Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

27 September 2017

Hujan dan Terlambat

Hujan datang tepat ketika saya tengah berada di tengah perjalanan menuju ke kantor. Bersyukur, bahwa hujan kali ini benar-benar lebat setelah beberapa pekan Jakarta dengan terik matahari yang menyengat. Jadi saya santai sekali dengan menerima hujan yang turun di tengah perjalanan di atas ojeg motor. Nikmat sekali.

"Bapak saja yang memakai jas hujan ini Pak. Saya hujan-hujanan saja. Kebetulan setelah ini saya akan pulang." Kata abang ojeg sembari memasukkan dompet dan alat komunikasinya ke dalam plastik untuk menghindari basah oleh air hujan. Saya sendiri disibukkan dengan jas hujan abang ojeg yang masih gres. Baru!

Saya terhalang hujan di kawasan Menteng tersebut ketika jam tangan saya masih menunjukkan pukul 05.50. Masih pagi. Mungkin ada diantara teman-teman kolega saya yang masih bersiap untuk beranjak menuju kantor pada jam sepagi itu. Saya sudah mendekati kantor karena saya pikir tidak ada lagi yang harus saya kerjakan di rumah sehingga saya memilih untuk hadir di kantor sepagi mungkin saya bisa.

Dan hujan memang menjadi berkah pagi ini. Karena hingga saya sampai kantor sepuluh menit berikutnya, hujan masih dengan kuantitas yang sama. Di sepanjang perjalanan yang sepi, kendaraan melaju dengan memercikkan air hujan yang tergilas oleh roda-roda mereka.

Cling...
Begitu bunyi seluler saya ketika menerima pesan yang masuk. Sebuah foto kondisi jalanan yang padat (baca; macet). Foto diambil dari dalam kendaraan roda tiga yang juga terjebak macet. Jam telah menujukkan lewat dari jam masuk kantor.

Saya hanya berpikir seperti jalan logika saya selama ini; hujan menjadi argumentasi paling menarik untuk sebuah kedatangan masuk kerja terlambat.

Jakarta, 27 September 2017.

11 September 2017

Tukar Kaos Kaki

Pagi ini saya tergopoh-gopoh untuk naik ke lantai dua sekolah menuju kelas 3 SD. Ya saya sedang berkepentingan untuk memanggil salah satu peserta didik saya yang duduk di bangku kelas tiga atas infomasi dari kakaknya yang duduk di kelas VI, yang pada waktu yang sama sedang menemani adiknya paling kecil di koridor kelas I, di lantai bawah.

"Adik saya minta tukar kaos kaki Pak. Tapi minta tukarnya sama kakaknya yang di kelas III." Kata seorang kakak yang duduk sembari memeluk sang adik yang tidak mau berpisah. Sang adik sesunggukan, menangis. 

"Tapi adik saya tidak mau saya tinggal untuk memanggil kakaknya. Jadi saya bingung." Kata sang kakak dengan tetap memeluk adiknya yang masih menangis.

Beberapa anak kelas I yang kelasnya ada di koridor itu tertarik untuk mendengar apa yang sedang kami percakapkan. Dan sang adik tetap dengan pendiriannya untuk minta tukar kaos kaki dan tetap tidak mau ditinggal kakaknya guna memanggil kakaknya yang satu lagi.

Memang ada empat anak dari keluarga tersebut yang sekolah di sekolah saya pada tahun pelajaran ini. Putra pertama duduk di kelas IX, yang nomor dua di kelas VI yang sekarang sedang membujuk sang adik yang merupakan anak bungsu yang duduk di kelas I. Sedang kakak yang satu lagi yang kaos kakinya diminta adik bungsunya untuk tukar adalah anak ketiga yang ada di kelas III.

"Baik. Pak Agus akan bantu kamu. Memanggilkan kakakmu di kelas III." Kata saya kepada kakak beradik tersebut.

Ketika bertemu dengan anak yang sedang saya cari, segera saya sampaikan apa yang diminta oleh adiknya untuk bertukar kaos kaki dengannya. Apa yang saya kemukakan dan terdengar oleh teman-temannya yang berada di kelas III tersebut menarik perhatian. Maka ketika saya bersama sang kakak keluar kelas menuju koridor kelas I, beberapa teman laki-laki di kelas III ikut serta menuju kelas I.

Alhamdulillah. Ketika kakak beradik itu bertemu di koridor, maka sang adik bungsu segera reda dengan tangisannya. Alhamdulillah. 

Jakarta, 11 September 2017.

02 September 2017

Maaf Pak, Saya Bohong Bilang sudah Beli

Dalam catatan saya sebelumnya berkenaan dengan  buku pegangan belajar peserta didik saya yang belum juga membawa padahal telah berulang saya ingatkan, dan beralasan bahwa ia telah memesan (baca; membeli) buku yang saya sampaikan untuk diadakannya via on line (http://aguslistiyono.blogspot.co.id/2017/08/saya-sudah-beli-via-on-line-pak.html),  ternyata dalam pertemuan dengan saya terakhir pada Kamis, 31 Agustus lalu, ia justru mengaku belum membeli buku yang dimaksudkan. Alias bohong.

"Maaf Pak Agus. Saya sebenarnya belum membeli buku yang Pak Agus sudah pesankan. Tapi supaya Pak Agus tidak bertanya terus jadi saya mengaku saja kalau sudah membeli." katanya.

"Baik. Kalau begitu kapan kamu benar-benar akan membawa buku yang kamu maksudkan?" Kata saya dan memberikan komentar tentang bohongnya yang telah dia akui didepan teman-teman satu kelompk yang belajarnya bersama dengan saya.

"Saya janji setelah masuk lebaran Haji Pak." Katanya dengan penuh kepastian. Teman-temannya yang ada di kelompok itu hanya terdiam atas janji yang disampaikannya.

"Baik. Pak Agus akan mengingat apa yang kamu sampaikan kali ini berkenaan dengan janjimu untuk membawa kelengkapan belajarmu di Selasa tangal 5 September 2017. Dan Pak Agus meminta teman yang ada di kelompok ini menjadi saksi atas apa yang telah kamu kemukakan." Sambut saya kepada siswa tersebut.

Jakarta, 2 September 2017.

Budgetnya Ada Pak

Dalam sebuah rapat di sebuah sekolah swasta, saya bertanya kepada seorang pendidik yang menempati posisi sebagai Direktur Sekolah, sebuah posisi yang mempersonifikasikan sebagai wakil dari pemilik sekolah atau Yayasan yang ada di operasional sekolah tersebut, berkenaan dengan alokasi pembiayaan yang dalam pengalaman saya tergolong mewah.

Sekolah swasta menjadi penekanan bagi saya karena lembaga seperti ini normalnya membutuhkan biaya tang tidak sedikit untuk investasi awal. Dan sebagai lembaga yang baru ketika diinisiasi, maka tidak sedikit kebutuhan dana yang harus di-support secara mandiri yang kepastian dana tersebut kembali baru dalam perhitungan di atas kertas. Maka ketika sekolah dan lembaga tersebut telah berjalan, langkah pasti yang selalu menjadi visi bagi pimpinan sekolahnya adalah efisiensi dan efektivitas. Konsep efisiensi dan efektivitas bukan berarti sekolah harus benar-benar selalu membuat seminimal mungkin budget kegiatan, tetapi juga bukan berarti harus membuat kebutuhan dana terlampau tinggi. Jadi dilihat dari kepentingan dan urgensinya.

Pemahaman seperti itulah yang selalu menjadi pijakan saya ketika dalam sebuah rapat penetapan budget atau pertemuan berkenaan dengan program kegiatan sekolah. Dalam pertemuan seperti itu, saya yang berada di posisi Yayasan, yang juga menjadi representasi pemilik lembaga, selalu mengajak para representasi pemilik lembaga di tingkat operasional untuk melakukan cara pandang yang sama. Tetapi hal ini kadang menjadi kendala atau juga dapat dikatakan sebagai penghalang bagi para manajer operasional. 

Hal ini karena apa yang telah mereka buat dalam draft anggaran mendapat kritisi dari saya. Pada apa yang saya sampaikan tidak lain adalah untuk mengajak teman-teman di operasional menemukan rumusan yang faktual dan nyata. Misalnya dalam pertanyaan saya pada satu angaran; dari mana angka itu munculnya? Apakah dapat dijelaskan asal-usulnya?

Juga ketika pertanyaan saya berkenaan dengan budget rekreasi guru yang tercermin mewah. Ini karena dalam rencana yang dipresentasikan memperlihatkan biaya per orang yang lumayan tinggi. Maka saya bertanya kepada mereka yang mendapat jawaban yang 'mengagumkan' dari penanggungjawab sekolah itu; Karena budgetnya ada Pak.

Dari jawaban tersebut akhirnya teman yang ada di perangkat Yayasan meminta saya untuk terus menerus mendampingi operasional sekolah agar memiliki cara pandang yang sama koordinatnya sebagai sekolah atau lembaga pendidikan swasta.

Sebuah tugas yang memang tidak ringan. Karena ternyata pemahaman sebagai sekolah swasta saja belum benar-benar dapat diterimanya dengan tulus...

Jakarta, 2 September 2017

Berqurban di Daerah

"Berqurban di lokasi desa lebih dirasakan oleh penduduk desa. Karena mereka memang mayoritas terdiri dari masyarakat yang tidak berkelebihan." Kata seorang teman saya kepada saya di sebuah kendaraan ketika kami baru saja berjumpa.

"Tapi kata ustad, paling afdol kalau berqurban di daerah dimana Anda bertempat tinggal. Karena kebermaknaan Anda untuk tetangga Anda sendiri dirasakan langsung." Kata teman saya yang lain. Kalimat ini sekaligus sebagai perbandingan. Saya secara pribadi melihat dua arus pendapat tersebut secara moderat saja. Bahwa itu adalah dua pendapat yang sama-sama baik jika dilihat dari kacamata horisontal. Itu saja. 

Lalu bagaimana saya? 

Sejak beberapa tahun yang lalu, saya bersama-sama teman-teman di sekolah memang melakukan apa yang kami sebut sebagai Tebar Qurban. Ini karena posisi saya dan teman-teman hanyalah sebagai petugas yang menyalurkan hewan qurban, yang berasal dari peserta didik kami, yang terdiri dari mereka yang masih duduk di bangku Kelompok Bermain, yang berusia sekitar 3 tahun hingga yang telah duduk di kelas IX SMP.

Tebar qurban yang saya maksudkan adalah menentukan terlebih dahulu titik lokasi qurban yang akan menjadi tujuan kami. Lalu dari tujuan lokasi tersebut, kami buatkan surat pemberitahuan kepada warga sekolah tentang lokasi-lokasi yang akan menjadi pelaksanaan qurban. Dengan titik yang telah kami tentukan dan kami sampaikan bersamaan dengan harga hewan qurban dengan spesifikasinya, maka siswa atau orangtua yang bermaksud berqurban di tahun ini melalui sekolah dapat memilih lkasi qurban yang diinginkan.

Dan alhamdulillah dalam pelaksanaan kegiatan seperti ini sejauh ini tidak ada kendala atau hambatan yang membuat program tersebut tidak berlangsung lagi. Dan dengan pelaksanaan model seperti ini, kami selalu menemukan pelajaran sangat berharga di kampung-kampung yang menjadi titik pelaksanaan qurban tersebut. Kami dapat belajar mensyukuri apa yang kami dapatkan atau miliki selama ini. Setidaknya inilah pengalaman berharga yang kami dapat dalam tebar qurban dari sekolah.


Jakarta, 2 September 2017.