Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

29 August 2009

Belajar Menjadi

Senin, 31 Agustus hingga Rabu, 2 September 2009, siswa SD Islam TUGASKU menyelenggrakan pemilihan Ketua Student Council (SC). Ada 5 kandidat ketua yang akan dipilih oleh warga sekolah, dari siswa kelas 1 hingga kelas 6 yang berjumlah 450 siswa. Ini akan menjadi peristiwa berharga bagi warga sekolah. Dan keberhargaan tersebut terutama terletak pada prosesnya, selain juga pada hasilnya.
Menyenangkan bagi pemilih dan juga bagi yang dipilih. Dan tentunya bagi tim sukses masing-masing kandidat. Termasuk bagi para orangtua siswa yang mengetahui hajatan putra-putrinya.
Meski peristiwa ini tidak akan menjadi bagian dari penilaian guru terhadap siswanya, dimana hasil penilaian tersebut nantinya akan menjadi bagian dari nilai rapor siswa, tetap saja ini adalah peristiwa yang menggairahkan. Bagi penilih, ini adalah bagian dari kontribusinya untuk memberikan suara bagi terpilihnya Ketua SC tahun 2009/2010 dengan cara mencontreng. Dan bagi kandidat, ini saatnya mereka tampil di kertas pemilih. Dan bagi yang mendapat suara terbanyak, akan menjadi lebih dahsyat lagi.
Dan untuk itulah, saya mencatat ini sebagai bagian dari sejarah pendidikan budi pekerti untuk belajar menjadi. Yaitu belajar menjadi pemilih yang baik. Baik jika kandidat yang dipilihnya akan menjadi Ketua terpilih, yang kemudian akan memiliki rasa syukur dengan tetap memberikan rasa hormat kepada teman yang menjadi pesaingnya. Ataupun ketika kandidat yang dipilihnya tidak menjadi pemenang, yang kemudian akan dengan mudah dan penuh kesadaran memberikan kata selamat. Inilah pelajaran menjadi pemilih yang baik.

Belajar menjadi orang yang dipilih pasti lebih berat dan lebih tinggi tingkatannya. Ketika namanya diumumkan sebagai pemenang, atau yang berarti pula adalah sebagai Ketua SC, ia harus dengan penuh keikhlasan mengucapkan terima kasih kepada teman dan kandidat lain yang tidak terpilih sebagai Ketua. Sedang sebagai pekalah, ia juga akan mudah dan tulus langsung menjabat tangan sahabat yang terpilih. Tidak memasang muka tidak enak. Atau bahkan tidak pura-pura tidak melihat.

Dan dari peristiwa belajar menjadi tersebut, saya mengucapkan kepada seluruh warga SD Islam TUGASKU akan keberhasilannya dalam melakukan proses belajar itu. Untuk itulah, bagi saya, tidak ada waktu yang terbuat dalam melakukan proses belajar. Meski kegiatan tersebut tidak menjadikan buku teks sebagai bahan pembelajaran...
Slipi, 29 Agustus 2009.

18 August 2009

Tinggalkanlah Jejak


Seorang teman memberitahukan kepada saya bahwa, dia memutuskan untuk berhenti menjadi kepala sekolah setelah selama ini berjuang untuk bisa seiring bersama dengan pengurus yayasan dimana sekolahnya bernaung. Berhenti, karena dalam keseiringan selama ini ada poin-poin ideal yang harus ia kalahkan demi tercapainya kata seiya. Berhenti, ketika situasi dan kondisi ideal yang ia rasa korbankan itu tidak lagi mungkin menjadi tersingkir. Maka keputusan itu menjadi keputusan akhir dalam sebuah kerjasama.

Mengapa berhenti menjadi pilihan? Tanya saya mencoba menggali informasi.
Saya sudah tidak kuat lagi. Jawab karib saya. Saya tidak lagi mungkin mengajukan pertanyaan. Saya hanya menunggu kalimat apa lagi yang akan dia sampaikan kepada saya.

Dan ketika dalam diam saya saat menyimak apa yang dia utarakan, banyak letupan kecewa keluar dari lisannya. Banyak. Banyak sekali rasa kecewa yang sesungguhnya menjadi ganjalannya selama ini untuk bisa dan terus bekerja dan memimpin lembaga yang menjadi amanahnya. Saya tetap menyimak. Hingga akhirnya saya sampaikan sesuatu setelah karib saya ini 'menurun'.

Jadi apa yang mungkin dan barangkali harus saya lakukan? Saya mencoba untuk menawarkan diri. Menawarkan bantuan yang mungkin bisa dan sanggup saya lakukan.

Apa komentar Pak Agus? Dia datar saja menyampaikan permintaan tersebut. Seolah tidak menginginkan jawaban dari saya. Maka saya coba sampaikan pertanyaan saya.

Sudah berapa lama Anda kuat dalam kondisi demikian? Dia tidak menjawab. Dan memang saya tidak memerlukan jawabannya. Kita saling memahami bahwa ia berada di posisinya tersebut nyaris 2 semester.

Sudah berapa hal yang Anda lakukan untuk sekolah Anda tersebut sepanjang masa jabatan yang kurang dari dua semester tersebut? Saya ajak ia berpikir karya dalam rentang waktu kerjanya.

Pernahkah Anda pikir bahwa dalam rentang kerja Anda tersebut orang lain masih mampu menghilangkan jejak Anda? Saya mengajaknya bermain analisa tentang rekam jejak yang telah ia ikhtiarkan.

Pernahkah pikiran itu berlanjut; Kalau demikian, maka buat jejak Anda itu membekas dalam hingga pihak lain terlalu sulit menghapus jejak Anda. Karena itu adalah rekam jejak yang telah Anda tinggalkan. Jadi jika jejak yang ada masih terlalu mudah untuk dihapus, maka teruskanlah untuk membuat dan meninggalkan jejak sejarah bagi sekolah yang menjadi amanah Anda itu. Jangan mudah mengalah dengan apa yang tidak sesuai dengan situasi ideal yang menjadi impian kita.
Saya menunggu reaksinya. Meski terus terang apakah ia tetap memilih pilihannya untuk mundur atau tetap lanjut. Namun malam hari setelah waktu Isyak, saya menerima sms dari sahabat saya itu. Bunyinya: Terima kasih pencerahannya. Saya akan teruskan amanah ini dengan modal kekuatan; maju terus...



12 August 2009

Pulang Cepat


Saat sekolah dulu, saya menyukai ketika sekolah tiba-tiba memulangkan kita lebih awal dari jadwal yang semestinya. Beberapa alasan waktu itu adalah; ada jam pelajaran kosong, oleh karenanya jam pelajaran yang paling akhir kita majukan sehingga kita bisa pulang lebih awal.

Juga pernah ada alasan kita pulang cepat ketika guru akan mengadakan rapat. Mungkin ada masalah yang timbul secara mendadak sehingga rapat gurupun harus digelar. Maka kita sebagai siswa dipulangkan. Seperti rapat yang tidak terjadwal.

Hal yang sama, juga pernah saya alami. Tentu bukan lagi sebagai siswa. Tetapi sudah menjadi guru. Ya saat awal-awal menjadi guru pun, saya mengalami hal yang sama. Yaitu memulangkan siswa lebih awal. Tentu bersama seluruh guru di sekolah saya dan atas instruksi pejabat yang berwenang yaitu kepala sekolah.

Namun juga ada saat dimana saya masih bersekolah di sekolah swasta di Purworejo. Sekolah yang terkenal disiplin. Demikian masyarakat menjuluki sekolah saya itu. Termasuk orangtua saya, sehingga memasukkan saya di sekolah itu.

Dimana kami sebagai siswa, nyaris tidak pernah mendapat kesempatan pulang cepat atau pulang lebih awal dari jadwal normalnya. Bahkan pernah ketika Ujian Nasional pun kami yang kelas 1 dan 2 tidak diliburkan. Kami dikumpulkan di aula sekolah untuk belajar sesuatu yang penting. Dan yang langsung mengajar kami pada saat itu di sepanjang pelaksanaan UN adalah kepala sekolah. Ia mengajari kami antara lain tentang pendidikan reproduksi, keterampilan komunikasi dan bahkan menyanyi.

Belakangan, terutama setelah pemahaman tentang bagaimana keamanan siswa meningkat, saya mulai tahu tentang bagaimana implikasi keamanan siswa saat siswa dipulangkan lebih awal dari jam biasanya. Terutama pada sekolah-sekolah yang komunitasnya terdiri dari kalangan tertentu. Baik sekolah negeri ataupun sekolah swasta. Seperti pada masa awal reformasi, dimana kondisi jalan yang tidak menentu dan kadang membuat khawatir para orangtua siswa tentang keamanan putra-putrinya. Sehngga memaksa kita sebagai pelaku di sekolah berpikir kapan sekolah pulang cepat atau pulang normal.

Dan pada masa itulah kami membuat SOP tentang bagaimana memulangkan siswa lebih cepat dari jadwal normalnya. Ada argumentasi yang kuat, ada tahapan yang mesti dilalui, ada sesuatu yang mesti disiapkan dan seterusnya hingga memang keputusan tersebut dapat dilaksanakan.

Prinsipnya, ketika kita memulangkan siswa lebih cepat dari jadwal yang ada, maka informasi tersebut harus sudah terkomunikaikan kepada seluruh komunitas sekolah paling tidak satu jam sebelumnya. Sehingga tidak menghalangi atau menghambat penjemputan.

Namun demikian, beberapa waktu lalu saya bertemu dengan alumni. Dan ketika saya bertanya: Ada kegiatan apa kok sesiang ini sudah sampai disini? Dia menjawab: Pulang cepat Pak. Katanya gurunya mau rapat.

Jadi rupanya masih ada di jaman sekarang ini, sekolah yang rapat guru mendadak dan bahkan tidak terjadwal...

Jakarta, 12 Agustus 2009.

10 August 2009

Lahan Belajar Sabar

Pagi ini saya harus mengisi bensin terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan. Lokasinya ada di Jalan Sisingamangaraja di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta. Saat itu waktu menunjukkan pukul 06.25. Selesai urusan bensin, kami melanjutkan perjalanan.

Namun ada yang aneh ketika kami melaju kearah pintu keluar SPBU, pada saat yang sama juga ada kendaraan yang berhenti persis di pintu keluar dan menutup jalan kami. Semua orang pasti ngerti bahwa berhenti di pintu keluar adalah sesuatu yang tidak benar. Apa lagi dalam waktu yang sama ada kendaraan yang akan keluar. Saya mengalah dan berhenti, tanpa menyalakan dim dan membunyikan klakson.

Keluar dari pintu depan kiri seorang Bapak-Bapak yang lebih kurang berusia 47 tahun. Melihat tampilannya, saya menggolongkannya sebagai orang yang tergolong sukses di pekerjaan. Dan tentunya, sarjana juga lulus.

Begitu Bapak itu turun, mobil mundur lagi lalu ambil kanan dan melaju. Saya pun demikian mengikutinya melaju. di dalam kendaraan kami, saya istri dan anak ambil nafas dan terjadilah diskusi.

Mereka ngak tahu kalau kita mau keluar?
Iya... ya, toh mereka cuma mau nurunin majikannya saja, kok nutupi jalan kita?
Mestinya kan dia bisa berhenti sebelum pintu keluar? Mengapa malah justru nutupi jalan kita?

Saya pribadi, melihat dan mengalami atau menjadi korban sejenis ini relatif sering. Dan karenanya saya memiliki hepotesis bahwa karakter sebagian dari kita sekarang ini tidak peduli dengan orang lain ketika berkendara di jalan raya. Tidak peduli apakah perilaku berkendaranya tersebut akan menimbulkan kerugian atau potensi mendatangkan bahaya atau akan menambah pekerjaan bagi orang lain.

Dan tidak peduli apakah mereka yang berperilaku tidak peduli itu adalah lulusan SD, SMP, SMA, atau bahkan Sarjana sekalipun. Yang berarti bahwa, level pendidikan mereka itu tidak (baca: belum) berimplikasi kepada cara melihat orang lain saat berkendara di jalan raya.

Dan tidak peduli pula apa jenis, macam dan model kendaraan yang dikendarainya. Apakah yang berasal Eropa atau pun yang Asia. Sama saja. Sekali lagi saya katakan, sebagian dari kita. Sesekali mungkin juga saya pelakunya...

Dan perilaku tidak peduli itu juga bermacam-macam bentuknya. Nyodok, tancap gas di jalanan yang padat, mendahului sembarangan, pasang lampu super terang yang bikin silau orang yang ada di depannya, pasang lampu rem terang yang bikin silau bagi yang ada di belakangnya, buang puntung rokok atau sampah yang lain, srudak-sruduk lalu mengumbar klakson, dan mungkin masih banyak contoh yang lainnya.

Begitu antara lain komentar kami. Tapi salah satu kami menimpali: Ya, itulah lahan kita untuk belajar sabar!


Jakarta, 10 Agustus 2009.

06 August 2009

Inikah Hasil Pendidikan Kita


Ahad, 30 Juli 2009, saya berkesempatan untuk takziah di tetangga di kampung, yang kalau diurut-urut sesungguhnya kami masih bersaudara. Tapi ini adalah kesempatan yang luar biasa langka dan berharga yang saya miliki. Dan karenanya, saya hadir lumayan awal sebelum almarhum dimakamkan. Motivasi saya selain takziah adalah bertemu tetangga yang hampir sebagian besarnya sudah tidak saya kenal. Maklum saya meninggalkan desa saya sejak tahun 1984. Namun berkat kakak misan, saya dipandu untuk tebak muka dan tebak nama. Bahkan untuk meringankan dan mempermudah daya ingat saya coba membuat peta rumah yang ada di desa saya itu, dan dimana rumah orang yang ingin saya ingat. Luar biasa menyenangkan. Bertakziah sekaligus berliturahim.

Saya berjumpa dengan hampir seluruh komunitas kampung. Dan untuk menyapa keseluruhannya saya berpindah-pindah tempat duduk dan lokasi ngobrol. (Mohon maaf, apakah ini sesuai dengan tatacara takziah?).

Dan dalam percakapan itu, saya mendapat jastifikasi dari sahabat SMP saya bahwa saya berpikiran seperti cara berpikir orang Islam Fondamentalis. Saya bertanya pada teman saya; Apa yang dimaksud?
Ya karena dalam setiap peristiwa dan fenomena sosial kamu selalu kaitkan dengan agama Gus. Jawabnya.

Saya cukup manggut-manggut. Paham. Bahwa dunia kita masih terbelah menjadi dua bagian besar. Bagian yang satu bernama kehidupan sosial dan bagian yang lain bernama kehidupan ritual keagamaan. Dan saya melihat hal ini sebagai tolak ukur keberhasilan kita bahwa konsep Islam yang holistik, yang melihat tidak ada dualisme atau dikotomi. dalam hidup sosial maupun hidup beragama belum terjadi dimasyarakat. Setidaknya terhadap teman saya ini.

Tetapi karena ini adalah konsep besar, saya cukup melihat hal ini sebagai bagian dari refleksi perjalanan hidup.

Dan dalam percakapan itu, saya mendapat cerita yang lain tentang bagaimana beberapa diantara anak dari para sahabat saya yang mensyukuri hasil kerja keras seharian di sawah ladang dan pekarangan serta hasil cucuran keringat para orangtuanya yang merantau nun jauh di luar negeri dengan cara membelikannya sepeda motor dan HP. Meski motor dan HP tersebut tidak merupakan brand new. Tetapi telah terlanjur menjadi gaya hidup. Yaitu gaya hidup borju yang tidak ada lagi batas kota-desa. Teman yang tinggal di desa tidak mau melihat lagi, (baca: tidak memiliki pembeda) untuk menentukan prioritas hidup. Mereka telah masuk dalam dunia konsumtif. Masa depan adalah hari ini. Dan hari ini adalah bersenang-senang. Tidak memprediksi bagaimana nanti ketika orangtua telah dimakan usia dan tidak produktif lagi.

Kembali, saya cukup melihat hal ini sebagai bagian dari refleksi perjalanan hidup. Dan refleksi perjalanan hidup itu bermuara pada pertanyaan: Inikah hasil pendidikan kita selama ini?

Ya Allah, mudahkanlah perjalanan dan perjuangan kami untuk mengarungi kehidupan. Berikanlah kekuatan pada kami untuk meraih petunjuk-Mu. Amien.

Jakarta, 6 Agustus 2009.

Berani atau Nekat


Mencoba sesuatu yang baru, adalah sesuatu yang mudah dikatakan tetapi sering sulit untuk diaplikasikan. Tidak untuk semua hal atau semua bidang memang. Dalam hal tertentu, misalnya menggunakan HP, saya pernah melihat orang yang sudah cukup berusia lanjut dan berasal dari komunitas yang jauh dari kota, begitu menikmati menggunakannya untuk berkomunkasi. Meski ketika untuk menemukan nomor yang diinginkan tidak selincah kita. Tetapi mengaplikasikan keterampilan dalam penggunaannya saya menilai sebagai sesuatu yang mudah dan bisa.

Namun beda jika kita ingin melakuan sesuatu yang baru untuk menggeser sesuatu yang telah berkerak, misalnya dalam penerapan visi sekolah yang lebih segar, lebih bersaing, atau lebih bergerak.

Dalam aplikasi hal yang kedua tersebut, sering membutuhkan effort dan pengorbanan yang lebih dahsyat. Padahal, dalam pengamatan saya, antara menggunakan HP dan mengembangkan diri sebagaimana dua hal diatas adalah sesuatu yang membutuhkan keberanian untuk mencoba. Mencoba sesuatu yang baru.

Dari dari cara berpikir seperti itulah saya melihat bahwa orang melihat sesuatu yang baru menjadi mudah dan menjadi sulit itu berangkat dari pertanyaan: Apakah makna berubah tersebut bagi saya? Artinya, jika kita telah bisa melihat kebermaknaan dari sesuatu yang ingin kita lakukan, maka 'nilai' barani kta menjadi mudah muncul. Tetapi jika kebermaknaan tersebut sulit untuk 'dilihat', maka tidak saja berani yang kita perlukan. Namun saya mengusulkan untuk nekat!

Pertanyaan: Apakah makna berubah tersebut bagi saya? Ini mengingatkan apa yang sering disebut Pak Hernowo dengan singkatan AMBAK, yang merupakan kepanjangan dari Apa Manfaat Bagi Ku. Maknanya, jika seseorang memahami manfaat dari mengapa harus melakukan sesuatu, maka ia akan melakukan dengan penuh minat dan kesadaran. Yang memiliki implikai lebih hebat.

Ini jugalah ketika sekolah yang terlanjur establish dan dalam proses perjalanannya membutuhkan penguatan seperti memberikan pembelajaran dan pelatihan kepada para tenaga kependidikannya, akan juga muncul dua bagian. Yaitu bagian yang barani mengikuti kegiatan dengan sepenuh jiwa dan motivasi. Yang karena hal ini akan menjadikannya lebih baik dan lebih kapabel dikemudian hari. Juga bagian yang harus diajak nekat untuk menceburkan diri.

Bagian yang harus diajak nekat ini adalah bagian yang sebenarnya tetap tidak ingin ketinggalan, tetapi harus terus diberikan sokongan dan pendampingan. Dan semakin tulus pendampingan yang diberikan, maka kebermaknaan akan semakin cepat ia pahamkan.

Dan sesungguhnya, relativitas antara bisa dan tidak bisa dalam segala hal berada pada titik berani atau nekat!

Allahu'alam.

Jakarta, 6 Agustus 2009.

05 August 2009

Alhamdulillah


Dalam beberapa tahun ini, Alhamdulillah saya bersyukur atas nikmat-Nya, saya menengok keluarga di Purworejo lebih kurang 4 hingga 5 kali dalam satu tahun. Sebuah rutinitas yang tidak terlalu sering bagi yang lain, namun bagi saya adalah sebuah volume yang menguras tenaga. Mengingat perjalanan yang saya lalui adalah perjalanan darat. Sehingga memakan waktu tidak kurang dari 12 jam perjalanan. Memngingat waktu perjalanan yang tidak sebentar itulah, maka sering saya mengambil waktu libur atau memilih long week end.

Perjalanan ini harus saya tempuh untuk sesering mungkin saya menengok Bapak dan Mamak saya di kampung. Kedua orangtua saya yang sangat saya cintai. Meski harus saya akui bahwa orangtua saya bukanklah sosok sempurna. Tapi ia adalah cikal bakal keberadaan saya hingga sekarang ini. Selain juga saya ingin menunaikan apa yang pernah teman saya lakukan kepada kedua orangtuanya yang kini telah tiada. Dan nampaknya inilah yang menginspirasi saya. Saya melakukan ini semua agar supaya saya tidak menyesali setelah mereka berdua pergi untuk selamanya. Demikian tuturnya ketika setiap bulan sekian bagian dari gajinya ia kirimkan untuk orangtunya.

Inilah motivasi yang selalu saya pompakan agar saya selalu dalam posisi kuat meski harus menempuh perjalanan yang jauh itu. Dan ketika kangen dengan mereka begitu mendalamnya, saya akan tetap pulang. Tak bisa satu hal pun yang dapat menghalangi.

Apa yang saya lakukan setelah berjumpa dengan orangtua saya? Tidak lain adalah ngobrol. Asyik sekali kegiatan ini kami lakukan. Karena biasanya selain Bapak dan Mamak, adik saya yang juga setia menemani orangtua kami, ikut terlibat dalam cengkerama itu. Kadang tema dialog hal-hal yang serba ringan, kadang sesuatu yang memancing kami semua terbahak, dan sesekali juga yang menyentuh hal yang mengharukan hingga ada diantara kami yang harus menitikkan air mata.

Dan dari sinilah saya menghargai sekali betapa sungguh-sungguh orangtua kami telah berjuang untuk kami anak-anaknya. Betapa susah payah mereka meniti perjalanan hingga kami memberikan cucu untuk mereka. Dan saya menikmati itu.

Jakarta, 5 Agustus 2009.

04 August 2009

Jujur Saya Katakan: Prihatin

Mohon maaf, bahwa saya harus jujur mengatakan prihatin ketika melihat anak dengan usia yang belum cukup sudah pintar mengendari kendaraan. Prihatin saya sudah lama. Dan selalu muncul rasa itu begitu melihat peristiwa yang dimaksud. Dan menjadi bertambah prihatin ketika saya mengunjungi kampung halaman saya sendiri.

Dimana saya melihat anak seusia SMP atau bahkan SD mondar-mandir dengan gagahnya mengendari sepeda motor. Saya trenyuh. Ngilu hati saya. Bukan karena saya ngiri karena tidak melakukan hal yang sama terhadap anak-anak saya sendiri. Tapi prihatin dengan bagaimana para orangtua tersebut berpikir tentang anak mereka di masa 5 tahun, 10 tahun, atau bahkan 15 tahun nanti. Dan saya hampir memastikan bahwa perasaan seperti ini bukan mutlak miik saya. Tetapi Bapak atau Ibu pembaca semua.

Seperti apa yang terjadi pada Ahad, 2 Agustus. Beberapa remaja dengan usia antara 13-16 tahun merubungi bengkel kecil di sebuah desa pesisir Jawa Tengah dengan sepeda motornya masing-masing. Dan sesekali mereka akan mencoba sepeda motor itu dengan sentakan kecepatan yang dibuat mendadak. Jangan tanyakan kepada saya bagaimana gaya mereka mengendarai sepeda motor itu di jalan raya jalur selatan Jawa.

Saya bertanya kepada saudara saya:
Anak siapa itu?
Anak tetangga kita yang baru kelas 2 SMP.
Apa orangtua mereka tahu dimana mereka beraktivitas?
Sesekali mungkin tahu. Tapi hampir banyak kali tidak akan tahu.
Mereka bersepeda motor saban hari?
Dirumah mereka ada lagi sepeda motor yang dipakai Bapaknya untuk pergi ke sawah.
Mereka tidak dilarang bersepa motor oleh orangtuanya?
Beberapa diantara mereka orangtuanya takut sama anak. Anaknya sudah berani melawan orangtua. Ada juga yang salah satu orangtuanya merantau di Taiwan..

Saya hanya berpikir, bagaimana mereka mengisi waktu mudanya dengan menikmati jerih payah orangtua yang harus bekerja keras di negeri orang sebagai TKI atau jungkir balik mengolah sawah garapan. Saya ingat salah satu pesan emas: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, ...(QS, 4:9).

Karena gambaran itu adalah gambaran anak yang tidak menginjakkan kakinya di bumi. Labih takut lagi jika justru para orangtuanya bangga ketika anaknya yang belum cukup usia sudah mampu mengendarai sepeda motor...

Ya Allah, bimbing kami untuk menjadi orang jujur dan terhormat...
Bimbing kami dalam membina anak keturunan kami. Amien.