Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

25 November 2009

Kepala Sekolah yang Dicintai Para Gurunya


Beberapa tahun yang lalu, saya diminta untuk menemani barisan manajemen di sebuah sekolah swasta di Provinsi Serang saat melakukan diskusi panel dengan beberapa guru yang terpilih sebagai wakil diantara teman-temannya.

Kegiatan ini menjadi pilihan yang saya rekomendasikan kepada pemegang amanah di sekolah tersebut untuk tujuan menemukan 'ruh' yang ada pada guru-gurunya. Ini penting, ketika sekolah tersebut bermaksud untuk melakukan sebuah pengembangan. Dan agar arah pengembangan tidak menjadi sesuatu yang kotraproduktif maka diperlukan informasi yang akurat tentang dan bagaimana guru yang ada.

Untuk itu maka kegiatan ini semacam self reflection sekaligus self assessment. Dan kerena keterbatasan waktu, maka tidak semua guru menjadi wakil dari semua guru yang ada. Tetapi guru yang menjadi koordinator kita sertakan ditambah dengan guru yang terpilih melalui metode arisan.

Ada 3 tahap pelaksanaan diskusi panel tersebut. Setiap tahap menyertakan 6 guru dengan 3 dari kami yang memakan waktu diskusi lebih kurang 2 hingga 3 jam. Suasana dibuat cair. Sebagai permulaan, saya menyampaikan beberapa hal yang menjadi aturan dalam diskusi panel tersebut. Antara lain seperti; Semua peserta jangan takut untuk menyampaikan sesuatu namun selalu dengan semangat solusi. Sebagai jaminan untuk tidak takut, saya pasang badan untuk menjadi advokat mereka jika dikemudian hari ada sesuatu yang tidak menyenangkan.; Semua harus memiliki semangat yang sama yaitu menjadi bagian dari sistem. Sehingga tidak dikehendaki pandangan dari komentator.

Peristiwa itu, benar-benar memberikan pelajaran berharga kepada saya. Baik saya sebagai pribadi ataupun saya sebagai teman diskusi atau juga saya sebagai bagian dari mereka. Banyak sekali informasi dan gagasan cerdas mereka sampaikan dengan bahasa yang santun. Banyak sekali masukan membangun yang menyentuh. Banyak juga cara pandang berbeda untuk sebuah fakta yang ada. Saya menikmati peristiwa itu.

Dan salah satu sudut pandang yang menjadikan semua itu indah adalah ketika seorang Ibu guru menceritakan pengalamannya kepada kami peserta diskusi.

Beginilah cerita itu: "Saya bersyukur dapat menjadi bagian dari sekolah ini. Enam bulan pertama menjadi guru di sekolah ini saya lalui dengan baik. Hingga suatu sore saat seluruh siswa kembali ke rumah masing-masing. Saya sedang merapikan kelas dan kepala sekolah datang bertanya kepada saya:
Belum pulang Bu? Tegur kepala sekolah.
Sebentar lagi Bu.
Bagaimana kabar ibu setelah enam bulan menjadi guru di sini? Saya lihat display kelas Ibu bagus dan tertata baik. Adakah kesulitan atau hambatan yang bisa saya bantu?
Saya tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu kepala sekolah itu. Saya hanya mengangguk pelan sembari senyum. Ada kata tidak yang lirih saya ucapkan. Sapaan Ibu kepala sekolah benar-benar telah menyentuh hati saya. Saya meneteskan air mata setelah sendiri di dalam kelas".

Begitulah sepenggal cerita yang juga membuat saya berpikir, bahwa sesungguhnya guru adalah juga siswa bagi kita yang kepala sekolah. Untuk itu maka, menjadilah kepala sekolah yang dicintai oleh para gurunya.

23 November 2009

Berjasa?


Pada waktu membicarakan pengembangan lembaga, kami dibenturkan pada kenyataan bahwa beberapa diantara kami yang berpotensi menjadi hambatan bagi pengembangan. Hambatan tersebut lahir atas kenyataan bahwa kurang dipenuhinya persyaratan standar minimal akademis. Dimana sesuai dengan Undang-Undang Guru dan Dosen, maka guru untuk tingkat pendidikan Pra Sekolah hingga Sekolah Menengah, harus strata 1 atau Sarjana. 

Dan setiap langkah kami akan mulai dengan mendiskusikan alternatif serta solusi bagi pengembangan, fakta akademis yang ada diantara kami ini terus saja menghantui kami.

Beberapa teman sempat mengingatkan kami agar melihat bahwa orang-orang yang menjadi sasaran bidik kami itu adalah orang-orang yang memiliki jasa atas besarnya lembaga kami. Dimana mereka, ketika awal sekolah kami berdiri, direkrut dengan tidak perlu menjadi seorang sarjana.

Juga komentar dari mereka sendiri bahwa, mereka datang ke lembaga kami ketika lembaga ini halamannya masih belum sebaik dan serapi sebagaimana sekarang.

Esensi dari apa yang mereka sampaikan adalah, jangan mentang-mentang lembaga ini sudah besar sehingga melupakan jasa mereka. Sehingga manakala tuntutan akademis harus menjadi prasyarat bagi pengembangan sekolah, dan mereka menganggapnya hal ini justru sebagai hambatan karena ketidakmauan atau mungkin ketidaktahuan dan kesungkanan mereka untuk memulai malanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, maka kami membuat tuntutan yang diangapnya sebagai bentuk tidak menghargai jasa yang telah mereka kontribusikan.

Jasa?

Dan ketika kami bersama manajemen lain yang memegang amanah dari lembaga sedang sibuk untuk menemukan jalan bagaimana mengajak teman tersebut memenuhi syarat akademis dengan cara melanjutkan pendidikan, benak saya berbicara lain.

Bisakah berjasa jika dalam setiap bulannya lembaga telah membayar tunai ikhtiar dan kerja kita sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama dalam bentuk kesepakatan kerja sebelumnya? Pikir saya. Bisakah saya mengatakan bahwa saya berjasa di lembaga saya ini jika lembaga telah tunai membayar saya sebagaimana yang tertuang dalam surat perjanjian kerja?

Saya tidak menemukan jawaban. Namun saya mencoba untuk berlogika bahwa, jika dalam saya bekerja saya juga menyertakan nilai transendental, maka saya tidak akan pernah satu kalipun mengatakan bahwa saya telah berjasa. Biarlah Allah yang menilai apakah saya berjasa atau tidak dikelak kemudian hari.

Karena dengan apa yang telah saya ikhtiarkan kepada lembaga dimana saya mengabdikan kompetensi saya, dan lembaga telah memberikan apa yang tertulis dalam kontrak kerja yang telah saya sepakati sebelum saya menunaikan perkerjaan yang menjadi tugas saya di lembaga ini, bukanlah ini berkorelasi sama dengan? Bukan lebih besar atau lebih kecil?
Allahu'alam bishawab.
Jakarta, 23 November 2009.

21 November 2009

Apakah Saya Sibuk?


Sedang sibuk Pak? Suara telepon di seberang. Pagi, masih pukul 10.00 di hari kerja.
Apakah mengganggu saya menelepon Bapak?
Saya menjawab beberapa pertanyaan basa-basinya sembari berpikir siapa gerangan pemilik suara tersebut. Dan ketika identitas penelepon dapat ditemukan dalam memori, saya segera menanggapi dengan penuh semangat.

Kami saling bertanya dan bercerita tentang pekerjaan, tentang kondisi kerja masing-masing, dan perbincangan kami tutup dengan pertanyaan kapan waktu yang bisa dirancang untuk bertemu dan berdiskusi lebih leluasa, komunikasi kami via telepon selesai.

Ia begitu bersemangat menjelaskan tugas barunya untuk mengelola sebuah sekolah dengan jumlah siswa lebih kurang 1.500 siswa. Sebuah tugas berat. Dan ia ingin sekali membagi berat bebannya itu kepada saya dengan mengajak saya berdiskusi.

Meski telepon selesai, saya terus saja berpikir tentang pertanyaannya kepada saya di awal telepon tersebut. Yaitu apakah saya sibuk?

Teman saya mungkin berpikir bahwa dengan amanah yang saya pikul sekarang ini tentu menuntut kesibukan yang lebih. Oleh karenanya dia mencoba untuk membatasi diri dalam menyampaikan cerita yang sedang dialami dan menjadi agenda penyelesaiannya.

Pertanyaan sibuk itu justru menjadi pertanyaan saya pada diri saya sendiri. Sibuk? Karena jujur saja, saya terima telepon teman tadi ketika sedang berada di atap sekolah. Ditemani teknisi sipil kami, saya sedang melihat keberadan dan kondisi tangki air yang ada di atap. Ini saya lakukan setelah beberapa staf kami menyampaikan kabar bahwa air flush kadang tidak keluar sebagaimana mestinya. Kecil dan lambat. Langkah berikut setelah kami melihat tangki air tersebut adalah memutuskan apakah kami masih memerlukan tambahan tangki air lagi.

Dan kembali kepada pertanyaan teman: Sibuk?
Dalam mengemban amanah, saya terinspirasi apa yang menjadi prinsip kawan saya yang lain, yang menjadi executive principal di sebuah lembaga pendidikan. Dimana ia selalu berada dimana guru dan teman kerjanya sedang memerlukan. Ini dilakukannya manakala dalam agendanya tidak ada janji atau rapat yang harus dilakukannya. Dan jika ia sedang tidak ada di dalam ruangan, pintu ruangannya selalu terbuka lebar.

Kadang guru bertemu dia di koridor sekolah lalu terjadi diskusi kecil di tempat tersebut. Kadang ia masuk toilet siswa dan memanggil petugas cleaner untuk diberitahukan sesuatu. Sering juga ia masuk ke dalam kelas untuk kemudian berbicara dan diskusi dengan siswa dan gurunya. Kadang ia ada di lapangan atau di gym untuk melihat aktivitas olah raga.

Suatu kali saya berdiskusi dengan teman kolega tentang kebiasaan executive principal tersebut. Teman saya hanya menyimpulkan bahwa dia adalah pemimpin yang moderator. Meski demikian bukan berarti ia bukan administrator. Imbuh teman ini. Karena, lanjutnya, semua data sekolah ia miliki dan menjadi bahan analisanya bagi pengembangan secara terus menerus.

Dan sebagai junior, saya sedang belajar untuk seperti executive principal tersebut. Namun dengan pertanyaan teman di telepon apakah saya sibuk tersebut, menjadikan saya termenung.

Catatan Refleksi SGJ, Juli 1996-19 Desember 2009.
Jakarta, 21 November 2009.

08 November 2009

Observasi Peran Serta

Sebagai guru baru di sebuah lembaga, di tahun 1996, meski sebelumnya telah mengajar sejak Oktober 1984, saya harus mengubah paradigma tentang mengajar yang telah saya miliki. Saya melihat ini sebagai tantangan sekaligus peluang.

Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa, melakukan sesuatu yang beda dari apa yang telah menjadi bagian hidup saya tentang membelajarkan siswa di kelas adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan. Misalnya, kebiasaan saya sebagai guru di lembaga sebelumnya yang telah menjadi rutinitas; membuat soal latihan atau soal ulangan harian, membuat foto kopinya, menjelaskan materi di depan kelas dengan meminta siswa membuka buku cetak yang menjadi rujukan sekolah, memberikan soal latihan tersebut untuk dikerjakan, memeriksa hasil kerja siswa, memberi ponten, dan seterusnya, hingga di akhir catur wulan menulis laporan hasil ulangan.

Perubahan dan pengembangan paradigma dan kebiasaan membelajarkan siswa di kelas yang saya alami tersebut tidak sampai membuat saya sakit hati dan akhirnya menyerah kalah. Karena sejak sejak awal saya memasuki gerbang sekolah yang yang baru tersebut sudah tertanam dalam sanubari saya untuk menjadi guru yang berbeda.

Dan oleh karenanya, saya mendapat ‘siraman rohani’ dalam hal pembelajaran itu antara lain melalui observasi kelas yang dilakukan oleh guru expart dan kepala sekolah. Selain juga dari diskusi dan share pengalaman dengan teman pararel saya.

Dalam observasi kelas, mereka secara bertubi-tubi masuk kelas sejak bulan ketiga saya mengajar. Dan bulan kedua mereka memberikan jadwal kepada saya dan menawarkan kepada saya kapan mereka boleh masuk di kelas. dan saya tentu memilihkan kapan jam pelajaran yang menurut saya enak.

Untuk bulan pertama, saya dibiarkan mengembangkan apa yang telah saya dapat dalam pembekalan sebelum sekolah dimulai. Pada satu bulan ini, setelah saya menjadi bagian sebagai guru kelas V, saya seperti tidak mendapat perhatian dari atasan saya langsung, yaitu kepala sekolah. Tetapi teman pararel dan patner saya mengingatkan agar saya selalu siap secara materi atau aktivitas yang menarik dari kacamata siswa sepanjang pembelajaran.

Bagaimana saya belajar menjadi guru profesional dalam kerangka observasi ini? Saya belajar dari masukan yang diberikan oleh atasan dan teman pararel saya setelah mereka ‘menemani’ saya di kelas. mereka akan mencari dan menemui saya di kala saya tidak sedang mengajar. Mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengharuskan kami akhirnya berdiskusi.

Beberapa hal yang baik akan mereka kemukakan. Mereka juga bertanya: Darimana saya mendapatkan ide pembelajaran seperti itu? Dan yang kurangpun juga ia kemukakan dengan menyampaikan ide mereka: Mungkin kali lain akan lebih baik kalau Bapak menggunakan strategi ini atau strategi itu?

Pendek kata, observasi kelas yang pernah saya alami adalah observasi peran serta. Dimana observer tidak saja memberikan nilai pada saya tetapi juga cara pandang, pengetahuan, pemahaman dan kultur menjadi guru.

Bagaimana dengan Anda?

Jakarta, 8 November 2009.

07 November 2009

Punya Handy Cam


Ini memang cerita konyol. Tapi justru dari cerita inilah saya memperoleh sesuatu kejutan yang, sepanjang karir saya sebagai guru atau orang yang bekerja di lembaga pendidikan, kejutan yang mengesankan. Cerita berawal dengan mimpi saya untuk memiliki alat perekan Handy Cam. Alat ini saya impikan karena dengan alat ini saya akan lebih memberikan gambaran visual kepada audiens tentang apa yang saya maksudkan ketika memberikan presentasi. Oleh karenanya, alat ini menjadi daftar kebutuhan yang harus saya punyai.

Seperti kebiasaan saya sebelumnya, saya orang yang tidak mudah menyembunyikan apa yang ada dalam benak saya. Alhasil, keinginan ini terungkap juga saat saya berbincang-bincang ringan dengan teman. Meski bukan dengan semua teman. Paling tidak, keinginan ini sudah tidak menjadi rahasia lagi dikalangan beberapa teman saya di kantor.

Dan sekitar Desember 2003, saat saya masih berada di jalur TOL JORR RS Fatmawati-RC Veteran yang masih sepenggal (keluar masih di RC Veteran dan kita akan masuk lagi jalur TOL BSD setelah Masjid Bintaro Sektor 3), telepon saya berdering. Seseorang di seberang, saya mengira posisi teman ini masih dalam mobil jemputan sekolah, mungkin berada di wilayah Pondok Jagung, Pondok Aren, Tangerang, menanyakan kepada saya: Apakah saya masih berminat untuk memiliki handy cam? Saya jawab masih. Maka diberikanlah spesifikasi alat impian tersebut beserta harga yang diinginkan.

Diceritakan bahwa handy cam tersebut dimiliki seorang pilot yang nyaris tak terpakai lagi. Namun kondisinya masih sangat bagus. Demikian teman saya mempromosikan. Dan karena ini penawaran langka, maka tanpa basa-basi saya langsung mengiyakan. Bahkan saya tanyakan kepada teman saya itu, kapan alat tersebut ada pada saya. Nanti saya hubungi lagi. Tapi Pak Agus mau tidak dengan harga satu juta rupiah?

Sekitar pukul 12.00, saat waktu makan, saya mengantar teman saya di kantor yang lain menuju ATM yang ada di Bundaran Golf Bintaro Sektor 7. Teman saya yang ini menawarkan pinjaman tanpa agunan dan tanpa bunga kepada saya sebagai pembayaran dari pembelian handy camp yang ditawarkan itu. Gembira hati saya. Cita-cita untuk merekam proses, sebentar lagi akan saya dapatkan. Pikir saya.

Sekitar pukul 14.00, teman saya yang lain, guru IT di sekolah kami, pemilik dari http://gurukreatif.wordpress.com/ bertanya kepada saya apakah handy cam-nya sudah didapat? Pertanyaan ini melahirkan sedikit ketidak senangan saya. Lho kok masalah handy camp menjadi bahan yang tidak rahasia lagi? Dari mana Pak Agus tahu saya beli handy cam?

Satu atau dua hari setelah peristiwa tersebut, dengan handy cam yang belum ada di tangan saya meski satu juta rupiah uang pinjaman telah saya sampaikan, tepatnya Jumat tanggal 19 Desember 2003 pukul 09.50 saya ada diantara komunitas sekolah kami dalam assembly. Ini adalah assembly paling terakhir saya sebagai salah satu bagian dari sekolah ini. Dan karenanya, saya diminta untuk berdiri di panggung sebagai perpisahan.

Sebelum Shalat jumat, teman sebelah ruangan saya, yang punya jabatan Junior Primary Principal, meminta saya untuk membuka bingkisan perpisahan disanksikan beberapa teman yang telah berkumpul diruang kantor kami. Mungkin ada sekitar 4 atau 5 orang.

Dan ketika bingkisan saya buka: Handy Cam! Tentu saya girang. Tapi saya masih berpikir beda, lho saya bakal punya dua handy cam? Buru-buru teman sebelah ruangan meminta saya membaca 'surat' yang ditempel di kardus handy cam impian itu (Lihat lampiran yang saya scan).

Terima kasih semua teman di SGJ hingga Desember 2003. Nama Anda terukir indah dalam perjalanan hidup saya. Perintiwa handy cam ini, merupakan drama rekayasa yang sangat dahsyat bagi saya. Terima kasih.

Jakarta, 7 November 2009.

Pensiun?

Sebagai manusia biasa, rasa bosan kadang menghinggapi diri saya. Yaitu perasaan untuk melakukan sesuatu dalam situasi dan kondisi yang rutin dalam rentang waktu tertentu. Dan kebosanan itu sering pula menimpa tidak saja pada suatu kegiatan yang menjadi hobi, tetapi juga dalam menapaki dan menunaikan amanah yang saya jalani dan menjadi profesi yang saya pilih.

Padahal 100 % saya menyadari bahwa, kebosanan ini memiliki implikasi yang tidak sedikit. Misalnya saja soal pendapatan yang menjadi penopang untuk hidup bersama keluarga. Dan alhamdulillah dengan menjadikan poin ini sebagai bahan pertimbangan ketika bosan menjangkiti saya, saya menjadi lebih kuat bertahan. Bertahan menjalani hari-hari yang telah Allah anugerahkan pada saya, yang juga berarti bertahan untuk terus memperoleh rizky-Nya.

Meski demikian, lahan pengabdian baru yang lebih membahagiakan jiwa dan nurani selalu saja menjadi bagian dari masa depan yang harus saya perjuangkan. Bagaimanapun bentuknya itu. Kadang terpikir untuk menerima tawaran sebagaimana yang telah menjadi anugerah Allah di lembaga yang berbeda. Tetapi apa yang saya cari? Dan kadang terpikir juga bagaimana saya mampu membuat sesuatu yang menjadikan orang lain yang ada di sekitar saya sebagai bagiannya. Tetapi keraguan akan kemampuan justru menjadi penghalang untuk melangkahkan kaki memulainya.

Hingga, beberapa waktu lalu SMS dari sahabat yang memberikan balasan atas SMS saya sebelumnya, yang mengabarkan bahwa ia telah 'pensiun' menjadi guru. Ini agak mengagetkan saya. Karena sejak lulus SPG tahun 1984 ia langsung menjadi guru di sekolah favorit di perumahan paling elit di Jakarta Selatan. Bahkan, sejujurnya pada tahun 1985 itu, iri hati sempat bergelayut pada diri saya melihat laju kehidupan yang telah diraih teman saya itu.

Lebih kaget lagi bahwa, teman saya ini juga sedang sibuk mencari pengacara untuk urusan 'pensiun'nya itu. Maka sebagai sahabat saya mencoba untuk menuliskan kalimat empati dan dorongan untuknya.

Mengapa pensiun?


Ya, mengapa pensiun? Kata saya kepada teman saya. Ia menjawab bahwa: Ia menolak untuk menjadi bagian dari lembaganya, yang telah menjadi bagian dari pengamalan ilmunya sebagai guru sejak lulus SPG tahun 1984 hingga Juni 2009 lalu.

Mengapa tidak senang? Karena sebagai guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas harus ia tanggalkan untuk kemudian menjadi sebagai pustakawan. Dan sebagai protes, ia memilih mengundurkan diri.

Saya termenung dengan kisah sahabat tersebut. Beberapa hikmah yang mampu saya cerna dari kisahnya itu antara lain: Pertama, Saya harus belajar untuk tidak mudah menjadi bosan dalam mengemban sebuah amanah. Karena mengemban amanah bagi saya adalah bekerja. Dan bekerja adalah beramal saleh dan menafkahi keluarga. Sahabat saya memang tidak bosan menjadi guru, tetapi ladang amal salehnya sebagai guru sudah pensiun (terputus). Juga nafkah keluarga melalui pengabdiannya selama ini.

Kedua, Saya harus melihat apa yang ingin Allah sampaikan kepada saya melalui seluruh aktivitas dalam setiap kehidupan ini. Dan protes sebagai reaksi dari apa yang sahabat saya lakukan adalah bentuk mengingkari hikmah yang ada di balik menjadi pustakawan. Meski hikmah itu sulit dan kadang pahit.

Ketiga, Semoga saya selalu menyadari siapa saya dalam konstelasi sosial. Baik konstelasi sosial yang bernama sekolah khususnya atau dalam bentuk dan ranah yang lain. Karena hanya dengan pemahaman diri seperti inilah menurut saya yang akan menyelamatkan masa depan kita.

Saya berpikir, jika sahabat saya ini memiliki pemikiran jujur tentang siapa dirinya dalam era yang ada di lembaganya sehingga ia harus menjadi pustakawan, maka ia akan jauh memiliki sifat dan karakter waspada dalam menumbuhkan jiwa dan kompetensi profesionalismenya di bidang yang telah menjadi bagian hidupnya.

Jakarta, 19 November 2009.

05 November 2009

Merasa Paling Benar


Pada sebuah permainan pengisi waktu luang bersama teman-teman satu komplek kontrakan saat masih muda dulu, ada teman kami yang mengemukakan beberapa ketentuan cara bermain sebelum kita memulai permainan tersebut. Misalnya tentang cara menilai, cara menentukan siapa yang menjadi pemenang setelah permainan selesai dan lain sebagainya yang ada di seputar itu (saya sendiri lupa apa yang persis dikemukakan waktu itu).

Namun masalah bukan terletak pada apa yang dikemukakan teman tersebut. Tetapi pada tidak diperkenankannya orang lain untuk juga mengemukakan pendapat. Dengan demikian maka, kami diajak bermain dengan tata cara yang selama ini telah hidup dan melekat pada diri teman saya itu.

Kami menolak. Teman lain meminta dan mengusulkan agar kami melakukan kompromi dalam menentuan aturan mainnya sebelum permainan dimainkan. Yang lain setuju usulan ini. Namun teman saya yang satu ini ngotot untuk menggunakan aturan main sebagaimana selama ini ia main dengan teman-temannya.

Karena dalam kamus teman saya ini, apa yang ada dalam dirinya adalah sebuah kebenaran. Padahal bagi kami, teman saya ini merupakan sosok yang merasa paling benar. Dan merasa paling benar tentu berbeda dengan kebenaran itu sendiri. Wah!

Dan untuk sebuah permainan kali itu, kami mengalami staknasi.

Cerita di atas adalah ilustrasi betapa masih ada diantara kita yang kadang menutup telinga ketika ada teman yang lain bermaksud memberikan kontribusi pada sebuah pekerjaan bersama. Seperti karakter yang teman saya tersebut lakukan.

Bagaimana dengan situasi dan kondisi dimana sekarang ini kita berada? Apakah masih ada teman, saudara, kolega, yang masih memelihara karakter sebagaimana teman saya tersebut miliki? Dalam kadar yang berbeda, saya meyakini karakter merasa paling benar akan selalu ada dan tumbuh dimanapun dan kapanpun, sepanjang kita hanya menggunaan tata nilai dengan cara pandang ego sentris.

Cara pandang dengan konsep ego ini, akan menghapus eksistensi dan atau kompetensi orang diluar dari diri kita dari peta konstelasi sosial. Ia menghapus kesadaran dan kecerdasan sosial kita. Dan inilah awal mula bagi diri kita dalam menuai ketidakberhasilan. Karena, menurut pendapat saya, catatan sebuah nilai itu dipandang berhasil atau tidak berhasil atau kurang berhasil berada dalam ranah sosial.

Semoga ini menjadi bekal bagi saya pribadi untuk menjadi pribadi yang tidak merasa paling benar.

Jakarta, 5 November 2009.