Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

27 November 2013

Makan Malam di Toko Oen

"Itu tempat makan turis Belanda Pak. Ngak kuat saya bawa keluarga untuk makan di situ." 

Itulah komentar teman saya yang tinggal di Buring Indah, Malang, ketika ia bertanya dimana acara malam kemarin sehingga saya berhalangan datang dan bertemu dengannya. Dan saya terpaksa harus menunda pertemuan itu, mengingat sebagai orang yang baru berada di kota Malang, saya sungguh ingin tahu banyak hal yang ada di kota itu. Meski jujur, pertemuan dengan teman yang dipernalkan oleh sebuah kepentingan, untuk pertama kalinya di sebuah kamar Hotel Bumi Senyiur, di kota Samarinda pada pertengahan tahun 2007.

Kata sambutan bagi pengunjung; welcom...
Namun untuk bertemu di kota Malang, dimana ia sekarang berada bersama keluarganya, adalah sebuah sensasi dari untaian silaturahim yang, sekali lagi bagi saya, menjadi sebuah kenangan yang bersejarah. Oleh karenanya, meski barada di kota Malang tidak lebih dari 3 hari, saya mencoba 'mencuri' waktu untuk berfoto bersamanya di kota Malang itu. Atau di rumah dimana keluarganya berada!

"Turis Belanda yang datang ke Malang, mereka akan menyempatkan untuk bertandang di Toko Oen sebagai nostalgia."

Demikian pendapatnya. Saya tentu percaya benar apa yang menjadi komentarnya tentang toko ice Cream Oen yang telah ada sejak tahun 1930 itu. Karena sejak mudanya, hingga ia menyelesaikan studi Magisternya di kota itu. Tetapi tentunya saya masih perlu menggali lagi tentang toko kuno itu. Melalu liputan dari teman-teman blogger, web, termasuk ulasan istri saya yang informasinya merupakan hasil membacanya dari liputan majalah makanan langganannya. Termasuk juga seorang Belanda, Elizabeth van Kampen yang berusia 79 tahun, yang menuliskan pengalaman hidup di masa kecilnya tinggal bersama keluarganya di Malang dan Batu, dalam webnya, http://www.dutch-east-indies.com .

Sate 5 Tusuk

Lalu apa yang kami makan pada saat makan malam di rumah makan tersebut? Kami, dalam romobongan, tampaknya memesan makanan yang sama dengan pesanan makanan yang dipesan oleh tamu-tamu yang lain. Termasuk diantaranya adalah sate.  Dan karena rakusnya, saya sendiri melahap 5 tusuk sate yang ada di meja bagian kelompok kami. Meski itu berarti saya harus melanggar apa yang saya sampaikan kepada teman yang ada d satu meja untuk hanya memakan 2 tusuk sate saja masing-masingnya.
Bersama teman, saya makan begitu lahapnya.

Ada juga beberapa teman yang memesan ice cream setelah hidangan makan malam itu kami tuntaskan. Mungkin enak dan penuh kenangan. Saya tidak dapat menceritakannya. 
 
Jakarta, 27 Nopember 2013.

Menumbuhkan Semangat Menulis Siswa

Pada Rabu, 30 Oktober 2013 yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk ikut serta bersama anak-anak dalam kegiatan yang diperuntukkan untuk mereka, yaitu bertemu dengan penggiat sastra Lingkar Pena, Ibu Helvi Tiana Rosa. Acara berlangsung pada jam sekolah, dimana anak-anak yang bergiat menulis di kelas berkumpul di ruang serba guna. Mereka itu adalah anak-anak yang memang sudah menuliskan cerita yang tulisannya antara lain terkumpul dalam sebuah buku yang diterbitkan sekolah. Juga adalah mereka yang memang tertarik dengan tulis menulis.

Sesungguhnya, kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dengan mengundang Ibu Helvi, yang juga adalah sastrawan Indonesia itu, sebagai upaya biasa, yang dilakukan sebagai program kelas oleh guru Bahasa Indonesia kami. Namun agar upaya itu menjadi lebih memotivasi siswa, maka kami membuatnya dengan diheboh-hebohkan. Dan benar saja, anak-anak menjadi tertantang dan termotivasi untuk hadir dalam acara tersebut.

Membuat Heboh

Dan dari beberapa acara yang dilakukan oleh guru itu, saya semakin meyakini bahwa membuat setiap kegiatan yang dilakukan dengan cara membuat heboh itu adalah sebuah trik dan strategi. Sebuah upaya untuk memprovokasi anak-anak untuk lebih bersemangat. Untuk lebih tertantang. Dan sekaligus mereka menjadi begitu bersemangat dalam membuat tulisan tentag apa saja yang mereka bisa tuliskan sdan ungkapkan.

Seperti apa yang tertera pada sebuah papan display di kelas yang pernah saya sambangi. Dari sejumlah siswa yang ada di kelas, tidak ada seorangpun yang karyanya, dalam bentuk tulisan tangan, terpajang di sana. Dan dari semua tulisan itu, nampak sekali bagaimana anak-anak itu begitu pintar meramu dan merangkai kata menjadi sebuah narasi.

Dan nampak pula bahwa anak-anak itu telah menerapkan apa yang disampaikan oleh Ibu Helvy dalam sebuah pertemuan tersebut, agar anak-anak tidak memulai tulisanya dengan cara yang berbeda dari tulisan-tulisan yang pernah dibacanya.

Setidaknya, saya menjadi yakin dan setuju dengan apa yang menjadi upaya guru bahasa itu dalam membangkitkan semangat dan keterampilan menulis para siswanya. Karena dengan seperti itulah, anak-anak semakin bisa melakukan eksplorasi lebih luas dan dalam terhadap apa yang menjadi perhatiannya. Anak-anak menjai begitu leluasa dalam menyelami apa yang terjadi di lingkungannya. Hebat!

Jakarta, 5-27 Nopember 2013.

25 November 2013

Harga Mahal untuk Laku

Kalau dengan harga murah justru dipertanyakan  keabsahannya, leglitasnya sebagai hasil pertanian organik, maka menjadikan mahal adalah sebuah pilihannya untuk dapat disajikan di meja makan. Inilah sebuah anomali konsep dagang, yang kemudian dianut oleh Cak Slamet dan teman-teman yang ada di Kampung Organik Brenjonk, Trawas, Mojokerto. Sebuah anomali yang justru menjadi keuntungan baginya dan teman-temannya yang tergabung dalam komunitas Brenjonk itu.

Karena alasan harga itu juga, saya ketika berada dalam sebuah super market hanya mampu memboolak-balok produk organik yang terpajang tanpa tega memasukkan ke keranjang belanjaan. Itu karena harganya masih terlalu tinggi untuk saya dan keluarga. 

Beras tuton dari kampung Brenjonk.
Tetapi sebagai sebuah kesempatan untuk dapat berkunjung di kampung organiknya Cak Slamet itu bersama dengan romobongan dari berbagai tempat, membuat saya dan teman-teman untuk dapat membawa buah tangan untuk keluarga di Jakarta. Jadilah beras tuton yang saya masukkan dalam tas punggung yang sempit.

Mahal? Memang, dalam kemasan plastik yang telah dipadatkan, dengan berat 2 kilogram dan harga 35 ribu rupiah, menjadi pilihan saya. Dan ini sebuah latihan lidah bagi kami sekeluarga untuk merasakan bagaimana rasa beras tuton yag masih penuh dengan kulit ari beras. Gurih, beda, dan mengenyangkan meski dengan suapan yang tidak terlalu banyak porsinya. Mungkin itu yang menjadi ungkapan pertama saya.
Jakarta, 24-25 Nopember 2013.

Taksonomi Bloom Masih Berlaku?

"Selamat hari guru untuk teman-teman guru dan siapa saja yang berkidmat untuk dunia pendidikan di tanah air!"

Tidak terlalu istimewa jika kalaimat itu saya sampaikan kepada diri saya sendiri. Bukankah hari ini adalah hari guru? Dan saya dari ruangan kantor mendengar bagaimana hebohnya anak-anak didik kami yang masih duduk di bangku SD meniupkan terompet sebagai peringatan hari guru. Dan rupanya, setelah terompet tersebut ditiupnya, kue tart yang telah disiapkannya pun di potong dan dibagi-bagikan. Tentunya ini atas peran serta guru menyampaikan informasi kepada anak-anak didiknya tentang hari istimewa ini. 

Taksonomi Bloom Masih Berlaku?

Khusus untuk mengingatkan kepada saya pribadi terhadap hari guru ini, saya telah mencatat atas  teman yang telah menjadi mantan. Teman saya itu adalah mantan pegawai yang pernah menjadi pejabat kepala sekolah. Tentunya tidak baik jika saya sampaikan disini sekolah mana yang pernah dikepalainya. Dan Anda, pasti akan terjengkang karena kaget dan karena terlalu tidak percayanya, bila saya sebut sekolah tersebut.

Yang jelas, saya sungguh kagum atas apa yang telah dicapainya. Karena saya sangat yakin bahwa untuk jabatan yang pernah dipegang teman saya itu, penuh persaingan. Dan selain persaingan, dalam mengarunginya pun akan penuh onak dan duri. Atau kalau dalam istilah Paul G Stolz dalam Kecerdasan Adversitasnya, sebagai tantangan. Dan teman saya ini adalah tipe untuk climber. Dahsyat bukan?

Tiga domain tujuan pendidikan dalam Kurikulum 2013. Menerjemahkan Taksonomi Bloom.
Alhasil, dalam catatan saya ini yang akan saya jadikan hikmah adalah bagaimana sahabat itu berpendapat tentang praktek pendidikan yang begitu mengagetkan saya. Padahal, teman saya itu adalah pelaku utamanya. 

Belakangan saya tidak tahu lagi apa yang menjadi motivasi sehingga ia mengemukakan dalam sebuah diskusi kecil bahwa pembelajaran yang dilandaskan kepada tujuan pendidikan Benjamin S Bloom sudah tdak berlaku lagi. Sudah kuna. Begitu katanya setelah saya sampaikan kepada forum agar teman-teman guru di lapangan benar-benar memahami  taksonomi Bloom itu, untuk dapat menjadi cara berpikir dan cara bertanya guru kepada siswanya saat berinteraksi. 

Lalu, bagaimana pula dengan taksonmi Bloom ini dalam realita pendidikan di sekolah pada hari ini? Benarkah tidak berlaku lagi sebagaimana pendapat teman saya yang adalah mantan kepala sekolah hebat itu?

Inilah hikmah yang harus menjadi pelajaran untuk saya. Utamanya karena saya adalah guru. Dan hari ini adalah hari guru. "Selamat Hari Guru."

Jakarta, 25 Nopember 2013.

24 November 2013

Tutup Buku, Buka Tarub

Tutup buku dan buka tarub, adalah sebuah ungkapan yang baru pertama kali saya mendengarnya, dari seorang yang memiliki pemikiran maju di sebuah desa yang lebih kurang berjarak 15 menit dari posisi sebuah Candi Singosari, Malang, Jawa Timur. Sebuah lokasi yang dikelilingi perkebunan tebu. Tidak ada telepon seluler dari kami yang menjadi tamu di kediamannya yang mengindikasikan adanya sinyal. Semua blank! Sebuah
Tangan terampil Ibu Laila ketika mengajari kami untuk menyusun perca dalam motif kawung di rumahnya.
pengalaman yang baru lagi lagi bagi saya dan para pengunjung yang lainnya.

Apa Maksudnya?

Mesin jahit, mesin obras, hibah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Malang kepada kelompok Ibu Laila.
Begitu yang kami tanyakan kepada siempunya rumah, Ibu Laila, yang usianya masih 25 tahun dengan memiliki tiga putra. Dimana anak tertuanya sedang menempuh pendidikan di kelas 6 SD. Jadi, usia berapa Bu Laila melahirkan anak ertamanya itu? Setelah lulus dari bangku sekolah dasar. Maka itulah makna dari ungkapan tutup buku buka tarub. 

Karena begitulah budaya di daerahnya. Anak-anak perempuan akan segera menutup buku sekolahnya ketika ia telah lulus sekolah dasar atau SMP paling tinggi. Dan akan memesan tarub atau tenda untuk sebuah pesta pernikahan.

Ada Ikhtiar Laila 

Rombongsn kami meninggalkan halaman rumah Ibu Laila.
Karena rasa inginnya untuk maju,  dalam sebuah pengajian Fatayat, ia belajar tentang menjahit kain perca dari seorang pengusaha garmen, yang juga adalah pendiri Pelangi Nusantara, Ibu Yanti. Dari perkenalan itulah Ibu Laila mencoba untuk memberikan kesibukan baru bagi teman-temannya yang ada di desanya, belajar mencipta marajut kain perca menjadi sebuah karya berharga. 

Siapa sangka dari tanggannya dan juga tangan teman-temannya ini melahirkan karya kain perca yang indah dan layak sekali untuk digunakan oleh kaum ibu yang berkantor di Jalan Thamrin, Jakarta?

Jakarta, 24 Nopember 2013.

Harga untuk Handmade

"Mengapa harganya mahal?"

Demikian satu dari kami saat memandang dan membolak-balik barang hand made di daerah Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Ini karena tas yang dipilihnya, dan tampak begitu menarik hatinya namun ketika bertanya tentang harga, ternyata tidak murah-murah amat. Maka terlontarlah apa yang menjadi sifat dasar pembeli.

Ini adalah sebuah pengalaman baru bagi saya melihat bagaimana kain-kain perca yang merupakan sisa industri dari perusahaan garmen besar, ditampung di sebuah perkumpulan ibu-ibu, lalu diolah menjadi barang mewah. Itu berupa dalam bentuk tas, dengan berbbagai model, ukuran, dan jenisnya, juga barang art and craft yang aduhai.

Sarung bantal untuk sofa. Meski dari perca, luar biasa bagusnya!
Sebuah kegiatan yang mampu menyulap seorang yang tidak terampil sama sekali menjadi seorang pengusaha, yang berkumpul dalam perkumpulan koperasi dengan tokoh utamanya adalah Ibu Yanti. Dialah pendiri sekaligus penggerak perkumpulan Pelangi Nusantara, atau Pelanusa, di Singosari tersebut.

Belum berhenti disitu, maka pada kunjungan kami berikutnya, dimana kami diajak ke lokasi perkumpulan ibu-ibu yang memakan waktu perjalanan lebih kurang 15 menit dari lokasi awal yang berdekatan dengan Candi Singosari, dengan melalui jalan beraspal tidak sempurna diantara rerimbunan pohon tebu, kami menemukan jawabannya bagaimana tas ibu-ibu model kawung dibuat dengan begitu rumit. Hand made lagi! 

Ini karena ada diantara kami yang benar-benar mencoba mengikuti bagaimana ibu-ibu warga desa itu mengkait dan menganyamkan perca-perca sebanyak 250 lembar dengan ukuran persegi yang sama dengan begitu rumit, teliti, dan sabar!

"Layak untuk berharga mahal!"

 Tas dengan model kawung. Luar biasa rumit saat membuat.
Begitu akhirnya seorang teman yang lain memberikan penilaian. Meski ia hanya membeli satu tas dengan motif kawung untuk istrinya.

Jakarta, 24 Nopember 2013.

Kesamaan Kue Balok di Bandung dengan Kue Bika di Padang Panjang

Ketika melihat bagaimana kue balok yang ada di Rumah Makan Bancakan Bandung saat dibuat, ingatan saya langsung di sebuah tempat pembuatan kue yang cara membuatnya serupa, yaitu di Padang Panjang, Sumatera Barat. Namanya kue Bika, yang dimasak dengan cara memberikan panas api dari kayu bakar yang ada di dalam tungku yang bawah dan di atas adonan yang telah disiapkan. Ini tidak lain karena cara memasak dari kedua jenis panganan tersebut sama. Yaitu menggunakan panas api bawah dengan api atas.

Tatakan bakar dengan panggangan api dari bawah dan dari atas.
Namun demikian, memang citarasa dari kedua kue tersebut jauh berbeda. Kue balok yang ada di Bancakan Bandung itu serupa sekali dengan kue pancong yang sering kami konsumsi di rumah pada saat saya kecil di desa Sritejokencono, Punggur. 

'Wajah' kue balok ketika panggangan atas diangkat. Mekar manawan menarik selera.
Sedang kue bika yang saya temui di kota Padang Panjang, berupa hasil masakan dari adonan tepung dengan campuran suwiran kelapa setengah tua. Yang menghasilkan pagangan jauh berbeda dari apa yang saya saksikan dan pesan di Bandung tersebut. Namun dari cara memasaknya tersebut, saya disuguhi sensasi bagaimana tradisi memasak yang ditemukan oleh para pendahulu. Sebuah teknik dan teknologi tepat guna maha pintar.

Jakarta, 24 Nopember 2013.

Bercocok Tanam di Teras Rumah

Apa yang disampaikan oleh Cak Slamet dengan kemampuan kampung halamannya untuk menghasilkan produk pertanian organik, adalah sebuah kenyataan yang memang terlihat dari sejak kami memasuki gang perkampungan itu. Semua dibuktikan meski memiliki lahan pertanian yang tidak terlalu luas. Beberapa petakan green house yang berukuran 5 meter kali 10 meter tampak terhamper di beberapa sudut pekarangan yang ada di samping rumah warga.

Dan tidak itu saja. Bahkan untuk keterbatasan lahan yang ada, tidak sedikit saya menyaksikan bagaimana labu parang, labu siam, dan pare, begitu subur yang dengan buah yang lebat meski hanya barada di pagar-pagar pekarangan para petani tersebut. Mengagumkan!

Apa yang saya saksikan pada saat mengunjungi kampung organik Brenjonk, di Trawas, Mojokerto itu memberikan motivasi yang sangat kuat bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan hasil-hasil pertanian tersebut tidak harus menggantungkan diri kepada lahan pertanian yang berlimpah. Namun di teras rumah sekalipun, tanaman terung pun mampu berbuah dengan relatif baiknya. 

Dengan relealitas itu, semakin membulatkan tekad saya, bahwa untuk menjadi petani, atau memiliki produk pertanian yang sehat dan cukup, maka yang dibutuhkan adalah komitmen untuk bekerja,dan cerdas dalam memanfaatkan sinar matahari yang berlimpah di negara kita ini.

Jakarta, 24 Nopember 2013.

Apakah tidak ada Petani di Masa Depan?

Ada pernyataan yang menggelitik saya dan semua pengunjung ketika Cak Slamet, pengelola Brenjonk Kampung Organik di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur beberapa waktu lalu saat kami dari berbagai instansi dan wilayah datang di kampung itu. Pernyataan sederhana, tetapi menjadi sebuah realita yang secara tidak disadari akan menenggelamkan negeri kita yang agraris (?).

Di sela-sela presentasinya itu, Cak Slamet mengungkapkan fenomena bahwa tidak ada, atau paling tidak sangat sedikit, para petani yang ada di desa-desa di Indonesia ini yang mempunyai cita-cita agar profesinya sebagai pengolah lahan pertanian yang dimilikinya kembali dilanjutkan oleh keturunannya, anak-anaknya. Para petani itu mendorong anak-anak mereka untuk bersekolah setinggi dan sebaik mungkin agar nanti jangan seperti dia. Tidak saja nasibnya yang tidak seperti sia, tetapi juga profesinya.

Alhasil, jika pada suatu masa nanti tidak akan ada anak-anak muda di desa-desa yang pergi ke lahan pertanian yang dimiliki untuk diolah. Bertani! Dan fenomena ini sudah sering diungkap oleh beberapa pemerhati. Sebagaimana fenomena penggangguran yang diakibatkan oleh anak-anak muda yang belum diterima sebagai pegawai di kota, namun juga tidak mempu lagi untuk pergi ke tanah pertaniannya guna mengolah sebagai kegiatan profesi. Sebuah pernyataan sederhana yang begitu akan nyata terlihat dalam beberapa waktu yang akan datang. 

Dan atas kunjungan kami di kampungnya itu, kami justru menyaksikan bagaimana para petani yang minus lahan pertanian untuk dioleh, mampu bergerak mengikuti zaman, dan sekaligus eksis dalam menghasilkan produk pertanian yang terbebas dari bahan kimia dan cengkeraman dari raksasa industri pertanian. Yaitu dengan menghasilkan produk pertanian organik. Hebat!

Jakarta, 24 Nopember 2013.

Jika Lalat Ogah, Mengapa Kita Doyan?

Apakah kita akan melahap sayuran yang ulat pun tidak mau menyantapnya? Itulah esensi dari apa yang disampaikan oleh Cak Slamet, Founder dari kampung organik Brenjonk yang ada di daerah Trawas, Jawa Timur, tentang sayuran organik, sayuran yang sejak pembibitan, penanaman, perawatan, hingga dipanen, tidak menggunakan atau terhindar dari bahan kimia. Sebuah paradigma yang saya dapatkan dari kunjungan kami di desa tersebut beberapa waktu lalu.

Kunjungan yang kembali membongkar paradigma kami etntang bagaimana hidup dengan menyantap makanan sehat, atau setidaknya memakan makanan yang tahu asal-usulnya. Dengan begitu tidak sembarangan meski apa yang dilahapnya itu adalah makanan bervitamin dan berprotein. Sunguh.

Ingat bagaiman Dr. Tan Shot Yen yang menjelaskan dengan begitu panjang lebar tentang pola makan dan paradigma makanan, sebagaimana yang beliau urai dalam bukunya yang eksentrik, sekaligus revolusioner bagi saya jika dilihat sebagai dokter, yang berjudul "Saya Pilih Sehat dan Sembuh".

Sebuah pengalaman yang begitu sederhana untuk dipahami dan dilaksanakan di rumah kita masing-masing tentang bercocok tanam, sebagai wujud aktual bagi kita semua untuk terus melestarikan sebagai negeri agraris, negeri kaum petani. Namun begitu, juga tidak mudah untuk dapat memulai. Namun setidaknya itulah yang saya dapatkan dalam kunjungan di Trawas tersebut.

Dan untuk memulainya, saya selalu teringat ringkasan pertemuan itu dalam Cak Slamet, "jika lalat saja ogah memakan daunnya yang gemuk dan begitu hijau, mengapa saya menyantapnya?"

Sebuah kalimat tantangan bagi saya untuk begitu cermat dalam memilih makanan. Terutama untuk menghindari makanan yang berasal dari tanaman yang mulai dari benih, tanam, dan rawatnya melibatkan kekuatan industri. Sebuah tawaran yang memang tidak akan mudah untuk dipilih dan dijalankan.

Jakarta, 18 Nopember 2013

11 November 2013

Ada Kutu di Kepala Siswa

Beberapa waktu lalu, saat saya melihat data kesehatan peserta didik yang disimpan di ruang UKS,  saya mendapati data isian kesehatan yang yang telah diarsipkan oleh suster UKS dengan rapi. Dari data-data yang saya lihat, saya menemukan hasil yang baik. Tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan dari data yang terkumpul dari sebuah isian tersebut. Isian yang dikirim sekolah dan kemudian dikembalikan ke sekolah itu telah tersusun berdsarkan kelas. 


"Semua hasilnya baik suster. Bagus ini." Komentar saya ketika mencoba secara acak membuka-buka lembran isian kesehatan tersebut.


"Tapi bagaimana dengan realitas yang ada? Apakah suster dan guru juga melakukan cek fisik terhadap anak-anak ini? Maksudnya apakah data ini saja yang kemudian menjadi data kesehatan anak-anak untuk kemudian dikirim ke Puskesmas, ataukah suster juga melakukan cek lapangan untuk mengetahui secara fisik kebenaran dari data ini?" Tanya saya selanjutnya.



"Itu yang masalah Pak. Ternyata tidak semua data yang ada di daftar isian tersebut memberikan gambaran nyata tentang kesehatan anak." Jelas suster UKS kami.

"Kondisi kesehatan yang mana yang paling tidak sinkron antara kondisi badan dengan isian yang mereka kumpulkan?" Tanya saya lebih lanjut.

"Mayoritas adalah kondisi kesehatan rambut dan telinga." Jelas suster.

Kuesioner kesehatan yang terkumpul di ruang UKS.
"Bagaimana dengan kondisi rambut dan kondisi telinga yang menjadi temuan suster di lapangan setelah mengecak kondisi nyata dari anak-anak itu?" Tanya saya.

"Untuk rambut, banyak kita temukan rambut anak-anak yang kutuan. Banyak diantara mereka bahkan dengan telur kutu. Ini untuk siswa atau juga yang terutama siswi. Demikian juga dengan kesehatan telinga,  kondisi yang kurang baik pada bagian telinga adalah kotor pada lubang telinganya dan juga pada daun telinganya." Kata suster kami.

Bagaimana Orangtua tidak Tahu?

Di ruangan, saya merenungi data-data yang disampaikan oleh suster sekolah kami. Bagaimana mungkin anak-anak yang cakep dan cakap itu seperti tidak terurus oleh lingkungan keluarganya. Ataukah memang begitu sibuknya orang-orang yang ada di rumahnya sehingga kondisi kesehatan pada diri anak-anak itu menjadi terabaikan. Apakah ayah dan ibu dari anak-anak yang kutuan itu tidak pernah memeluk anak-anak mereka sehingga mereka tidak 'mencium' sesuatu yang tidak beres pada tubuh putra atau putrinya?

Lalu mengapa juga harus ada perbedaan antara apa yang terdapat  pada daftar isian dengan kondisi lapangan? Apakah para orangtua anak-anak itu memberikan kewenangan putra-putrinya untuk mengisi daftar isisan itu degan 'yang baik-baik saja'?

Dalam catatan ini tidak ada keinginan saya selain menyampaikan apa yang saya lihat. Dan saya yakin kalau kondisi ini bukan monopoli di sekolah saya...

Jakarta, 11 Nopember 2013.

08 November 2013

Cerita Guru tentang Calon Siswa Kami

Dia tampak sebagai anak yang Luar biasa cerdas. Demikian teman kami yang bertugas melaluia observasi kepada seorang calon siswa kami sepanjang hari yang lalu. Sebuah komentar yang sungguh membuat saya pribadi ikut kagum. Dan sekalgus berkeinginan untuk melihat secara langsung tentang siswa yang diceritakan tersebut.

"Dari mana íbu melihat lalu kemudian menyimpulkan bahhwa calon itu cerdas? Apa yang menjadi indikator dari kesimpulan íbu?" Tanya saya lebih lanjut. Ada rasa ingin tahu yang begitu besar untuk menjadi bahan belajar saya tentunya. Pertanyaan yang didorong oleh sebuah indikator cerdas. Apa saja indikator itu sehingga begitu yakin memberikan klasifikasi cerdas pada seorang calon siswanya.



"Dari bentuk komunkasinya yang begitu mengagumkan. Belum pernah saya selama ini melihat anak seusia TKB mampu menggunakan bahasa verbal dan tubuh dalam berkomunikasi di ranah sosial yang begitu mengagumkan. Dan anak itu memberikan pengalaman baru buat saya Pak." Jelas guru itu kepada saya.



"Maksud Ibu dengan belum pernah? Dengan komunikasi? Apa itu?" Desak saya labih lanjut.


"Anak itu, dihadapan saya yang sedang mengobservasi mengatakan kepada Bundaya bahwa sekolah ini yang dipilihnya. Dan kata yang disampaikan kepada Bundanya adalah; Bunda, ini pilihan aku ya. Bunda tidak bisa menolak!, Jadi ini adalah keputusan yang belum pernah saya dengar  selama ini dari seorang calon siswa di TK Pak." Jelas Ibu guru itu.

Dan dari sekilas cerita guru tersebut, saya benar-benar ikut serta menantikan kedatangan calon siswa kami itu untuk segera bergabung dengan teman-temannya di TK dimana kami sebagai guruna. Dan kami yakin, ini adalah lahan baru bagi kami untuk tumbuh dan belajar. Semoga!

Jakarta, 31 Oktober-8 Nopember  2013.

Sensitifnya Pilihan Kata 'Senior'

Ini bunyi SMS teman kepada saya:
"...dari diskusi dengan nara sumber kemarin sore, maka pendidik yang kita perlukan untuk masuk sebagai bagian dari Tim Pengembangan Sekolah adalah mereka yang energik, visioner, berbahasa Inggris, rela bekerja di luar jam kerja, komitmen untuk menuntaskan tugas, dan ingin belajar!"

Sebuah bunyi SMS yang naratif sekaligus merupakan bentuk deskriptif untuk sebuah profil. SMS yang sebelumnya didahului dengan diskusi matang tentang pembentukan Tim Pengembangan Sekolah. Sebuah semangat yang bertujuan unk membuat rumusan baru bagi sekolah agar perjalanan pertumbuhannya menjadi terus akseleratif.  Namun maksud baik itu harus dilukai manakala seorang nara sumbernya mensyaratkan bahwa yang bisa menjadi bagian dari Tim adalah mereka yang merupakan guru junior. Sebuah pilihan kata yang pada akhirnya terdeskripsikan sebagaimana yag tertuang dalam SMS kawan saya itu. 

Energik, Visioner, dan Berbahasa Inggris

SMS yang merupakan prasyarat bagi personil yang akan masuk menjadi anggota tim pembaharuan sekolah itu saya terima begitu diskusi penyamaan visi dan target bagi sebuah tim berkahir. Dan dari hasil diskusi itu, kami seperti menemukan sosok siapa yang harus masuk dalam tim. Dan tanpa berpikir panjang lebar, sosok itu telah kami terima dalam bentuk SMS. Bukan sosok atau status yang menjadi sorotan dalam pesan pendek itu, tetapi lebih sekedar syarat atau indikator. Dan itu cukup memberikan kami panduan untuk menunjuk orang yag dimaksud. Karena prasyarat yang ada itu, maka tidak banyak dari indikator yang diingini tersebut nempel pada salah satu sosok.

SMS itu juga sekaligus menjungkirbalikkan pesan sebelumnya agar sosok yag menjadi anggota tim adlah mereka yang masih dalam posisi sebagai guru junior. Mengapa bukan guru senior? Karena dikawatirkan dengan guru senior adalah intensitas kerja yang spartan kurang bisa mengikuti. Hal ini karena konsultan pengembanga sekolah adalah mereka yang bergelut dalam pengembangan organisasi no kependidikan.

Namun dengan syarat yang ada dalam SMS tersebut, sudah cukup bagi kami untuk memilih kandidat yang diinginkan. Dan ini, benar-benar mengahapus klasifikasi senior-junior. Karena bagaimana pun cara melihatnya, dua istilah itu tetap saj sensitif untuk menjadi sebuah kerjasama yang sinergis. Sungguh!

Jakarta, 7 Nopember 2013.

07 November 2013

"Beda Casing Saja Pak."

Akhir pekan terakhir bulan Oktober yang alu, saya harus pontang-panting berada dalam dua acara yang sama-sama penting, yang harus saya hadiri. Acara yang mengharuskan saya berada di dalamnya untuk sepenuhnya adalah kegiatan pelatihan guru-guru di Cipete. Pelatihan tentang bagaimana 'menjual diri'. Lebih kurang seperti itulah pelatihan yang menitik beratkan kepada keterampilan berkomunikasi yang mengundang teman sebagai tutor dalam pelatihan yang berlangsung sejak pukul 08.00 hingga berakhir sore hari tersebut.

Dan alhamdulillah, saya dalam acara tersebut nyaris full time. Dan ini didorong rasa inginnya saya belajar setelah sekian lama saya berkutat dalam masa yang rutin. Sebagai hal yang saya ingin ketahui tentang bagaimana berkomunikasi secara simulasi yang disuguhkan dalam pelatihan sepanjang hari itu, saya rasa mendapatkan apa yang saya harapkan. 

Acara berikutnya yang saya juga harus hadiri adalah memenuhi undangan perkawinan putri seorang teman sekolah di sebuah aula masjid yang terletak lebih kurang 8 kilo meter dari lokasi pelatihan saya tersebut. Inilah yang membuat saya harus pontang-panting.

Karena meski jarak tidak terlalu jauh, namun situasi jalan juga menjadi perhitungan. Maksudnya, kita harus memilih nyaman atau cepat. Tanpa bisa memilih kedua kondisi tersebut secara bersama-sama.  Itulah maka saya memilih cepat. Mengingat ada acara yang harus tetap berjalan dan saya harus juga tiggalkan. Oleh karena bermaksud untuk tidak meninggalkan acara pelatihan terlalu lama, maka naik ojeg dan bajaj menjadi pilihan saya untuk berangkat dan pulang.

"Beda Casing Saja Pak."

Karena kondisi Jakarta saat itu diguyur hujan, maka naik bajaj menjadi pilihan. Dan bapak pengemudi bajaj itulah yang merumuskan bagaimana perilaku para driver dalam berkendara. Anehnya memang, selama perjalanan yang tidak terlalu jauh itu, bajaj kami menjadi bahan olok-olok para pengendara lain. Apakah kendaraan roda dua atau roda empat.  Dan dari berbagai merek.

Dan terakhir kali ketika mash juga ada mobil yang seharga setengah milyaran masih juga menyodok bajaj biru dimana saya menyewanya, si tukang bajaj itu berkomentar sebagaimana judul catatan saya ini; "Beda casingnya saja kan Pak? Kita yang antri di barisan tetap saja masih disodok dari trotoar. Jadi bukan hanya supir bajaj saja Pak  yang kelakuannya blingsatan di jalanan."

Jakarta, 3 Nopember 2013.