Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

27 August 2012

Mudik #9; Harapan Pemudik; Jalan Mulus, Sejuk, dan Toilet Bersih

Sebagai  refleksi bagi pemudik yang memilih perjalanan darat dengan kendaraan pribadi, maka kondisi jalanan yang baik atau mulus serta teduh, akan menjadi sebuah impian. Itu mungkin yang akan selalu menjadi hasrat bagi pemudik seperti saya.

Jalanan yang dalam kondisi baik atau mulus dalam siklus tahunan, maka hanya berada pada saat libur Idul Fitri. Ini menjadi sebuah keniscayaan. Karena itu proyek selalu berpatokan kepada moment besar dan bersama itu. Walau kondisi jalan yang relatif bagus pada masa puncak mudik tersebut tetap terjadi kemacetan, karena disebabkan oleh volume kendaraan yang luar biasa meningkat. 

Dan bagi mereka yang akan melakukan perjalanan di Jawa dengan mengendarai kendaraan, dan tidak ingin terjebak kemacetan sebagaimana pada puncak arus mudik di masa lebaran, saya merekomendasikan perjalanan itu dilakukan paling lama lima bulan setelah liburan lebaran. Hal ini mengingat kondisi jalan yang mudah-mudahan masih terbilang baik, dengan volume kendaraan yang relatif ramai saja.

Selain kondisi jalan yang dalam kondisi baik itu, sebagai pemudik juga membutuhkan situasi atau suasana jalanan yang rindang. Karena bagi saya, atau mungkin juga Anda, perjalanan yang kita lakukan tidak sekedar untuk mencapai tujuan atau destinasi tertentu, tetapi juga 'kenikmatan' dari setiap ruas yang saya lalui. Akan tetapi tidak semua daerah yang memiliki ruas jalan, baik jalur utama Pantura Jawa atau juga jalur Selatan Jawa memiliki ruas jalan yang tidak atau kurang memberikan kerindangan. Banyak memang pohon asem, atau mahoni, atau trembesi, yang masih berusia muda. Dan ada pula yang telah berusia puluhan dengan diameter yang besar, yang bisa jadi merupakan peninggalan zaman sebelum atau awal kemerdekaan.

Dan dari kenyataan ini, saya bermimpi seandainya para pemangku jabatan di daerah-daerah yang dilalui para pemudik itu menjadikan penghijauan jalur mudiknya dengan pohon-pohon yang nantinya dapat menjadi kenangan untuk generasi mendatang. Semoga.

Juga, bagaimana dengan ketersediaan toilet yang memadai dan bersih? Ini juga menjadi bagian yang mudah-mudahan kepada para pengelola diberikan pencerahaan berkenaan dengan kualitas bersih.
Kampanye Toilet Bersih, oleh salah satu stasiun TV.

Jakarta, 24 Agustus 2012.

23 August 2012

Mudik #8; Pemudik R2, Membuat Saya Iri

R2 saat mudik 2012. Gambar dari www.depdagri.go.id/news/2010/000012
Pada tahun 1987 yang lalu, teman-teman saya yang sama-sama guru di sebuah sekolah dasar swata di bilangan Jakarta Selatan, telah melakukan perjalanan mudiknya dengan mengendarai sepeda motor atau kendaraan roda 2 (R2) dari Jakarta menuju Wonosari dan Wonogiri.  Ada 3 orang dari mereka yang sejak tahun dan tahun-tahun berikutnya selalu mudik dengan R2 nya. Meski saat itu usia kami rata-rata masih berkepala 2, tetapi kami yang ada di sekolah berpendapat kalau apa yang mereka lakukan adalah petualangan orang yang kurang kerjaan. Sok kuat. Komentar itu, pada waktu itu dapat dibenarkan karena adanya faktor yang menguatkannya. 

Pertama, profesi sebagai guru, alhamdulillah memiliki hari libur lebih awal dan lebih panjang dari profesi yang lainnya. Dengan demikian, maka jikapun kami memilih naik kendaraan umum, seperti bus malam, belum akan terkena tuslah lebaran. Jadi lebih mudah bukan? 

Kedua, jalanan yang akan kita lalui pada waktu itu tidak akan semeriah seperti sekarang ini. Dimana ketika kita melintasi sepanjang rute Jakarta hingga Semarang, kemudian lanjut ke arah selatan menuju Yogyakarta, akan sedikit bertemu dengan teman-teman pemudik yang sama-sama mengendarai R2. Artinya lagi, situasi yang tenang itu bukankah justru kurang memberikan semangat teman-teman di perjalanan? Mereka tidak mungkin berombongan seramai sekarang.

Ketiga, seperti yang waktu itu mereka sama-sama akui bahwa, R2 yang mereka pakaipun bukan merupakan kendaraan yang benar-benar sehat. Karena pada waktu itu tidak ada diantara kita yang membeli sepeda motor baru. Belum zamannya leasing seperti zaman sekarang. Artinya, kebersamaan mereka secara terus menerus menjadi sangat penting. Agar jika ada masalah dengan R2 dari salah satu yang mereka tumpangi, sedapat mungkin diselesaikan secara gotong royong.

Meski begitu, toh teman-teman muda saya itu tetap saja kepada pendiriannya untuk tetap mudik dengan R2nya. Karena memang mereka butuh sekali kendaraan itu untuk mobilitasnya ketika mereka sudah sampai kampung halamannya.

Sekarang?

Itu kondisi teman-teman muda saya dua dekade yang lalu. Bagaimana dengan sekarang?  Dari data pihak berwajib, pemudik dengan berkendaraan roda 2 naik di setiap tahunnya. Itulah yang menyebabkan bertambah padatnya kondisi jalan sepanjang ruas mudik. Sebagaimana gambar yang saya pampang pada halaman ini. Kondisi seperti ini saat ini sudah bukan lagi menjadi sesuatu yang petualangan, tetapi lebih telah menjadi sebuah kebutuhan. Bahkan seorang teman, yang mengendari R2 ketika mudik dari Jakarta menuju kota Malang. Luar biasa bukan?

Dengan kenyataan seperti ini, saya merasa iri dengan pemudik R2 ini. Pertama, saya iri dengan daya juang dan daya tahan mereka untuk mengendarai R2nya dengan jarak yang tidak dekat lagi. Plus, waktu yang relatif lama. Hebat bukan?

Kedua, dari wawancara yang dilakukan media tv, tampak bahwa mereka melakukan mudik dengan R2 dengan penuh kesadaran dan semangat juang yang tinggi. Tidak tampak dalam wajah mereka keterpaksaan.

Setidaknya itulah hal yang menarik dari sebuah perjuangan anak manusia dalam merengkuh keeratan jalinan silaturahim dengan para orang yang ada disekitarnya yang mereka akan temui di kampung halamannya. Dan dari semangat itu, saya justru mengajak kepada mereka yang tidak pernah mudik, agar melihat realita ini sebagai ragam dari persfektif kehidupan.

Jakarta, 23 Agustus 2012.

Mudik #7; Mudik tanpa Hambatan Perlintasan Rel Kereta Api

Kemacetan di Ciregol, Brebes, saat perbaikan setelah longsor. April '12.
Dalam setiap kali perjalanan mudik, khususnya pada saat bersamaan hari Lebaran, hambatan kemacetan karena memang volume kendaraan yang melimpah juga karena perlintasan rel kereta api. Ini  jika rual jalan yang harus kita lewati, dari Jakarta menuju Jawa Tengah atau Yogyakarta, adalah keluar pintu tol Pejagan menuju Banyumas, Buntu, Kebumen. Karena jarak sejauh itu, kita harus melewati perlintasan kereta api yang lumayan antri. Terutama di perlintasan kereta api Prupuk, setelah kita melalui jalan di atas sepanjang sungai yang ada antara Ketanggungan-Prupuk, dengan ciri khasnya penjual jagung rebus. Dan perlintasan kereta api yang ada sebelum menjelang masuk kota Karanganyar, Kebumen, bila kita dari arah Purworejo menuju Purwokerto, pada saat arus baliknya. Tentu sekali lagi, bila kendaraan yang kita pilih untuk transportasi mudik.
Sebagai pemudik, pada puncak arus mudiknya, perlintasan rel kereta api menjadi salah satu ruas jalan yang berkontribusi kepada kemacetan. Ini karena pada perlintasan rel kereta api tersebut terdapat jarak antara tinggi jalan dengan tinggi rel yang harus dilintasi. Hal ini menyebabkan kita sebagai pengendara untuk mengurangi kecepatan seminimal mungkin. Akibatnya, banyak kendaraan di belakang yang harus menyesuaikan kecepatan laju kendaraannya. Maka jika volume kendaraan tinggi, dapat dipastikan bahwa perlintasan rel kereta api itu biang dari kemacetan.

Anehnya, pada setiap tahunnya, hal ini berjalan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sangat sedikit perhatian pemerintah, apakah daerah tingkat I atau II, atau mungkin pemerintah pusat untuk menjadikan perlintasan rel kereta api sepanjang jalur Pejagan di Brebes hingga perlintasan kereta api di Bagelen, kabupaten Purworejo, yang kebetulan seluruhnya berada di Jawa Tengah. Padahal sepanjang ruas jalan di atas itu, saya mencatat adanya tiga perlintasan rel kereta api yang dibuat fly over, seperti perlintasa rel kereta api yang ada di Bumiayu, yang persisnya sesudah POM bensin Sakalibel jika dari arah Jakarta, di Tambak, Banyumas, dan di desa Jambu, Bagelen, Purworejo. Walau kedua fly over ini sudah ada sejak tahun 85 an, saya rajin melakukan perjalanan mudik.

Atau setidaknya pada setiap perlintasan rel kereta api itu tinggi jalannya dibuat relatif rata, seperti yang ada di perlintasan rel kereta api yang ada di kecamatan Butuh, kabupaten Purworejo. Dan juga perlintasan-perlintasan rel kereta api yang kebetulan sedang di bangun rel ganda sepanjang stasiun Kutoarjo di Purworejo, yang sekarang tahapannya sudah sampai di daerah Prupuk.

Sebagai pengguna ruas jalur selatan Jawa Tengah, saya sangat mengharapkan agar ke depan, para pemangku kepentingan di wilayah tersebut untuk benar-benar memikirkan perlintasan rel kereta api tersebut secara bertahap. Yaitu pembuatan fly over atau under pass. Selain tentunya pelebaran ruas jalan yang ada. Tentu bertahap mulai dari tahun pertama mendapat amanah hingga tahun keduanya, atau mungkin tahun terakhirnya di masa jabatan yang kedua. Dan jika para pemangku yang dipilih langsung oleh warga masyarakatnya menjadikan hal ini sebagai programnya, alam akan mencatatnya sebagai sejarah yang tidak akan terlupakan atau dilupakan. Semoga.

Jakarta, 23 Agustus 2012.

Mudik #6; Lebaran adalah Waktu yang Tepat untuk Reuni

Sebuah pertemuan kecil di Bekasi, Jabar, sekitar Februari 2012.
Dalam kurun waktu liburan Lebaran, dimana arus mudik luar biasa tinggi, maka kegiatan yang hampir selalu saya dan teman-teman sesama alumni sekolah pendidikan guru (SPG) yang ada di kota Purworejo adalah temu kangen atau lazim kita sebut sebagai reuni. Meski bukan reuni akbar sebagaimana para alumnus dari sekolah-sekolah basar yang memasang iklan di media massa, pertemuan yang kami lakukan biasanya atas prakarsa teman-teman yang mudik. Sedang teman-teman yang tetap berdomisili di kota dimana kami bersekolah, akan menjadi bagian yang mempersiapkan segala hal untuk kelancaran pertemuan tersebut.

Bahkan, ada satu angkatan dari kami yang memang selalu menyepakati waktu dan tempat reuni itu satu tahun sebelum kegiatan itu berlangsung. Kesepatakan ini dibuat pada saat mereka bertemu pada tahun sebelumnya. Biasanya, mereka bersepakat akan bertemu setiap tanggal 5 Syawal pada setiap tahunnya. Kegiatan pertemuan selalu mengambil tempat di rumah masing-masing alumni secara bergantian. Seperti acara arisan layaknya. Seru bukan. Dan memang, kegiatan seperti ini hanya sukses jika berbarengan dengan waktu libur Lebaran. Karena hanya waktu itu yang paling mungkin menjadi magnet bagi seluruh atau setidaknya sebagian besar alumni untuk datang ke kampung halamannya. 

Dan pada tahun ini mereka akan berkumpul pada hari ini, Kamis, tanggal 23 Agustus 2012. Sebagaimana yang mereka tulis sebagai pengingat bagi kita semua di dinding jejaring sosial. Dan meski mereka diikat oleh tahun kelulusan yang sama, mereka tetap membuka diri untuk kehadiran angkatan atau tahun kelulusan yang berbeda. Maka bertambah seru saja pertemuan-pertemuan yang mereka lakukan. 

Dengan kegiatan-kegiatan seperti ini pulalah yang sering menjadi pendorong bagi saya sendiri untuk memutuskan harus mudik di Lebaran. Meski pernah suatu kali anak kedua saya berkomentar: " Kita ngak usah ada yang ikut, ayah reuni kan mau ketemu mantan?". Dan sepertinya, anggota keluarga saya yang lainnya menyetujui pendapat anak kedua saya. Meski itu semua tidak seperti apa yang mereka bayangkan.

Karena pada kenyataannya, dalam setiap pertemuan yang sayua ada di dalamnya, kita seru untuk selalu berdiskusi tidak saja tentang pengalaman bersama ketika masa sekolah dulu. Tetapi juga tentang bagaimana kita punya pengalaman masing-masing di lapangan perkerjaan kita sekarang.

Jakarta, 23 Agustus 2012.

21 August 2012

Mudik #5; Kolektor Peta Mudik

Sebagian dari koleksi peta mudik tahun 2011 dan 2012.
Mungkin ini karena GR saya. Tapi meski begitu, saya tetap bangga dengan sebutan yang buat sendiri sebagai kolektor peta. Pada awalnya, peta-peta yang saya miliki itu sebagai salah bahan belajar dan mengajar bersama siswa di kelas atau pelatihan guru. Namun lebih dari sekedar bahan belajar mengajar, saya justru terobsesi untuk lebih mengenal dan menghafal daerah geografis lebih dekat lagi. Itu sebagain dari keisengan saya ketika berhadapan dengan lembaran peta di saat senggang, baik di rumah atau di kantor. Dan keisengan ini, benar-benar membenamkan saya kepada keasyikan tersendiri.

Dan satu dari sekian peta yang saya punya, adalah peta mudik yang dari tahun ke tahun selalu dibagikan secara gratis yang saya dapatkan pada akhir-akhir bulan Ramadhan di sebuah jaringan toko buka. Dan karena gratis, biasanya saya meminta secara terus terang kepada kasir saat melakukan transaksi untuk meminta lebih dari satu. "Silahkan Pak, gratis. Ini masih sisa banyak sekali..." Begitu biasanya dari tahun ketahun mbak kasir akan menjawab permohonan yang terus terang untuk meminta lebih dari satu.

Anak saya, yang biasa saat ke toko buku berkomentar di hadapan mbak kasir; " Wah, ayahku pasti tidak malu untuk mengambil banyak mbak..." Sebuah komentar yang hanya ditanggapi senyum oleh mbak kasir. Dan tanpa sungkan, saya pun mengambil beberapa peta mudik itu. Namun jangan dulu Anda berpikiran jelak, karena saya pun akan membagi-bagikan peta mudik itu kepada teman-teman di sekolah.

Jalur di Peta tidak sama dengan Jalur di Realita

Ini saya alami pada waktu mudik lebaran pada tahun 2007. Dimana saat kembali ke Jakarta, saya mengambil jalur Purworejo- Prembun- Wadaslintang- Selokerto -Banjarnegara- Kajen- Pekalongan dan lanjut melalui Pantura ke Jakarta. Nah, selesai istirahat shalat dan makan di Banjarnegara, saya melanjutkan perjalanan Wanayasa- Kalibening- Kajen. Sampai Wanayasa, saya berhenti untuk bertanya kepada penduduk arah menuju Kalibening. Namun dari keterangan yang saya dapatkan, pertigaan menuju Kalibening berada di kecamatan Karangkobar. Padahal di peta, pertigaan itu berada di Wanayasa. Kekeliruan ini saya telah sampaikan via email kepada salah satu sponsor yang terdapat di peta mudik tersebut. Akan tetapi hingga tahun 2012 ini, jalur di peta tersebut tetap saja belum ada perubahan.

Jakarta, 21 Agustus 2012.

Mudik #4; Mudik = Wisata

Salah satu destinasi ketika kami sudah sampai Purworejo.
Kalau ingin saya kalkulasi biaya dan mencoba untuk memperbandingkannya antara perjalanan saya untuk pergi ke suatu tempat wisata dengan pergi pulang kampung, kapanpun waktu perjalanan tersebut,  maka saya selalu memilih untuk melakukan perjalan pulang kampung atau mudik. Setidaknya ada beberapa keuntungan yang saya dapatkan dengan jenis perjalanan semacam ini bagi saya. Pertama, saya dapat bersilaturahim dengan orangtua saya yang, alhamdulillah masih sehat wal afiat, bertemua saudara, dan teman-teman yang tinggal di kampung. Kedua, saya tetap dapat menikmati wisata. Apakah kulinernya atau wisata alamnya. Karena alasan inilah maka perjalanan mudik, menjadi agenda yang lebih penting untuk saya dibanding agenda wisata.

Mudik = Wisata

Bagaimana perjalanan yang panjang dan melelahkan bisa menjadi wisata bagi saya bersama keluarga? Sekali lagi, ini dalam persfketif saya sebagai pelakunya. Cara pandang ini mungkin akan berbeda dengan para pembela hak anak seperti yang saya dengar baru-baru ini di media.

Pertama; di dalam kendaraan, kami bercengkerama tentang segala hal. Dan kondisi ini membuat kami menemukan kembali komitmen bahwa keluarga adalah bentuk dari sebuah tim.

Kedua; karena tidak selalu fokus kepada tujuan yang harus kami tuju, maka perjalanan menjadi mengalir santai. Ini berbeda sekali ketika kami sampai ke kota tujuan dan bertemu dengan keluarga yang keetulan adalah sama-sama pemudik maka diantara mereka akan bertanya kepada saya; jam berapa berangkat dari Jakarta Gus? Kok lama sekali, macet dimana?

Pertanyaan ini lahir  karena saudara saya salalu menghitung lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menempuh perjalanan Jakarta-Purworejo, dimana kampung saya berada. Mereka selalu berpatokan dengan waktu tempuh standar, waktu tempuh bus malam. Sedang saya, memaknai perjalanan sebagai bagian untuk menikmati karunia Allah. Jadi berbeda.

Ketiga; setiap kilometer perjalanan, selalu menawarkan sensasi keindahan yang selalu berbeda-beda. Dengan prinsip ini pulalah saya selalu memilih jalan yang tidak umum ketika kembali ke Jakarta dari Purworejo. Dan waktu sisa libur, akan saya plot-kan sebagai waktu cadangan untuk eksplorasi. Dan kondisi ini memberikan keyakinan baru kepada kami bahwa, beratus lokasi yang menakjubkan di sepanjang perjalanan Yogyakarta-Jawa Tengah-Jakarta.

Suatu kali saya memilih jalan Purworejo- Prembun- Wadas Lintang- Banjarnegara- Karang Kobar- Kajen-Pekalonga, lanjut Pantura dengan transit di Pekalongan. Suatu kali lagi mengambil jalur Purworejo- Buntu- Sokaraja- Purwokerto- Bumiayu- Prupuk- Ketanggungan dan lanjut Pantura dengan transit Baturaden. Suatu kali yang lain lagi Purworejo- Buntu- Wangon- Banjar- Ciamis- Malangbong- Nagrek  lanjut Jakarta dengan transit di Pangandaran. Atau juga pernah Purworejo- Congot- Mirit- Ambal- Petanahan- Buntu lanjut jalur selatan. Pernah juga Purworejo- Buntu- Wangon- Pejagan- Kuningan- Ciawi- Malangbong- Nagrek lanjut Jakarta dengan transit di Kuningan.

Pendek kata, jarak dan waktu tempuh itu cukup memberikan rasa takjub, bangga, dan syukur saya atas apa yang ada di daerah-daerah yang saya lalui. Dan dari sini jugalah anak-anak saya menjadi ikut menikmati perjalanan. Tentunya juga merasakan sensasi dari cita rasa makanan yang ada di setiap daerah yang kami lalui meski tidak semua jenisnya kami rasakan.

Lalu apa kesimpulannya? Tidak lain adalah; bahwa mudik bagi saya, adalah bentuk upaya saya dalam menikmati ayat-ayat kauniah Allah.

Jakarta, 19-21 Agustus 2012/ 01 Syawal 1433 H.

Mudik #3; Mudik Menikmati Perjalanan

Mungkin sekali ada diantara Anda yang, selama hidup tidak pernah mengalami ‘ritual’ mudik pada waktu Idul Fitri, karena memang tidak ada alasan atau kepentingannya untuk melakukan itu. Dengan demikian, maka tidak ada yang salah bilamana terbersit dalam pikiran Anda; Mengapa orang-orang itu mau-maunya bersusah payah terjebak dalam kemacetan yang berkepanjangan dan kolosal untuk melakukan perjalanan mudik? Dan pasti Anda akan berpikir; bukankah lebih baik bila mereka yang terjebak kemacetan dalam perjalanan mudiknya itu untuk tetap tinggal di rumah masing-masing dengan tidak mudik? Atau mungkin juga Anda tidak perduli dengan keadaan ini?

Apapun itu, saya sebagai bagian dari orang-orang yang melakukan mudik sadar sesadar-sadarnya akan mengatakan bahwa semua kemungkinan yang ada pada Anda adalah sesuatu yang lumrah. Karena semua itu berdasar kepada persfektif masing-masing. Karena itu suatu yang tidak mungkin disamaratakan. Itulah yang selama ini saya alami dengan anggota keluarga besar saya di Jakarta. Yang sebagian diantara mereka adalah pemudik dan sama sekali yang tidak pernah mudik di kala lebaran. Dan masing-masingnya melihat ‘ritual’ mudik dengan persfektifnya.

Nikmatilah Perjalanan Anda

Dan bagi pemudik atau mungkin bagi Anda yang belum pernah mudik dan  ingin merasakan bagaimana perjalanan mudik, maka selain pilihan waktu jam berangkat saat mudik di musim lebaran, dan juga pilihan rutenya, maka kesiapan mental sebelum memulai perjalanan juga memegang peran penting bagi kenikmatan sebuah perjalanan. Tentu ini saya sampaikan untuk para pemudik dengan kendaraan sendiri. Salah satu dari kesiapan mental itu adalah nikmatilah  setiap kilometer dari setiap ruas jalan sepanjang perjalanan Anda itu.  Juga perlu diperhatikan peta mudik edisi teranyar bersama Anda.

Kesiapan ini mematahkan semangat Anda untuk cepat-cepat sampai kota tujuan Anda. Karena jika motivasi kita hanya kepada kapan sampai, perjalanan darat yang panjang dan kadang menemui kendala  kemacetan, hanya akan menjadi ketidaknyamanan dari perjalanan itu. Dan jika ini yang terjadi, perjalanan itu hanya akan memberikan bekas ketidakberkesanan. Sia-sia bukan?

Apa yang dapat kita nikmati dari perjalanan itu? Untuk saya dan keluarga, sesering mungkin menyinggahi tempat=tempat yang bersih dan nyaman sat ingin buang air. Dan biasanya saya dan keluarga akan singgah lebih kurang sebanyak lima (5) sampai dengan delapan (8) kali dalam perjalanan Jakarta-Purworejo. Selain buang air, istirahat juga kami manfaatkan untuk shalat, makan, minum panas, atau keperluan lainnya.

Selain itu, rute yang berbeda-beda antara mudik kali ini dengan kali lain, juga akan memberikan kekayaan pengalaman tersendiri bagi saya dan keluarga, khususnya untuk anak-anak saya.

Jakarta, 19-21 Agustus 2012/ 01 Syawal 1433 H.

20 August 2012

Mudik #1; Tidak Mudik

Hari lebaran atau Idul Fitri tahun ini bertepatan dengan hari Minggu, tanggal 19 Agustus 2012 yang berdekatan dengan hari kemerdekaan Republik yang kita cintai ini yang ke-67 tahun, yang jatuh pada hari Jumat. Untuk itulah hampir semua kantor memberikan hari cuti bersama untuk seluruh pegawainya dua hari atau beberapa kantor swasta justru meliburkan hingga 4 hari kerja potong cuti tahunan.

Lalu apa pengaruh libur lebaran dengan cuti bersama bagi saya yang bergerak di lapangan pendidikan? Tidak terlalu berpengaruh. Karena kami, para guru, pada perayaan hari lebaran akan mengikuti liburnya anak-anak didik kami, yang akan masuk kembali ke sekolah pada Selasa tanggal 28 Agustus, atau bertepatan dengan  tanggal 10 Syawal 1433 H. Artinya, kami sebagai guru masih memiliki hari libur yang lebih panjang dari para karyawan yang bekerja dan berprofesi di luar pendidikan/ guru.

Namun meski saya menjadi bagian dari guru, yang berarti memiliki hari libur lebih di banding teman-teman lain, tetapi seperti hari libur lebaran tahun sebelumnya, saya memastikan untuk tidak mudik dan berlebaran dengan  Mamak, orangtua saya yang, alhamdulillah, masih sehat wal’afiat, di kampung halaman saya di Jawa Tengah. Ini tentu mengulangi kesepian Mamak saya di perayaan hari lebaran di kampung tanpa kedatangan ketiga anak-anak dengan cucu-cucunya yang ada di Jakarta. Dan untuk menutup kesepian orangtua dengan lima anak dan delapan cucu itu, berulang kali saya berbicara dan bercengkerama lewat telepon.

Ada beberapa alasan mengapa saya memutuskan untuk tidak pulang kampung atau mudik pada libur lebaran tahun ini. Pertama, kepergian anak bontot saya untuk turut  serta dalam rombongan Misi  Kesenian Indonesia ke kota;  Zurich dan Hamburg pada ttanggal 04 Syawal atau tanggal 22 Agustus. Artinya, jika saya harus juga berangkat ke kampung, maka perjalanan saya baru bisa dimulai pada Kamis, 23 Agustus. Artinya lagi, waktu yang tersisa bagi saya hanya lima hari libur. Itu waktu yang sangat pendek bagi saya untuk sebuah perjalanan darat menggunakan kendaraan. Alasan kedua, adalah keinginan anak kedua saya yang selama ini tinggal di Yogyakarta, yang semestinya dapat bersama saya ketika ia kembali ke kota dimana ia tinggal selama ini, untuk kembali ke Yogyakarta paling cepat pada Senin, 27 Agustus. Lengkap sekali bukan alasan-alasan untuk saya agar tidak mudik pada liburan lebaran tahun ini?

Meski fisik tidak juga mudik, perhatian akan perjuangan teman-teman saya yang melakukan mudik dengan hambatan kesulitan untuk mendapatkan tiket kendaraan atau terjebak kemacetan di jalan raya, tidak begitu mudah untuk diabaikan. Beberapa teman diantaranya mengabarkan kepada saya tentang perkembangan posisi dimana ia bersama keluarga waktu demi waktu. Juga bagaimana  teman yang lain yang mengirimkan gambar kampung halamannya, yang kebetulan bertetangga dengan kampung halaman saya melalui portal Group yang ada di BB. Atau juga menyalakan siaran langsung pantauan mudik dari sebuah stasiun radio non stop 24 jam. Juga mengikuti secara periodik akun yang ada di twitter.

Apa kepentingan saya akan kegiatan mudik yang dilakukan teman-teman atau para penduduk yang melakukan ritual pulang kampung? Ya, saya hanya ingin tetap  merasakan atmosfer mudik, atau setidaknya  ingin secara terus menerus menangkap vibrasi keriangan para pemudik. Dan itu, cukuplah bagi saya untuk membunuh rindu kepada orangtua, saudara, teman-teman sekolah yang berencana mengadakan reuni di kampung halaman.

Jakarta, 19 Agustus 2012/ 01 Syawal 1433 H.

Mudik #2; Mudik Bebas Macet

Setiap tahun mudik kami sejak tahun 2003 hingga 2010 pada perayaan hari Idul Fitri, alhamdulillah, selalu bebas macet. Ada memang pernah satu kali saya benar-benar terjebak macet di daerah Sruweng, Karanganyar, Kebumen. Tepatnya di perlintasan kereta api sekaligus masuk kota Karanganyar. Itu terjadi pada Idul Fitri tahun 2004 ketika saya berangkat dari kampung halaman di Purworejo pada pukul 14.00 dan baru lepas dari perlintasan kereta api tersebut sekitar pukul 20.00. Jadi lebih kurang empat jam.

Namun di luar kemacetan yang saya alami itu, saya belum pernah lagi terjebak dalam kemacetan yang berlarus-larut sebagaimana saudara-saudara saya hampir selalu alami ketika mudik lebaran? Beberapa hal yang menyebabkan perjalanan mudik saya pada saat liburan lebaran, antara lain adalah karena; Pertama, Waktu perjalanan mudik, dan Kedua, pilihan jalur mudik.

Waktu Perjalanan Mudik

Pada setiap mudik lebaran, saya hampir tidak mungkin menempuh perjalanan sebagaimana waktu yang dipilih dan dilakukan oleh teman-teman atau pemudik lain. Ini karena keluarga saya dari pihak istri semua berdomisili di Jakarta. Juga Ibu mertua saya yang selalu menjadi lokasi pertemuan dari setiap Idul Fitri. Dan pertemuan itu akan terjadi pada Idul Fitri hari pertama atau pada setiap tanggal 01 Syawal di setiap tahunnya. Alhasil, sebagai bagian dari keluarga besar, keluarga kami juga selalu mengagendakan pertemuan itu.

Oleh karenanya, saya paling cepat melakukan perjalanan ke kampung halaman untuk mudik ketika hari lebaran ke dua atau H+1, dan bahkan kadang H+2. Waktu yang menjadi pilihan saya ini juga didukung karena sebagai guru, saya memiliki waktu yang relatif lebih lama mendapatkan libur dibanding teman atau saudara pemudik yang bekerja di kantor.

Selain itu, yang membedakan saya dengan sebagian besar saudara dan teman pemudik lain, yang karena semua keluarga, terutama orangtua atau yang dituakan di dalam keluarganya, yang menjadi pusat dari keluarga mereka masing-masing, masih berdomisili di kampung baik dari pihak suami atau dari pihak istri, ditambah dengan waktu libur yang didapat dari kantor, maka mudik sebelum hari H Idul Fitri, menjadi satu-satunya pilihan waktu. Dan terjebak kemacetan yang kadang berkepanjangan tidak dapat dihindarikan.

Pilihan Jalur Mudik
 

Hal kedua yang menjadikan mudik saya bebas macet adalah pilihan jalur mudik dan jam keberangkatan. Saya selalu memperhitungkan jam-jam padat yang akan memungkinkan macet di daerah Cikampek hingga masuk Indramayu di jalur Pantura, atau di daerah Rancaekek  karena pergantian shif kerja jika saya memilih jalur selatan. Dan alhamdulillah, pelihan jam keberangkatan serta pilihan jalur itu membantu saya untuk terhidar dari kemacetan panjang. Kecuali kemacetan yang diakibatkan oleh adanya kecelakaan, adalah sesuatu yang sulit kita hindarkan. Karena ini masalah yang tidak dapat kita rencanakan.

Jakarta, 19 Agustus 2012/ 01 Syawal 1433 H.

16 August 2012

Ketika Saya Dapat Melihat Bahwa Siswa Saya Hebat

Kapan saya dapat melihat bahwa siswa saya hebat? Sering sekali. Atau mungkin bahasa yang tepat untuk jawaban itu adalah setiap saat ketika saya mencoba mendengarkan kisah mereka. Dan jika saya setiap waktu mendengarkan kisah mereka, maka setiap waktu itu pulalah saya akan melihat dimana kehebatan dari siswa-siswa saya.

Ini terutama setiap waktu ketika mencoba mengalokasikan waktu saya untuk mendengar kisah mereka pada saat saya melakukan dialog, atau ketika menyaksikan, atau ketika sedang menyimak sebuah kisah dari teman guru atau teman kepala sekolah, tentang berbagai aktifitas kesibukannya sebagai seorang siswa. Dan dari yang sering itu, mungkin dua hal ini saja yang saya sampaikan dalam artikel ini. Mengapa dua hal saja? Ini justru karena stamina saya dalam menceritakan kembali dari kisah-kisah hebat anak-anak didik saya yang tidak begitu prima. Ini yang menjadi kendala terberat bagi saya. Mudah-mudahan pada kesempatan lain kisah kehebatan mereka selalu menjadi bagian dari testimoni saya dalam mengejawantahkan kompetensi saya sebagai guru di sekolah dimana anak-anak itu tetap selalu menjadi hebat. Amin.

Hafal Rute Bus Transjakarta
Terus terang saya mengagumi seorang siswa saya yang begitu melahap rute seluruh transjakarta. 'Penemuan' ini saya dapatkan ketika kami, diantaranya siswa dan guru ketika kami semua sedang mengenakan sepatu seusai mengerakan salat berjamaah di sekolah. Pada saat mendiskusikan jalanan macet dan bagaimana saya akhirnya beralih ke transjakarta, seorang siswa bertanya tentang rute. Tetapi tidak sekedar bertanya, karena dia justru mengajukan pertanyaan kepada saya mengapa tidak memilih jalur koridor sekian, yang menurut dia jauh lebih pendek dari pada jalur yang saya pilih selama ini. Dan dari situ, dia justru menjadi petunjuk jalan bagi kami semua jalur yang harus diambil untuk tujuan-tujuan yang dapat dicapai oleh kendaraan umum transjakarta.

'Penemuan' ini bagi saya menjadi catatan hebat yang luar biasa. Mengapa? Karena pengetahuan ini adalah pengetahuan khas kota Jakarta, dimana dia sendiri adalah seorang anak yang bukan menjadi bagian dari kendaraan umum tersebut. Karena saya tahu bahwa dia datang ke dan pulang dari sekolah bersama supir pribadinya. Dan dengan demikian maka apa yang dia kuasai adalah pengetahuan yang sesungguhnya tidak terlalu dekat dengan dirinya? Hebat bukan?

Karena itu jugalah maka teman-teman guru yang berada bersama kami saat mengenakan sepatu itu, berdecak kagum atas kehafalan anak didik kami terhadap koridor dan jurusan serta rute dari bus transjakarta. Kok bisa? Begitu rata-rata jalan pikiran kami.

Curhat Kepada Orangtua

'Penemuan' kehebatan siswa saya yang kedua adalah kisah mengenai bagaimana seorang siswa yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak mengadu atau lebih tepatnya curhat kepada orang tuanya.  Curahatan ini didapatkan oleh seorang guru yang mendapat BBM dari orangtua anak. Dikatakan bahwa anaknya mengadukan cerita kalau dia merasa bingung terhadap para ibu-ibu gurunya di sekolah. Apa yang membuat anak bingung? Yaitu pada saat anak diberikan teput tangan yang sama meriahnya dengan yang diberikan kepada temannya yang lain, pada saat dia diminta menyanyikan sebait syair lagu. Padahal anak itu yakin sebenar-benarnya bahwa saat anak itu berada di panggung tidak ada sepatah katapun dari mulutnya keluar selain hanya mick yang memang sudah di tangannya. Tetapi mengapa ketika dia turun dari panggung Ibu guru dan teman-teman bertepuk tangan untuknya?

Menggelikan bukan? Karena itulah maka orantua itu segera menghubungi guru untuk mengetahu duduk perkaranya. Apa jalan cerita sebenarnya? Dan pada saat guru itu mengetahui curhatan siswanya yang gagal mengucapkan satu katapun meski sudah berada di atas panggung tetapi tetap mendapat apresiasi, guru semakin yakin bahwa, pada situasi bagaimanapun ternyata anak-anak didiknya adalah pemikir yang hebat.

Dan 'penemuan' atas kehebatan itu justru dari curhatan anak didiknya yang gagal berkata meski telah berada di atas panggung kepada orangtuanya. Seru bukan? Itulah hebatnya anak-anak didik kami di sekolah.

Jakarta, 15-16 Agustus 2012.

15 August 2012

Buka Puasa Bersama

Dalam cerita yang saya tulis sebelumnya dengan judul Rapat Siswa di Plasa Sekolah sebagai Hasil Belajar dengan link; http://www.aguslistiyono.blogspot.com/2012/07/siswa-rapat-di-plasa-sekolah-sebuah.html, saya menceritakan bahwasannya ada beberapa anak di satu kelas yang berkobar-kobar keinginannya untuk mengadakan buka puasa bersama dengan semua teman yang ada di kelas itu. Mereka adalah anak-anak yang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar dimana saya bekerja. Menyenangkan melihat mereka mengadakan rapat sepulang jam sekolah di plasa yang sekolah punyai. Masing-masing berkehendak agar usulannya dapat dijadikan keputusan. Mulai dari waktu pelaksanaan dan juga lokasi yang akan digunakan sebagai tempat.

Dan beberapa hari setelah kegiatan rapat yang mereka lakukan, yang kebetulan saya sendiri mengikuti meski hanya sebagaiannya, saya bertemu dengan salah seorang dari siswa kelas tersebut untuk menanyakan bagaimana perkembangan dari rapat  yang mereka lakukan. Dari anak tersebut saya mengetahui bahwa pelaksanaan buka puasa bersama atau ifthor jama'i, di undur karena ada beberapa anggota kelas yang harus mengikuti program kegiatan orangtuanya. Alhasil, saya tidak bertanya lebih lanjut selain kapan lagi waktu yang mereka sepakati. Namun seorang peserta buka puasa bersama yang lain memberikan informasi kepada saya bahwa, mereka telah menyepakati  salah satu dari hari sekolah sebagai hari pengganti. Juga lokasi kegiatan. Mereka akan mengadakan kegiatan itu mulai sekitar pukul empat di sebuah rumah makan.

Tidak Diizinkan, dan Menangis

Beberapa hari kemudian setelah hari yang mereka sepakati berlalu, saya kembali bertanya kepada pemrakarsa kegiatan kelas yang seluruhnya dirancang oleh siswa itu. Bagaimana perkembangannya? Sebuah rasa ingin tahu yang kalau remaja sekarang memberikan istilah kepo (knowing every particular object?). Tetapi untuk sebuah kelengkapan dari rangkaian cerita, maka rasa ingin tahu itu bukan menjadikan sesuatu yang norak bagi saya. Dan alhamdulillah, rangkaian kisah itupun berhasil saya sampaikan disini.

  • "Semula, sepulang sekolah saya benar-benar tidak mendapat izin dari Mama untuk hadir di kegiatan buka puasa bersama itu Pak. Tapi saya ikir itu tidak mungkin. Karena saya yang pertama kali mengajak teman-teman untuk dapat berbuka puasa bersama. Jadi saya harus datang." Katanya. 
  • "Kata mama saya, karena Papa dan Mama sudah janji dengan temannya untuk berbuka puasa bersama terlebih dulu."
  • "Terus, bagaimana sehingga kamu benar-benar berhasil mendapat izin dari Mama?" Selidik saya. 
  • "Saya memaksakan agar Mama memberikan izin. Dengan pura-pura menangis sambil menelepon!"
  • "Alhamdulilah Pak, Mama akhirnya memberikan izin kepada saya untuk datang."
Dari kisah ini, saya mendapat pelajaran tentang banyak hal. Dan pelajaran itu, setidaknya dapat menjadikan saya yang selain sebagai guru di sekolah, juga adalah orangtua di rumah. Dalam posisi itulah saya melihat bahwa kegiatan Buka Puasa Bersama yang dirancang anak-anak di kelas lima itu, sungguh sebuah fagmen tentang sebuah hasil belajar.

Jakarta, 15 Agustus 2012.

11 August 2012

Catatan PLPG 2012 #4, Penjadwalan

Menjelang Idul Fitri 1433 Hijriah atau tanggal Masehinya 16 Agustus 2012, yang kebetulan juga bersamaan dengan menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia, Jadwal PLPG untuk dua LPTK penyelenggara di Jakarta akan selesai untuk sementara. LPTK swasta memang benar-benar telah berakhir kecuali bagi teman-teman peserta PLPG yang belum lulus dan harus mengulangnya, Sedang untuk LPTK Negeri masih akan ada satu gelombang PLPG lagi, yang akan berlangsung setelah hari libur Idul Fitri, tepatnya 31 Agustus hingga tanggal 7 September.

Sebagai penjaga gawang di sekolah, saya sesungguhnya tidak begitu berkepentingan dengan penjadwalan teman-teman yang akan ikut PLPG selain dari pada bagaimana mengatur secara bergantian guru-guru yang ada untuk untuk menggantikan mengajar jam pelajaran yang ditinggal guru-guru yang mendapat jadwal PLPG. Ini karena sekolah dimana saya berada di dalamnya adalah sekolah swasta yang harus mandiri. Oleh karenanya dengan teman-teman yang ikut serta PLPG, pelayanan kepada seluruh peserta didik yang ada tetap harus maksimal.

Dan alhamdulillah dari beberapa periode PLPG yang ada, dan dari kuota guru yang harus ikut serta dalam PLPG, hingga sebelum rehat lebaran ini, dapat berjalan lancar. Mengingat penjadwalan dari LPTP pelaksana yang bergelombang teratur. Tidak seperti di sekolah swasta lain, dimana teman saya mengabdikan diri, yang harus sedikit kelabakan karena setiap gelombang PLPG terdapat empat atau lima guru yang ikut serta. Dan jika dalam satu pekan setiap gurunya itu mengampu sebanyak 24 jam tatap muka, bisa dibayangkan bagaimana kepala sekolah harus mencari guru lain untuk menggantikan 94 hingga 120 jam tatap muka dalam tempo satu pekan?

Ini semua karena pengaruh penjadwalan kepesertaan PLPG yang saya kira menjadi tanggung jawab dari LPTK penyelenggara. Terlebih, informasi penjadwalan PLPG baru di up load satu hingga tiga hari saja melalui web site masing-masing LPTK itu sebelum hari pelaksanaan.

Dan itulah yang akan kami almi nanti setelah liburan lebaran ini. Dimana untuk enam hari sekolah, enam guru kami akan bersamaan mengikuti PLPG dengan meninggalkan lima kelas yang ada bersama lima guru yang tersisa. 

Sadisnya lagi, penjadwalan itu juga kami dapatkan ketika lokasi sekolah kami berada dalam satu kota dengan lokasi dimana LPTK penyelenggara berada. Keberuntungan akan kedekatan lokasi ini memungkinkan kami melihat penjadwalan PLPG itu melalui papan pengumuman langsung. Mengapa belum juga di up load di web LPTK bersangkutan? Mungkin plesetan; kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?

Seru bukan? Lebih seru lagi kalau ternyata diantara beberapa peserta itu ada yang bertugas di pulau Sumatera, Bangka Belitung, bahkan Maluku? Bagaimana mereka bisa sampai ke lokasi PLPG yang ada di Pulau Jawa hanya memiliki waktu tiga atau empat hari sebelum pelaksanaan? 

Dan dari penjadwalan ini saja, sedikit banyaknya saya secara pribadi dapat menilai tentang bagaimana etos kerja sebuah LPTK penyelenggara PLPG tahun 2012 ini. Tentunya tanpa sediktpun mengurangi penghargaan saya terhadap kualitas materi PLPG yang nantinya akan didapat para peserta yang diantaranya adalah teman-teman saya yang sebagai guru.

Jakarta, 11 Agustus 2012.

06 August 2012

Catatan PLPG 2012 #3, Gaptek, Empati, dan Kejar Tayang

Sebagai bagian dari pelaksanaan undang-undang tentang sertifikasi guru di Indonesia, maka pelaksanaan PLPG menjadi salah pola bagi guru untuk memperoleh sertifikasi sebagai pendidik. Dalam pasal 1 ayat 7, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2012 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan,  dijelaskan bahwa pendidikan dan latihan profesi guru (PLPG), adalah salah satu pola sertifikasi guru dalam jabatan yang penilaiannya melalui pengamatan, uji kinerja, dan ujian tulis. 

Dan dalam pasal 7 dalam permen yang sama disampaikan apa yang harus ditempuh oleh seorang guru dalam PLPG, yaitu; 
a. pendalaman materi,
b. lokakarya (workshop),
c. praktik mengajar, dan
d. uji kompetensi.

Beberapa Cerita

Dalam tulisan kali ini, saya bermaksud menyampaikan beberapa cerita tentang palaksanaan kegiatan PLPG yang diikuti oleh teman-teman guru. PLPG sendiri dilakukan secara bergelombang. Ada lebih kurang 10 gelombang yang diselenggarakan sejak Mei hingga awal September untuk pelaksanaan oleh LPTK yang ada di wilayah Jakarta. Pelaksanaan dengan cara bergelombang ini memungkinkan sebuah sekolah untuk tetap melaksanakan pembelajaran dengan  cara normal dan tidak perlu meliburkan siswanya. Walau pada gelompbang terakhir yang diselenggarakan oleh LPTK UNJ, terdapat sekolah yang enam (6) guru dari dua belas (12) gurunya dijadikan satu gelombang. Meski buruk dalam pembuatan gelombangnya, namun memang masih memungkinkan sekolah untuk berjalan.

Dan ketika guru-guru yang saya kenal itu kembali ke sekolah, maka banyak pelajaran yang saya ikut mendapatkannya. Cerita pegalaman yang menyenangkan dan membangkitkan semangat dari kegiatan PLPG itu antara lain berkenaan dengan bertambahnya ilmu pengetahuan yang didapat teman-teman selama yang bersangkutan menguikutinya. Juga pengalaman sosial berkenaan ketika teman-teman itu harus bergaul bersama peserta lainnya selama lebih kurang sembilan (9) hari.

Ada teman yang merasa baru saja lahir ketika pelaksanaan PLPG. Dan sejak itulah ia memperoleh semangat untuk berubah. Berubah dalam melihat dan melayani siswanya di kelas, berubah paradigmanya ketika mengenakan sepatu di rumah untuk berangkat mengabdikan ilmu dan mendidik di sekolah. Pendek kata, mereka memulai lembaran baru dalam mengajar dan mendidik setelah proses insyaf yang dilakukannya sejak pulang dari PLPG.

Akan tetapi ada pula beberapa anekdot yang sayang bila tidak kita abadikan dalam tulisan. Anekdot itu antara lain adalah; Pertama; Gagap Teknologi. Cerita ini berawal dari salah seorang peserta yang berpakaian sedikit berbeda dengan peserta lainnya. Walau tetap berkostum guru, Bapak itu relatif necis. Selain pakaian, juga tambahan tas, yang masih terlihat gres, baru. Benar saja, ketika bekerja kelompo dimulai pada hari berikutnya, maka tas yang tampak gres itu benar-benar gres, baik tasnya dan isinya.
  •  Baru ini Pak? Selidik teman saya ini kepada Bapak guru necis itu. 
  • Iya Pak. Ini saya beli untuk PLPG ini. Jawab Pak guru dengan penuh optimisme.
Dan tanpa bermaksud untuk melakukan perundungan terhadap situasi seperti di atas, beberapa saat setelah bekerja kelompok tersebut dimulai keluarlah pengakuan bahwa Bapak guru itu sesungguhnya belum terlalu mahir mengopersikan komputer barunya. Dan kenyataan ini harus menjadi bagian dari kelompok dimana Bapak guru itu berada. 

Apa yang kemudian lahir dari pembagian kelompok seperti itu? Tidak lain adalah catatan ke-Kedua; Yaitu empati. Karena tidak ada teman yang ada di dalam setiap kelompok yang semua 'baik-baik' sja, maka untuk membuat semua tugas mereka selesai, rasa empati menjadi bagian penting yang membuat seluruh peserta PLPG 'menyelesaikan' hari-hari mereka.

Ketiga; Kejar Tayang. Ini karena waktu yang berdurasi pendek, maka setiap tugas yang diberikan pembimbing dalam PLPG harus segera tuntas. Alhasil, untuk membuat sebuah karya ilmiha yang membutuhkan catatan kaki dari buku referensi maka jasa SMS atau email dari teman yang bersiap sedia membantu, menjadi salah satu jalan agar semua menjadi tuntas. Termasuk diantaranya adalah googling bagi mereka yang telah menyiapkan perangkat pribadinya. Membaca langsung buku teks dari referensi yang dibutuhkan? Akan mamakan waktu yang menjadikan tugas tidak tergarap tuntas pada waktu yang tersedia.

Jakarta, 06 Agustus 2012.

05 August 2012

Catatan PLPG 2012 #2, Kualitas Sekolah

Saat saya menulisakan artikel ini, maka gelombang 8 untuk rayon yang ada di Jakarta  sedang melaksanakan PLPG. Apa itu PLPG? Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2012 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan,  pada pasal 1 ayat 7, dijelaskan sebagai berikut;  Pendidikan dan latihan profesi guru yang selanjutnya disebut PLPG adalah salah satu pola sertifikasi guru dalam jabatan yang penilaiannya melalui pengamatan, uji kinerja, dan ujian tulis.

PLPG sebagai salah satu pola sertifikasi guru, menjadi peristiwa yang dinanti-nantikan oleh para guru. Termasuk semua teman-teman saya yang ada di sekolah dimana kami bersama-sma mengamdikan diri. Sebuah sekolah swasta di Jakarta. Mengapa dinantikan? Karena ada bagian sangat penting dari ujung sertifikasi itu. Yaitu tunjangan untuk mereka yang telah memperoleh sertifikat sebagai pendidik, atau pendidik yang tersertifikat. 

Namun selain proses sertifikasi ini sebagai bagian dari amanat undang-undang bagi negara,  tunjangan yang akan teman-teman saya peroleh setelah benar-benar tersertifikasi juga menjadi salah satu yang lain yang menjadikan tujuan. Dan dari kacamata guru sebagai profesi, maka sertifikat yang nantinya akan mereka dapatkan, sejatinya juga adalah bentuk akan pengakuan negara kepada semua teman-teman saya yang memilih profesi sebagai guru. Dan itu menyangkut martabat sebagai pendidik profesional.

Dan dalam kaitan sebagai pendidik profesional itulah, saya sebagai bagian dari lembaga sekolah swasta mensyukyuri. Bukankah sekolah yang bagus itu berangkat dari guru-guru yang profesional. Dan sebagai sekolah bagus maka salah satu  implikasinya adalah kepercayaan masyarakat? Dan salah satu dari implikasi kepercayaan masyarakat kepada sekolah adalah jumlah siswa yang merupakan sumber eksistensi, terutama jika kita memanangnya dari kaca mata sebagai sekolah swasta?

Dari sisi inilah saya berpikir untuk bagaimana menemukan cara agar pengetahuan, pemahaman, dan semangat untuk mengaplikasikan profesionalisme yang teman-teman temukan dalam PLPG itu menjadi lestari dan kemudian mewujud menjadi sebuah buadaya kerja?

Inilah langkah kami berikutnya untuk benar-benar menjadikan sekolah sebagai lembaga pembelajaran tidak saja bagi siswanya tetapi juga tempat penumbuhan budaya belajar bagi kami, para guru profesionalnya. Pada titik inilah kami akan menemukan sebuah ujung korelasi bahwa PLPG=guru profesional, dan guru profesional=kulaitas sekolah. Semoga jalan itu segera terbuka. Amin.

Jakarta, 01-05 Agustus 2012.

Catatan PLPG 2012 #1, Sebuah Refleksi

Sebagai teman, saya senang sekali menggali pengalaman dari teman-teman yang menjadi bagian dari kuota  sertifikasi guru tahun 2012. Dan langkah berikut dari teman-teman guru yang telah lulus dalam Ujian Kompetensi Awal untuk kuota tahun 2012 ini, adalah mengikuti PLPG. Mereka secara bergelombang mendapatkan undangan pemanggilan untuk mengikuti proses sertifikasi yang diselenggarakan oleh konsorsium. Di lembaga kami, untuk guru-guru yang berada di unit Taman Kanak-kanak PLPG akan diberikan oleh LPTK Negeri yang ada di kota kami. Sedang untuk guru-guru yang ada di unit SD dan SMP diberikan oleh LPTK swasta. Masing-masingnya memberikan cerita dan pengalaman yang sama-sama seru.

Dalam Permen Dikbud No 5 tahun 2012 tentang Sertifikasi pada Guru dalam Jabatan, pada Pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa; Uji kompetensi awal diikuti oleh peserta sertifikasi yang: 
a. memilih PLPG; 
b. tidak memenuhi syarat kelulusan penilaian portofolio; atau 
c. tidak memenuhi persyaratan untuk memperoleh sertifikat pendidik secara 
    langsung. 

Apa yang dilakukan teman-teman saya yang mengikuti PLPG? Dalam permen yang sama pada pasal 7 dijelaskan:
Guru yang mengikuti PLPG harus menempuh:
a. pendalaman materi;
b. lokakarya (workshop);
c. praktik mengajar;
d. uji kompetensi.

Beberapa Refleksi

Dan  dari sekian banyak teman-teman guru yang telah ikut serta dalam PLPG tahun 2012 ini, saya merasa berbahagia untuk dapat mencicipi kehangatan dan membaranya teman-teman yang telah selesai mengikuti kegiatan itu, serta kembali aktif mengajar di kelas setelah lebih kurang 6 hari kerja meninggalkan kami dan kelas serta siswanya.  
  • Senang sekali Pak, kata hampir semua mereka ketika saya bertanya bagaimana pengalaman selama PLPG. 
  • Saya belajar banyak sekali Pak, Kata yang lain.  
  • Saya kembali semangat Pak, ujar lainnya lagi. Pendek kata, mereka benar-benar telah menempuh proses belajar tentang bagaimana mengajar di kelas. Membahagiakan bukan?

Saya katakan demikian karena banyak sekali momentum dan perististiwa yang disampaikan teman kepada saya dengan raut muka penuh semangat. Dan untuk mengikat itu semua dalam ingatan, saya mencoba untuk membuatnya dalam artikel refleksi ini. Semoga menjadi kenangan pengiring ke arah guru yang terus berupaya meningkatkan harga diri.

Refleksi itu antara lain adalah bagaimana temannya teman-teman yang menjadi peserta itu antaralain ada yang masih gamtek, atau gagap teknologi. Juga bagaimana mereka harus bekerja penuh semangat dan efektif karena hasil kerja harus benar-benar tuntas pada waktu tertentu, atau kejar tayang. Dan juga karena mereka dalam kelompok kerja yang berbeda kemampuan, maka diantara mereka dituntut untuk mengembangkan bagaimana mereka harus berempati.

Jakarta, 01-05 Agustus 2012.