Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 June 2012

Percaya akan Potensi Ananda; UN SD 2012 #5

Sebelum peristiwanya berlalu terlalu jauh dan menyisakan lupa, ada baiknya jika saya menuliskan apa yang terjadi sekilas pada saat anak-anak saya menerima hasil Ujian Nasional ditingkat pendidikan SD 2012. Karena disana ada anekdot cerita tentang bagaimana sesungguhnya orangtua dapat dan mampu melihat secara holistik, siapa sebenarnya anandanya.

Kemampuan para orangtua siswa untuk melihat dengan sejelas-jelasnya terhadap potensi anandanya ini sebagai modal bagi dirinya sendiri untuk meletakkan kepercayaan kepada anandanya dalam mengemban tugas. Dalam perkara Ujian Nasional yang dihadapi ananda,  maka kepercayaan tersebut berupa keyakinan para orangtua sebelum UN berlangsung atau selama ananda mempersiapkan diri mereka untuk dan akan keberhasilan UN yang akan dihadapinya.

Sebaliknya, jika kemampuan para orangtua siswa tersebut tidak begitu detil akan potensi dan kapabilatas sang ananda, maka kekawatiranlah yang lahir. Dan kekawatiran ini pada ujungnya akan berimbas kepada ananda yang akan selalu di'cecer'. Pada tingkat tertentu ada orangtua siswa yang akhirnya membuat tambahan stres ananda. 

Percaya akan Potensi Ananda

Dengan hasil UN 2012 tersebut, kami di sekolah akhirnya menemukan sebagian besar  siswa yang konsisten hasil UNnya jika dibandingkan dengan hasil belajarnya sehari-hari di kelas. Tidak menunjukkan grafik yang drastis melonjak atau sebalaiknya.

Tampak beberapa anak diantara mereka yang justru konsisten dengan hasil-hasil try out UN sebelumnnya yang relatif bagus, dan ini berkorelasi berkorelasi linier dengan hasil belajar sehari-hari di sekolah sebelum UN berlangsung. Bahkan juga ada beberapa anak yang telah menunjukkan hasil sangat optimal, nyaris sempurna, juga tetap sesuai dengan prediksi kami sebagai guru mereka.

Akan tetapi justru hasil UN yang optimal itulah yang membuat beberapa orangtua siswa menjadi terperanjat.Terperanjat akan hasil ananda yang bagus. Tidak menyangka. Aneh bukan? Bagi saya sendiri aneh. Bahkan ada diantara orangtua itu yang berkomentar kepada guru anandanya: Saya ngak nyangka kalau ananda saya pintar. Saya harus belajar dan merubah persepsi saya bahwa anak saya adalah anak yang mampu! Dan dari keterperanjatannya itu, kami baru menyadari dan mengetahui bahwa selama ini beberapa orangtua tersebut samasekali tidak menyangka bahwa potensi anandanya sebaik itu.Atau dengan kalimat lain dapat saya katakan bahwa; beberapa orangtua itu tidak memahami potensi yang dimiliki anandanya secara detil.

Namun jika ada orangtua yang terkaget dengan hasil UN anandanya, sesungguhnya tidak bagi kami sebagai gurunya yang memang memahami akan potensi anak sehari-hari. Kenyataan ini menguatkan persepsi saya bahwa ada para orangtua siswa kami yang tidak secara benar-benar dan sungguh-sungguh mengetahui secara persis tentang siapa ananda mereka.

Lalu bagaimana dengan saya sendiri dengan anak-anak saya di rumah? Semoga ini juga menjadi bagian dari pembelajaran saya dan anak-anak.

Jakarta, 30 Juni 2012.

IPK Tinggi dan Berpengetahuan?; Interviu Guru Baru #2

Ini pengalaman saya untuk yang kesekian kali dalam tahun ini, pada saat melakukan rekrutmen calon guru di sebuah lembaga pendidikan formal di Jakarta. Pengalaman yang sejak memulai dan bertemu serta bertatap muka dengan para calon itu, tidak semua memberikan gambaran yang cukup menggembirakan. Padahal di atas kerta lamaran yang mereka masing-masing buat, telah terseleksi secara akademis-administratif bagus.

Namun pada waktu bertemu dan bertatap muka dalam sesi wawancara menjelang akhir rekrutmen sebelum kami mengambil keputusan untuk menerima atau tidaknya mereka menjadi bagian dari kami, kami dihadapkan kepada kenyataan bahwa nilai indeks prestasi akademik atau IPK yang tinggi, diantaranya kami menemukan beberapa dari mereka dengan IPK 3 plus, namun sangat sulit dan cenderung tidak menarik ketika kami mengemukakan sebuah topik untuk bahan diskusi.

Mereka diantaranya tidak menguasai masalah kekinian dalam bidang pendidikan. Pada proses rekrutmen terdahulu kami mencoba mengajak mereka berdiskusi tentang bullying dan mereka justru balik bertanya kepada saya; bullying itu apa Pak? Dan kali ini, saya mengajak mereka berdiskusi tentang bagaimana kecerdasan berganda kita aplikasikan kedalam proses pembelajaran di kelas, mereka tetap mengemukakan pendapat dengan penuh keyakinan akan pendapatnya.  Padahal mereka sama sekali tidak paham apa itu kecerdasan berganda!

Menyedihkan bukan? Karena dalam pandangan kami, mereka yang kami rekrut adalah mereka adalah para calon guru yang berasal dari para lulusan institusi keguruan yang menyelesaikan pendidikannya rekatif baru.


Kami, saya dan teman, akhirnya membuat asumsi bahwa para kandidat itu, yang terdiri dari para sarjana pendidikan tersebut, sangat miskin kemampuan membaca buku. Para sarjana yang menjalani wawancara dengan  kami itu, adalah anak-anak muda yang hanya pintar di pelajaran kuliahnya tetapi mengisolirkan diri dengan dunia dimana ia berada. IPK tinggi yang didapatnya namun sekaligus tidak mencerminkan pribadi yang berpengetahuan.

Jakarta, 30 Juni 2012.

Kelancaran Komunikasi dan Guru Bermasalah; Etos Guru #3

Ada kesadaran baru lagi yang tiba-tiba muncul pada diri saya terhadap apa yang pernah saya dengar dari seorang teman seprofesi yang sehari-hari menjadi pendidik di wilayah Sumatera pada awal tahun ini. Hal ini yang berkaitan dengan kinerja guru. Dimana teman saya membuat pernyataan bahwa ada atau terdapat korelasi yang signifikan antara pendidik yang 'bermasalah' terhadap kinerjanya di sekolah dengan pola ketidakhadiran si pendidik tersebut pada kegiatan 'pembinaan' yang dilakukan oleh lembaga.

Kesadaran ini lahir dalam ingatan saya, ketika dalam sebuah sesi pelatihan saya bertemu dengan beberapa teman yang kebetulan ikut pelatihan dengan sangat tidak menampakkan minatnya untuk menimba ilmu. Datang terlambat ke lokasi pelatihan, sesampai di ruang tempat pelatihan sibuk dengan makanan kecil yang tersedia di bagian belakang ruang pelatihan,tidak berhenti berbincang dengan teman yang duduk di sebelah dalam ruang pelatihan. Sangat menggemaskan. Itulah sebagian dari guru yang ikut pelatihan tapi saya meyakini fisiknya saja yang hadir dalam pelatihan tersebut. Dan bukan semangat serta jiwanya.Dan itulah indikator-indikator guru-guru yang belum tumbuh sikap dan semangat pembelajarnya. Guru-guru yang masih rentan terserang virus 'bermasalah'.

Itulah hal yang akan menjadi isu dari tulisan saya kali ini berkenaan dengan kinerja  teman-teman kita sebagai pendidik di sekolah. Tentunya ini menyangkut apa yang saya tulis pada alinea di atas. Bahwa apa yang disampaikan teman dalam kaitan atau korelasi kehadiran guru dalam sebuah pembinaan rutin lembaga dengan unjuk kerjanya.

Misalnya, begitu kisah teman saya di Sumatera tersebut, teman-temannya yang berkinerja buruk, seperti mereka yang kurang mempertahankan komitmen untuk datang lebih awal dari jam masuk siswa, adalah mereka-mereka yang ketika kegiatan professional development (PD), atau pelatihan dalam istilah saya, di lembaganya sering bolong atau tidak hadir, atau kalaupun hadir maka fisiknya yang datang dan belum jiwa pembelajarnya. Tentu dengan berbagai ragam izin dan keperluan yang disampaikan jika mereka tidak datang untuk ikut PD atau pelatihan yang diselenggarakan oleh sekolah. Meski kepada teman-teman yang memiliki etos kerja semacam itu akan tidak mendapatkan tambahan pendapatan sebagaimana policy lembaga.
Kelancaran Komunikasi dan Bermasalah

Mengapa masih saya temukan sebagian guru-guru yang relatif 'bermasalah' dalam berkinerja baik di sekolah? Maka dari apa yang saya utarakan tersebut, saya berasumsi bahwa hal itu merupakan akibat dari sedikitnya arus komunikasi antara apa yang menjadi tuntutan lembaga dengan apa yang dipersepsikan oleh sebagian guru tersebut. Dan arus kemunikasi itu bukan terletak kepada ada atau tidaknya jaringan komunikasinya dibuat, tetapi juga daya serap sebagian guru tersebut terhadap apa yang pernah dialaminya atau apa yang pernah diikutinya.

Sebagaimana dikemukakan, bahwa bentuk-bentuk komunikasi telah lembaga lakukan  misalnya dalam bentuk pembinaan, pelatihan, rapat rutin, dan sebagainya, tetapi kejadian itu belum diikuti dengan sepenuh hati. Maka dapat dipastikan jika visi berkarya sebagian guru itu belum merupakan bagian integral dari visi kerja lembaganya.

Jalan Keluar?

Lalu adakah jalan keluar untuk menuju kebaikan bagi jenis pendidik seperti yang saya kemukakan tersebut bagi sekolah yang semestinya menjadi komunitas pembelajar? Bagi kami yang berada di sekolah yang dikelola lembaga swasta, maka jalan keluar sesulit dan serumit apapun harus diupayakan untuk dicari dan dibuat. Bagi saya, upaya yang pertama saya sering lakukan adalah mengajak teman-teman yang berkopenten atas masalah-masalah tersebut berdiskusi dan menemukan solusi. Langkah ini selain kita mengacu kepada peraturan atau tata kelola kepegawaian. Karena dengan diskusi, kami biasanya akan menemukan pemecahan masalah dengan strategi penerapan yang egaliter. Sekali lagi, bahwa goal dari kebaikan itu bagi guru dan pendidik di sekolah adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajaran tidak saja bagi siswanya, tetapi yang paling utama dan pertama adalah justru bagi guru dan pendidiknya.

Jakarta, 25-30 Juni 2012.

24 June 2012

Perhatian Horisontal; Etos Guru #2


Pada Etos Guru kedua ini, saya ingin menyampaikan apa yang saya lami selama hidup bersama-sama di lingkungan sekolah degan teman-teman guru. Yaitu tentang bagaimana kepedulian guru terhadap lingkungan yang ada disekitarnya, lebih khusus di sekolahnya. Dan lingkungan yang saya maksudkan adalah lingkungan horisontalnya.Untuk itulah saya menyebutnya, sebagai perhatian horisontal.

Perhatian Horisontal

Saya sedikit merasa tidak pas untuk menggunakan istilah ini,  sebagai penjelasan tentang rasa caring guru, atau rasa kepedulian guru,  terhadap kondisi dan situasi yang berada di  lingkungan, yang berada diluar tugas pokoknya mengajar. 

Sebagai contoh, untuk guru yang memiliki perhatian dan kepedulian horisontal, bilamana ketika guru sedang melintas di koridor sekolah, dari ruang guru menuju kelas dimana ia harus memberikan pelajaran, maka ia harus menunduk untuk memungut kertas tisu kemudian membuang ke tempat sampah. Inilah maksud saya dengan istilah perhatian horisontal itu. Ini sebuah permisalan yang amat sangat sederhana dan kemungkinan akan selalu ditemui guru di lingkungan kerjanya masing-masing.

Kenyataan seperti itu, memperlihatkan kepada kita tentang bagaimana seorang guru yang begitu peduli dan memiliki rasa memiliki yang tinggi untuk ikut terlibat pada lahirnya sebuah lingkungan yang harmoni. Meski perilaku seperti itu adalah bentuk perilaku yang seharusnya normal dan sederhana. Tetapi masih ada diantara kita yang belum memilki radar kepedulian horisontal sebagaimana contoh tersebut.

Contoh lain misalnya, seperti apa yang dialami oleh teman saya yang harus menunda niatnya untuk melaksanakan shalat dhuha, namun  pada saat yang sama ada beberapa siswa yang bermain sepak bola di teras masjid. Meski disadarinya bahwa siswa yang bermain bola tersebut bukan unit sekolah diana ia mendapat amanah. Namun ketika anak-anak itu selesai dinasehati teman saya tersebut baru tersadar bahwa pada waktu yang sama pula,  ada juga seorang guru dari siswa yang bermain bola tersebut, yang baru juga selesai melaksanakan shalat dhuha dengan sama sekali tidak terganggu dengan aktivitas anak yang bermain sepakbola. Karena temannya itu begitu selesai dhuha, langsung menuju ke pintu masjid dan kembali ke ruang guru tanpa menoleh kepada keriuhan anak-anak didiknya yang tengah bermain sepak bola di teras masjid.
Kacamata Kuda

Guru-guru dengan kompetensi perhatian dan sekaligus kesadaran horisontal sebagaimana dua contoh tersebut, adalah guru yang menurut saya, merupakan guru-guru dengan radar sosial dan horisontal yang peka. Itulah sosok guru yang pendidik. Guru yang tidak hanya fokus kepada materi pelajaran yang diampunya saja sebagai tugas satu-satunya. Itulah sosok guru sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik. 

Meski model guru-guru yang pengajar tersebut tetap saja lolos menjadi Guru Profesional dan berhak atas tunjangan profesi dari pemerintah, namun dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, guru pengajar seperti itu tidak dan belum memiliki nilai tambah bagi lingkungannya. Lebih-lebih bagi sekolah swasta yang menjadikan sisi pelayanan guru sebagai nilai tabah bagi hadirnya kesejahteraan. 

Guru dengan nir perhatian horisontal sebagaimana contoh yang saya kemukakan di atas, adalah model  guru dengan perhatian konsentratif atau model guru yang berkacamata kuda. Maka usaha pertama yang harus kita lakukan untuk meningkatkan harkatnya adalah dengan menenggalkan kacamatanya tersebut dan beralih dari perhatian konsentratif menjadi perhatian distributif. Itulah pintu gerbang perubahan pertama dan utama yang harus dijalaninya.

Allahu a'lam bishawab...

Jakarta, 12 Mei-24 Juni 2012.

Ke Sekolah Hanya Untuk Finger Print? ;Etos Guru #1

Ada beberapa anekdot tentang kehidupan teman-teman yang kebetulan berprofesi sebagai guru, yang saya sendiri merasa sayang jika harus terbuang begitu saja. Karena saya sendiri banyak mendapatkan hikmah dan pelajaran dari anekdot-anekdot yang benar-benar ada di lingkungan kita. Baik anekdot yang 'miring'nya ke arah kekanan atau adakalanya malah kekiri. Ke kanan maksudnya ke arah yang kita kehendaki, sedang ke kiri merupakan arah yang tidak kita kehendaki. Begitulah persepsi saya.

Oleh karena itu, beberapa anekdot tersebut sedapat mungkin  saya abadikan dalam tulisan, sehingga darinya akan dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Tujuannya satu, agar kita selalu menjadi manusia yang lebih baik pada hari ini dari pada hari sebelumnya. Dan, sebagaimana saya kemukakan di atas, karena anekdot yang saya dengar, lihat, dan percakapkan dari situasi belajar mengajar dan pergaulan di lingkungan sekolah umumnya, dan guru khususnya, baiklah kalau anekdot yang berkenaan dengan anekdot tersebut saya beri Judul Etos Guru.

Ke Sekolah Hanya Untuk Finger Print?

Hari itu, saya mendapat cerita dari seorang teman, tentang pasangannya,  yang meminta diantar olehnya pergi ke sekolah pada sore hari, hanya untuk melakukan absensi sidik jari sebagai bukti bahwa ia telah hadir ke sekolah sepanjang hari pada hari itu.
  • Mengapa harus bolak balik kalau memang pagi sudah datang ke sekolah? Mengapa repot pulang dan untuk kemudian balik lagi ke sekolah hanya untuk kepentingan seperti itu? Tanya saya sebagai orang swasta sejak mencari nafkah hingga sekarang ini. Yang tidak akan sampai di dalam akal saya bagaimana akal-akalan seorang guru yang ada di sebuah sekolah top di Jakarta? Yang kalau di brosur sekolah di tuliskan bahwa sekolah tersebut melahirkan lulusan yang mampu menembus PTN di Indonesia? Ata mungkin fenomena seperti itu yang sekarang menjadi benar dan halal lalu akal saya yang justru keblangsak?
  • Iya Pak. Soalnya di rumah banyak cucian. Jadi setelah absen pagi, istriku balik ke rumah untuk mengerjakan pekerjaan yang ditinggalkan. Habis sayang Pak, dari di sekolah tidak melakukan apa-apa? Jelas kawan saya ini. Tentu tercengang saya. 
Praktek semacam ini sama sekali tidak masuk dalam akal sehat saya. Bukankah kalau memang minimal guru memiliki tugas sebanyak 24 jam pelajaran atau tatap muka di kelas, yang barangkali bermakna bahwa guru datang ke sekolah untuk mengajar selama hanya tiga hari maka sisa waktunya adalah untuk persiapan pembelajaran atau juga barangkali harus mengerjakan tugas-tugas keguruan sebagai amanah yang tertera dalam sertifikat sebagai guru profesional?

Inilah sebuah praktek ironi di negeri yang  menjadi kebanggaan kita semua. Hingga kapan kita dapat menyadari bahwa kegiatan semacam ini dianggap wajar atau lumrah? Atau memang budaya seperti ini yang akan menjadi cikal bakal bagi praktek kehidupan kita pada generasi selanjutnya?

Sangka baik saya, semoga ini hanyalah praktek bagi sebagian kecil oknum. Dan bukan menjadi sebuah fenomena yang dilakukan oleh sebagian dari kita. Semoga. Amin.

Jakarta, 08 Mei-24 Juni 2012.

Mengatupkan Bibir

Ada pengalaman yang sungguh menakjubkan saya. Yaitu tentang siswa saya di Kelompok Bermain, KB, yang memiliki kebiasaan tidak mengatupkan bibirnya. Saya belum meneliti mengapa kebiasaan anak tersebut muncul. Boleh jadi karena struktur gigi susunya yang menyababkan bibirnya tidak membuatnya otomatis tertutup atau terkatub, atau bisa jadi pula karena pipiya yag tembem sebagai penyebabnya. Atau bisa jadi juga dua-duanya itu sebagai penyebabnya. Dan mana yang paling menjadi penyebab utamanya, saya tidak dan kurang memahaminya.

Tapi, dari kenyataan itulah yang menyebabkan hubungan saya dengan siswa saya itu menjadi akrab. Dan sesungguhnya tidak dia sendirian yang memiliki kebiasaan tidak mengatubkan bibir. Masih ada satu temannya. Tetapi mungkin karena dia seorang yang rajin ke sekolah, dibanding temannya, maka saya lebih akrab dengannya.

Keakraban itu muncul manakala saya sering memintanya untuk melihat atau menatap muka saya, dan setelah dia sepenuhnya memandang muka saya, maka pada saya itulah saya memperagakan mengatupkan bibir saya. Gerakan saya mengatupkan bibir ini hampir selalu saya peragakan manakala bibirnya terbuka. Dan jika memang konsentrasinya belum ke saya, maka saya akan memanggil namanya.

Upaya saya untuk membiasakan siswa saya tersebut mengatupkan bibirnya tersebut, tidak hanya sekali dua kali. Bahkan berpuluh kali. Pendek kata setiap saya berkeliling kelas dan menemukan siswa tersebut sedang tidak mengatupkan bibirnya, maka saya akan memintanya menatap muka saya dan segera saya memperagakan mengatupkan bibir saya. Dan dia juga akan segera mengikuti apa yang saya peragakan, yaitu mengatupkan bibirnya.

Dan upaya saya itu, rupanya menjadi bagian penting bagi siswa saya untuk menyadari atau memiliki kesadaran dalam mengatupkan bibir. Sebagaimana ketika kami berjumpa pada saat kegiatan Pentas Kesenian di Taman Mini Indonesia Indah beberapa waktu yang lalu. Dimana dia memanggil saya pada saat kami berjumpa. Dan apa yang dia lakukan setelah saya menengok kepadanya; memperagakan mengatupkan bibirnya.

Kala itulah saya berpikir, bahwa siswa saya telah belajar tentang apa yang menjadi ekspektasi saya kepadanya, yaitu; mengatupkan bibir! Terima kasih siswaku.

Jakarta, 24 Juni 2012.

18 June 2012

Salah Jam Masuk

Pagi itu, mungkin untuk beberapa kali kejadiannya, walau juga tidak sering-sering, saya bertemu dengan seorang anak yang masuk sendirian  di sekolah. Mengapa sendirian, karena seluruh teman-temannya tidak ada yang datang ke sekolah untuk hari itu. Semua temannya datang langsung ke lokasi latihan terakhir untuk kegiatan pentas akhir tahun sekolah di gedung pertunjukkan. Kok bisa? Ya memang bisa dan sebagaimana tadi saya kemukakan kadang-kadang walau tidak sering sekali, hal seperti itu terjadi.

Sebagai guru, kejadian ini memang bukan untuk yang kali pertama. Dan meski kita sebagai guru telah membuat catatan di Buku Komunikasi atau juga kita sebut sebagai Buku Penghubung, juga secara lisan kita sampaikan di kelas, masih ada saja anak-anak yang 'beda' dengan teman-temannya. Dan apapun alasannya, esensinya hanya satu; tidak tahu.

Seperti pagi itu, ketika bertemu dia di halaman sekolah, saya langsung bertanya; mengapa datang ke sekolah pagi hari? Bukankah Ibu guru dan Ibu Kepala Sekolah sudah memberitahukan kalian untuk tidak datang ke sekolah di pagi hari, tetapi datang langsung ke tempat latihan terakhir di gedung pertunjukkan pada siang nanti pukul 14.00? Dan sama saja jawabannya; tidak tahu Pak.

Berbagai Argumen tidak Tahu

Terdapat berbagai argumentasi mengapa anak itu tetap datang ke sekolah. Dari pengalaman sebelumnya, orangtua dan anak memang sama-sama tidak tahu. Maka dengan stel yakin anak itu datang ke sekolah dengan di antar ayahandanya sembari langsung menuju ke kantor. Namun ketika melihat halaman sekolah yang sepi, maka pertanyaannya adalah; kok libur Pak? Dan ketika kita berikan penjelasan bahwa libur untuk hari ini, maka pertanyaan berikutnya adalah; Mengapa tidak memberitahukan Pak?

Atau ada pula pengalaman yang lain, bahwa anak sudah memberitahukan kedua orangtuanya bahwa hari itu libur sekolah karena hari sebelumnya mereka baru saja melaksanakan kegiatan luar sekolah hingga sore harinya, namun pihak orangtua tidak mempercayai penjelasan dan keterangan anak. Ini juga karena si anak kehilangan surat dari sekolah yang menjelaskan sekolah libur di hari tersebut. Alhasil, mereka datang ke sekolah disaat semua temannya libur.

Contoh lain lagi, sebagaimana yang saya temui pada pagi itu. Ketika kedapatan bahwa anak tersebut hadir di sekolah sendirian hingga pukul 08.00, maka kami segera menghubungi pihak keluarga. Dan informasi yang kami dapatkan adalah bahwa orangtua mengetahui bila hari itu adalah hari libur. Namun karena si anak ngotot bahwa hari itu tetap masuk seperti biasa, maka orangtua mengantar juga sang anak ke sekolah. Dan sadarnya anak bahwa informasinya tidak lebih valid dari informasi orangtuanya, menjadikan anak tersebut menginsyafinya.

Dan dari anekdot tersebut, mana yang lebih sering terjadi jika ada anak datang ke sekolah disaat teman lainnya libur? Adalah anekdot pertama. Dan mana yang lebih membuat kesal orangtua? Adalah anekdot pertama dan kedua. Dimana ketika pihak orangtua tidak mengetahui. Untuk itulah, sebagai bagian dari operasional sebuah sekolah, pelajaran yang dapat adalah memastikan secara yakin bahwa orangtua mengetahui jadwal kegiatan yang ada di sekolah minimal satu bulan ke depan. Pengetahuan dan kesadaran ini sebagai langkah prediktif dari terjadinya miss komunikasi. Semoga. Amin.

Jakarta, 12 Juni 2012.

12 June 2012

Anak yang tidak Nyaman Ketika Salah Seragam

Pagi ini, ketika anak-anak baru saja berdatangan dan sampai di halaman sekolah, saya mendapat seorang anak kelas satu yang mendekat dengan wajah yang ingin disapa. Saya hafal benar dengan perilaku anak-anak itu. Pura-pura dekat padahal sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Dan penyampaiannya itu sepertinya pas kalau momennya kita sebagai orang dewasa membuka pintu atau memulai percakapan terlebih dahulu. Begitulah gerak-gerik dari perilaku anak-anak yang saya dapat tandai. Termasuk pagi hari itu. Dengan seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Bercelana dan berkemeja pakaian seragam hari Senin, putih-putih.

Pinjam Telepon

Dan itulah memang yang terjadi kemudian. Setelah saya bertanya mengapa wajahnya tampak tidak terlihat bahagia, dan saya bertanya apakah sedang sakit? Dia langsung mengaduan permasalahannya. Dikatakannya bahwa ia mengenakan pakaian seragam yang tidak sama dengan teman-teman di kelasnya. Dima pada saat itu karena kegiatan kelas sedang sibuk dengan persiaan pentas akhir tahun sekolah, maka anak-anak diperkenankan mengenakan pakaian bebas bernuansa hijau, dan dia sendiri justru mengenakan pakaian seragam hari Senin.

Tetapi saya merasakan adanya ketidakpercayaan diri yang pada saat itu menonjol. Hal ini harus kita sadari karena anak tersebut masih duduk di kelas satu sekolah dasar, yang memang menjadi paling berbeda diantara yang lain, yang justru 'seragam' mengenakan kaos. Dan meski jaminan dari saya yang saya sampaikan secara langsung kepadanya bahwa tidak mengenakan kaos sebagaimana teman-temannya kenakan tidak apa-apa, tetap saja anak tersebut meminta saya untuk meminjamkan telpon guna menelpon kepada orangtuanya yang mungkin sudah berada di rumah atau mungkin saja sedang di perjalanan ke kantor, guna memberitahukan apa yang terjadi.

Dan saya berpikir bahwa anak itu akan meminta orang yang ada di rumah untuk mengantarkan kaos agar dia bisa berganti. Namun saya meyakinkan kepadanya bahwa pakaiannya yang salah atau tidak sama dengan apa yang dikenakan teman-temannya tidak menjadi masalah.

Karena belum juga merasa nyaman, maka saya ajak anak tersebut masuk ke dalam kelas menemui gurunya. Nanti, pikir saya, saya akan memberikan jaminan sekali lagi dengan mengatakan bahwa pakaian yang dia kenakan tidak apa-apa langsung kepada guru kelasnya, dihadapannya.

Konfirmasi

Kejadian seperti itu di sekolah, menjadi sebuah kasus atau mungkin paling pas kalau saya katakan sebagai anekdot normal. Karena anak kecil sungguh tidak bisa menerima sesuatu yang diluar norma yang menjadi anutan bersama. Anak begitu bermasalah ketika ia berbeda sendirian, meski itu adalah baju seragam. Itulah barangkali yang harus juga menjadi perhatian kita sebagai orangtua anak di rumah. Kita tidak dapat melepas anak kita di sekolah begitu saja. Dan menyambung silaturahim dengan pihak sekolah ataurajin mengikutinya meski melalui buku komunikasi atau mungkin surat-surat edaran yang ada, menjadi bentuk konfirmasi yang efektif agar anak kita tidak tertinggal atau kehilangan rasa nyaman sebagaimana salah seragam seperti cerita saya ini. Semoga.

Jakarta, 11 Juni 2012.

10 June 2012

Anak-Anak Jujur, Refleksi UN SMP 2012 #8

Dalam menanggapi hasil UN SMP tahun ini, kami memiliki rasa yang campur aduk. Rasa itu adalah rasa bahagia dan sedih. Mengapa harus bahagia dan mengapa pula harus sedih, yang bersabdar di dalam sanubari saya dan teman-teman yang menjadi guru di sebuah sekolah? Bukankah jamaknya jika mendengar hasil yang baik, misalnya kelulusan yang diraih dengan 100% berhasil, maka hanya rasa kebahagiaan yang  dirasakan dan tidak gundah atau bahkan sedih? Tetapi itulah rasa yang benar-benar saya dan teman-teman genggam pada hari-hari ini.

Rasa Sedih

Dan rasa sedih itu akan berkembang menjadi rasa kecewa dan bahkan marah manakala kami sedang memperbincangkan tentang hasil UN itu. Tidak peduli dimana kami berdiskusi, tetapi jika situasi itu muncul, kami benar-benar sepakat untuk geram. Dan kegeraman kami itu bermuara kepada masih dijadikannya para peserta didik kami yang menjadi target penjualan, ini prediksi dan hasil analisa kami dari beberapa kejujuran yang kami dengar dari para peserta didik kami yang lain, dari  kunci jawaban dari tahun-ketahun.

Kalau tahun sebelumnya para peserta didik kami sibuk luar biasa di pagi hari jauh sebelum ujian berlangsung, kalau pada UN tahun ini justru tidak ada kesibukan sama sekali. Maka ketika hasil UN itu sudah keluar, kami dibuat Knock Out. Terutama kepada anak-anak yang tidak seharusnya mendapat angka sempurna karena dalam kesehariannya terlalu sulit kenyataan itu terjadi, namun di dalam DakolUN, daftar kolektif nilai ujian, anak itu justru memperoleh nilai sempurna!

Lalu kepada siapa sumpah serapah kekesalan kami ini harus kami sampaikan? Kepada oknum yang telah melakukan penjualan kunci jawaban UN kepada peserta didik kami! Karena kepada oknuk itulah kami mencurigai terjadinya skenario yang sama yang terjadi tahun-tahun kemarin. Atau bahkan sebelum kami menyadari pratek kotor tersebut. Dan kami lebih gemas lagi terhadap oknum tersebut, terutama untuk tahun pelajaran ke depan. Kami menyeringai bahwa praktek semacam ini akan berulang kembali di tahun depan, tentunya dengan target peserta didik kami, yang dia nilai akan mampu secara finansial untuk melakukan transaksi, dan mau.

Rasa Bahagia

Dan diantara rasa geram itu, kamipun diliputi bahagia. Tidak hanya kepada hasil murni yang telah diraih anak-anak kami pada pelaksanaan UN tahun ini, tetapi justru kepada kejujuran anak-anak itu. Karena kami yakin bahwa anak-anak jujur tersebut satu dan duanya pasti telah diperlihatkan kunci yang dapat mereka gunakan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tetapi mengapa mereka tidak melakukannya dan lebih memilih dengan keyakinan diri dan tidak bergeming atas tawaran itu? Disinilah kebahagiaan kami membuncah.

  • Buat apa Pak saya ikut beli kunci jawaban? Ngak ada uang saya Pak. Walaupun harus mengambil dari tabungan saya, uang sebanyak itu tidak akan mungkin saya miliki. Kata seorang anak didik saya yang angka IPAnya memperoleh angka sempurna dengan semurni-murninya. Karena anak itu memang anak cerdas di kelasnya dan juga linier dengan hasil-hasil TO yang dilakukan selama sebelum UN.
  • Kalau saya jujur Pak. Saya kan sudah diterima di sekolah X itu Pak. Kalau saya pakai kunci yang beredar itu dan nanti nilai UN saya bagus, saya akan mesuk dalam kelas unggulan mereka ketika duduk di bangku SMA. Saya ngak mau Pak. Nanti saya harus terus menerus bekerja super keras untuk mengejar ketuntasan di kelas tersebut. Kata anak didik saya yang lain. Sebuah jawaban yang menurut saya satu langkah ke depan. Jawaban yang futuristik!
  • Pak Agus, saya jujur untuk masa depan saya sendiri Pak. Apa yang akan terjadi jika saya mampu mengerjakan soal-soal tersebut dengan jujur tetapi justru saya ikut terlibat menggunakan kunci jawaban yang saya dapat dengan tidak benar? Kata anak murid saya yang lain.
Dan juga jawaban-jawaban yang lain, yang saya dapatkan ketika kami bertemu anak-anak itu ketika kami terlibat dalam dialog informal. Dan petikan dialog itu, kami sampaikan kepada teman-teman yang lain untuk menjadikan semangat kami kembali naik. Terima kasih anak-anak jujur!

Jakarta, 06 Juni 2012.

06 June 2012

Hasil UN yang Semurni-Murninya, UN SMP 2012 #7

Ini adalah cita-cita saya dan juga teman-teman yag masih gunsih dirundung kegundahan akan hasil UN 2012 kami. Yang meski semua siswa atau peserta didik kami dinyatakan lulus 100 %, dengan nilai rata-rata sekolah yang tergolong baik, tetapi dengan melihat beberapa anak yang seharusnya tidak mendapatkan nilai yang ujug-ujug melompat, atau mendapatkan nilai yang tiba-tiba tinggi dibanding da\engan nilai mereka sehari-hari, kebanggaan kami bercampur baur dengan kesedihan.

Itu pula yang ketika beberapa anak kelas IX datang untuk latihan pentas akhir tahun, saya tegur dan tanya kabar dan juga nilai UN yang berhail mereka dpatkan serta rencana ke depan untuk melanjutkan sekolah, mereka, anak-anak jujur kami itu, dengan tegas berkata: " Saya jujur Pak". Kata-kata yang bagi kami memberikan kabar bahwa ada diantara teman-teman mereka yang tidak jujur dalam mengerjakan LJUN, Lembar Jawaban Ujian Nasional,  sehingga mendapat hasil yang bagus luar dari kebiasaan nilai mereka sehari-hari, yang justru melahirkan tanya.

Apa yang dikatakan anak tersebut adalah indikator awal sesudah kami sendiri, selaku guru anak-anak itu, terjada ketidak wajaran niai UN anak-anak dalam bentuk grafik yang tiba-tiba melompat pada saat  hasil UN keluar. Dan indikator berikutnya adalah pada saat anak-anak yang lain mengatakan tentang harga kunci jawaban. Juga yang membuat saya sendiri tercengang adalah anak yang mendaptkan nilai sempurna di mata pelajaran tertentu tersebut, justru mengelak atas kecurigaan orang disekitarnya terhadap kesempurnaan yang didapatnya dengan mengatakan: "Saya kan ikut Bimbingan Belajar Pak."

Karena kita semua, diam-diam mengendus bahwa salah satu lembaga itulah yang membuat anak didik kami yang miring secara akademis tersebut 'digarap'. Garapan pertama adalah masuknya anak-anak itu ke lembaga tersebut, dan langkah berikutnya, oknum di lembaga itulah yang 'menjual' ketidakberuntungan tersebut kepada anak-anak didik kami sejak beberapa tahun lalu. Dan ini sudah menjadi rahasia diantara kami yang ada di sekolah atau juga para orangtua siswa.

Lalu, kalau hampir semua kami megetau modus tersebut, mengapa kami tidak membongkar praktek busuk tersebut? Ini berkaitan tentang kesaksian dan barang bukti yang sangat muatahil dapat kami jadikan sebagai alat pembongkar dari permainan drama ini. Oleh karenanya, langkah preventif yang memungkinkan kami lakukan.

Langkah inilah yang saya bincangkan dengan beberapa guru di ruang bersama kami. Antara lain bahwa; Satu, nanti seluruh perabot tulis pada saat UN benar-benar kami yang akan suplai dan langsung kami sediakan di ruang kelas masing-masing, dengan meminta bantuan keada para pengawas UN untuk mendistribusikannya.

Dua, Kami akan benar-benar selektif memperbolehkan peserta UN memasuki ruang ujian. Mereka akan diperbolehkan setelah kami, para panitia UN meneliti 'kebersihan' para peserta tersebut.

Tiga, Dan sebagai upaya agar anak dan orangtua benar-benar memegang teguh akan kemurnian hasil Ujian Nasinal yang semurni-murninya, kembali saya akan mengingatkan kepada mereka akan hebatnya keberkahan. Bahwa kemurnian ikhtiar akan melahirkan kemurnian hasil. Dan hasil yang murni serta bersih, adalah modal pertama untuk memperoleh keberkahan. 

Empat, Untuk melahirkan rasa percaya diri akan kemampuan dan keberhasilan yang akan kita raih, kami akan terus berupaya agar anak-anak kami benar-benar dan bersungguh-sungguh belajar dan bekerja dengan keras dan cerdas. Dan peta keberhasilan anak-anak kami dalam UN adalah kisi-kisi atau SKL.

Lima, Doa untuk selalu menjadi sebuah  kunci pembuka sebuah keberhasilan dan keberkahan. Amin.

Jakarta, 06 Juni 2012.

03 June 2012

Seberapa Besar Daya Juang Mereka, UN SMP 2012 #6

Pada artikel saya sebelumnya, http://www.aguslistiyono.blogspot.com/2012/06/un-smp-2012-5-adakah-praktek-kotor.html, yang berbicara adanya dugaan kami, atau kemungkinan akan adanya aroma buruk tentang praktek kotor dalam pelaksanaan UN SMP tahun ini, yang tentunya pemain utamanya adalah anak-anak kami sebagai peserta UN dengan sponsor langsungnya adalah para penjual kunci jawaban UN dan sponsor tidak langsungnya adalah para penyandang dana, saya akan melanjutkan asumsi dari dugaan tersebut dalam artikel ini. Dimana kelanjutan dari skenario tersebut adalah mereka yang terduga tersebut merupakan prototipe sebuah generasi yang tidak cukup memiliki daya juang. an dari beberapa kasus yang kami lihat, dikemudian harinya, anak-anak dengan nilai UN yang ujug-ujug tinggi tersebut, rata-rata akan menyurutkan langkahnya kebelakang karena memang secara realita kompetensinya tidak berbanding lurus dengan nilai UN yang dimilikinya saat UN. Tetapi kenyataan ini, yang cukup membuat kami sedih adalah tidak atau minimal belum lahirnya kesadaran dari pihak orangtua akan 'gerak-gerik' para anandanya. Alhasil, meski langkah mereka surut kebelakang beberapa langkah  setelah sebelumnya melompat ke depan.
Melompat ke Depan

Yang saya maksud dengan langkah mereka yang melompat ke depan adalah karena secara harian dalam kehidupan normal di dalam kelas, mereka adalah anak-anak yang memang secara khusus butuh perhatian dari para gurunya. Misalnya dalam hal pemahaman terhadap materi pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Mereka anak-anak yang benar-benar memerlukan dorongan. Meski secara normal dalam setiap tahunnya jumlah mereka tidak lebih dari lima anak untuk seluruh angkatannya. Sebuah angka normal untuk sebuah kurva normal. Meski juga harus saya sampaikan di sini bahwa mereka bukan anak-anak yang oleh beberapa orang disebut sebagai kurang. Mereka hanya berada satu titik di bawah anak-anak dengan prestasi normal di kelas.

Namun tidak dipungkiri pula bahwa ada diantara mereka yang berada dalam posisi normal atau dalam strata rata-rata di dalam kelasnya. Meski demikian, pada posisi itulah guru menjadi terkaget dan bertanya manakala pada hasil UN nilai mereka yang jumlahnya lebih kurang lima anak tersebut melonjak tinggi dan berada pada posisi sepuluh terbaik.

Lalu darimana hasil UN tersebut menjadi tinggi sebagaimana yang saya uraikan itu? Allahu a'lam bishawa. Karena secara normal, berdasarkan pada  kompetensi akademik yang dimiliki beberapa anak didik kami tersebut, harusnya bukan berada pada titik itu posisi mereka. Inilah yang saya maksudkan dengan istilah melompat.

Surut ke Belakang

Lalu apa yang saya maksudkan dengan surut ke belakang? Karena dengan nilai UN yang melompat tersebut, beberapa anak yang berhasil memperoleh nilai UN melompat tersebut menggunakannya untuk dapat masuk ke SMA dengan passing grade yang bagus-bagus. Meski, sekali lagi, hampir semua dari mereka yang berhasil melompat itu telah memiliki sekolah swasta yang juga telah diselesaikan administrasinya.

Dan inilah yang akhirnya terjadi, beberapa lagi dari mereka yang telah masuk SMA pilihannya dengan modal hasil UN yang melokpat itu hanya masuk lebih kurang satu semester untuk akhirnya surut ke belakang. Langkah surutnya kebelakang ini, sejauh saya mengetahunya, terdapat dua langkah. Langkah pertama adalah berhenti sekolah dan memilih untuk home schooling. Dan langkah keduanya, adalah pindah sekolah ke sekolah yang lebih kurang dengan passing grade yang lebih rendah.

Mengapa mereka yang kami duga memiliki nilai UN dengan melompat tersebut pada akhirnya memilih langkah untuk surut ke belakang? Menurut asumsi saya, karena secara mendasar, kompetensi mereka atau daya juang mereka tidak cukup besar untuk melakukan sebuah lompatan. Atau setidaknya, ketika melakukan lompatan, mereka terlalu jauh.

Dan inilah salah satu implikasi bahwa memperoleh nilai UN dengan cara-cara instan, hanya berakhir kepada sebuah kenangan yang menyakitkan sekaligus tidak akan pernah membanggakan. Apalagi menaikkan martabat kita. Lalu apa pilihan Anda untuk UN tahun berikutnya?

Jakarta, 03062012.

02 June 2012

Adakah Praktek Kotor?, UN SMP 2012 #5

Kamis, 31 Mei 2012, adalah hari dimana seluruh pemangku sekolah untuk tingkat SMP di Indonesia memperoleh hasil UN SMP tahun 2012. Hasil ini merupakan hasil yang akan dan harus diumumkan oleh sekolah kepada para peserta didiknya yang menjadi peserta UN SMP tahun 2012 pada Sabtu, 02 Juni 2012. Alhamdulillah, bahwa 100% peserta UN di sekolah kami lulus.

Namun sebagaimana yang pernah saya tulis dalam blog ini sebelumnya, http://www.aguslistiyono.blogspot.com/2012/04/hasil-un-dari-contekan-itu-sungguh.html, ada semacam ketidak tulusan kami, para pendidik, ketika melihat lembaran hasil UN yang ada tersebut, meski hasilnya berkualifikasi A dalam UN tahun lalu. Ketidaktulusan ini bukan berarti kami tidak mensyukuri atas semua hasil UN para peserta didik kami, tetapi kami masih menemukan beberapa anak yang memperoleh hasil UN yang janggal. Padahal di awal pelaksanaan UN, kami sudah mewanti-wanti anak-anak untuk pasrah dengan ikhtiar jujur yang telah secara keras mereka perjuangkan dengan tanpa melirik iming-iming untuk memperoleh kunci jawaban. Namun dengan melihat kenyataan bahwa beberapa anak kami masih memperoleh nilai aneh, maka kesyukuran kami menjadi tidak sepenuhnya tulus.

Ikut Campur Siapa?

Dan apa yang terjadi tahun lalu dengan kerja keras serta bertahap kami coba usahakan. Untuk meningkatkan diri siswa akan kemampuannya mengerjakan UN dengan harapan hasil yang maksimal, kami lakukan dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi kami jalani dengan secara lebih cermat dan fokus kepada SKL UN yang menjadi patokannya. Dari titik ini kami mencoba berusaha dengan prinsip kerja keras dan kerja cerdas. Sedang pada ranah ekstensifikasi, kami lakukan pemadatan dan pengayaan terhadap materi-materi yang menjadi bagian dari SKL UN yang ditentukan Depdikbud.

Sedang untuk peningkatan aspek percaya diri selain dengan kedua program sukses UN tersebut, kami juga membekali anak-anak dengan membangun konsep berpikir positif melalui kajian dan pelatihan, yang kami kemas secara manarik, rileks, dan mencerahkan. Di bagian ini kami juga menagajak seluruh siswa untuk mempertahankan dan memperjuangkan kejujuran dalam mengerjakan LJUN. Meski, bisa jadi, ada oknum yang menawarkannya pertolongan bagi jawaban.

Dan pada aspek ini pula, saya tidak kurang mengajak para orangtua untuk benar-benar mengontrol keuangan anak-anak mereka. Mngontrol dalam bentuk selalu berhati-hati jika anak mereka meminta budget atau dana di luar dana yang dibutuhkan secara normal. Karena takutnya, uang yang diberikannya itu ternyata untuk budget pembelian atau transaksi kunci jawaban UN. Saya mengingatkan pada bagian ini bahwa kalau saja anak telah membelanjakan uang pemberian orangtuanya untuk maksud tersebut, dan ternyata kunci jawaban UN yang dibelinya benar-benar berkintribusi kepada hasil UN, maka mulai dari situlah royalti ketidakjujuran mulai dihitung.

Oleh karenanya, saya dan teman-teman kembali tercengang dengan kemampuan anak yang relatif perlu dorongan di saat pembelajaran sehari-hari tetapi dalam lembaran hasil UN yang kami unduh darih ttp://www.simdik.info/ tersebut justru berada di urutan lima besar atau paling tidak ada di dalam kelompok sepuluh besar perolehan hasil UN. Bahkan ada diantaranya yang memperoleh angka sempurna. Sebuah realita yang kami meragukan kebenarannya. Tetapi hasil itu benar-benar tertera sebagai hasil UN anak kami.
  • Apalagi yang harus kita lakukan untuk membendung kecurigaan kita atas praktek kotor ini? Kata saya kepada teman-teman di ruang guru ketika kami ngeriung membahas hasil UN pada Jumat, 01 Juni 2012 lalu.
  • Yang pasti kita harus bekerja ekstra keras lagi Pak. Jawab seorang teman.
Kami semua diam. Dan saya meninggalkan ruangan itu.  Dalam perjalanan menuju ruangan bersama, saya berpikir tentang bagaimana strategi menyampaikan dan melaporkan hasil UN yang demikian kepada atasan kami? Meski kami yakini, dari pembahasan kami tadi bahwa hanya ada dua atau tiga dari siswa kami yang memperoleh nilai aneh sehingga melahirkan dugaan kami akan adanya praktek kotor diluar sepengathuan kami sebagai pendidik di sekolah?

Jakarta, 02 Juni 2012.