Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 November 2015

Belajar Tuntas

Beberapa waktu lalu saya diajak teman untuk melihat secara langsung cara dan model drilling materi pelajaran sebagai wahana dalam mencapai tujuan belajar tuntas. Dan dalam kesempatan itu pula saya menjadi teringat di dekade tahun 90an, disaat saya mengajar di kelas dua SD. Dimana salah satu sumber belajar dari mapel Matematika adalah buku yang menyuguhkan model mencapai belajar tuntas. Maka sekembali dari kunjungan tersebut, melalui jasa telepon seluler, saya kembali menemukan buku yang di awal karir saya sebagai guru tersebut.

Dan setelah semua melalui perenungan ulang, maka saya memutuskan untuk melakukan beberapa hal yang memang menjadi tujuan dari pembelajaran, serta meminimalisir beberapa hal agar pembelajaran tetap bertumpu  kepada proses. Lalu bagaimana pengertiannya?

Bahwa kita ketahui bersama, apa yang menjadi keinginan Kurikulum baru untuk menekankan kepada peserta didik memiliki semangat eksplorasi untuk sebuah pegetahuan yang ingin dimiliki. Dan ending dari pembelajaran di tahun terakhir anak-anak di jenjang SD, SMP, dan SMA, adalah ujian nasional dengan model tes pilihan ganda.

Dengan melihat kenyataan itu, langkah yang kami, saya dan teman-teman di sekolah, lakukan adalag dengan membelajarkan anak-anak di kelas awal dan menjelang akhir sebagaimana yang menjadi tuntutan Kurikulum, sementara untuk mempersiapkan anak-anak di tahun terakhir sebagai persiapan ujian adalah dengan kombinasi pengayaan.

Kami katakan sebagai kombinasi, karena dalam prosesnya anak-anak tidak selalu dihadapkan kepada latihan-latihan soal sebagaimana yang menjamur sebagai larangan usaha. Tetapi juga menembak kepada kompetensi dasar anak-anak dalam menguasai kemampuan dasar.

Itulah yang menjadi kombinasi kami di lapangan. Dan ketika anak-anak dipersiapkan kepada kemampuan dasarnya, maka itu menjadi modal mereka untuk percaya diri dalam menghadapi berbagai tingkat kesulitan soal yang muncul di latihan-latihan soal, termasuk di Ujian Nasional nanti. Semoga.

Jakarta, 30 Nopember 2015.

18 November 2015

Namnam dan Mundu

Sudah ada harapan bahwa tanaman Namnam dan Mundu yang saya dapatkan dari biji buah yang dibawa dari kampung sebagai buah tangan saudara ketika mudik Idul Fitri tahun 2015 ini mulai tumbuh. Dan meski tergolong lambat ia tumbuh, tetapi sangat saya harapkan. Mungkin karena ada di teras belakang rumah dengan terik matahari yang tidak begitu menyengat.

Dua tumbuhan yang menjadi hiasan hidup bagi kami, saya dan teman-teman, ketika bersama-sama tumbuh di kampung halaman. Pohon mundu itu menjadi bagian penting disaat malam pulang dari pertemuan bersama di ujung kampung. Karena hanya tetangga rumah teman saja di kampung kami yang memiliki pohon mundu dengan buahnya yang ditunggu hingga kekuning-kuningan.
Namnam

Juga memanjat pohon Namnam yang seperti kalah cepat dengan pertumbuhan kami sendiri. Pohon ini seperti tidak bertambah tinggi atau bertambah lebar. Selain hanya buahnya yang berasa asam itu silih berganti. 
Mundu

Dan sekarang, dari tunas itulah saya menanam harapan untuk generasi anak dan cucu meihat keunikan dan eksotisme pohon yang dulu ketika kecil menemani kami di kampung halaman. Semoga. 

Jakarta, 18.11.2015

13 November 2015

Belajar Menginap #16; Jagain Solat

Senin, 9 Nopember 2015, pukul 13.00, anak-anak sudah siap berada di Masjid untuk melaksanakan Solat Jamaah Qoshor. Hari itu menjadi hari pertama kegiatan menginap di rumah orangtua asuh yang berada di Kampung Dandang, Desa Pulosari, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Sebuah wilayah yang bersuhu sangat sejuk dan cenderung dingin untuk kami semua yang sehari-hari hidup di Jakarta. Ditambah pada saat akan dilaksanakan upacara pembukaan kegiatan, langit amat gelap dan rintik hujan mulai mengguyur wilayah Pengalengan.

Dan pada saat barusan solat telah rapi, ada salah satu dari anak didik kami yang pamit akan ke belakang karena tidak kuat lagi menahan hajat.

"Pak tungguin saya dulu Pak. Jangan dimulai. Nanti saya tertinggal solat. Saya akan ke belakang dulu." Begitu seorang anak pamit kepada guru yang berdiri paling depan untuk memimpin solat.

"Tidak apa-apa. Silahkan ke belakang. Nanti kamu bisa ikuti kita semua. Lengkapi sdaja rakaat yang kamu tertinggal." Begitu Pak Guru menjawab izin dari siswanya. Artinya, Pak Guru akan segera memulai solat tanpa harus menunggu anak tersebut kembali dari kamar mandi. 

"Tidak bisa Pak. Karena Bapak akan Solat Qoshar. Saya nanti bisa tertinggal solatnya Pak. Bukan tertinggal rakaatnya." Anak tersebut tetap berdiri di tempat solatnya yang berasa persis dibelakang samping Pak Guru yang menjadi imam.

Benar saja, ketika anak itu berjalan keluar masjid menuju ruang bilas, Pak Guru segera Takbiratul ihram. Solat dimulai. Dan semua makmum mengikuti imam. Saya sendiri berada pada barisan paling belakang dan dekat dengan pintu utama masjid. Sampai dua rakaat solat Dzuhur selesai, siswa yang tadi pamit kebelakang telah kembali. Persis disamping saya ia bertanya tentang bagaimana harus mengejar dua rakaat Dzuhur yang tertinggal. Karena imam akan kembali ber-Takbiratul ihram.

"Kita selesaikan terlebih dahulu dua rakaat ini dan kemudian kembali sholat Dzuhur yang kamu tertinggal." Jelas saya.

"Tapi bagaimana dengan teman-teman yang lain. Mereka pasti akan mengganggu ketika saya solat sendiri?"

Saya tentu tidak bisa lagi menjawab apa yang menjadi pertanyaan siswa saya tersebut. Karena pada saat sama, saya telah menjadi makmumnya imam. Sampai dengan dua rakaat berikutnya selesai, saya benar-benar memenuhi janji untuk mengawasi siswa saya yang harus menambah dua rakaat setelah semua temannya selesai. Beberapa temannya yang duduk di baris depan mencoba untuk mengganggu. Tetapi seperti janji saya kepada siswa istimewa saya itu, saya menjadi penjaga solatnya yang tertinggal dari jamaah.

Jakarta, 13 Nopember 2015.

12 November 2015

Belajar Mengiap #15; Ikan Saya Mana?

Bermula ketika saya berada di teras rumah yang dijadikan sebagai base camp bagi guru laki-laki, saya memergoki anak-anak dengan bawaannya masing-masing, diantaranya satu bakul dengan nasi di dalamnya. Ini karena saya baru beberapa saat kembali dari sebuah rumah yang menjadi lokasi pengembangan jamur tiram. Dan kebetulan pula bahwa empat siswa kelas VII itu bekerja sebagai pegawai di pengembangan jamur tiram tersebut.

Pertemuan dengan anak-anak itu tidak lain dalam sebuah kegiatan Belajar Menginap tahun 2015 yang berlokasi di Kampung Dandang, Pulosari, Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kegiatan ini diikuti oleh seluruh siswa SMP,  dimana saya berada di dalamnya dan juga seluruh guru sebagai pendamping anak-anak, termasuk saya.  

Makan Siang

Karena pemandangan itu menarik perhatian saya, maka segera saya kembali mengenakan sandal dan berjalan di belakang anak-anak itu menuju rumah Pak Taufik yang menjadi lokasi pengembangan jamur tersebut. Sesampai di halaman rumah Pak Taufik, anak-anak segera menuju ruang tamu untuk makan bersama bekal yang disiapkan oleh orangtua asuh yang dibawanya. Saya tidak langsung menemani anak-anak makan tetapi masuk ke ruang belakang yang kebetulan sedang ada dua kegiatan.

Di ruang garasi, seorang pegawai sedang menjaga perapian agar selalu menyala. Perapian itu untuk memanaskan air yang ada dalam tungku yang uap dari tungkunya mereka salurkan untuk pengasapan media jamur yang tertata rapi dalam sebuah wadah disebelahnya. Sedang di rumah belakang, dua orang pekerja sedang memasukkan serbuk kayu yang menjadi bahan dasar media tumbuhnya jamur tiram ke dalam plastik.

Dan setelah puas bercengkerama dengan tiga orag tersebut, saya menemui empat anak didik saya yang sedang asik makan siang di ruang tamu. 

"Wah seru sekali kalian makannya. Kalian hebat ya. Makan bekal dari orangtua asuh dengan kidmat." Tegur saya kepada empat anak yang duduk di meja tamu mengitari nasi dan lauknya.

"Iya Pak. Ayo ikut makan Pak." Ajak seorang dari empat anak itu dengan santun. Kalimat indah yang terucap dari anak Jakarta. Pikir saya.

"Apa yang kalian makan?" Lanjut saya.
"Nasi, ikan, bergedel jagung, tempe goreng, dan sayur Pak." Jawab seorang anak yang menjadi ketua dalam kelompok itu. Dan satu persatu saya liat apa yang disebutnya. Bahwa tempe goreng yang dimaksud adalah tempe orek. Dan ikan yang dimaksud adalah ikan bandeng goreng.

"Ikan saya mana?" Tanya salah seorang dari mereka yang ketika mengambil lauk tidak kebagian ikan yag tadi disajikan di meja. Dan benar saja. Karena satu ekor ikan bandeng goreng yang tersaji sudah berad di piring dua anak. Seorang anak mendapat potongan bagian kepala sedang anak yang satunya mendapat bagian ekor.

"Iya. Aku juga belum dapat ikannya." Kata anak yang satu lagi. Saya diam saja menyaksikan pemandangan ini. Sambil senyum-senyum, saya melihat reaksi dua anak yang terlanjur membagi dua satu ekor ikan bandeng goreng itu. Dan masing-masing dari dua anak itu secara sadar membagi bagian ikannya kepada teman yang belum kebagian. Saya bahagia sekali melihat momen itu. Luar biasa menggembirakan.

Jakarta, 12 Nopember 2015

Belajar Menginap #14; Memelihara Sapi

Dalam kegiatan belajar menginap di rumah penduduk di hari kedua, yaitu hari pertama dalam siklus hidup di lokasi, yang pada tahun 2015 ini mengambil tempat di desa Pulosari, anak-anak telah berperan secara normal dengan mengikuti  hidup sebagaimana orangtua asuh mereka menjalani hidupnya. Dan dengan rasa ingin tahu banyak tentang bagaimana anak-anak didik kami menjalani hari pertamanya sebagai warga desa, maka sejak pagi hari saya telah berputar-putar mengitari empat RT yang menjadi penyebaran anak-anak didik kami tinggal.

Pertama keluar rumah, saya mengambil jalan setapak yang berada diantara kebun kopi dan sebuah rumah tidak berpenghuni. Sebagai pagar pekarangan, ditanami diantaranya rumput gajah yang baru saja dipangkas untuk pakan ternak. Saya ingin tahu saja akan berada dimana ujung dari jalan itu. Dan tidak lebih dari 70 meter, disebelah kanan jalan setapak itu, saya bertemu rumah dengan tanpa pagar selain pagar hidup. Pintu pagar tidak lebih dari 90 cm, terbuat dari anyaman bambu. disamping pagar terdapat tanaman jeruk gulung yang dengan berbuah. 

Saya mencoba permisi dan masuk ke pekarangan rumah sebelum akhirnya tiga siswa kelas VII memanggil saya. Di tangan salah satu siswa itu memegang gelas berisi susu yang tidak penuh tetapi juga tidak kosong.

"Pak Agus." panggil salah seorang dari tiga anak tersebut. Mereka keluar dari ruang dalam menuju ruang tamu yang mereka sulap menjadi tempat mereka, anak-anak itu tidur. 

"Apa yang sedang kalian lakukan pagi ini?" Tanya saya kepada ketiganya. Orangtua asuh dari ketiga anak itu adalah peternak sapi perah yang terdiri dari sepasang kakek dan nenek. Keluarga itu memelihara dua ekor sapi perah dan satu ekor anak sapi jantan yang tengah digemukkan. Tiga ekor sapi itu berada di bagian belakang rumah dengan pekarangan yang tidak lebih dari 200 meter persegi.

"Kami selesai mengantar hasil perahan susu sapi Pak di bawah." Jawab salah seorang dari ketiga anak itu. Bawah yang dimaksud mereka adalah lokasi truk pengepul susu yang lokasi parkirnya berada di bawah kampung Dandang di desa itu. Setiap pagi dan sore, truk itu akan mangkal disana menunggu warga desa anggota KPBS, nama koperasi para peternak, untuk mengumpulkan hasil perahan susu.

"Orangtua kami sedang mengasah sabit Pak. Sebentar lagi kami akan pergi ke ladang guna mencari rumput untuk ternak sapinya. Apakah Bapak ingin ikut?" Lanjut anak yang lain dan memberikan penjelasan.

"Terimakasih. Pak Agus akan mencoba jalan ini untuk bertemu teman kalian yang lain." Kata saya lalu pamit. Saya keluar pekarangan rumah itu melalui jalan yang berbeda. Jalan yang terlihat jarang dilalui.

Sembari keluar dari keluarga peternak 3 sapi tersebut, saya bersyukur bahwa ketiga anak didik saya yang berada di keluarga itu begitu menikmati perannya sebagai peternak sapi. 

Jakarta, 12 Nopember 2015.

Belajar Menginap #13; Lebih Bagus dari Harapan Saya

"Bagaimana kondisimu Nak? Apakah semuanya baik-baik saja?" Tanya kami sebagai guru ketika bertemu dengan salah satu siswa yang kebetulan melintas di base camp guru laki-laki dalam sebuah kegiatan menginap di rumah penduduk yang berlokasi di sebuah RW di Desa Pulosari, Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. 

Pertanyaan ini juga kami sampaikan ketika kami berjumpa degan anak-anak yang baru saja masuk dan bertemu di rumah orangtua asuhnya masing-masing. Dan pada saat pertanyaan kami itu kami sampaikan kepada anak, itu adalah jam 15.00. Yang berarti baru dua jam anak-anak tersebut masuk ke rumah orangtua asuhnya. Maka ketika mendengar jawaban seorang anak yang kami temui tersebut, itu menerbitkan rasa optimisme guru akan daya juang seorang siswanya.

Mengapa? Karena dalam kegiatan ini, kami telah bersiap untuk menghadap kegagapan anak-anak ketika harus tinggal di sebuah keluarga di sebuah desa yang pasti asing sekali untuk anak-anak yang sejak lahir hingga mereka duduk di bangku SMP kami untuk beberapa waktu. Bahkan, kelakar teman guru, anak-anak kami itu tidak mengenal apa itu gayung!
Dataran yang berada diketinggian lebih kurang 1.300 meter dpl, membuat air yang ada di dalam bak mandi warga begitu menakutkan untuk kulit kami ketika berniat ingin mandi. Hingga membuat sebagian kami memilih untuk tidak mandi!

"Alhamdulillah Pak. Saya bersyukur sekali. Bahwa kondisi rumah orangtua asuh saya jauh lebih baik dari bayangan saya sebelumnya. Saya merasa nyaman untuk semua halnya Pak." Jawabnya dengan mantap. Sebuah jawaban yang pasti juga menenteramkan kami sebagai gurunya.

Jawaban sederhana itu juga menerbitkan pelajaran untuk saya pribadi, yaitu bagaimana cara pandang seorang anak didik terhadap yang banyak ditakutkan rata-rata temannya di kegiatan semacam itu. Bagaimana ia begitu memiliki kerendahan hati untuk menetapkan ekspektasi kenyamanan untuk tinggal di sebuah rumah warga di sebuah desa yang jauh dari Jakarta. Belajar tentang ketahanan batin. Semoga. Amin.

Jakarta, 12 Nopember 2015.

Belajar Menginap #12; Nangis Guling-Guling

Hari pertama dalam kegiatan siswa, saya mendapat pengalaman unik secara langsung di lokasi kegiatan menginap siswa di Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ini ketika teman-teman guru melakukan evaluasi kepada seluruh siswa atas kegiatan yang baru dimulai pukul 13.00. Evaluasi dilakukan di Masjid RW O1, Desa Pulosari seusai waktu Isyak.

Guru memberi waktu kepada anak-anak untuk mengabarkan kepada orangtua masing-masing lebih kurang 10 menit setelah mereka mendapatkan selulernya masing-masing yang sebelumnya dikumpulkan di Guru Kelasnya. Kesempatan itu selain memberikan kabar juga untuk menghapus kangen orangtua dan anak. Tentu itu menjadi momen yang seru. Anak-anak dengan penuh antusias memberikan kabar dan menceritakan laporan pandangan matanya selama lebih kurang 7 jam di lokasi kegiatan.

Anak-anak juga bercerita tentang keluarga asuhnya di lokasi kegiatan juga termasuk kondisi keluarga, rumah dan tentunya ruang belakang yang sering menjadi keluhan terbesar dalam kegiatan semacam itu. Namun pada malam itu, saya tidak banyak melihat wajah-wajah kecewa dan muram kecuali pada salah satu anak. Rata-rata wajah yang terpancar ketika menyampaikan kabar via selulernya adalah wajah-wajah yang berhias senyum.

Pemandangan indah dengan suhu yang sangat sejuk. Malam hari dengan rata-rata suhu 17 derajat celcius.
Dengan dengan keadaan anak yang nangis berguling-guling di emperan masjid, guru menunggu hingga suasana sedikit reda. Karena anak tersebut masih memegang selulernya dan meminta orangtuanya yang di Jakarta segera datang ke lokasi kegiatan guna menjemputnya kembali pulang. "Aku tidak betah." begitu kira-kira kalimat yang keluar di telepon.

Dan ketika situasi lebih reda dan nyaman, Guru memanggil teman satu rumah di lokasi kegiatan, dan bertanya tentang kondisi rumah serta orangtua asuhnya. 

Guru : Bagaimana kondisi rumahmu disini? Apa pendapatmu?
Anak: Rumah kami lumayan baik Pak. Ubinnya sudah keramik seperti lantai masjid ini.
Guru : Orangtua asuh kalian?
Anak: Baik Pak. Mereka menyiapkan makan ketika kami datang tadi siang. Juga ketika kami
           sebelum datang di acara ini. Mereka meminta kami untuk makan dahulu.
Guru : Bagaimana dengan toiletnya?
Anak: Alhamdulilah ada Pak. Sudah ada kamar mandi di dalam rumah.

Anak yang sedang merajuk minta pulang itu, dibiarkannya mengatur irama emosi dengan mendengarkan ungkapan pendapat dan perasaan teman satu rumahnya. Meski tidak menyatakan sepatah katapun, guru menginginkan agar percapakannya itu direkam di benak anak yang merajuk tersebut.

Saya tentunya kagum dan gembira bahwa saya mendapat satu strategi dari teman guru dalam meredam gejolak perasaan dan emosi anak-anak dalam sebuah kegiatan yang menuntut anak-anak harus meninggalkan rumah dan bermalam. Tentu berat. Terimakasih.

Jakarta, 12 Nopember 2015.

11 November 2015

Belajar Menginap #11; Pulosari

Minggu, 8 Nopember 2015, saya berkesempatan untuk berkunjung dan bertemu dengan Bapak-Bapak yang tinggal di sebuah RW di desa Pulosari, Pengalengan, Kabupaten Bandung. Sebuah kesempatan yang menyenangkan dapat bertandang di lokasi yang akan menjadi tempat kegiatan anak-anak didik kami tinggal selama empat hari tiga malam. Dan pengalaman menyenangkan itu tentunya tidak segera akan hasa hapus dari ingatan. Ini karena lokasi ini adalah lokasi yang mengikat batin kami di sekolah dengan warga yang tinggal di sana. Juga lokasi indah dengan suhu rata-rata 19 derajat di awal Nopember, awal hujan turun sangat lebat di desa itu sehingga membuat kami mengenakan sweter seharian.

Setidaknya inilah kenangan itu;
Sebuah pamandangan dari samping rumah penduiduk di Pulosari, Pengalengan.
Kentang, menjadi menu andalan untuk kami yang pendatang. Direbus kemudian ditaburi daun seledri. Atau digoreng kemudian dihidangkan bersamaan dengan sambal dari warung. 
Sebuah kunjungan untuk kulonuwun kepada yang berwenang di Pulosari.

Jakarta, 11.11.2015

05 November 2015

Membujuk untuk Berani

"Saya menyarankan agar semua kita mau dan berani mencoba semua apa yang telah panitia siapkan untuk kita lakukan di lokasi outing ya." Begitulah kalimat yang saya pakai untuk mendorong semua teman menhalani program outing kami ke Pangandaran. Dimana memang itulah yang dihimbau oleh panitia kepada semua peserta. Karena semua program untuk kami telah menjadi hitungan panitia dengan pemandu yang ada baik di Green Canyon atau juga di Pasir Putih.

Yaitu kegiatan untuk berenang di ujung Green Canyon, yang tentunya dengan mengenakan pelampungnya masing-masing atau juga mengarungi Samudra Indonesia dengan perahu nelayan di Pantai Barat Pangandaran hingga ke Pasir Putih. Dan sebelum kami berangkat dari sekolah, banyak suara dari teman yang mengeluh takut untuk masuk ke dalam air dan berenang. Maka di hari menjelang keberangkatan kami, saya diminta memberikan motivasi kepada teman-teman.

"Saya tidak bisa berenang Pak" Begitu kata teman.

"Tidak perlu kepintaran berenang dengan pelampung yang sudah ada. Ikuti saja tali yang membentang dan telah disiapkan oleh pemandunya." Begitu saya memberikan kebesaran hati. Ini juga yang dilakukan oleh para pemandu yang memang ingin sekali kami semua menikmati dinginnya air di lokasi Green Canyon tersebut.

Dan alhamdulillah bahwa akhirnya semua dari kami nyebur ke dalam air. Berenang. Bahkan beberapa dari kami berani untuk naik ke air terjun dan kemudian melompat ke bawah. Memang bukan hal yang istimewa karena sebagian dari kami pernah melakukan itu ketika kami masih kecil dan tinggal di desa. 

Tetapi dalam kondisi sekarang dimana kami telah memasuki usia yang tida lagi muda? Maka belajar berani itulah yang menjadi hal baru yang kami ulangi untuk kami lakukan. Dan dalam kegiatan pergi bersama itu, menjadi wadah atau wahana bagi kami untuk bersama menikmati apa yang sebelumnya kami ragukan bahwa kami yakin mampu melakukannya. 

Jakarta, 25 Oktober-4 Nopember 2015.

Berprinsip

Prinsip yang dipegang teguh, akan membantu pembuatan keputusan dan pemecahan konflik walaupun konsekuensinya tetap ada dan harus ditanggung.” Begitulah yang ditulis oleh Eileen Rachman di Rubrik Kerier, Koran Kompas,  Sabtu, 17 Oktober 2015.

Kutipan itu mengingatkan saya pada dialog antara dua siswa ketika kami berada di kantin, disaat istirahat pagi. Kira-kira beginilah dialog;

A: Mengapa kamu membuat ‘karya’ itu disaat    kita sedang sibuk ulangan?
B: Tidak apa-apa. Aku tidak merasa terganggu dengan membuat itu disaat ulangan.

Begitulah kira-kit\ra penggalan dialog dua sahabat tadi. Saya tertegun dengan kalimat yang disampaikan A kepada B. Karena ingin tahu, maka saya bertanya kepada seorang Anak (A) tentang yang dia maksud dari kalimatnya tersebut.

Saya: Mengapa pertanyaannmu seperti itu?
Anak: Iya pak. Soalnya nanti dia kan tidak fokus. Karena sekarang sedang sibuk ulangan.
Saya: Kalau menurutmu harusnya bagaimana?
Anak: Kalau saya, karena sekarang ulangan jadi saya hanya bersiap untuk ulangan saja Pak.       Karena saya ingin nilai yang baik. Karena saya ingin masuk sekolah yang bagus. 
          Supaya saya bisa masuk di Kedokteran, seperti saudara saya Pak.

Saya tertegun lagi dengan apa yang dikemukakan. Diusianya yang masih duduk di kelas VI, ia sudah memiliki visi dan arah yang akan dituju. Mungkin itulah salah satu  indikator bahwa A adalah anak yang memiliki prinsip, menurut kutipan di awal tulisan ini.

Dari sini, saya belajar banyak dari mendengar dialog dua sahabat itu. Belajar bagaimana anak itu telah memiliki pendirian. Terbayang oleh saya bagaimana pola dialog siswa  itu dengan lingkungan sekitarnya. Bacaan yang sudah dia baca sehingga menjadikannya seperti itu. Terimakasih.


Jakarta, 4 Nopember 2015.