Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

22 July 2009

Sesudah Jam Sekolah


Seperti biasanya sesudah jam pulang sekolah, saya menyempatkan diri untuk menengok lapangan basket dan melihat siapa saja yang masih barada di sana, sebelum saya kemudian meninggalkan sekolah untuk pulang ke rumah. Hampir selalu di lokasi tersebut beberapa anak yang belum pulang berkumpul. Rata-rata mereka adalah siswa SMP (Sekedar info saja bahwa kami adalah sekolah satu atap yang terdiri dari TK, SD dan SMP).
Ada yang memang diantara mereka yang menunggu jemputan, meski jam telah menunjuk angka 16.30. Atau ada pula yang memang menunda pulang mengingat begitu sampai di rumah mereka akan berteman dengan tv atau komputer atau hp saja. Mereka tidak banyak, berkisar 5-10 anak.
Pada saat seperti itu, sering saya menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan siswa-siswa saya. Tidak banyak yang saya lakukan dengan mereka selain menemaninya. Mereka remaja yang akan menjaga jarak manakala saya banyak-banyak memberinya tausiah. Saya berusaha tahu diri. Mungkin saya bertanya kepada mereka: apa kabar? Belum pulang? Bagaimana hari ini dengan teman dan guru? Atau kadang juga saya request lagu kepada mereka jika mereka sedang asyik bermain gitar.

Bagi saya, inilah interaksi utama saya dengan siswa yang ada di sekolah, karena saya tidak memiliki jam pelajaran untuk mengajar secara formal. Dan momentum seperti ini, meski informal, saya jadikan sebagai wahana bagi membangun persahabatan dengan siswa. Itu membahagiakan diri saya. Banyak cerita saya cecap dari interaksi seperti itu. Juga banyak pelajaran yang saya dapat dari waktu setelah jam sekolah seperti itu. Banyak juga saya dapat inspirasi dari mereka untuk kemudian saya lakukan kepada remaja saya di rumah.

Misalnya saja tentang bagaimana mereka mampu bermain gitar. Selain keterampilan itu didapatnya dari kursus, banyak dari mereka yang belajar secara otodidak. Melihat bagaimana teman bermain lalu berlatih sendiri di rumah. Dan itu hampir menyebar terutama di kalangan siswa. Maka tidak heran kalau banyak diantara mereka yang baru membentuk group band saat menginjak semester dua di kelas satu SMP.

Yang pada akhirnya, band itu, jika eksis hingga kelas akhir SMP, akan tumbuh menjadi band yang memiliki harmonisasi alat musik ketika tampil di panggung. Seperti siswa kami kelas 9 tahun pelajaran 2008/2009 lalu yang memiliki 3 band top. Luar biasa.

Sempat salah satu orangtua siswa kami yang menyatakan rasa kagumnya terhadap penampilan seluruh siswa SMP di Pergelaran Akhir Tahun yang diselenggarakan di Teater Pewayangan TMII Jakarta Ahad, 21 Juni 2009. Bahkan ia membuat pernyataan: Bisa-bisa SMP kita nanti menjadi SMP jurusan musik Pak.

Ungkapan itu memang sudah menjadi prediksi saya jauh hari sebelum UN digelar. Dimana saat itu saya masuk ke kelas 9 untuk memberikan inspirasi tentang pemilihan sekolah berikut yang dapat meeka pilih selulus SMP. Saya menyampaikan selain berkenaan dengan passing grade di SMAN yang ada di sekitar kami dan juga sekolah kejuruan. Salah satunya adalah sekolah musik yang ada di Jakarta atau di Kasihan Bantul Yogyakarta. Hal ini saya sampaikan juga selain demi pengetahuan juga karena saya melihat bahwa siswa kami hingga detik-detik UN menjelang sekalipun, masih tetap menenteng gitar ketika datang ke sekolah...

Dan saya mensyukuri pertemuan kami itu. Tidak saja bahwa seluruh siswa SMP kami lulus, tetapi juga ada satu siswa kami yang akhirnya melanjutkan di sekolah musik. Namun lebih dari itu bahwa pertemuan-pertemuan tersebut membahagiakan saya. Sehingga semakin hari, saya menginginkan situasi seperti itu untuk lebih dan lebih…

Jakarta, 22 Juli 2009.

21 July 2009

Menjadi Representasi

Yang saya maksudkan dengan menjadi representasi adalah menjadi wakil dari teman-teman dalam sebuah kelompok untuk mengambil suatu keputusan di sebuah organisasi. Representasi karena saya menjadi wakil teman-teman, maka suara dan aspirasi teman-teman yang saya wakili menjadi tenggung jawab dan amanah saya. Mengapa saya menjadi represntasi dari teman-teman, mungkin karena saya dianggap komunikatif. Paling tidak pada saat pemilihan sedang berlangsung kala itu. Selebihnya saya sendiri tidak begitu tahu.

Representasi diperlukan karena sebagai bagian dari efektivitas lembaga. Maka jika sebuah sekolah yang terdiri dari 80-an guru dan karyawan, maka tidak diperlukan lagi pengambilan keputusan di sekolah itu dengan menyertakan seluruh guru dan karyawan yang ada.

Dan itulah yang terjadi pada sebuah pengambilan keputusan dalam sebuah institusi atau lembaga atau organisasi, yang antaralain saya menjadi bagian dari representasi teman-teman. Dan tugas berikut sebagai representasi adalah mengkomunikasikan hasil keputusan tersebut kepada teman yang saya wakili.

Namun tidak semua keputusan kolektif tersebut, dapat dipahami secara holistik oleh teman-teman ketika saya mengkomunikasikannya. Meski berbagai argumentasi dan laporan pandangan mata dari proses pengambilan keputusan tersebut telah saya kemukakan. Memang tidak semua teman melihat setiap keputusan yang kami ambil dengan kacamata sepeti itu. Tetapi kadang masih sering saya mengalaminya.

Dan ketika ketidakpahaman itu yang muncul, dan usaha saya untuk terus memberikan memahamkan apa yang harus dijalankan belum juga mendapatkan hasil, saya menjadi teringat teman saya yang lain. Katanya pada saya: Tugas kamu tidak untuk memuaskan atau membuat mereka selalu sepaham denganmu. Jadi jangan pernah patah hati untuk menjadi representasi mereka. Suatu saat nanti mereka akan belajar tentang ini...(?).

Jakarta, 21 Juli 2009.

19 July 2009

Menjadi Protester


Protester atau tukang protes, adalah sebuah sikap disandang karena kebiasaan untuk melakukan ketidakpuasan atau masukan dalam bentuk protes.

Secara positif antara lain memiliki fungsi sebagai check and balance. Sebagai penyeimbang sehingga organisasi dapat selalu berjalan maju dan tumbuh sehat dengan adanya kontrol. Dapat juga dikatakan sebagai cara pemberian masukan atas sebuah kekurangan, seperti apa yang dirasakan seseorang, sehingga ia merasa perlu adanya penguatan atau bahan koreksi.

Namun kebiasaan ini dapat menjadikan pelakunya sebagai individu yang tidak populis bagi yang ada di sekitarnya. Baik yang berada di atasnya secara struktural atau disampingnya.

Secara riil, sikap protes memiliki konotasi buruk. Berbeda dengan masukan yang jauh memiliki cita rasa positif.

Dalam suatu pertemuan dengan guru, saya merumuskan bahwa hal positif tentang sesuatu yang ada di lingkungan kita atau di dalam organisasi kita, yang dalam kaca mata kita masih membutuhkan perbaikan, dan itu menjadi konsen kita, jika kita sampaikan kepada atasan dan sebelah kita dengan bahasa yang positif, maka kemungkinakan berimplikasi positif lebih besar dibanding implikasi negatif. Tetapi jika hal positif tersebut kita sampaikan dengan cara dan alat atau bahasa negatif, maka kemungkinan implikasi negatifnya jauh lebih besar dibanding implikasi positifnya.

Itulah sebabnya mengapa ketika sebuah hal baik dalam kaca mata saya namun dalam realitasnya tidak berjalan sebagaimanan yang saya impikan, dan hal itu disampaikan kepada atasan saya, kepada teman-teman di kantor dengan bahasa protes yang penuh nafsu menyalahkan, menjadikan ketidakberuntungan bagi saya dimasa berikutnya. Saya dikucilkan secara sosial. Meski beberapa teman mengakui bahwa apa yang saya sampaikan adalah benar adanya.

Dan pada tahapan ini saya mencoba untuk menemukan sebuah tesis bahwa hal yang baik jika disampaikan dengan kurang baik, misalnya dengan menantang, menghakimi, atau bentuk penyampaian yang kurang baik lainnya yang menyebabkan orang lain sakit atau terluka hati, maka maklumilah bahwa kita sedang merancang ketidakberhasilan. Ini adalah bentuk buruk dari cara berkomunikasi.

Dan pada tahapan berikutnya saya meyakini bahwa menyampaikan sebuah perbaikan atau sebuah koreksi atau sebuah langkah pengembangan sesungguhnya adalah sebuah langkah dakwah. Harus melibatkan dan dilakukan secara egaliter. Baik dalam ranah jiwa maupun raga.

Dan saat melihat ada teman yang menyampaikan keinginannya dengan cara protes, saya menjadi teringat bagaimana argumentasi yang dulu pernah saya gunakan. Saya mencoba untuk memahami pola pikir yang membingkai sikap protester itu…

Jakarta, 20 Juli 2009.

16 July 2009

Penjaga Gawang


Tiba-tiba saja saya mengucapkan kata ini ketika teman saya bertanya: sibuk terus? Lalu saya secara berkelakar, dan saya baru menyadari kalau saya sendiri juga tidak terlalu berpikir ketika memberikan jawaban; Penjaga gawang kan harus sibuk.

Namun setelah beberapa menit kemudian, dan ketika pesan yang saya kirim gagal karena teman saya ini secara sepihak memutus bincang-bincang kami, saya baru menyadari makna tersirat dari jawaban saya tersebut. Terutama yang berkenaan dengan tugas saya sebagai penjaga gawang di sekolah yang menjadi amanah bagi saya ini.

Dalam permaian sepak bola, penjaga gawang memiliki tugas yang lumayan berat. Meski tidak selalu dalam posisi lari saat membawa atau mengejar bola, tetapi tetap sama beratnya dengan posisi pemain sepak bola yang lain. Namun dengan spesifikasi komptensi yang tentunya berbeda. Tugas menjaga gawang menjadi jauh lebih sibuk manakala para pemain lain yang yang memiliki tugas di lini belakang, tengah dan depan tidak dapat berfungsi dengan maksimal. Atau juga bisa, para pemain tersebut tidak memiliki kompetensi yang sebanding dengan para pemain lawan.

Bagaimana dengan di sekolah? Penjaga gawang di sekolah adalah kita semua. Jika berbicara sebagai guru, maka guru mata pelajaran adalah penjaga gawang bagi kualitas interaksi pembelajaran di dalam kelas. Guru atau Wali Kelas adalah penjaga gawang bagi terjadinya keharmonisan kondisi belajar di kelas yang diamanahkan kepadanya. Kepala sekolah adalah penjaga gawang terhadap roda perjalanan di sekolah yang dipimpinnya. Dan seterusnya. Masing-masing memiliki peran sebagai pejaga gawang.

Walau demikian, penjaga gawang juga dapat memiliki fungsi sebagai penyerang dan juga pastinya pengumpan. Itu semua bergantung kepada individu kita masing-masing dan juga kepentingan lapangan. Bahkan, dalam permaianan sepak bola sungguhan di lapangan rumput, ada penjaga gawang yang mampu memasukkan bola ke gawang lawan.

Dan jika penjaga gawang juga sebagai kapten kesebelasan, inilah posisi kita sebagai kepala sekolah dan atau sebagai kepala di sebuah lembaga. Dan karenanya menjadi tanggungjawab kita agar seluruh komponen yang ada di setiap lini di lapangan permainan dapat melakukan permainan yang cantik dan efektif. Dan dengan bantuan manajer atau juga pemilik klub, efektivitas dan kualitas tersebut dapat kita kejar serta kita raih. Dan semakin efektif anggota tim, mungkin semakin ringan tugas penjaga gawang untuk melindungi gawangnya dari bola serangan lawan.

Jadi, betapa miripnya tugas kita dengan tugas penjaga gawang itu...

Jakarta, 16 Juli 2009.

10 July 2009

Nanti Ya Pak?

Nanti ya Pak? Mungkin kalimat ini pernah saya ucapkan sendiri. Tentunya ketika seseorang yang meminta sesuatu kepada saya, yang kebetulan juga bahwa saya sedang melakukan sesuatu. Katakanlah, sebagai contoh konkritnya, ketika teman tersebut meminta perhatian saya untuk melihat bagaimana membuat tampilan blog saya lebih cantik.

Maka ungkapan yang, menurut saya kala itu, baik dan halus adalah kalimat: Nanti ya Pak? Ya sebenarnya kakaknya atau adiknya, atau pastilah satu keluarga dengan ungkapan: Maaf Pak, Saya masih sibuk.

Nanti kapan? Maksud saya kala itu adalah nanti kalau ada waktu yang lowong, yang memungkinkan saya memenuhi apa yang dimintanya. Tetapi setelah sekian lama, atau setelah yang meminta tersebut lupa mengingatkan saya, saya sendiri kemudian di hinggapi kealfaan. Alfa dan lupa itulah yang tidak memungkinkan lagi bagi saya untuk memenuhi apa yang sebelumnya telah menjadi komitmen saya memenuhinya.

Penyakit Nanti ya Pak ini, setelah saya pikir, adalah penyakit egois. Juga ada juga di dalamnya tersembnyi penyakit kurang empati.

Egois. Karena pada waktu tersebut saya kurang melihat apa yang menjadi permintaan teman tersebut. Dan karena kurang melihat atau memperhatikan apa yang sesungguhnya sedang teman minta, maka pada saat yang sama saya hanya melihat ke dalam diri saya sendiri. Tentunya dalam situasi dan kondisi yang demikian, tidak akan mungkin menjadikan orang lain sebagai pengganti apa yang sedang menjadi angan-angan saya saat itu.

Tidak empati? Karena saya tidak sedang memperdulikannya, saya beranggapan bahwa apa yang sedang dimintanya adalah sesuatu yang kurang menjadi perhatian saya. Saya tidak melihat sesuatu dari apa yang apa sebenarnya dibutuhkan rekan saya tersebut.

Apa implikasi dari penyakit Nanti ya Pak ini?

Pertama, saya berpikir bahwa saya telah membuang momen. Momen untuk memperoleh nilai positif dari kawan saya. Momen untuk membuat teman saya berbesar hatinya karena terpenuhinya apa yang diinginkan. Momen untuk melakukan kenaikan kelas atas hubungan sosial antara saya dengan teman saya. Dengan demikian sesungguhnya saya juga sedang menunda kemenangan atau kenaikan tersebut.

Kedua, Saya tidak melihat teman saya sebagai partner kerja yang seimbang. Karena dengan demikian saya telah berhasil menolak apa yang menjadi keinginannya. Ketiga, Saya telah diracuni oleh pola berpikir waktu dan sibuk yang mengikat fleksibilatas aktivitas saya.

Jakarta, 10 Juli 2009.

07 July 2009

Jalan Raya Merefleksikan Pemimpin

Menelusuri jalan-jalan yang ada dari Jakarta menuju Yogyakarta melalui wjalur Cikampek, Palimanan, Losari, Ketanggungan, Prupuk, Bumiayu, Wangon, Jatilawang, Buntu, Banyumas, Gombong, Kebumen, Kotowinangun, Prembun, Kutoarjo hingga memasuki DIY pergi dan pulang, saya mendapatkan kesempatan untuk ikut menikmati atas hasil kerja Bapak/Ibu yang kebetulan sedang menjadi Pemimpin yang ada disetiap wilayah tersebut. Juga infrastruktur lain termasuk jelasnya petunjuk jalan menuju tujuan yang ingin saya tuju.

Diantaranya adalah jalanan yang lebar dan mulus dengan rambu yang jelas, yang membantu kami sekeluarga ketika perjalanan di malam hari yang gelap, atau pohon yang rindang di kiri dan kanan jalan yang membuat suasana menyejukkan di hati. Atau keadaan sebaliknya, dimana jalanan masih saja sempit ukurannya dengan kiri kanan jalan yang terus saja dibiarkan melompong tanpa ada tanda-tanda tanaman yang ditanam. Bahkan kalau pun ada jembatan yang dibuat baru tetap saja dengan ukuran yang tidak dibuat lebih lega dan lebar.

Semua memang bergantung dari anggaran. Tergantung dengan APBD. Atau bentuk prosedur yang lainnya. Tetapi apakah saya, sebagai pemudik dan pengguna jalan yang harus membuat perencanaan atau melakukan semua hal yang berkaitan dengan hal itu?

Situasi semacam itu, dari tahun ke tahun sejak saya menjadi perantau di Jakarta, dan karena selalu mudik hingga dua atau empat kali dalam satu tahunnya, yang tetap nyaris sama. Ditambah perlintasan kereta api di wilayah tersebut, yang diantaranya pasti menjadi timbulnya kemacetan ketika musim Idul Fitri, yang juga hampir tidak memiliki perkembangan penyelesaian dari tahun ke tahun, membuat saya memiliki kesimpulan bahwa, kondisi jalan raya adalah bentuk implikasi dari model kepemimpinan.

Saya membayangkan bagaimana pemimpin saya tersebut duduk di bangku belakang kendaraan yang kemudian merasakan betapa ada yang kurang ketika melintasi jalan raya di wilayahnya. Lalu pemimpin saya ini membuka buku budgetnya (mungkin namanya APBD?) ketika sampai di ruang kantornya, atau melakukan pengecekan terhadap laporan pertanggungjawaban terhadap jalur jalan raya yang baru saja dilaluinya kemudian menemukan sesuatu yang membutuhlan klarifikasi bawahannya. Lalu dimintanya bawahannya memberikan penjelasan tambahan terhadap proyek yang baru saja selesai dikerjakannya. Untuk kemudian pemimpin saya ini memberikan instruksi agar proyek direvisi karena ditemukan ketidakbenaran.

Dan karena pola kerja yang semacam itu maka pada tahapan berikutnya seluruh pembangunan infrastruktur atau proyek apapun yang ada di bawah kendali pemimpin saya tersebut menjadi sesuatu yang linier kualitasnya dengan harganya.

Saya juga membayangkan pemimpin saya ini melakukan gerakan hijau bersama warganya untuk menanam di setiap jengkal tanah yang ada di pinggir jalan raya. Termasuk juga memberikan rambu keselamatan di setiap tikungan dan belokan yang ada di pinggir jalan raya. Dan tidak ketinggalan memberikan spot light yang menyala cemerlang ketika para pengendara melewati jalur yang ada.

Alangkah bahagia saya. Meski saya hanya seorang pemudik. Saya merindukan pemimpin yang memahami bagaimana teriknya perjalanan di siang hari atau betapa pekatnya berkendara di malam hari. Saya merindukan...

Purworejo, 2 Juli 2009.