Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

23 June 2009

Peringkat Sekolah

-->
Pelaksanaan UN atau Ujian Nasional telah memasuki babak akhir. Bagi yang akan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, para mantan siswa SMA dan sederajat saat ini masih terbagi dalam 3 kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang telah beres melakukan regestrasi, kelompok kedua adalah mereka yang sedang menunggu hasil Ujian Masuk Bersama, atau sedang giat-giatnya mempersipkan diri untuk pelaksanaan tes masuk. Baik yang SNMPTN atau tes masuk di tempat lainnya.

Sedang bagi lulusan SMP dan SD, sekarang hingga pertengahan Juli nanti masih harus disibukkan memilih dan melakukan pendaftaran di jenjang SMP atau SMA jika sekolah negeri sebagai pilihannya.

Dan bagi sekolah, waktu sekarang ini adalah waktu sibuknya menyiapkan dokumen kelulusan serta waktunya melakukan refleksi dan evaluasi terhadap hasil UN.
Termasuk juga apa yang terjadi di sekolah kami. Hasil UN yang menempatkan sekolah kita berada pada posisi berapa, hinga hari ini masih terus menjadi bahan diskusi. Hal ini sebagai bagian dari refleksi dan evaluasi. Masing-masing dengan argumentasinya.

Mengapa posisi kita turun? Kata seorang teman.
Karena rata-rata nilai komulatif UAN turun. Jelas teman yang lain.
Ada panjelasannya? Desak teman yang lain.
Karena rata-rata UAN adalah hasil komulatif dari hasil individu, maka turunnya nilai komulatif UAN adalah kontribusi dari turunnya nilai rata-rata siswa. Jelas teman yang lain.
Kalau begitu, mulai tahun depan PSB hanya menyaring anak-anak yang pandai saja. Begitu pandapat salah satu teman mengakhiri diskusinya.
Sekolah Anak Pandai

Begitulah konklusi dari diskusi peringkat sekolah berdasarkan hasil UAN yang posisinya menjadi turun dibanding peringkat sekolah tahun lalu. Sekolah untuk anak pandai? Sebelum saya setuju, akan lebih baik jika kita merenung.

Bila itu yang menjadi pilihan sebagai solusinya, berapa sekolah yang berkeinginan mendapatkan siswa yang pandai saja? Juga seberapa besar minat calon siswa untuk masuk dalam selesksi itu? Dan kalau terdapat beberapa sekolah yang punya keinginan seperti ini lalu dimanakah anak bangsa yang tergolong tidak pandai untuk melanjutkan sekolah? Siapa yang akan memberikan wahana pengembangan bagi potensi mereka?

Apakah kita segabai guru dalah generasi yang masuk dalam kategori pandai? Apakah anak-anak kita di rumah juga masuk dalam katagori itu? Apakah famili kita juga adalah berasal dari kalangan seperti itu? Apa motivasi kita hanya menerima siswa pandai saja di sekolah? Jika jawabannya adalah agar peringkat sekolah yang berdasarkan UAN naik, dan hanya ada 4 mata pelajaran UAN yang diujikan di SMP, dan hanya aspek kognitif saja yang masuk dalam soal UAN tersebut, maka sesungguhnya kita sedang berdebat tentang peringkat kompetensi kognitif siswa. Bukan peringkat sekolah!

Lalu, karena peringkat yang kita ributkan adalah peringkat kognitif, maka proses pengajaran saja yang sedang kita gundahkan. Sementara proses pendidikan tidak tersentuh. Interaksi hangat antara guru-siswa, tidak menjadi bagian dari pemeringkatan tersebut.

Artinya, bukan kualitas sekolah yang semestinya menjadi fokus kita ke depan. Tetapi kualitas proses. Oleh karenanya, jika sekolah telah memilki kompetensi mengembangkan siswa dengan model apapun dan siswa tersebut mampu melampaui target normalnya, baik dalam aspek kognitif maupun budi pekerti, itulah sekolah unggul.

Pertanyaan saya berikutnya adalah: Sudah seberapa ungulkah kita, sehingga kita memiliki kemampuan untuk mengembangkan generasi unggul?
Allahu a'lam bishawab,
Jakarta, 22 Juni 2009.

16 June 2009

Yang Berselendang Warna Apa?


Mau pilih yang pakai selendang warna apa? Yang berselendang hijau atau selendang Oranye? Begitulah pertanyaan seorang siswa saya kepada teman yang duduk disebelahnya, di depannya, dan juga kepada saya sendiri yang ada di belakangnya. Namun karena saya tidak mengenakan kaca mata (Harap maklum, saya berkacamata minus sekaligus silinder). Maka saya tidak berani menjatuhkan pilihan sama sekali. Berbeda dengan para siswa saya ini. Mereka terus kasak kusuk dalam menentukan pilihan mereka masing-masing. Tentu dengan segepok argumentasi.

Dan setelah diskusi diantara mereka berlangsung beberapa saat. Saya melihat ada kesepakatan diantara mereka untuk memilih salah satu dari dua perempuan penari yang mengenakan selendang tersebut. Dua perempuan yang berperan sebagai Dewi Shinta, istri Arjuna Raja dari kerajaan Astina. Dan yang satunya lagi adalah Prijata, pengawal Dewi Shinta.

Dewi Shinta dan Prijata tersebut adalah tokoh yang siswa kelas IX SMP bersama orangtua dan guru dari Sekolah Islam TUGASKU tonton dalam Sendratari Ramayana di Prambanan, Jawa Tengah pada hari Kamis tanggal 11 Juni 2009 pukul 20.00. Pentas berdurasi lebih kurang 2 jam ini ditonton tidak lebih dari 500 orang yang duduk melingkar mengelilingi panggung terbuka yang megah. Dengan cahaya lampu panggung yang apik, juga temaramnya cahaya bulan purnama. Serta apresiasi penonton yang selalu membahana manakala adegan yang satu berganti dengan adegan berikutnya.

Cerita Ramayana ini antara lain mengisahkan tentang petualangan Rahmana, Raja dari Kerajaan Alengka untuk mempersunting Dewi Shinta, wanita yang telah bersuamikan Arjuna. Juga bagaimana heroiknya tokoh Hanoman yang tertangkap oleh Indrajit dan Kumbakarna, adik dari Rahmana, ketika memata-mati kerajaan Alengka guna membebaskan Dewi Shinta dari cengkeraman Rahmana. Dimana ketika ia harus menerima hukuman dibakar, namun justru dengan pintarannya, Hanoman menggunakan api tersebut sebagai bahan bakar untuk membumihanguskan Alengka.

Sebuah pengalaman yang unik untuk saya sendiri. Karena ini adalah kesempatan saya kali pertama untuk menonton sendratari tersebut.

Demikian juga dengan beberapa siswa saya. Namun tak kurang ada beberapa diantara siswa kami yang sulit memahami alur cerita dari drama kolosal tersebut sehingga menyebabkan menjadi bosan.

Jakarta, 16 Juni 2009.

Jangan Pernah Merasa Lelah


Jangan pernah merasa lelah. Demikian saya mengirimkan SMS untuk teman-teman yang kebetulan sedang mendampingi siswa yang sedang trip ke luar kota. Dengan SMS ini saya ingin mengajak teman saya untuk tidak pernah mengeluh atas tugas yang diterima. Tidak menghitung berapa ongkos yang telah diikhtiarkannya dalam menemani siswa atau membimbing siswa. Dan jangan sampai menjadi pelit atas kontribusi pengembangan generasi.

SMS ini saya tulis setelah saya sendiri ikut serta dalam rombongan itu meski setengah jalan. Dan sekaligus mengikuti dan hanyut dalam kegiatan tersebut. Menemani remaja melakukan perjalanan wisata. Yang melelahkan fisik bagi kita, tetapi tidak bagi remaja-remaja itu. Dan disinilah saya merasakan kekalahan.

Kekalahan karena ketika saya sudah benar-benar letih fisik saat harus berjaga di dalam gerbong kereta dan sesekali lelap dalam tidur ayam, dan ketika saya tersadar mendapati remaja yang menjadi tanggung jawab saya tersebut masih tampak sehat wal 'afiat untuk bertukar tempat duduk atau pergi ke restorasi yang dipenuhi asap rokok pengunjung dan bisingnya irama dangdut. Dan kekalahan masih terus berlanjut pada malam-malam berikutnya, ketika perjalanan masih berlangsung.

Tekad untuk terus menerus menemani mereka adalah sebuah komitmen tanggungjawab kami ketika perjlanan tersebut masih berbingkai edukasi. Dan tekad itu harus mewujud dalam bentuk kekuatan fisik dan kesejukan hati.

Kekuatan fisik, karena kita dituntut untuk selalu berada disamping mereka. Keberadaan kami ini tentunya tidak berarti atau bermaksud sebagai kekang untuk semua apa yang menjadi impian remaja kami itu. Tetapi untuk memberikan kapastian bahwa remaja kami selalu berjalan dalam fitrah hanifnya.

Namun karena kekuatan fisik yang kadang kurang prima, menjadikan keberadaan kami tertinggal dibanding remaja kami. Misalnya, ketika larut sudah datang, dan kamipun harus memastikan bahwa seluruh remaja kami menggunakannya untuk istirahat, kami masih dikejutkan adanya satu kelompok remaja kami yang lolos dari pengawasan kami. Mereka ternyata masih memilki tenaga penuh untuk mengecoh kami. Dan kami mengaku kalah satu kosong.

Kesejukan hati, karena saya selalu berpikir bahwa apa yang mereka perbuat bukan sesuatu yang menjadi delik pelanggaran. Mereka adalah tunas yang sedang mencari hangatnya sinar matahari. Karenanya perlu keluasan kesabaran yang tiada berbatas.

Mengingat itu semuanya, ketika saya pribadi harus meninggalkan teman kami yang masih melanjutkan perjalanan wisata bersama siswa kami yang remaja untuk kembali kepada tugas kami di kantor, saya menuliskan SMS untuk menyemangati teman-teman yang tengah berjuang. SMS yang berisi semangat agar teman-teman saya itu tidak menjadi pengeluh saat mendapati siswanya yang kurang sesuai dengan apa yang diinginkannya. Saya ingin menyampaikan bahwa apa yang kita lekukan itu sepenuhnya untuk pelayanan kepada investasi masa depan. Oleh karenanya: jangan pernah merasa lelah!

Jakarta, 16 Juni 2009.

02 June 2009

Sibuk

Dalam sebuah kesempatan berdialog dengan teman-teman diantara kesibukan pekerjaan, saya mengusulkan agar kita mengisi waktu kita yang masih ada dengan aktivitas membaca dan atau menulis. Alih-alih mendapatkan tanggapan positif terhadap apa yang saya sampaikan, namun sebaliknya, justru ada menyampaikan pernyataan tidak terduga; Maaf Pak, saya sibuk.

Sibuk? Ya itu memang sebagai kenyataan bahwa kita sebagai guru, disibukkan oleh tugas keguruan di sekolah. Hingga kita tak sempat lagi atau mungkin lebih tepatnya tidak sanggup lagi jika mengisi kegiatan lain yang tidak berkorelasi langsung dengan aktivitas mengajar. Seperti membaca buku (saya tentu tidak katakan membeli buku), mengunjungi tempat diskusi keguruan dan kependidikan gratis yang sekarang banyak diselenggarakan oleh badan nirlaba, belajar membuat akun email, menjadi bagian dari jejaring sosial berbasis internet atau membuat blog, atau kegiatan keorganisasian.

Dengan merasakan diri sebagai orang yang terbelit kesibukan dari tugas keguruan di dalam kelas, maka kita akan menganggap diri telah menjadi pribadi paripurna. Dan atas keyakinan menjadi pribadi paripurna itu berarti kita telah memaknai diri sebagai pribadi yang telah cukup dan tidak membutuhkan lagi penambahan wawasan dan keterampilan. Dan karena itu hanya terlihat dari dalam dan bukan dari luar, maka dapat berarti pula bahwa kita sedang memasuki pintu gerbang kemandegan.

Harus diakui pula bahwa, mengemban tugas dan kewajiban di bidang apapun dimana kita berada, pastilah menuntut komitmen dan waktu yang akan menjadikan kita sibuk. Namun terlalu meyakini bahwa hidup kita hanya sebatas itu dan kita telah menakwilkan diri sebagai pribadi cukup, itulah awal dari kemandegan itu.

Betapa tidak, karena jika saja kita meluangkan waktu untuk bertemu teman sejawat dalam suatu forum diskusi, maka kita sesungguhnya sedang menemukan koordinat ‘harga diri’ kita diantara konstelasi koordinat sosial yang ada. Karena interaksi yang terjadi di dalam dan selama forum tersebut berlangsung, kita pastilah menemukan posisi dan koordinat teman. Dan dari situ pula kita bisa mengukur diri. Dan forum itu telah menjadi benchmark bagi kita. Demikian pula halnya jika kita mencoba untuk menjadi bagian sebuah organisasi apapun itu yang tentunya diluar kesibukan pokok kita.

Oleh karenanya menempatkan diri kita cukup dengan kegiatan utama kita saja dan menganggap itu sebagai puncak kesibukan hingga menyeret kita untuk tidak ambil bagian dalam arus pengembangan diri, maka pernyataan sibuk kita itu sama artinya dengan mengurung potensi diri dibawah tempurung.

Sebaliknya, bilamana dengan waktu yang ada dan tugas yang harus ditunaikan secara penuh komitmen namun masih menjadikan kegiatan yang tidak berkorelasi langsung terhadap tugas sebagai ranah yang harus ‘dimilikinya’, maka kita sebenarnya sedang membuka lembaran optimalisasi potensi kita sendiri dalam menuju anak tangga yang lebih tinggi.

Allahu A’lam bishawab,

Jakarta, 1 Juni 2009.

01 June 2009

Tamu dari Makasar


Jumat, akhir Mei 2009 lalu kami memiliki tamu dari Makasar. Dari lembaga pendidikan Sekolah Islam Terpadi Al Biruni. Terdiri dari Bidang pendidikan, Kepala Sekolah, Calon Kepala Sekolah, Administrasi dan tentunya guru.

Selaku tamu yang datang dari jauh, Sekolah saya bukanlah tujuan satu-satunya. Ya pasti. Karena beaya operasionalnya saja tentu tidak akan sebanding jika mereka datang ke Pulau Jawa hanya mengunjungi sekolah kami yang kecil, dan berada di Pulomas itu. Benar saja, sekolah kami hanyalah satu dari lima sekolah yang telah mereka kunjungi.

Surabaya adalah kota yang [ertama menjadi sasaran pembelajaran bagi mereka. Disana mereka mengunjungi sekolah fenomental dahsyatnya dalam mengembangkan karakter keIslaman yang kuat. Dan seolah tanpa merasa lelah, rombongan pemburu ilmu itu meluncur dengan kereta api menuju kota Bandung. Ada satu sekolah di kota ini yang menjadi persinggahannya yang kedua dihari berikutnya.

Dan esok harinya, pukul 02.00 , tentunya dini hari, mereka telah meluncur menuju sekolah hebat berikutnya di kota Bogor. Sekolah hebat karena berisi guru-guru yang hebat. Guru-guru hebat karena memiliki landasan kerja yang hebat juga. Dan seterusnya. Perjalanan berikutnya adalah ke Kalibata. Dimana terdapat sekolah dakwah yang pengelolanya dipenuhi rasa ikhlas tiada batas. Dan Jumat lalu itu rombongan Pemburu ilmu itu hadir di sekolah saya.

Kami di sekolah berdiskusi setelah tamu kita itu pulang. "Luar biasa daya dan upaya yang mereka kerjakan untuk sebuah kemajuan". Dan kami semakin takjub mengingat kepulangan mereka tidak memerlukan surat keterangan dari kami atau surat apapun seperti tamu-tamu yang lain yang datang kepada kita. Luar biasa!

Jakarta, 1 Juni 2009

Forum Pengembangan Diri

Dalam Taklim rutinnya di Al Ikhlas, Bang Debby mengutif pernyataan Ali bin Abu Thalib tentang kemuliaan ilmu dari pada harta dari kitab Al Ihya Ulumuddin Juz I halaman 16. Arti dari pernytaan itu: Ilmu itu lebih baik dari pada harta. Karena ilmu dapat menjagamu, sedangkan engkau menjaga harta. Dan ilmu adalah hakim sedangkan harta akan menerima hukuman. Dan harta akan berkurang jika dibelanjakan, sedangkan ilmu semakin bertambah bila dibelanjakan atau di ajarkan.

Pernyataan itu selain menjelaskan secara esensi betapa mulianya kedudukan ilmu dari pada harta juga mengingatkan kita agar kita tidak menyimpan ilmu yang kita miliki. Tidak menyimpan tersebut dapat dimaknai sebagai membelanjakannya. Yaitu dengan cara menyampaikan kembali kepada teman atau orang yang ada disekeliling kita.

Dalam konstelasi sosial yang lebih spesifik, dimana saya berada, yaitu lembaga sekolah, maka saya mengartikannya sebagai saling membagi pengalaman keberhasilan dan kekurangan kita di dalam kelas kepada anggota komunitas sekolah.

Kesempatan saling berbagi tersebut kami sepakati secara rutin pada setiap hari Jumat seusai Shalat Jumat hingga saat Shalat Ashar. Dan forum itu kami sebut Pengembangan Diri.

Pengalaman keberhasilan, akan memberikan inspirasi kepada yang lain tentang bagaimana cerita itu kita adopsi, kita modifikasi, atau bahkan kita tiru dalam pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas kita. Demikian pula halnya dengan pengalaman kekurangan yang diceriterakan teman, kita mencoba dan berusaha untuk menjadikan bahan diskusi guna menemukan benang merah solusi. Dan dari solusi tersebut, kita cobakan untuk pembelajaran kita. Mungkinkah kekurangan dapat menjadi keberhasilan?

Dan dengan berjalannya waktu, forum Pengembangan diri ini sudah menjadi bagian dari budaya teman-teman yang lain dalam mencari atau menambah atau juga bisa dikatakan sebagai lahan penemuan ide. Forum akan semakin berkualitas manakala pemilik pengalaman (baca: pemilik ilmu) ikhlas dalam membagi atau mengajarkan kepada kita.

Dan jika mengacu kepada pernyataan Imam Ali bin Abu Thalib, sang pembagi tersebut akan menambah perbukitan illmu dan amalnya…

Jakarta Barat, 31 Mei 2009.