali.

Itulah sebuah tantangan bagi kami di sekolah dalam menyimpan alat dan perlengkapan sekolah yang tidak mendapat pengakuan dari tuannya.

Jakarta, 13-22 Juli 2012.

02 July 2012

Para Pengunjung Studi Banding

Sebelum menuliskan apa yang tiba-tiba menggelayuti pikiran  saya,  tentu yang berkenaan dengan menimba ilmu atau belajar, ada baiknya bila saya sampaikan sepenggal cerita atau sebuah laporan pandangan mata. Karena dari kisah inilah catatan ini harus saya sampaikan dalam halaman ini agar tidak memberati memori batin saya.

Bahwa ada sebuah  sekolah, seharusnya tidak sekolah saja. Karena sangat boleh jadi Ia berupa lembaga, institusi, atau mungkin juga tempat usaha, sebagai tempat berkumpulnya para pagawai dan bisa jadi bersama pemiliknya. Namun Mengingat saya yang menrangkainya, dan latar belakang saya adalah guru, maka menceritakan tentang sekolah akan jauh lebih mudah dan lebih kontekstual. Karena sekolah sudah menjadi bagian dari diri saya. Ia sudah inheren dan menyatu.

Dan inilah kisah saya yang kebetulan saya dapatkan sore itu di sebuah tangga., di lembaga dimana selama ini menjadi tempat berkaryanya. Teman saya, yang baru saja selesai mendapat kunjungan dari sekolah lain dalam rangka studi banding. Teman saya yang juga berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah swasta di Jakarta itu bercerita keopada saya justru tidak dalam kerangka bangga karena sekolahnya mendapat kunjungan studi banding dari sekolah luar daerah. Teman saya yang bekerja di sebuah sekolah yang menjadi rujukan banyak pihak untuk menimba ilmu dalam mengelola sebuah lembaga sekolah formal berbasis agama yang berhasil. 

Pendek kata, tidak salah bila teman saya akhirnya menceritakan apa yang menjadi pengalamannya atas kunjungan studi komparasi dari guru-guru dari lembaga  sekolah yang berada di luar daerah. Suatu usaha yang bagus bila hasil studi komparasi itu pada akhirnya menginspirasi para pengunjung itu untuk kemudian mengadopsi yang baik yang mereka temui di sekolah yang dikunjungi untuk kemudian mengangkat  mental belajar semua teman dari teman saya yang menjadi pengunjung itu. Mulia bukan?

Namun menjelang penguhujung pertemuan antara saya dengan teman saya itu berakhir, ia emnyampaikan kekecewaannya bahwa, orang-orang yang berkunjung ke sekolahnya, hampir semua, katanya, masih silau dengan fasilitas yang sekolahnya miliki. Dan dari kesilauan itu para pengunjung sering mengukur sebuah keberhasilan. 
  • Para pengunjung studi banding itu hanya memiliki kacamata sarana dan prasarana sebagai pembuka setiap diskusi. Mereka, kata teman saya, tidak melihat bagaimana sebuah hasil itu berproses. Karena mereka sudah terlanjur terkesima bukan kepada effort para gurunya seperti kami ini, katanya, tetapi justru selalu dikaitkannya dengan alat, sarana, dan prasarana yang kami miliki. Jelas teman saya penuh semangat.
  • Mengapa mereka bisa berpandangan seperti itu? Desak saya lebih jauh.
  • Menurut saya, kata teman saya, itu terjadi karena mereka merasa tidak terlibat dalam sebuah keberhasilan. Mereka berpikir bahwa keberhasilan sebuah lembaga itu berangkat dari sarana dan prasarana yang lengkap. Dan bukan karena usaha keras para individu yang berada dalam komunitasnya. Mereka mengeliminir mental belajar mereka sendiri dengan sadar sesadar-sadarnya.
Saya tentu saja pusing mendengar argumentasi yang dikemukakannya. Maklum, apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang masih absurd bagi saya. Ini terjadi mungkin karena besar sekolah dimana saya berada selama ini tidak lebih besar dari sekolahnya. Meski begitu, saya berusaha keras untuk memaknai beberapa pilihan kata yang terlontar dari benaknya tadi. Seperti effort, mental belajar, sarana, dan prasarana sekolah.

Dan dari sekelumit hasil pertemuan tersebut, saya selalu  mensyukuri sebagai pertemuan yang merangsang pikiran saya. Semoga. Amin.

Jakarta, 25/06-02/07/2012

01 July 2012

Tutup Mulut

Sembari menunggu acara kegiatan yang saya hadiri segera digelar, pagi itu, 26 Mei 2012, saya mengisi waktu menunggu dengan membaca berita di media sosial yang ada. Dari sekian barita yang terpampang di layar,  saya memilih berita, yang menurut saya menarik untuk dibaca isinya dan tidak sekedar judulnya saja. Berita itu, di bawah ini saya kutipkan, menarik untuk saya baca karena tampak dari judul yang disajikan, saya merasakan ada kesamaan logika dengan apa yang saya alami di sekolah dimana saya bekerja. Kesamaan itu pada pola perilaku yang ditunjukkan oleh beberapa remaja kami di sekolah dan 'imbalan' para orangtua mereka, yang kebetulan mereka itu adalah anak didik kami.

Berita itu saya temukan dalam @infoSMG: Banyak Orang Tua Jadikan iPhone "Mainan Tutup Mulut" http://t.co/yrFQCoV1.

Kesamaan?

Itulah yang saya dapatkan. Walau dalam berita itu saya menemukan pengungkapan fenomena dengan kalimat yang berbeda, tetapi esensi dari fenomen tersebut terdapat kesamaan. Dengan akar masalah yang pada umumnya sama dengan yang terjadi dan dilakukan oleh para remaja. 

Bahwa ketika ada perilaku yang dalam bahasa yang sebagian orangtua disebut nakal, maka sesungguhnya ada protes terhadap apa yang terjadi. Atau 'nakal' remaja itu identik dengan tuntutan mereka. Remaja-remaja itu harus melakukan protes dalam bentuk berperilaku tidak sesuai dengan harapan lingkungannya karena 'protes' secara lisan dan santun sudah tidak tertangkap oleh radar para orang yang diharapkannya. Kita dan sebagian guru atau orangtua sudah tidak peka dalam menangakap maunya remaja. Setidaknya itu pendapat saya.

Dan kalau protes sebagai sinyal untuk meminta perhatian atau permohonan itu yang tertangkap oleh orangtuanya hanya gejalanya dan bukan sumbernya, maka remaja itu dengan otomatis akan memberikan tambahan gradasi protesnya. Pada tahapan ini, orangtua semakin kesulitan untuk benar-benar dapat menemukan sumber masalahnya.

Sebagai gambaran paling sederhana adalah ketika saya melakukan pembelajaran di dalam kelas. Maka ketika mereka bosan dengan cara dan strategi yang saya hidangkan ke hadapan mereka, maka bentuk 'protes' yang mereka lakukan adalah akan berlaku apatis dan masa bodoh, atau mungkin malah mengobrol. Menyakitkan saya bukan? Namun ketika pada pertemuan berikutnya saya masih tetap dengan gaya dan perilaku saya dalam membelajarkan mereka, maka tahapan berikutnya adalah tidak kondusifnya kelas itu. Maka langkah yang bagus dan sulutif adalah saya merubah gaya dan pendekatan mengajar saya. Dan ini adalah bentuk perubahan yang mendasar. Karena ini adalah sumber dari muncul dan lahirnya masalah manajemen kelas saya.

Bagitu pula dengan mereka yang bermasalah dengan orangtuanya di rumah. Dengan memberikan fasilitas yang seolah-olah sebagai solusi dari tuntutan mereka, maka inilah yang masuk dalam kategori usaha tutup mulut. Apakah masalah dapat berakhir? Saya dapat pastikan bahwa strategi ini akan melahirnya penyakit baru bagi remaja. Sangat boleh jadi masalah yang akan lahirr nanti semakin akan membuat hubungan antara orangtua dan remajanya semakin absurd dan sulit terurai.

Inilah pelajaran yang saya dapat ambil ketika membaca berita tentang stragtegi tutup mulut yang menjadi andalan bagia sebagaian kita dalam menyelesaikan masalah.

Jakarta, 26/05-01/07/2012.

Bagaikan Anjing dengan Kucing

Peribahasa bagaikan anjing dengan kucing ini dapat kita artikan antaralain adalah sepasang sahabat yang saling menyayangi tetapi sekaligus saling bermusuhan. Keduanya tidak atau sulit untuk dapat  dipisahkan. Sebagaimana hewan anjing dan kucing. Keduanya saling membutuhkan untuk bercengkerama tetapi saling pula beradu suara. Lebih kurang seperti itu pulalah kisah dua sahabat yang kebetulan keduanya adalah anak didik saya di sekolah. Mereka berdua seperti sepakat untuk sama-sama berbadan subur. Juga sama-sama bersemangat untuk saling mengejek dengan kesuburan badannya masing-masing. Dan tidak salah kiranya bila salah satu dari gurunya di kelas menjuluki persahabatan keduanya dengan istilah anjing dengan kucing.

Pada suatu sore sepulang jam sekolah, kami terlibat pembicaraan ringan dengan keduanya dipinggir lapangan basket yang juga lapangan futsal yang juga dapat sebagai tempat tunggu jemputan bagi anak-anak yang belum dijemput pulang. Kami bertiga berdiri di dekat tiang bendera lapangan itu. Satu dari sepasang sahabat itu memancing amarah temannya dengan cara melontarkan pertanyaan atau mungkin tepatnya pernyataan dengan suara yang sengaja dapat didengar sahabatnya.
  • Siapa menurut Bapak yang lebih gendut antara saya dengan dia? Katanya sambil telunjuknya diarahkan kepada sahabatnya itu.
  • Pasti dia ya Pak. Sahut temannya yang berada di ujung telunjuk jarinya.
  • Bukan, kata Pak Agus kamu yang lebih jelek. Timpalnya dengan membuat kesimpulan sendiri. Dan tak mau kalah dengan apa yang dinyatakan sang teman, sahabat itu langsung menimpali;
  • Benarkan. kamu memang yang lebih gendut.
  • Loh bukan. Kapan Pak Agus ngomongnya?
  • E... Bully itu Pak. Dia sudah bully. Sergap teman yang lain lagi dari arah belakang kami. Orang ketiga itu membuyarkan diskusi kami bertiga. Karena dengan pernyataan bully tersebut, kami menjadi stop berbicara sambil masing-masing menahan diri.
Itulah lebih kurang gambaran bagaimana sengitnya kadang-kadang bentuk persahabatan antara dua sahabat tersebut. Masing-masing secara bergantian saling mengejek dan menimpali. Masing-masing secara bergantian pula untuk saling mendahului dalam melontarkan ejekan. Tetapi mereka toh tetap bersahabat.

Sayangnya, keduanya harus berpisah mulai awal tahun pelajaran 2012/2013 ini. Karena masing-masingnya memilih sekolah lanjutan yang berbeda. Saya tidak tahu apakah keduanya nantinya benar-benar tidak akan bersahabat lagi.

Boarding School

Perpisahan persahabatan mereka karena pilihan sekolah yang berbeda itu. Yang seorang tetap melanjutkan ke sekolah lanjutan yang ada di sekolah sebelumnya, namun yang satunya memilih untuk di boarding school. Sebuah pilihan yang super hebat bagi anak yang lahir, besar dan hidup dalam lingkungan berkecukupan di Jakarta. Pilihan yang sebenarnya membuat kami, sebagian dari gurunya yang harus mengangkat dua ibu jari. Karena kami ingat sekali bagaimana anak tersebut harus dijemput pulang malam-malam oleh ayahnya ketika kegiatan perkemahan di daerah Puncak, Bogor.

Tapi apapun kelanjutan dari kisah perjalanan persahabatan keduanya nanti, bagi kami keduanya telah menggoreskan kenangan tentang bagaimana anjing dan kucing dalam besahabat...

Jakarta, 01 Juli 2012.