Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

26 February 2014

Potongan Rambutnya menjadi Personal Brand-nya

Personal brand. Ya, seperti orang-orang yang berkecimpung di dunia penjualan. Namun bagi saya, ada ranah berbeda yang maknanya mirip dengan apa yang dimaksud dengan para aktivis di dunia penjualan tersebut. 

Beginilah ceritanya;

Pagi ini, saya bertemu dan sempat dialog singkat dengan seorang anak yang sejak awal tahun pelajaran 2013/2014 ini memiliki gaya potongan rambut necis yang selalu sama. Dan pada awal pekan ini, saya melihatnya gaya rambutnya dengan model potongan yang sama, tetapi tampak masih baru dipotong.

"Week end kemarin ya dipotongnya?" sapa saya di depan tangga menuju lantai 3 sekolah kami.
"Iya Pak. Hari Jumat yang lalu Pak." jawab anak itu sambil senyum-senyum.
"Di Hawai lagi?" lanjut saya.
"Tidaklah Pak. Di mal Pak. Di Jakarta." jelasnya. 

Perlu saya jelaskan, bahwa anak didik kami ini masih duduk di kelas 6 sekolah dasar. Ia adalah anak yang berbakat dalam hal audio dan video. Ini karena beberapa waktu lalu, saat pelajaran sejarang, ada proyek yang anak-anak harus buat. Yaitu mebuat film untuk peristiwa sejarah. Dan kelompok anak itu membuat adegan tokoh nasional muda sebelum kemerdaan, Soekarno, yang diculik oleh pemuda-pemuda untuk dibawa ke Rengasdengklok, dalam rangka mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan.

Dan kelompok inilah yang mengajukan izin kepada saya waktu itu untuk melakukan pengambilan gambar  di ruangan-ruangan yang memiliki perabotan rotan. Karena menurutnya cocok. Dan saat  pengambilan gambar berlangsung, maka anak inilah yang menjadi sutradara, pemain, dan sekaligus kameramen.

Kembali kepada model potongan rambut anak tersebut, saya menjadi hafal karena memang dialah satu-satunya di sekolah kami yang menggunakan model potongan rambut seperti itu. Dan hebatnya lagi, itu menjadi trade mark-nya. karena setiap bulan ia selalu memangkas rambutnya dengan model yang itu-itu juga. Tidak pernah berganti.

Maka kepada guru yang lain yang berada di samping saya saat itu, saya katakan bahwa;
"Di saat anak-anak lain di kelas 6 belum menyadari akan keberadaan diri mereka, anak itu telah menemukan jati dirinya di rambutnya. Dan model rambutnya itu adalah bentuk personal brand-nya. Hebat bukan?"

Teman guru yang berada di sebelah saya itu hanya mengiyakan. Meski begitu, saya pribadi terus berpikir dan kagum akan apa yang sudah dioilihnya sebagai ciri khas dalam berpenampilan. Maka sekali lagi hebat. Salut!

Jakarta, 26 Februari 2014.

24 February 2014

Menjadi Petani?

Apa yang patut dibanggakan di negeri agraris ini untuk menjadi atau memilih profesi petani? Atau jangan-jangan memang tidak ada profesi yang bernama petani? Setidaknya inilah yang pernah diungkap oleh Mas Slamet, ketua komunitas petani organik Brenjonk, Trawas, Mojokerto, pertengahan November 2013 lalu.

Seperti lelucon bila seorang dari generasi muda, meski ia berasal dari daerah pedesaan untuk mencita-citakan masa depannya sebagai petani dan bukan pegawai. Apalagi jika mereka adalah generasi yang menuntut ilmu di kota-kota atau bahkan di metropolitan, Dan dengan itu kemudian ia mendapatkan gelar kesarjanaan di bidang yang wah dari perguruan tinggi negeri wah pula? Pasti tidak menjadi hal yang patut dibanggakan. Karena itu adalah mimpi yang tidak patut diangankan.

Bahkan seorang petani pun tidak mengangan-angankan anak keturunannya menjadi seorang petani guna mengolah lahan yang dimilikinya atau meneruskan perjuangannya. Pun juga kelakar anggota dewan yang tenar lewat istilahnya yang cerdas; "ngeri-ngeri sedap.", beberapa waktu itu saat dirinya santer disebut-sebut menjadi bagian dari masalah yang sedang di tangani KPK. Dimana si anggota dewan berkalakar kalau hidup aman-aman saja, tanpa menanggung resiko, maka jadilah petani!

Namun dalam catatan saya ini, saya justru akan uraikan keinginan saya untuk menjadi seorang petani. Ya, menjadi seorang petani. Tentunya kondisi yang sekarang ini saya miliki. Dimana lahan dan waktu yang saya miliki terbatas. Juga dengan lokasi yang kurang mendukung. Namun mimpi itulah yang begitu kuat mengakar pada diri saya menjelang hari-hari belakangan ini.

Tidak Keren

Padi dalam pot percobaan. Saya butuh 40 pot jika hasil padinya untuk konsumsi sendiri.
Itulah paradogsal yang benar-benar menjadi sebuah realita yang ironi di sebuah wilayah negara agraris tersebut. Menjadi petani sebagai cita-cita adalah sebuah keganjilan. Keanehan atau bahkan membingungkan. Apalagi jika itu  lahir sebagai tekad dari anak muda.

Dan karena itu pulalah yang justru menguatkan niat saya untuk benar-benar menjadi petani. Sebuah mimpi yang masih dalam tataran konsep. Namun harus tetap saya perjuangkan. Setidaknya sebagai bagian usaha untuk memberikan keyakinan kepada siapapun yang berada di lingkungan terdekat saya.

Ini penting, karena ketika saya deklarasikan mimpi tersebut, maka lingkungan terdekat saya langsung berpikir tentang pendapatan bulanan. Dan ini memang menjadi masalah. Oleh karena itulah untuk tahap awal saya akan memilih jalur menjadi petani secara part timer.

Petani di wilayah Malang yang adalah seorang pensiunan. Menyewa lahan di perumahan untuk bertanam sayuran. 
Ini, sekali lagi, bukan olok-olok saya. Tahap pertama sebagai goal-nya adalah kemandirian sayuran untuk keluarga. Dan ini akan menjadi pijakan pertama dalam rangka swasembada pangan bagi keluarga kami. Beras, kangkung, bayam, cabe, bawang,  terong, kacang-kacangan, atau sayuran yang dapat tumbuh di atap rumah.

Lalu bagaimana langkah berikut yang saya lakukan? Saya masih menunggu benih-benih percobaan saya itu tumbuh dan memberikan harapan. 

Jakarta, 24 Februari 2014.

23 February 2014

Buffet Memilih Sederhana?

Apakah dengan tampilan sederhana menjadikan kita tidak berwibawa? Lebih kurang itulah yang saya dapatkan dari kalimat-kalimat motivasi  seorang pimpinan KPK kita, Pak Busro Muqoddas di salah satu rubrik Kompas, 1 Februari 2014, tentang menjalani hidup.

Wibawa? Atau mungkin saya dapat sederhanakan dengan kata lain yang serupa, harga diri. Bagaimana kita sebagai sosok yang dihargai sebagaimana mestinya. Dihargai dengan tidak melihat apa yang sedang saya kenakan, atau bahkan apa yang saya miliki.

Lalu apakah ini tidak bertentangan dengan apa yang saya dapatkan selama ini bahwa ajining rogo ono ing busono? Sebuah istilah yang mengakar kuat pada diri saya. Dinyatakan bahwa harga diri seseorang juga adalah implikasi dari apa yang dikenakannya.

Sederhana

Mungkin sosok ini yang dapat menjadi pembanding disaat sekarang ini.
Inspirasi untuk memilih sederhana ini justru tidak saja datang dari mereka yang memang menjalani hidup dengan begitu-begitu saja meski ditopang dengan kondisi ekonomi yang begitu bagus. Tetapi juga oleh yang saya dapatkan dari berita yang saya follow di twitter. Dan itu menjadi motivasi. Bukan untuk memilih sederhana karena bagi saya pribadi memang harus sederhana mengingat topangan ekonomi yang nyata.

Sekali lagi, memilih sederhana menjadi begitu mudah untuk orang seperti saya. Tapi bagaimana dengan Anda yang terlanjur memiliki apa yang memungkinkan untuk berada pada tataran jauh dari pada lebih? Atau misalnya, Warren Buffett? 

Mungkin itu yang saya dapat petik dari apa yang Pak Busro Muqaddas maksudkan. Allahu a'alam bishawab.

Jakarta, 23 Februari 2014.

Dua Tamu Istimewa Saya

Sebuah Jumat, hanya beberapa menit sebelum shalat Jumat dimulai, ada dua tamu kecil di ruangan kerja saya. Mereka adalah anak-anak didik kami yang memiliki perhatian pada hal tertentu yang baik. Keduanya adalah anak-anak yang akrab mendatangi ruangan saya dan mengajak saya untuk berdiskusi atau sekedar bertukar informasi yang menjadi ketertarikannya.

Anak didik yang kecil, yang duduk di bangku kelas 5 SD, memiliki minat yang begitu besar dan sekaligus mendalam pada keterampilan digital. Termasuk di dalamnya adalah komputer. Maka tidak heran bila dia akan menyarankan kepada saya tentang aplikasi tertentu yang layak untuk saya jadikan pilihan. Namun karena komputer yang saya punya adalah komputer dulu dengan fungsi untuk tulis menulis masalah kantor, jadi saya tidak tertarik akan apa yang menjadi sarannya.

Selain komputer, adalah juga seluler. Perhatian dan kemampuannya dalam dua hal itu yang membuat kami semua takjub. Mungkin karena rasa ingin tahunya yang begitu tinggi, maka anak seusia kelas 5 itu menjadi mahir dalam utak-atik.

Sedang anak didik yang satunya lagi, adalah anak didik kami yang duduk di bangku kelas 9 SMP. Yang adalah pengamat transfortasi. Khususnya jaringan transfortasi darat yang menjadi andalan DKI Jakarta. Termasuk di dalamnya adalah informasi terbaru yang dimilikinya, tentang armada bus gandeng impor dari negeri China, dimana dari bus-bus baru yang yang telah beroperasi di jalanan itu, diantaranya sudah karatan.

Tamu Istimewa

Itulah dua tamu istimewa saya menjelang saat shalat Jumat dimulai. 

"Loh, Pak Agus masih ada tamu?" Kata seorang guru di ruangan saya diikuti oleh tiga guru kelas 1 lainnya. Memang, kami berjanji untuk bertemu sebentar guna membahas waktu pertemuan kami. Dan ketika mereka masuk ruangan saya, mereka sedikit kaget kalau saya masih punya dua tamu yang duduk mengitari meja kerja saya.

"Benar. Kami sedang diskusi masalah komputer dan sekaligus bus gandeng."

Maka dengan bahasa yang baik, saya sampaikan kepada dua tamu istimewa saya itu untuk segera menuju mushola tempat dimana kita akan melaksanakan shalat Jumat. Sehingga memungkinkan kami berdiskusi tentang pengaturan jadwal pertemuan.

Jakarta, 23 Februari 2014.

Belajar Naik Kelas

Bertemu teman-teman sejawat dalam sebuah forum pertemuan rutin pembelajaran di sekolah, adalah komitmen kami di sebuah lembaga pendidikan, tentunya bersama dengan mereka semua, komunitas sekolah itu, secara rutin dan reguler. Mungkin inilah yang kami sebut sebagai konsep dari apa yang orang sebut membangun sinergi.

Kumpul Mingguan

Memang ada komentar dari teman-teman yang ada di luar tentang apa yang kami lakukan secara rutin mingguan ini. "Kalau sering berkumpul sebenarnya bisa menjadi kontra produktif." Demikian disampaikan kepada saya suatu kali. Dan saya berpikirnya justru kebalikannya. Ini tidak lain adalah pengalaman yang selama ini menjadikan kami memilih untuk terus membangun komunikasi.

Saya sendiri sempat pula berpikir bahwa, inilah bagian penting dari konsep tanggung jawab. Dan ini menjadi penting untuk saya benar-benar jadikan tekad. Karena apapun warna yang akan terjadi belakangan, semua tidak akan dilepaskan begitu saja dengan si penanggungjawabnya. Oleh karena itu, dengan berbagai masukan, saya tetap mengajak teman-teman untuk fokus kepada hasil yang positif dari semua ikhtiar yang kita canangkan.

Maka konsep berkomunikasi secara menyeluruh disemua unsur dan komunitas tersebut menjadi tekad kami bersama. Yang tujuannya tidak lain selain membangun komunikasi seerat mungkin. Karena dengan komunikasi yang mengalirlah, yang lancarlah, maka kami akan dieratkan satu sama lain dengan tujuan yang sama.

Belajar Naik Kelas

Inilah tekad lain yang ingin kami ajak kepada semua teman-teman dalam komunitas pembelajar tersebut. Bahwa dengan bertemu secara reguler, berbagi pengalaman dan pandangan,  adalah bentuk-bentuk menakar diri kami masing-masing kepada 'dunia luar'. Karena dengan tetap melihat dalam diri kita, dunia luar yang berlari kencang, dan melakukan sinkronisasi pada dua sisi tersebut, akan menjadikan kami semua menjadi pribadi yang selalu bisa masuk dalam kategori kompetitif. Iilah yang kami sebut sebagai belajar untuk dapat naik kelas selalu. Semoga!

Jakarta, 23 Februari 2014.

12 February 2014

Memelihara Akal

Menonton tayangan tv tentang seorang pasien RS yang dibuang di daerah Lampung pada Selasa, 11 Februari 2014 mlam kemarin, saya dihadapkan lagi kepada fenomena untuk memelihara akal saya dalam menjalani kerja penalaran. Ini menjadi penting saya jadikan catatan, mengingat kenyataan bahwa kejadian ini memang benar-benar mengganggu kestabilan bernalar bagi akal semua manusia.

Seperti dalam tayangan itu, bagaimana kasus yang hanya ada di Indonesia itu dilakukan oleh sebuah RS yang konon pernah mendapatkan prestasi di tahun sebelumnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pemandu acaranya, Pak Karni Ilyas; "Kalau rumah sakit yang terbaik saja membuang pasien , bagaimana dengan rumah sakit terburuk?"

Penuh Resiko

Apa yang dilakukan oleh RS tersebut adalah sebuah tindakan yang amat sangat serampangan. Mereka barangkali berfikir ketidakterlacakan apa yang dilakukan.Tetapi benarkah asumsi itu? Nalar saya berkata tidak. Karena semua apa yang sudah terjadi, selalu meninggalkan jejak.

Apakah tindakan itu dilakukan untuk mengurangi kerepotan, yang mungkin saja menjadi pembengkakan biaya? Akal yang normal tentu akan memilih cara-cara normal untuk mengurangi pengeluaran anggaran yang lebih banyak. Efisiensi tidak mungkin dapat dilakukan dengan cara-cara yang tidak normatif.

Maka dengan alasan yang saya sampaikan di atas, saatnya sekarang ini menjadikannya sebagai bahan bagi saya untuk menghindarkan diri kepada hal-hal yang dapat merusak akal saya sebagai media fikir yang normatif. Itulah yang saya anggap sebagai momentum bagi pemeliharaan akal.

Jakarta, 12.02.2014

Libur Sekolah karena Hujan

Lagi, bahwa kami harus memulangkan anak-anak sebelum waktu belajar usai. Bukan karena hujan yang menjadi begitu lebat sesungguhnya yang membuat kami membuat keputusan itu. Tetapi lebih karena hujan tersebut benar-benar membuat semua dari kami takut. Takut akan suitnya menembus jalanan saat berkendaraan. Maka pilihan yang diambil adalah meminta anak-anak untuk pulang dan dijemput sebelum jam belajar usai. 

Tetapi muluskah keputusan kami tentang apa yang telah ambil itu? Beberapa bagian dari pihak orangtua siswa sepakat bulat dengan apa yang kami telah putuskan itu. Sebagian lainnya bertanya; "Mengapa harus pulang?"

Atas dasar untuk mengakomodasi apa yang disampaikan oleh kelompok kedua di atas itu, maka kami harus benar-benar mempersiapkan informasi berkenaan dengan cuaca, khususnya yang berdekatan dengan lokasi sekolah kami berada. Termasuk diantara membangun komunikasi dengan teman-teman seperjuangan di sekolah lain.

Bersama dengan teman-teman yang ada di sekolah lain, yang posisinya berbeda dalam radius 5 kilometer dari kami, kami mencoba untuk membangun cara pandang dan suara yang sama. Dan nampaknya, kami memiliki kesamaan pengalaman dalam hal meliburkan sekolah karena hujan. Kesamaan itu sesungguhnya tidak efektif jika dilihat dari sisi operasional. 

Kondisi hujan yang lebat di sekolah pagi hari.
Ketidakefektivan itu antara lain karena riilnya sekolah libur tetapi tidak juga. Misalnya ada kelas yang seharusnya dengan 25 siswa, pada hari itu hanya masuk 10 hingga 15 siswa. Bahkan adayang 7 siswa. Demikian juga guru yang mayoritas mengendarai kendaraan roda 2 dan umum, yang pastinya juga terkendala dengan jalanan yang tergenang atau hujan lebat di pagi hari.
Kondisi jalan akses ke sekolah pada hari yang sama pukul 09.40.

Namun semua itu untuk menghindari pertanyaan orangtua "Mengapa sekolah libur?" Kami, bersama teman-teman bersepakat untuk tetap masuk. Dengan kondisi apapun sekolah tetap masuk. Datang ke sekolah atau tidak, kami kembalikan kepda para orangtua masing-masing.

Jakarta, 6-12 Februari 2014.

Membeli Solar Singapura

Beberapa waktu yang lalu, kami harus membeli bahan kabar solar untuk kebutuhan genset kami yang telah dipakai sejak 2003 yang lalu. Kebutuhan yang kami perlukan adalah 5000 liter. Maka seperti biasanya, permohonan segera kami sampaikan kepada pihak Yayasan.

Setelah menemukan provider yang dapat memenuhi kebutahan kami itu, maka datanglah suatu sore truk minyak bakar tersebut di halaman sekolah kami. Ada rasa kagum lahir pada diri saya. Ini karena tidak biasanya sebuah institusi pendidikan membutuhkan solar sebanyak satu truk tangki tersebut. Tetapi dengan kebutuhan yang ada, memang suatu yang biasa. Sangat biasa.

Benar saja. Ketika tangki itu datang di halaman, banyak orang yang menyampaikan perganyaan bernada keheranan. Gerangan untuk apa tangki solar itu datang. Kami jelaskan. Namun justru ada pertanyaan berikut. "Apakah ada tempat yang mampu menampung solar sebanyak itu?"
Penampakan truk solar dan dua ember kelebihannya.

Pertanyaan itu lahir hanya karena selama ini teman kami itu tidak memperhatikan lingkungan kerjanya secara sungguh-sungguh. Sehingga hingga bertahun -tahun bekerja, tidak mengetahui detil lokasi kerjanya sendiri.

Lalu bagaimana dengan asal usul minyak solar yang kami beli itu?

Pada saat Pak Supir dan kernetnya mempersiapkan  selang panjangnya untuk melakukan pengisian solar tersebut, saatnya saya melakukan dialog. Hal ini memang menjadi kegemaran saya untuk mengatahui apa yang terjadi dengan pemindahan solar 5000 liter itu dari tangki di truk ke tangki yang kami punya. Ternyata tidak membutuhkan waktu yang lama. Sangat singkat.

"Pangkalannya  dimana Pak? Di Prumpung?"

"Bukan Pak. Kami biasa mensuplai solar untuk kebutuhan kapal laut."

"O... Jadi solar ini sudah jalan kemana-mana ya. Awal dari Prumpung lanjut ke lokasi Bapak lalu balik lagi ke Jakarta?"

"Bukan juga Pak. Solar kami impor dari Singapura."

"Singapura?" Terus terang saya kaget atas jawaban tersebut. Jawaban yang sungguh tidak kami harap.

Kaget akan fakta bahwa Indonesia adalah importir solar dari Singapira. Kaget bahwa akal saya sudah tidak normal lagi untuk dapat menerima kanyataan itu. Saya mengeluyur pergi meninggalkan truk tangki solar yang baru kami beli yang berasal dari Singapura!

Jakarta, 11 Februari 2014.

10 February 2014

Terkecoh Berita

Beberapa hari lalu datang kepada saya untuk meminta dicarikan berita tentang air laut yang surut hinggak 1 kilometer di suatu daerah di Provinsi Banten. 

"Apa yang menarik dari berita itu?" Begitu pertama kali saya menanggapi apa yang yang disampaikan oleh seorang teman tersebut.

" Ingin tahu saja Pak. Mengapa ada ada kejadian seperti itu. Apa ada hubungannya dengan kondisi Provinsi Banten sekarang ini." Kata teman itu. Mesi demikian, saya tetap tidak mau bergeming dengan apa yang disampaikannya untuk buru-buru membuka link berita di internet. Ini karena saya berkeyakinan bahwa jika berita itu benar, pastilah sudah menjadi head line koran. Toh tidak?

Beberapa hari kemudian memang saya membaca berita tersebut. Namun bukan fenomena alam sebagaimana yang saya persepsikan ketika kali pertama mendengar dari cerita teman tersebut. Tetapi justru koreksi atas apa yang disampaikan oleh pewarta dan dimuat lewat medianya.

Koreksi bahwa pewarta tidak membuat kesimpulan yang benar-benar berdasarkan fakta apa yang terjadi di lapangan. Mungkin karena mencari sensasi. Seperti apa yang disampaikan dalam media on line ini, saya kutip dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/08/n0nrbu-pengunjung-hotel-di-anyer-menurun-drastis-karena-isu-tsunami. Dijelaskan bahwa: "Kasapolair Polres Serang AKP Gusti Nyoman Sudarsana, meminta media agar mencari berita seakurat mungkin. "Crosscheck kebenarannya," katanya.

Saya berpikir bahwa, ternyata tidak saja kepada SMS gelap saja kita harus waspada, dari berita tersebut, saya belajar juga untuk tidak mengambil apa yang disampaikannya sebagai yang memang benar terjadi. Luar biasa. Sikap ini jika tidak ingin terkecoh oleh berita.

Jakarta, 10 Februari 2014.

Bangkai itu Apa?

Pagi ini, tidak seperti biasanya, saya meyalakajn lampu-lampu kelas yang baru saja dibuka oleh tsf kami yang memiliki tugas membuka dan mengunci ruang-ruang yang ada d sekolah. Ketika beberapa kelas itu saya nyalakan lampu dengan kondisi normal, maka tidak ketika saya berada di salah satu kelas yang berada di lantai dasar sekolah kami. Ini tidak lain karena di ruangan itu langsung menyergap di hidung saya bau busuk yang tidak mengenakkan.

Saat itu juga saya minta staf sekolah untuk mencari sumber bau tidak sedap tersebut. Di sela-sela lemari dn perabotan kelas yang ada. Siapa tahu di selipan-selipan tersebut terjepit atau tergencet cicak atau sejenisnya yang ketika mati mengeluarkan bau tidak sedap.

Alhasil, hingga beberapa anak yang berada di ruangan tersebut berdatangan, sumber bau itu tetap saja belum ditemukan. Namun karena anak-anak itu tidak mengetahui jenis bau dan asalnya, maka mereka santai saja. Justru kesibukan kami yang menggeser-geser rak buku dan meja guru yang berada di pinggir ruanganlah yang menjadi perhatian mereka.

Mereka bertanya mengapa kami menggeser-geser letak properti di kelasnya. Kami jelaskan bahwa kami sedang mancari sumber bau yang tidak sedap ini. Mungkin sumber bau itu dari bangkai yang terjepit lemari?

Anak-anak itu terdiam mendengar penjelasan salah seorang dari kami. Hingga kami memastikan bahwa usaha kami gagal dalam mencari sumber bau itu, anak-anak tetap belum ada reaksi. 

Namun ketika saya meninggalkan seorang staf di ruangan tersebut  menju koridor sekolah, saya mendengar seorang anak bertanya kepada seorang staf kami; "Mbak Winwin, bangkai itu apa sih?"

Saya tidak mendengar lagi apa yag menjadi penjelasan orang yang dipanggilnya Mbak Winwin itu karena posisi saya menjauh dari lokasi. Namun saya belajar tentang bagaimana anak-anak itu belajar menambah kosa kata...

Jakarta, 10 Februari 2014.