Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

28 August 2013

Saya Bersyukur, Karena Saya Melihat Keberbedaan

Kalau mau melihat rekam jejak teman saya ini, maka sepanjang karirnya di sekolah, ia telah memasuki tidak lebih dari enam sekolah formal. Tetapi jangan salah dulu, karena di enam sekolah yang pernah menjadi bagian dari karir keguruannya itu, ia  selalu berada di dalamnya tidak kurang dari enam tahun! Artinya, dia bukan bagian dari kutu loncat. Ia memigrasikan karirnya ketika ia menganggap ada tantangan baru yang akan menjadi bagian dari perjalanan kematangan karirnya. Dan sekarang, diusia menjelang pensiunnya, ia bersyukur telah berada di beberapa lembaga. Karena dengan  pernah berdomisili di lembaga-lebaga yang berbeda itu, ia memperoleh cara pandang, tekanan kerja, atmosfer berorganisasi, dan tentunya pendapatan yang berbeda. Dan dengan itu, ia menjadi lebih luas pandangan dan cara memandang tentang ekspektasi, kontribusi, dan konsekuensi sebagai pekerja.

Wujud dari bersyukurnya itu misalnya tentang apa yang dia sampaiakan kepada saya pada sore itu, dimana ia merasakan kasihan kepada teman-teman seprofesinya yang kalau dihitung secara potensi  akademik, adalah generasi pendidik yang prosfektif. Karena selain lulusan megister, juga adalah generasi yang pintar berbahasa asing. 

Artinya, dua modalitas itu cukup bagi benerasi semacam itu untuk mendapatkan posisi sebagai pendidik di sekolah bagus dan tentunya dengan konsekuensi imbalan yang bagus pula. Tetapi dua modalitas itu justru tidak atau mungkin kurang memberikan dampak nilai tambah hanya karena cara pandang dan etos berpikir serta etos berperilaku yang kurang matang.

Bahkan ada dari generasi mereka itu yang kurang bisa menghargai lembaga atau organsasi dimana mereka berdomisili dan berbakti dalam rangka mendapatkan rizeki. Bahkan dihadapan para costumer atau orangtua siswa jika di sekolah. Mereka salah memposisikan diri dan sekaligus martabat. Mereka berpikir jika mereka berseberangan dengan tempat domisilinya akan membuat mereka menjadi lebih hebat?

Sebagian anggota dari generasi itu sesungguhnya sedang salah dalam mengambil posisi dan paradigma dalam berpikir dan menempatkan diri. "Bagi saya, kata teman saya itu, dengan mengambil posisi seperti itu, sesungguhnya mereka sedang mempertontonkan betapa tidak liniernya potensi akademik yang dimilikinya dengan potensi sukses bagi dirinya."

"Itulah syukur saya. Dengan melihat bagaimana opersionalisasi di lembaga-lembaga yang pernah ikut serta di dalamnya, saya mensyukuri selalu dimanapun saya berada. Bagi saya, lanjutnya, tidak ada lembaga yang tidak layak untuk dijadikan lahan dalam mengemban etos syukur dan iklas kita."

Saya, ketika menulis catatan ini, juga mengcap syukur atas hopotesis  perenungan teman saya. Saya dapat belajar darinya...
 
Jakarta, 27 Agustus 2013.

Waduh, Saya Drop!

Inilah kalimat yang selalu diulang-ulang diucap oleh seorang anak didik kami yang dudukdi kelas lima SD ketika kelasnya selesai tampil di panggung untuk menunjukkan kebolehan mereka dalam lomba Paduan Suara tingkat kelas dalam rangka hari kemerdekaan dan sekaligus ulang tahun sekolah, di ruang bersama, kemarin. Kalimat ini bernada pesimis. Karena setelah penampilan mereka di panggung, berganti secara berturut-turut kelas yang satu ke kelas yang lain.

Dan karena semua anak yang tampil bergilir itu juga saling menonton, maka anak-anak yang sejak naik ke panggung dengan motivasi mendapatkan predikat sebagai pemenang, menjadi kecil harapannya ketika melihat apa yang ditunjukkan oleh kelas teman mereka di atas panggung. Itulah maka ketika saya melihat kelas-kelas itu tampil di panggung, ada seorang anak yang begitu kecewanya dengan apa yang telah ditampilkannya bersama teman-teman mereka. Karena ia menilai, bahwa hasil bandingannya, kelas mereka tampaknya tidak hanya memiliki harapan yang kecil.

Maka keluarlah ungkapan perasaannya itu dengan kalimat; "Waduh, saya drop nih..." Sebuah kalimat yang secara spesifik menunjukkan betapa kecilnya harapannya untuk mendapatkan harapannya.

Salah satu kelas sedang tampil untuk tingkat SMP.
Atas apa yang diungkapkannya itu, sya justru merasa kagum. Karena itu ungkapan tentang harapannya dalam mengikuti perlombaan yang kami selenggarakan. Dari pernyataannya itu, saya dapat melihat betapa anak-anak itu begitu memiliki harapan yang tinggi meski kesempatan yang kami berikan itu hanya dalam bentuk perlombaan dalam rangka hari Kemerdekaan. Ini yag membuat kami lebih sadar dan bersemangat lagi di masa mendatang untuk memberikan peluang yang lebih lebar dan luas atas ekspresi mereka.

Jakarta, 28 Agustus 2013.

27 August 2013

Aku Masih Ingat Lagu Kunang-Kunang...

Pekan lalu, kami menerima kembali anak didik kami yang sudah satu tahun lamanya belajar di salah satu negara Eropa karena harus mengikuti ayahnya bekerja di sana. Jadi saat dia meninggalkan kami satu tahun lalu, saat itu dia duduk di bangku belajar Taman Kanak-kanak kelompok A. Dan sekarang ketika kembali lagi ke sekolah kami, dia sudah duduk di TK kelompok B.

Yang menjadi istimewa dari anak ini setelah satu tahun tinggal di Eropa dan kembali lagi ke sekolah kami untuk melanjutkan pendidikannya, ia menceritakan kepada saya di depan guru-gurunya saat saya datang ke kelasnya; bahwa ia masih ingat saya.

"Saya masih ingat Bapak." Katanya di suatu pagi sebelum pelajaran dimulai.
"Bapak dulu yang mengajari kita lagu kunang-kunang kan?" 

Dan tentunya tidak hanya sampai disitu anak itu berbicara kepada saya. Ia banyak sekali menyampaikan apa yang ada di dalam dirinya. Tentu tentang apa yag diingatnya terhadap saya. Saya sedikit kaget juga. Bukankah anak itu baru lima tahun? Tetapi mengapa hanya anak itu yang dapat menyampaikan hal seperti itu kepada saya dari sekian banyak siswa yang ada di sekolah kami?

Dengan apa yang disampaikannya kepada saya kala itu, saya terkesan sekali. Kesengsem, kata orang Jawa. Betapa anak itu ekspresif ketika menyampaikan apa yang diingatnya. Tanpa harus takut apalagi malu?

Dan satu hal lagi, dengan apa yang disampaikannya, saya merasa gembira bahwa saya diingatnya ketika saya pernah mengajari mereka. Senang sekali.

Jakarta, 27 Agustus 2013.

Memang Ngak Boleh ya Pak?

Saya bingung juga untuk menjelaskan kepada anak didik saya yang sekarang duduk di kelas 9. Pertanyaan saya justru dijawabnya dengan kalimat yang saya justru harus berkerut jidat. "Memangnya ngak boleh ya Pak?"

Ini karena pada Jumat lalu saya mendapatkan laporan bahwa ada anak yang melompati pagar sekolah. Pagar ini membatisi area sekolah dengan area penjemput. Di pagar itu ada pintu yang seringnya di buka. Namun atas masukan dari beberapa pihak, maka kami harus mengunci pintu itu, dan kunci pintunya sebisa mungkin disimpan. Sehingga anggota Satpam yang bertugas di area pagar tidak harus buka tutup. Dan anak yang saya tanya pagi itu, adalah anak yang pertama melompati pagar dengan cara memanjat. Ini setelah kami pastikan dengan cara membuka rekaman cctv. 

"Menurut kamu boleh?" Begitu saya balik bertanya kepada anak itu. Maksud saya tidak lain adalah untuk memancing apakah dia menjawab dengan kalimatnya seperti itu secara juur atau main-main.

"Kalau pagar dalam posisi terkunci, siapa menurut kamu yang melompati pagar?" Kata saya lagi. Tujuannya masih sama. Saya ingin mengajak dia berpikir.

"Pencuri Pak."
"Mengapa?"
"Karena dia memang masuk saat orang tidak ada. Jadi saat pintu terkunci."

Dialog itu harus berakhir, karena hari itu masih pagi. Dan seluruh anak-anak sedang bersiap menuju ruang serba guna untuk memulai kegiatan belajar. Saya pun segera mempersilahkannya untuk segera menuju ruangan belajar.

Dari pertemuan itu, saya segera kembali melihat rekaman yang ada di komputer untuk kemudian men-capture gambar sebagai bukti, yang nantinya akan saya berikan kepada guru konseling di SMP. Tujuan saya atas apa yang dialami anak tersebut adalah; agar dia belajar dari apa yang telah dia lakukan pada Jumat siang itu dengan melompati pagar. Hanya itu. Tidak ada niatan memberikan hukuman kepadanya selain mengajaknya untuk berpikir tentang konsekuensi atas apa yang telah dia lakukan.

Konsekuensi tentang bahayanya. Dan tentunya konsekuensi tentang perilaku yang tidak sesuai aturan atau norma.
 
Jakarta, 27 Agustus 2013.

25 August 2013

Membuat Cincau

Dengan makanan tradisional ini, belakangan ini saya memiliki hubungan yang relatif intens. Ini karena saya memiliki opsesi untuk mengajak seluruh guru di sekolah praktek membuat cincau yang tanpa campuran bahan selain dari bahan alaminya. Seperti sore itu, ketika saya mendapatkan pengumuman untuk kerja bakti di kampung kami, maka salah satu sasaran dari kerja bakti di kampung adalah membersihkan pagar rumah, termasuk memotong seluruh tumbuhan merambat yang terlalu rimbun. Karena selain mengubah pemandangan, kerimbunan tanaman merambat di pagar itu sedikit mengganggu ketika malam tiba. Karena rimbunnya tanaman itu menutupi cahaya lampu. Sehingga jalanan di bawahnya menjadi gelap. Beruntung, karena tanaman merambat itu adalah pohon cincau hijau panjang.
Daun cincau hijau panjang, setelah dibersihkan dan siap untuk dilembutkan agar lendir yang terkandung didalamnya dapat larut di air putih yang disediakan.
Membuat Bibit

Pohon cincau daun panjang yang merambat dan menyeduiakan daun sebagai bahan dasar membuat cincau itu tumbuh secara berlebihan di pagar. Maka untuk menyebarkan kelezatannya, saya membuat stek pohon yang merambat itu di dalam pot-pot kecil yang berasal dari bekas gelas air mineral yang sudah saya lobangi bagian bawahnya. Setelah stek batang itu bertunas, maka pohon itu saya migrasikan, antara lain ke sekolahan.

Untuk melengkapi koleksi, saya juga meminta saudara di kampung halaman untuk membuat bibit cincau yang berdaun berbulu. Alhamdulillah, setelah bibit itu cukup umur, saya satukan pada lokasi tanam yang berdampingan, juga di sekolah.

Beberapa waktu lalu, di sekolah, kami melakukan 'panen perdana' atas daun cincau itu, dan mempraktekkan membuatnya. Beberapa teman yang terlibat atau dilibatkan merasa gembira dan memperoleh pengalaman baru, bagi mereka yang memang belum pernah membuatnya. Juga bagi yang pernah membuatnya, mereka merasakan kenangan untuk mengulang kembali meremas daun cincau.

Membuat Cincau

Tanpa harus dikomando, saya diberikan bantuan tetangga yang juga adalah peserta kerja bakti untuk memisahkan mana daun cincau panjang dengan batang gulma yang ikut serta tumbuh bersama hijaunya daun cincau.

Dan inilah sebagaian hasil cincau yang saya buat sendiri.
Jakarta, 25 Agustus 2013.

Mudik 2013 #17; Disergap Udara Dingin

Suasana agak berbeda dengan mudik Idul Fitri 1434 Hijriah tahun ini. Ini karena pada saat malam hingga pagi hari, udara di kampung halaman kami yang ada di wilayah Kedu Selatan, begitu dingin terasa. Teman saya yang ada di daerah Purwodadi, Purworejo, harus menulis di status Facebook-nya tentang suhu udara di kampungnya 18 derajat! Pasti ini informasi dari komputer tabletnya.

Saya sendiri dan anak-anak juga merasakan yang berbeda. Tapi itu justru membuat kami memiliki cerita. Karena pagi sebelum kami memulai kegiatan, mau tidak mau harus mengambil air untuk membasuh wajah. Dan air yang ada di dalam bak mandi atau dalam padasan, dinginnya terasa seperti ketika kami sedang di Puncak, Bogor. Luar biasa bukan?

Apalagi jika kami harus berjalan mengelilingi kampung untuk bercengkerama dengan sanak saudara dan handai taulan. Angin yang berhembus menjadi bagian kenangan tersendiri. Dan itu bukan kami saja yang menjadi tamu di kampung halaman kami sendiri, teman dan saudara di kampung pun mengalami hal yang menyenangkan itu. Mereka menyebutnya sebagai musim mbediding. Itu istilah dari Bahasa Jawa yang memiliki arti kedinginan yang sangat. Suasana seperti ini ketika bulan tiba pada Juni, Juli, dan biasanya hingga Agustus.

Jakarta, 19-25 Agustus 2013.

20 August 2013

Mudik 2013 #16; Merayakan Ulang Tahun

Memang sebuah kebetulan bahwa tanggal dimana kami memulai perjalanan pulang kampung, adalah tepat hari lahir bontot kami ke-18 tahun. Itulah maka kami berpesan kepada anak kami itu agar tidak ada teman yang datang di tengah malam guna merayakanya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dimana untuk sebuah kejutan, teman sekolahnya datang pada tengah malam ke rumah dengan membawa kue tart dan lilin. Kami, saat itu terheran-heran juga dengan polah tingkah anak-anak itu. Tapi itukan dulu pada saat kami tidak sedang akan menjalani perjalanan yang butuh tenaga banyak. 

Maka, sebelum hari H ulang tahun anak saya itu terjadi, saya sudah berpesan untuk tidak acara seperti itu berulang pada tengah malam. Takutnya, saya yang akan bertugas sebagai supir terganggu. Dan ketika bangun masih kurang segar. Padahal kami berencana untuk berangkat dari Jakarta menuju kampung halaman dengan berkendaraan sebisa mungkin pukul 06.00. Itulah komitmen kami di menjelang hari ulang tahun bontot.

Makan Malam

Ketika perjalanan hampir sampai di lokasi, normalnya butuh 2 jam perjalanan lagi, kami upayakan untuk makan malam di sebuah warung di Sumpiuh. Awalnya kami berdebat untuk menentukan warung yang akan kami hampiri ini. Ini karenanya bontot saya tidak ingin hari ulang tahunnya disampaikan kepada pelayan warung. Dan juga karena ia sendiri tidk ingin dirayakan hari ulang tahunnya di depan umum. Oleh karenanya dia tidak ingin mampir di warung yang akan kami pilih tersebut.

Namun, dengan alasan untuk keadilan, karena setahun lalu ketka kami dalam perjalanan,  sang kakak lebih dahulu menikmati perayaan ulang tahun di sebuah Warung yang sama. Maka jadilah ulang tahun bontot saya itu di sebuah warung. Selain mendapat kue tart ukuran siggle, anak saya juga harus mengenakan caping dan meniup lilin. Juga adalah hasi foto jepretan sang pelayan warung...

Jakafta, 20 Agustus 2013.

Mudik 2013 #13; Menginap di Puskesmas

Dalam kegiatan mudik yang saya lakukan, mudik tahun ini menjadi berbeda. Khususnya untuk kami sekeluarga. Ini tidak lain karena salah satu dari kami harus terserang diare yang sedikit panjang di H+3. Oleh karenanya kami sejak petang di sebelum hari itu sudah disibukkan dengan obat deari.

Ini juga agak sedikit mengherankan bagi kami semua, mengingat apa yang kami konsumsi tidak terlalu sembrono sepanjang perjalanan mudik itu. Air minum saya bawa stok yang lumayan banyak di dalam kendaraan. Dan stok itu relatif cukup untuk kami habiskan tidak saja di perjalanan berangkatnya, tetapi juga selama kami berada di satu hingga dua hari berada di kampung halaman. Pun juga makanan berat yang kami konsumsi.

Tetapi yang namanya rezeki, datang juga penyakit itu ketika pada hari kedua malam ketika kami berada di kampung halaman. Tepatnya setelah kami selesai dan alhamdulillah menemukan kos untuk anak bontot saya dan kembali ke kampung dimana rumah orangtua saya berada.

Pukul 10.00 malam itu, ditemani sulung, saya berangkat ke kota kecamatan, dimana terdapat warung retail yang mash terjaga. Selain obat untuk sakit buang-buangnya, juga kami belikan minum. 

Juga ketika hingga pukul 02.00 anak saya yang terserang deari itu belum juga berhenti buang-buang, maka alternatifnya adalah dokter jaga yang ada di Puskesmas yang kebetulan ada di kampung halaman saya. Karena keberatan untuk di infus, maka obat jalan yang diberikan dokter jaga itu kepada anak saya. Dan ketika kondisi masih belum juga berubah, maka kami sepakat untuk membawanya kembali ke Puskesmas, untuk kemudian diberikan perawatan.

Menginap di Puskesmas

Maka malam itulah kami sekeluarga harus menemani salah satu anak kami yang harus dipasangi selang infus. Berbeda bukan? Karena kami tetap berada di kampung kami sendiri, tetapi tidak tinggal di rumah orangtua kami. 

Namun ada beberapa kesempatan yang saya sendiri jadi dapat lakoni dengan keberadaan kami sekeluarga di Puskesmas desa itu. Setidaknya, saya dapat nongkrong di warung yang berada tidak jauh dari Puskesmas itu, yang ketika saya masih muda disitulah lokasi saya beecengkerama dengan teman-teman sepantaran di kampung. Dengan itu pula, sya berkesempatan bertemu teman lama dan mengingat kembali dalam ingatan saya tentang wajah-wajah yang telah lama tidak berjumpa.

Saya juga dapat bersilaturahim ke rumah Pakde-Pakde saya ketika pagi menjelang. Tentu dengan ditemani oleh orangtua saya, yang kala itu selain juga bermaksud untuk silaturahim Idul Fitri juga adalah pemandu saya yang nyaris 20 tahun tidak menjamah pekarangan, apa lagi rumah saudara saya itu.

Itulah setidaknya hikmah dibalik kami menginap di Puskesmas di saat mudik  Idul Fitri.

Jakarta, 20 Agustus 2013.

18 August 2013

Mudik 2013 #15; Nonton Wayang Kulit

Ini menjadi pengalaman anak bontot saya di saat mudik kemarin, yaitu menonton pertunjukan wayang kukit di sebuah gedung joglo yang ada di tikungan yang ada di alun-alun utara dari Keraton Yogyakarta. Lokasi persis dari gedung yang menyelenggarakan wayang kulit itu berdampingan dengan gedung sebuah bank plat merah yang berseberangan dengan kantor pos besar Yogyakarta.

Sebenarnya, beberapa waktu sebelumnya kami bersama-sama akan menonton. Namun karena siang harinya saya harus berjuang dengan jalanan padat, maka ketika sore menjelang ada rasa malas dan lelah yang menjadikan semangat menonton itu sirna. Beruntung bahwa bontot saya berjumpa dengan teman sekelas SMAnya. Dengan dialah bontot saya mendatangi gedung atau bangunan joglo milik Dinas Kebudayaan itu untuk menonton.

"Bagaimana Dek perasaanmu setelah menonton wayang kulit?" Tanya saya setelah anak saya itu sampai kamar hotel.

"Wah, seru sekali Yah. Kami berdua menjadi orang asing dalam pertunjukan itu. Karena hanya kami berdua saja penonton orang Indonesianya. Penonton lainnya semua orang bule." Jelas anak saya sumringah luar biasa.

"Jadi kamu bangga dong ya bisa punya pengalaman seperti itu?"

"Ya bangga ya sedih. Karena banyak orang kita yang memadati sepanjang Jalan Malioboro tetapi mengapa hanya kami berdua yang mengunjungi dan menonton wayang?"

"Ya, mungkin saja orang lain itu sudah sering nonton wayang. Atau mungkin saja para pengunjung Jalan Malioboro itu tidak tahu lokasi-lokasi budaya. Sehingga mereka hanya mengunjungi Jalan Malioboro dan Pasar Bringharjo ketika datang ke Yogyakarta." Jelas saya dengan persfektif berbeda.

"Tapi tadi kami mendapat diskon membayar tiket masuknya Yah. Mestinya berdua kami membayar 60 ribu rupiah. Tapi kami tadi hanya diminta membayar 30 ribu saja." Lapor anak saya.

"Kok bisa Dek?" Tanya saya.

"Penjaga loket dan temannya bertanya sama kami tentang identitas kami. Terus juga bertanya apakah kami tahu wayang. Juga mengapa kok bisa nonton? Ya aku jelasin semua. Termasuk juga aku sampaiin kalau aku sebenanya ngak paham wayang dan ceritanya. Tapi aku penasaran karena ayah sering nonton di you tube tentang Ki Manteb Soedarsono."

Kami semua, ibunya dan kakaknya, juga saya, sedikit banyak ikut bangga. Bahwa ada anak remaja yang tumbuh di luar budaya wayang kulit, bisa ikut serta sebagai penonton di pertunjukan yang hampir setiap malam ada di tempat itu. Meski pengalaman itu belum dapat diambil kebermaknaannya. Tapi  semoga dapat menjadi awal penasaran yang bagus. Dapat menjadi simpul inkuiri...

Jakarta, 18 Agustus 2013.

Mudik 2013 #14; Ada Restoran yang Buka Hanya Satu Setengah Jam Saja!

Ini terjadi di lintas arus balik pada H+6, tepatnya pada hari Rabu, 14 Agustus 2013 pada jam pertama restoran atau warung makan itu buka. Lokasinya di daerah Pejagan, dekat pintu masuk tol Pejagan - Kanci.

Awal cerita, saya pada hari itu, saya memilih waktu untuk kembali ke Jakarta pada hari tersebut pada pukul 02.00. Ini karena, dalam pertimbangan kami, kami harus kerjar waktu sepagi mungkin untuk masuk Pantura di Jawa Barat, untuk menghindari kepadatan yang biasa terjadi di wilayah tersebut.

Alhamdulillah hitungan kami benar. Bahwa kami dapat menjalankan shalat Subuh di SPBU yang ada di jalan lingkar luar kota Bumiayu, Jawa Tengah tepat pukul 05.00. Dan kemudian melanjutkan perjalanan sesegera mungkin untuk menghindari efek kepadatan di Pantura Jawa Barat itu. Alhasil sampailah kami di Ketanggungan lebih kurang pukul 08.00.

Pada waktu itulah kami memutuskan untuk mencari tempat mampir, guna sarapan pagi. Syukur-syukur lokasi itu juga tersedia toilet yang bersih. Bukankah sejak keberangkatan dini hari tadi belum semua rombongan kami yang telah mandi? Juga untuk melaksanakan kewajiban lainnya yang sejak keberangkatn kami dari rumah orangtua di Purworejo tadi masih kami tunda.

Sampailah kami kepada sebuah warung makan yang bernama. Meski kondisi bangunan dari restoran ini belum banyak renovasi, sehingga antara brand warung makan dengan tongkrongan bangunannya secara kasad mata sedikit banyak tidak berkorelasi positif. Atau kalau dalam bahasa kami, dua kondisi itu adalah bentuk hubungan hubungan yang jomplang. 

Tapi tidak mengapa, kami masuk juga di rumah makan itu. Semua kursi penuh oleh pengunjung yang lahap-lahap menikmati pesanannya masing-masing, yang tersedia di meja makannya.

Meski, sekali lagi, tampak ruangan dalam yang masih sederhana dan bahkan masih terlihat betapa kurang bersihnya. Namun kami memilih satu meja yang ada di bagian dalam. Karena hanya di lokasi itulah yang masih tampak kosong. Pesanannya pun segera kami order.

"Mohon maaf Pak. Tadi saat kami sedang bersihkan untuk persiapan buka, para tamu sudah langsung masuk dan memaksa memesan makanan. Jadi kami belum sempat mengepel." Begitu penjelasan seorang pelayan ketika saya tanya tentang kondisi lantai warung yang belum bersih.

"Mohon maaf ya Ibu, nanti tidak bisa memesan tambahan." Begitu seorang pelayan yang membawa order kami. Tentu kami tidak berminat untuk memesan tambahan. Bukankah cukup masing-masing satu porsi bagi kami?

Rupanya apa yang disampaikan oleh pelayan berkenaan dengan tidak bisa memesan tambahan adalah karena stok seluruh makanan untuk jam buka, suguhan untuk kami adalah stok terakhirnya. Dan ketika 30 menit kemudian kami berada di warung makan tersebut, tentunya setelah selesai menyantap orderan kami, ada seorang petugas dari warung menempelkan pengumuman di depan warung HABIS.

Jakarta, 18 Agustus 2013.

Mudik 2013 #12; Bersama dalam Kendaraan dalam Perjalanan Mudik

Untuk para pemudik yang bermobil atau berkendara roda empat, inilah mungkin waktu yang dapat dinikmati oleh anggota keluarga yang berangkat mudik dalam satu kendaraan. Sebuah kenikmatan sekaligus pengalaman yang pastinya  jarang dialami oleh keluarga yang ketika di kota sulit dipertemukan dalam kebersamaa. Tetapi dalam momen mudik lebaran sebagaimana libur Idul Fitri 2013 ini, justru menjadi momen untuk mempererat hubungan sesama mereka.

Ini tidak lain karena selama perjalanan yang mereka tempuh, yang tidak sebentar tersebut, akan dipersatukan dalam satu kendaraan. Belum lagi jika perjalanan yang mereka lakukan itu harus terhambat oleh padatnya volume kendaraan yang  ada di jalanan. Maka itulah yang oleh tean saya sebutkan sebagai quality time!
Sebuah status di FB milik sahabat saya.

Jakarta, 18 Agustus 2013.

16 August 2013

Mudik 2013 #11; Menyiasati Lampu Lalu Lintas

Sepanjang musim liburan Idul Fitri tahun 2013, kami yang di kampung halaman harus benar-benar tahu memilih jalan alternatif ketika harus menghindari lampu lalu lintas atau pasar tumpah. Karena pada lokasi tersebut, dipastikan anda akan antri hingga 5 sampai 10 atau bahkan 1 jam hanya untuk dapat lolos. Sebagai gambaran adalah lampu lalu lintas yang ada di perempatan Pendowo, Purworejo, Jawa Tengah. Atau lampu lalu lintas yang ada di pertigaan Kulwaru, Wates, DI Yogyakarta.

Pada waktu siang hari, kendaraan yang antri di hampir setiap lampu lalu lintas di lintasan jalur mudik, akan menjadi salah satu penyebab tersendatnya laju kendaraan. Oleh karenanya banyak lalu lintas yang pada akhirnya tidak difungsikan dengan penjagaan aparat dari Kepolisian. Ini untuk tetap memastikan laju kendaraan yang normal. Tidak ketinggalan pula dengan kondisi arus lalin di dua lampu lalu lintas yag saya sebutkan di atas. Karena di dua titik itulah saya banyak beraktivitas.

Namun karena saya tahu jalur-jalur alternatif, meski jalannya hanya dengan lebar 6 meter, tetapi dengan kondisi yang baik atau bahkan mulus dengan aspal hotmix, maka jalur itu benar-benar menyelamatkan bagi mereka yang tahu.

Sekadar memberikan gambaran lokasi pertigaan Toyan, Wates, DI Yogyakarta.
Sebagaimana pengalaman ketika kami harus berangkat ke arah timur menuju Yogyakarta pada Sabtu, 10 Agustus. Dimana antrian lampu lalu lintas di pertigaan Kulwaru, atau pertigaan Toyan, dari arah barat menuju timur antrian hingga mencapai di perempatan pantai Glagah Indah dan Girigondo.Mungkin sekitar 3 km panjang antrian itu.

Maka jalur alternatif itulah andalannya. Dan rupanya selain saya yang boleh dikatakan sebagai warga terdekat dari pertigaan itu, kendaraan umum seperti bis umum telah menjadikannya jalan pilihan mereka. Bis Efis*****, misalnya. Juga Elf Sum*** A**m. Pilhan itu untuk jalur yang dari arah barat menuju timur atau sebaliknya.

Namun bagaimana ketika saya harus terjebak antri di lampu lalu lintas yang ada di wilayah dimana saya tidak mengenalnya? Antri bersama dengan yang lain adalah pilihan terbaik bagi saya. 

Setidaknya itulah catatan perjalanan saya dalam menikmati jalur alternatif. Lebih jauh memenag kalau dihitung jaraknya. Tetapi lebih cepat. Hanya karena jalur alternatif itu relatif masuk ke dalam, maka kehati-hatian dan kewaspadaan dalam berkendatra tetap menjadi kunci.

Jakarta, 16 Agustus 2013.

Mudik 2013 #10; Padat Merayap, Catatan yang Tidak Penting!

Tampaknya, mudik libur Idul Fitri pada tahun 2013, ada yang berbeda dengan tahun sebelumnya. Khususnya berkenaan dengan kondisi perjalanan yang saya lalui. Setidaknya inilah pengalaman bagi saya yang memiih waktu H+1 Idul Fitri sebagai waktu memulai perjalanan menuju kampung halaman di Jawa Tengah, dab kembali ke Jakarta pada H+7. Karena sepanjang perjalanan tersebut, baik berangkat atau ketika kembali, mengalami ketersendatan yang lumayan panjang dan lama.

Jakarta - Purworejo

Pada perjalanan berangkat, saya meluncur dari rumah di Jakarta pada pukul 06.00, dan sepanjang perjalanan di Pantura Jawa Barat hingga keluar pintu tol Pejagan, semua berjalan normal dan lancar. Lebih kurang pukul 10.00 saya berhenti dan ke toilet di SPBU yang lokasinya berada di sekitar pintu keluar tol itu. Semua masih berjalan lancar dan normal. Asumsi itu saya pertautkan dengan kondisi yang sama pada tahun lalu.

Namun perjalanan mulai mengalami ketersendatan, dimana kondisi  jalana yang padat dan merayap itu ketika kendaraan berada di pertigaan Ketanggungan-Cileduk. Kami mengira bahwa ini karena banyaknya kendaraan parkir di sisi kiri dan kanan sepanjang jalan itu untuk berbelanja, antara lain telur asin Brebes yang terkenal masir dan gurih itu. Tapi hingga perjalanan masuk ke Prupuk, kondisi jalan tetap sama.

Itulah maka ketika waktu Jumatan tiba di daerah Prupuk pada pukul 12.00, dimana memang kondisi jalan yang memang penuh oleh kendaraan, baik roda 2 atau roda 4, hingga pukul 24.00 kami sekeluarga benar-benar sampai di lokasi yang kami tuju di daerah Jawa Tengah Selatan.

Purworejo - Jakarta

Kondisi serupa dan mirip, kami alami disaat kami melakukan perjalanan kembali ke Jakarta. Saya dan keluarga sepakat untuk memulai perjalanan pada pukul 01.00 dini hari. Ini dilandasi pengalaman pada saat hari kedua kami berada di Purworejo, dimana kami harus mengantar salah seorang anggota tim kami yang sakit diare ke Puskesmas. Pengalaman inilah yang membuat kami sepakat bahwa pada dini hari, situasi jalanan benar-benar sepi. Sangat mudah bagi kami untuk menyeberang jalan. Kontras dengan di saat pagi hingga tengah malam. Situasi hilir mudik kendaraan luar biasa ramai. Hingga kami dan warga lainnya kesulitan dan harus benar-benar bersabar untuk dapat menyeberang jalan.

Karena satu dan lain hal, perjalanan kami benar-benar bisa kami mulai bukan pada pukul 01.00 tetapi mundur satu jam. Alhamdulillah, pada pukul 05.00 kami sudah dapat melakukan shalat Subuh di sebuah SPBU yang ada di lingkar luar kota Bumiayu.
Situasi di depan sebuah SPBU di Pantura Indramayu, Jawa Barat, pada Rabu, 14 Agustus 2013 siang.

Namun seperti halnya saat kami berangkat, saat ke Jakarta ini kami juga masuk dalam rombongan yang antri di sepanjang Pantura wilayah Jawa Barat dari pukul 10.00 di daerah Palimanan hingga pukul 22.00 ketia kami masuk rest area km 42 di tol Cikampek-Jakarta.

Di Kampung Halaman

Tampaknya, dari pengamatan saya di kampung halaman dan juga di hampir semua rumah yang punya pemudik, apa yang saya alami dengan situasi arus lalu lalang kendaraan di jalanan sepanjang kami berangkat dan pulang, adalah refleksi dari keadaan di kampung halaman. Apa bentuknya? 

Di kampung kami, hampir setia rumah yang menerima pemudik, selalu ada kendaraan bermotor bersama pemudiknya itu. Baik itu yang roda 2 atau juga yang roda 4. Dan kondisi inilah yang membuat berbeda sangat dengan Idul Fitri tahun sebelumnya. Setidaknya inilah catatan saya.

Artinya? Saya ikut mensyukuri bahwa kami sekelaurga, dan seleruh tetangga di kampung berbahagia dalam merayakan Idul Fitri tahun ini dengan mudik. Semoga keberkahan selalu mengiri semua ikhtiar kami. Amin. Terima kasih.

Jakarta, 16 Agustus 2013.

07 August 2013

Dampak Pembangunan di Jalan Depan Kantor

Sejak anak-anak kami libur sekolah pada akhir bulan lalu, maka banyajk ceceran tanah urugan dari kegiatan pembangunan apartemen dekat sekolah. Kebetulan beberapa waktu belakangan ini, truk-truk tanah itu selalu melintas di jalan depan kantor kami. Dan ceceran itu, meski beberapa kuli terlihat di malam buta menyingkirkan tanah-tanah yang berceceran, tetap saja tanah-tanah itu dibersihkan tidak dengan cara paripurna. Tanah-tanah yang berceeran di tengah jalan memang di skop untuk dipinggirkan. Namun karena pinggir jalanan kami adalah juga halaman luar sekolah, tidak pelak lagi bahwa di musim panas ini tanah-tanah itu mengering dan berterbangan tertiup angin.

Alhamdulillah bahwa sekarang masih musim libur sekolah. Kami, khususnya saya dan anggota satpam sekolah, berharap mudah-mudahan truk-truk itu tetap berhenti beroperasi dan melintas di jalanan depan sekolah. Karena jika itu berulang kembali, maka tidak pelak lagi, tanah itu akan terbang dan diantar angin masuk ke pernapasan kami. Setidaknya itulah yang kami kawatirkan. 

Jadi, semoga setelah libur lebaran ini usai maka berhenti juga kegiatan truk pengangkut tanah melintah di jalanan depan sekolah kami. Inilah harapan terbesar kami. Karena kami punya pengalaman bagaimana harus berada di dalam situasi udara yang telah bercampur dengan senyawa debu dari hasil tanah yang tercecer dari truk-truk sebuah pembanganan. 

Halaman luar sekolah yang baru saja kami bersihkan dari ceceran tanah. Rabu, 7 Agustus 2013.

Jakarta, 7 Agustus 2013.

06 August 2013

Mudik 2013 #8; Bertemu Sahabat di Rest Area

Melalui pesan di hp, sekitar pukul 09.00 saat saya berada di kantor, seorang teman mengabari akan memberikan oleh-oleh kepada saya, berupa salak pondoh, yang adalah hasil dari kebunnya sendiri di Pagaralam, Sumatera Selatan. Pagaralam adalah asal daerahnya, dimana di daerah ini ia mengaku mendapatkan jatah tanah warisan dari orangtuanya. Sementara ia dan keluarga, sejak semula berusaha dan tinggal di kota Bengkulu.

Membaca pesan melalui seluler itu, saya mencoba menghubungi sahabat saya itu untuk mengetahui posisi persisnya. Dengan demikian, saya bisa memprediksi jam berapa kami bisa bertemu, dan sekaligus memperkirakan di lokasi mana kami paling mudah berjumpa. Karena pada saat bertemu itulah salak pondoh akan saya terima.

Meski salak pondoh bukanlah buah yang istimewa, tetapi dari sahabat dan asli dari kebunnya sendiri, serta dia bawa langsung dari kebunnya, sya membayangkannya sebagai oleh-oleh yang istimewa. Mkanya, tapa berbelik dan berkelit, saya pastikan kepadanya untuk bisa bertemu. Meski nantinya harus di rest area jalan tol. Karena ia akan langsung menuju kampung halamannya tanpa bersusah payah harus keluar jalan tol menuju rumah saya yang sebenarnya tidak jauh dari pintu gerbang keluar dan masuk jalan tol, yang akan membuatnya pusing sebagai orang daerah.

Itulah sekelumit keunikan sahabat saya yang juga adalah guru itu, yang domisili di Bengkulu. Kepadanya, sebagai tanda agar saya segera bersiap menuju lokasi pertemuan dari kantor, adalah memberitahu saya jika ia telah mendarat di Pelabuhan Merak. 

"Gus, aku sudah turun dari kapal nih. Aku sudah di dalam mobil. Sudah menginjak tanah!" Begitu kalimatnya dari seluler. Maka setelah semua saya rasa beres dengan kerjaan kantor, saya segera meluncur menuju lokasi pertemuan.

Sahabatku, lulus 84, dan keluarganya. Mudik dari Bengkulu. Transit di km 14 Tol Tangerang untuk memberi oleh-oleh salak dari kebonnya sendiri.
Meski berlangsung singkat, pertemuan dengan sahabat karib saya ketika kami benar-benar hanya punya tujuan untuk belajar di bangku sekolah guru pada 29 tahun yang lalu itu, relatif memberikan rasa saling menghargai. Setidaknya itu yang saya rasakan. Meski juga, pertemuan singkat itu, hanya berlangsung di rest area!

Jakarta, 6 Agustus 2013.

Mudik 2013 #9; Pemudik yang Dermawan

"Sedikitnya Rp 50 triliun Uang telah mengalir ke daerah-daerah di tanah air menjelang lebaran." Demikian kalimat awal dari laporan utama harian Kompas, yang terbit pada hari Senin, 5 Agustus 2013. Laporan tersebut juga menceritakan beberapa pemudik dengan 'THR' yang dibawanya ke kampung halamannya. Juga mengutip pendapat ekonom dari UI yang menyebutkan bahwa uang sebesar itu masih digunakan oleh para pemudik daam jangka pendek. Karena masih sedikit dari uang yang beredar di masyarakat yang menjadi imbas dari kegiatan mudik tahunan ini menjadi dana investasi jangka panjang.

Pemudik Dermawan

Mungkin inilah kenyataan yang harus dialami oleh masyarakat kita. Bahwa para perantau itu membawa serta rindu, kenangan akan kampung halamannya bersama-sama dengan keluarga dan rizkinya. Para pemudik akan berbondong-bondong menukarkan uang pecahan yang nantinya didonasikan kepada sanak saudaranya yang ada di kampung. Ini tampaknya sudah menjadi perilaku umum.

Dan repotnya, uang donasi itu, tidak semuanya akan disimpan bagi yang mendapatkannya, karena biasanya mereka akan mendapatkan uang kedermawanan itu tidak hanya dari satu orang, tetapi banyak yang langsung membelanjakan dalam bentuk barang konsumsi. Bahkan tidak jarang, bagi anak-anak muda, uang tersebut tidak lebih digunakan untuk membeli pulsa selulernya.

Namun, bagi saya yang juga adalah pemudik, merasa bersyukur bahwa para saudara yang masih tinggal di kampung halaman itu begitu antusias manakala pada pemudik membuat semarak di kampung halaman. Tidak jarang juga bahwa syukuran atas kepulangan para pemudik tersebut dimeriahkan dengan tontonan yang dewasa ini langka terjadi secara live. Yaitu pergelaran wayang kulit!

Dengan itu semuanya, saya merasakan kemeriahan pulang kampung itu sebagai bagian yang memang layak untuk diridukan selalu.

Jakarta, 6 Agustus 2013.

05 August 2013

Mudik 2013 #7, Mudik Made in Indonesia?

Menjelang Idul Fitri ini, di berita ditampilkan tayangan tentang perjalanan mudik. Bagaimana riuh rendahnya prosesi perjalanan mudik itu, dengan berbagai sarana yang mereka sanggupi. Penyiar televisi memberitakan siaran langsung yang merupakan pantauan perjalanan mudik ini dari berbagai titik (macet), yang antara lain di Pantura, di daerah Nagrek, dan juga di Merak. Juga dae\ri beberapa daerah di luar Jawa.

Dan jalan darat di Pulau Jawa, tampaknya yang menjadi satu-satunya jalur jalan yang amat padat di Indonesia. Dan antara hiruk pikuk liputan tentang mudik ini, para penyiar masih mengemukakan bahwa mudik adalah khas Indonesia. Benarkah mudik hanya budaya khas Indonesia?

Sebagai salah satu yang menjadi bagian dari pemudik, saya sedikit keberatan dengan pernyataan dan konsepsi seperti tersebut. Keberatan saya bukan saja bermuara kepada bahwa saya adalah salah satu dari mereka yang masih memiliki akar di udik, sehingga mengharuskan saya untuk bersilaturahim dengan sanak dan handaitaulan di kampung halaman. Tetapi juga karena berdasarkan realita, pernyataan itu sungguh tidak benar.

Setidaknya inilah yang dikabarkan di media tentang bagaimana orang-orang yang tinggal di kota-kota harus pulang kampung ketika libur tahun baru Imlek di China:
Berita yang saya ambil dari; http://internasional.rmol.co/read/2013/02/02/96738/Arus-Mudik-Imlek-Mulai-Makan-Korban,-8-Orang-Tewas-Akibat-Bus-Masuk-Jurang-
Sekedar meluruskan, tanpa saya harus banyak mengemukakan argumentasi, bahwa budaya mudik tidak murni budaya asli Indonesia. Mudik adalah budaya untuk kaum urban dimanapun bereka berada di belahan bumi ini.

Jakarta, 5 Agustus 2013

Mudik 2013 #6, Memilih Waktu Berangkat

Selain hari libur yang menjadi jatah kita, tentu ini bagi mereka yang karyawan dan harus ketat mengalokasikan hari cuti yang diambil, maka waktu keberangkat menuju kampung halaman saat liburan Idul Fitri tahun ini yang jatuh, menurut kalender pada Kamis, 8 Agustus, adalah hal yang sangat menentukan bagi terbebasnya dari terjabak macet yang pasti tidak mengenakan. Macet mudik yang kadangbenarbenar membutuhkan kekuatan tenaga dan pikiran. Dan itu membutuhkan tidak saja niat dan tekad untuk pulang kampung atau mudik, tetapi juga jadwal pemerintah tentang cuti bersama.

Dimana melalui SKB 3 menterinya, pemerintah  telah menetapkan jauh-jauh hari tentang libur atau cuti bersama, yang jatuh pada Senin hingga Rabu, tanggal 5-7 Agustus 2013. 

Dengan kondisi seperti itulah maka beberapa karyawan yang akan melaksanakan hajat mudiknya akan menimbang kapan waktu yag paling tepat. Memang tidak akan mungkin dapat menghindari kemacetan sama sekali. Tetapi setidaknya relatif tidak parah. Setidaknya, kondisi jalan yang padat lancar menjadi impian bersama dikala musim liburan Idul Fitri ini. 

Dan waktu-waktu itu terbentang mulai Jumat, tanggal 2 Agustus, dimana para karyawan dapat langsung meluncur menuju arah mudiknya, atau sedikit menunda karena dengan pertimbangan liburan masih relatif panjang. Dan ada juga kekawatiran karena seharian baru saja bekerja maka dikawatirkan akan kelelahan jika harus melanjutkan perjalanan yang paling sedikit membutuhkan konsentrasi dalam jangka panjang untuk perjalanan Jakarta-Yogyakarta, misalnya.

Itu jugalah yang saya dapatkan informasinya dari adik saya yang bertekat untuk langsung menuju kampung halaman begitu ia keluar kantor yang lokasinya ada di Kerawang, Jawa Barat. Tidak tanggung-tanggung, istrinyapun diminta menjemputnya di dekat pintu keluar kantornya. Dengan demikian, maka ia dapat menghemat waktu dan tenaga.

Atas idenya ini, saya sempat berkomunikasi dengan istrinya untuk melakukan persiapan yang cukup, terutama makan dan minum, sebagai persiapan jika nanti macet parah. Juga mengajukan usul dan pandangan apakah pada hari terakhir bekerja sebelum cuti bersama sebelum Idul Fitri tersebut bukan merupakan puncak mudik? Saya sedikit kawatir adik saya akan terjebak bejam-jam di simpang Mutiara, simpang Jomin, atau jalur Pantura di daerah Indramayu. Namun tampaknya, dengan keras hati adik saya tetap pada keputusannya untuk memilih waktu itulah yang paling tepat memulai perjalannya menuju kampung halaman yang ada di Jawa Tengah Selatan.

Berbeda dengan adik, teman saya justru berpikiran sama dengan apa yang menjadi usul saya. Dia memprediksi bahwa Jumat sore adalah puncaknya mudik di jalur Jakarta arah timur. Maka dengan prediksinya itu, ia memilih menunda perjalananya 24 jam. Yaitu pada hari Sabtu, 3 Agustus setelah berbuka puasa.

Bagaimana hasilnya? Adik saya membutuhkan waktu lebih kurang 13 jam untuk menempuh perjalanan Bekasi menuju kampung halamannya. Sedang sahabat saya harus menempuh waktu 30 jam untuk sampai di lokasi kampung halaman yang berada di satu kabupaten.

Dari pengalaman mereka itu, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa, pendapat yang saya sampaikan kepada adik tentang puncak mudik, ternyata menjadi pemikiran banyak orang di Jakarta dan sekitarnya. Dan prediksi itulah yang sama-sama mereka yakini dan jalani. Repotnya, kenyataan tentang puncak mudik itu ketika teman-teman saya dan seluruh pemudik yang ada sudah terjebak di dalam kemacetan.

Namun dari semua apa yang telah terjadi itu menjadi pelajaran, khususnya saya. Bahwa menentukan waktu perjalanan mudik pada saat liburan yang sama, benar-benar membutuhkan pertimbangan yang tepat. Perlu strategi...

jakarta, 5 Agustus 2013.

02 August 2013

Mudik 2013 #5; H-6, Aroma Mudik di Media Sosial

H-6 hari ini, saya menemukan banyak teman-teman yang telah berada di posisi OTW, atau bahkan ada satu teman saya yang telah lebih dulu berada di kampung halamannya pada H-9. Itu saya ketahui dari status facebooknya. Termasuk kendaraan (barunya) yang dia kendarai bersama keluarga. Pada saat itu dia meng-up load gambar putranya yang berada di samping mobil putihnya. Atau pada hari ini, pada H-6, dimana teman saya mengunggah foto bersana cucunya, lagi-lagi dibelakang mobil, yang pasti tampak baru.

Dan tanpa mengurangi kebahagiaan mereka semua, saya sendiripun tetap menikmati apa yang terpampang di media sosial tersebut. Bukankah mereka sebenarnya sdag membagi kebahagiaan bersama seluruh sahabatnya yang ada di media sosialnya? Jadi, ikut menikmati saja kebahagiaan yang mereka rasakan.

Aroma itu

Lalu apa gerangan yang saya maksud dengan aroma itu?  Istilah ini juga sebenarnya saya dapatkan dari seorang teman yang membuat tag line di status BBnya; Aroma mudik sudah terasa. Statusnya itu saya baca beberapa waktu lalu. Ya mungkin sekitar H-8 menjelang lebaran.

Apalagi dengan sekarang ini, dimana Idul Fitri sudah semakin mendekat. Ramadhan sudah memasuk gerbang terakhirnya. Dan tentunya, sekolah-sekolah  sudah mulai libur. Ada yag telah mengakhiri aktivitasnya sejak Jumat, 27 Juli yang lalu. Atau sejak Rabu, 31 Juli kemarin lusa. Ata juga ada yang baru mengakhirinya pada Jumat, 2 Agustus ini. Dan karena itu bisa menjadi patokan kapan arus puncakmudik akan terjadi.

Sementara kantor-kantor, ada yang secara normatif memberikn hari cuti bersama tiga hari, yag jatuh pada Senin tanggal 5 hingga Rabu tanggal 7 Agustus 2013, dimana pada masa itulah teman-teman saya akan segera memilih waktu yang paling pas guna memulai perjalanan ke kampung. Sementara saya sendiri, sebagai penjaga gawang, maka cuti besama terpaksa saya harus geser, mengingat saya harus berlebaran di Jakarta.

Dan agar aroma itu terus semerbak mewangi,  maka semua kanal media elektronik yang secara simultan menyiarkan mudik, saya menjadi followernya. Selain untuk menghangatkan situasi dan menjaga semerbak aroma, saya pun dapat memilih saat-saat dan sekaligus rute yang harus saya ambil saat perjalanan mudik nanti. Semoga.

Jakarta, 2 Agustus 2013

01 August 2013

Menyongsong Libur

Hari ini, Kamis awal Agustus 2013, merupakan hari permulaan ibur sekolah. Meski masih ada satu acara untuk anak-anak, namun mungkin tidak akan memberikan dampak kepada arus jalan di depan sekolah. Mengingat acara hanya diikuti tidak lebih dari 40 siswa. Dan setelah ini, mka sekolah akan benar-benar kosong dari seluruh kegiatan siswa. Alias libur. Pun demikian dengan guru-gurunya. Mereka akan segera menuju ke lokasi dimana akan merayakan Idul Fitri tahun ini.

Dan sebagai penjaga gawang, maka ketika libur inilah kenikmatan bagi saya dan beberapa kawan yang hars tetap berjaga hingga libur resmi dari pemerintah yang berupa cuti bersama, atau masing-masing kami mengajukan cuti, jika masih memiliki jatah cuti sepanjang Januari hingga Agustus ini. Meski demikian, tetap saja libur menjadi bagian yang menghidupkan energi yang selama ini kelelahan. Itulah barangkali makna libur sesungguhnya bagi saya.

Menjelang lebih Nikmat

Dalam status yang saya pasang sejak awal Ramadhan ini bergulir, yaitu; menyongsong libur lebih nikmat, saya ingin meyampaikan kepada semua teman saya bahwa, masa libur yang kita nantikan bersama seperti sekarang ini, maka masa dimana menjelang liburan, itulah momentum yang paling nikmat. Setidaknya inilah yang saya statmenkan. Tentu dari beragam pengalaman yang selama ini saya rasakan. Walaupun dalam posisi dimana saya sekarang berada saya jauh tidak memiliki banyak waktu libur. Berbeda dengan tempat kerja saya sebelumnya, yang memberikan kepada kami para guru untuk menikmati tidak kurang dari 10 pekan libur. Itu berarti dua setengah bulan!

Namun begitu, tetap makna libur bagi saya adalah sesuatu yang harus menjadi kewajiban untuk memberikan tanda khusus di penanggalan yang ada dalam buku catatan saya. 

Dan dari situasi yang demikianlah maka saya berani menyatakan bahwa menjelang libur, bagi saya, jauh memberikan sensasi yang lebih nikmat di banding ketika saya berada di pertengahan libur. Mengapa? Karena ketika mejelang, saya akan mengajak anggota keluarga untuk membuat rencana liburan. Dan setelah libur itu dimulai, maka dimulai pula rencana kami itu dilaksanakan.  Repotnya, ketika liburan itu sudah berjalan, saya sering dihantui bahwa sebentar lagi hari libur itu akan berjalan sebagaimana waktu berjalan ke depan, dan akhirnya habis.

Dengan model berpikir seerti itulah maka, bagi saya, menjelang libur itu lebih nikmat...

Jakarta, 1 Agustus 2013.