Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 September 2014

Setuju Langsung atau tidak Langsung?

Catatan saya hari ini adalah hasil nguping saya di halte. Percakapan antara dua orang yang pada setiap Pemilu memang sebagai pemilih. Percakapan yang menurut saya menarik. Ada citarasa berbeda dengan apa yang sedang diomong oleh para selebritas politik negeri ini.

A: Pilih mana kamu antara pemilu langsung atau yang tidak langsung?

B: Atas dasar hubungan kekeluargaan, saya memilih pemilu tidak langsung. Hubungan saya dengan keluarga besar tidak akan ada masalah gara-gara ada Pemilu. Sepanjang pemilu kemarin, saya ada di pihak yang dipojokkan. Karena saya ada di 46 %. Padahal pilihan saya itu sebelumnya karena mengikuti kakak yang lain. Ternyata di belakang hari kakak pindah hati.

A: Jangan begitu dong. Ini urusan negara kok bawa-bawa urusan keluarga. Berpikir yang lebih besar dong. Klau masalah keluarga disertakan, bagaimana nasib negara?

B: Loh, saya kan tidak pernah mendapat sesuatu dari negara? Kalau kamu baru dapat. Pakaian seragam, uang transport, gaji bulanan, bahkan plat merah? Kalau saya apa? 

A: Mesi begitu negara yang harus dinomor satukan. aka milih juga harus menjadi bagian dari kita berkontribusi kepada negara. Jadi kepala daerah yang baik yang menjadi pilihan kita.

B: Maaf, saya ngak mau debat masalah setuju langsung atau tidak langsung. Karena semua main drama saja?

A: Bagaimana bisa main drama?

B: Kan sebelum jadi UU jadi RUU dulu. Yang buat RUU kan atas usulan. Ketika sedang buat usulan kan pasti banyak orang yang pintar-pintar itu dimintai pendapat. Lalu kalau sekarang teryata RUU menuju UU tapi hasilnya tidak sesuai suara masyarakat on line, lalu tiba-tiba balik kanan?

Diam sejenak ketika hadir satu orang sembari menunggu orang yang kemudian di telpon untk bertanya posisinya.

B: Setelah balik kanan bilang apa? Ngak setuju karena ternyata DPR milih yang tidak langsung. Lalu yang WO dibilang sebagai penyebab? Kok bisa ya. Saya kawatir, jangan-jangan orang-orang yang sekarang ngomongnya kenceng itu, kemarin-kemarin saat dimintai masukan dalam dengar pendapat ngomongnya A, tapi karena di masyarakat on line anginnya ke langsung, lalu dia balik kanan.

A: Soalnya kalau tidak langsung, berkurang juga pendapatan saya dimusim pemilu...

B: Tuh kan? Kalau orang macam kamu yang di halte saja sebenarnya bukan ngomongin demokrasi, jangan-jangan yang di tivi itu juga?

Allahu a'lam bi shawab.

Jakarta, 30 September 2014.

29 September 2014

Adrenalin Rasa Kampung

Mungkin istilah ini agak aneh ya. Tapi saya secara pribadi merasakan berulang ketika sebuah keinginan nyaris saya tunaikan. Yaitu, ada gejala adrenalin saya bergejolak manakala ketika saya merencanakan, menentukan, dan memutuskan untuk mudik atau pulang kampung. Karena hanya saya yang merasakan perasaan seperti itu di dalam keluarga saya, maka saya sendiri paling cocok menyebutnya sebagai adrenalin rasa kampung.

Seperti apa gambaran rasa itu? Tentu berbeda ketika kita berada dalam perahu karet dan menyusuri arus sungai yang berbatuan, serta sekali-kali harus terciprat air yang tidak lagi bening itu. Beda sekali. etapi indikator rasanya benar-benar saya rasakan. Yaitu semacam kegembiraan yang meluap. Utamanya ketika saya sebutkan tadi, keinginan itu telah menjadi rencana pasti. Maka tidak ada rasa lelah sedikitpun di kala seperti itu dalam membuat persiapan, termasuk didalamnya menentukan barang-barang yang harus kami bawa serta.

Dengan sarana apa saja mudik saya, rasa itu selalu menyertainya. Bahkan kadang satu ekan sebelum keberangkatan pun, rasa itu sudah mengaduk-aduk. Yang kadang membuat saya sendiri kurang berkonsentrasi meski saya masih berada di bangku kerja. Jadi ternyata begitu besarnya pengaruh dari adrenalin kampung terhadap metabolisme diri saya.

Bahkan, jika sekarang waktu kejadian itu masih berada pada H-, tetapi seluruh pikiran tentang kampung menyelusuf seluruh sendi di badan saya dengan aura kebahagiaan. Dengan seperti itu, maka seluruh sisi di depan saya memberi pancaran pengharapan yang luar biasa dahsyat.

Itulah yang saya rasakan pada hari-hari ini.

Jakarta, 29 September 2014.

28 September 2014

Memperpanjang Lahan Pekerjaan

Ada yang menarik dari pengamatan dan pertemuan saya dengan seorang pria yang sudah terhitung matang dalam melakoni profesinya sebagai tukang bangunan. Sebuah pengalaman hidup yang dapat menjadi panduan bagi saya atau yang lain. Yang layak pula untuk saya buat sebagai catatan disini.

"Saya ini Bapaknya Rohman Pak Agus." Begitu seorang Bapak memperkenalkan diri kepada saya dijalan dekat rumah. Dia menyebut nama anaknya yang menjadi tukang pintar. Ini julukan saya karena yang bersangkutan meski berangkat dari tukang tetapi naik kelas menjadi 'kontraktor' perumahan.

Dia, dengan latar belakangnya itu, terus menerus tiada henti mengerjakan bangunan rumah dari para tetangga saya. Tidak ada henti. Selesai satu rumah lanjut kepada rumah lain. Dan semua berada di dalam satu lingkungan, dengan berbagai model pembangunannya.

Ada tetangga yang benar-benar membuat rumah baru dan mengganti rumah lamanya. Ada tetang lain yang menambah kamar, ada juga yang renovasi dan menambah lantai. Dan sebagainya. Pendek kata, dia mengerjakan pekerjaan rumah dari yabg nilainya cukup 25 juta hingga tidak kurang dari 1 milyar.

Dan selain angka proyek yang dikerjakannya, buat saya yang saya kagumi adalah kepercayaan para tetangga saya untuk memintanya dalam mengerjakan renovasi rumahnya. Dan dari kepercayaan itu jugalah maka dua yang sebenarnya adalah pendatang di kampung kami, seolah menjadi bagian dari kami. Dan tidak ada satupun dari tetangga kami yang tidak mengenalnya.

"Meski saya Bapaknya, bisa saya yang hanya tukang Pak. Bantu-bantu anak. Mumpung saya sehat bisa ikut mencari nafkah untuk keluarga di kampung." Lanjut Bapak tua itu.

"Syukur ya Pak. Kerjaan terus ada. Nyambung terus." Kata saya menimpali.

"Iya Pak. Saya bilang sama dia untuk terus menjaga kepercayaan yang ada. Dan dari sanalah kami dapat terus mencukupi keuangan keluarga." Lanjutnya menerangkan.

"Jangan pernah bohong. Meninggalkan pekerjaan yang belum kelar, rakus mendapatkan keuntungan, atau godaan lain yang membuat orang tidak percaya lagi." Terangnya lagi.

Saya mengangguk setuju. Karena itulah yang saya dengar langsung dari tetangga yang sudah kelar pekerjaan renovasi rumahnya. Dan tetangga itu akan merekomendasikannya kepada tetabgga lain yang baru berniat membuat rumah.

"Saya nasehati selalu agar Rohman, memegang teguh menjadi kepercayaan itu. Karena dengan itu menjadikan usahanya langgeng." Jelasnya lebih lanjut. Saya tidak.bisa berkomentar selain mengangguk setuju.

Jakarta, 28 September 2014.

27 September 2014

Pemilukada tidak Langsung

Jumat, 26 September 2014 itu menjadi titik akhir di DPR RI dalam mengambil keputusan atas apa yang mereka bahas dalam sidang-sidang sebelumnya tentang RUU Pemilukada Langsung atau tidak Langsung. Dan hasil paripurna melalui voting telah diputus bahwa RUU itu menjadi UU dengan pilihan pada Pemilukada tidak langsung. Itu artinya, untuk kepala daerah tidak lagi ada pemilu. Karena para kepala daerah nantinya akan dipilih oleh anggota legeslatif di DPRD.

Terlepas dari itu, pro kan kontra, saya tergelitik dengan apa yang disampaikan oleh teman dalam sebuah obrolan pinggir jalan. Karena obrolan berlangsung benar-benar di pinggiran jalan saat kami kebetulan bertemu. Dan karena obrolan pinggir jalan, maka jangan bertanya data statistik atau analisa dengan argumentasi berliku.

Saya sampaikan, obrolan pinggir jalan itu di dalam catatan ini dalam bentuk dialog saja.

A: Demokrasi telah mati. DPR telah merampas hak rakyat untuk menentukan demokrasi. 

B: Lho... bukankah kalau yang milih anggota DPRD juga masih bisa dikatakan demokrasi? Bukankah anggota DPRD merupakan perwujudan dari rakyat? Bukankah mereka disebut wakil rakyat? Lupa ya sama syair lagunya Mas Iwan?

A: Ya berbeda dong. Dengan Pemilukada langsung, rakyat bisa menentukan siapa kepala daerahnya yang paling baik. Kepala daerahnya menjadi pilihan mereka langsung. Rakyat menentukan secara langsung. Tidak perlu diwakilkan. Itu demokrasi.

C: Mas, percuma saja kalian diskusi ngotot soal Pemilukada langsung. Ngomong saja pinter. Bukankah kalian tidak pernah datang ke TPS saat pemilu? Jadi golput saja protes.

Jakarta, 27 September 2014.

Jam Kosong #1; Mengajar Matematika

Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi sebelumnya, saya punya rutinitas untuk ikut serta bersama anak-anak SMP di ruang bersama yang berada di lantai tiga sekolah. Itu adalah kegiatan pagi bagi semua komunitas SMP sebelum nantinya mereka akan masuk ke dalam kelas-kelas untuk pembelajaran formal. 

Rutinitas pagi tersebut sebagai penyemangat bagi kami semua, dalam mempersiapkan kami untuk masa depan yang penuh tantangan. Meski saya pribadi yakin bahwa belum semua dari anggota komunitas kami itu menjalani rutinitas pagi di ruang bersama dengan sepenuh hati dan totalitas. Tetapi upaya kami tidak pernah berhenti. Terus kami lakukan dengan mencoba memberikan pemaknaan yang lebih mendalam. Karena kami yakin juga bahwa tidak semua dari kami yang melakukan itu dengan alakadarnya alias dengan sesungguh hati.

Atas keyakinan itulah maka rutinitas pagi tersebut menjadi porsi pertama kami dalam menjalani kegiatan sekolah. Dengan keyakinan itu juga kami jadikan sebagai tiang pegangan sepanjang ikhtiar bersama kami.

Mengajar Matematika

Sebagaimana biasa yang saya lakukan juga dihari-hari sebelumnya, maka pagi itu saya turun ke lantai satu menuju ruang kantor dengan memilih tangga yang memutar. Dan pagi itu saya menemukan kelas yang belum siap memulai pembelajarannya. Dan dikelas itulah saya mampir untuk bertegur sapa.

Saya benar-benar sedang tidak siap untuk mengajar. Tentunya bukan mengajar sebagaimana guru mata pelajaran karena saya lebih sula memberikan jam pelajaran kosong dengan mengajar sejarah. Tetapi sebagaimana yang saya sampaikan sebelumnya bahwa saya sedang tidak siap untuk memberikan pelajaran. Terlebih ketika anak-anak dikelas yang kebetulan gurunya belum sampai di kelas tersebut adalah pelajaran Matematika.

Tetapi saya bersyukur ketika sedang berdiri di depan kelas teringat dengan satu soal yang sering saya jadikan contoh ketika sedang memberikan pelatihan. Yaitu menghitung luas dari 3 bentuk bangun datar. Yaitu bangun segitiga, bangun persegi, dan bangun datar persegi panjang.

Pertama saya bertanya kepada anak-anak tentang bagaimana menghitung ketiga luas bangun datar tersebut. Tentunya anak-anak ada yang ingat tentang bagaimana menghitung luas dari bangun datar tersebut. Namun ada juga yang masih perlu diingatkan.

Setelah saya yakin bahwa anak-anak telah mahir mengerjakan, maka saya memberikan soal yang mungkin berbeda dengan yang pernah mereka dapatkan dari guru Matematika mereka. 

Soal yang saya berikan adalah; buatlah ketika bangun datar tersebut dengan ukuran bebas, yang pasti adalah bahwa jumlah luas dari ketiga bangun datar tersebut 100 cm persegi!

Beberapa anak yang cakap Matematika langsung faham dan mampu mengerjakan soal saya dengan mumtaz. Untuk beberapa anak yang lain masih memerlukan waktu guna membangun pemahaman mereka. Saya pun segera memberikan ponten kepada hasil kerja anak-anak itu.

Pada saat pulang sekolah, ketika saya bertemu dengan anak-anak di halaman sekolah, seorang anak mendakati saya berkata; "Saya masih belum mengerti soal yang Bapak berikan tadi."katanya.

Saya senang dengan  apa yang dikatakannya itu. Mudah-mudahan dengan pertanyaan itu ia menjadi penasaran. Dan saya pun bertekad untuk masuk kelas yang lain dengan membawa soal-soal yang sering saya berikan saat pelatihan guru. Semoga.

Jakarta, 27 September 2014.

24 September 2014

Akreditasi #4; Pemahaman Keliru Bapak Asesor

Buat kami, yang berada di sekolah swasta, maka memiliki diferensiator  sespesifik mungkin adalah sebuah pembeda dari sekolah yang ada di sebuah wilayah, yang bertujuan sebagai daya saing. Ini penting sekali saya dan teman-teman sadari dan amalkan dalam kehidupan kami sehari-hari agar masyarakat tetap menjadikan sekolah kami sebagai pilihan terbaik mereka. 

Pemahaman serta kesadaran kami terhadap apa yang sering disebut orang marketing sebagai daya saing tersebut, adalah modal uatama dan terpenting dalam terus memperjuangkan keberlangsungan atas prestasi yang selama ini diperjuangkan. Itulah maka student attitude sebagai panduan bagi pengembagan karakter siswa benar-benar kami ejawantahkan dalam proses interaksi antara kami dengan siswa di sekolah. 

Namun, 10 attitude yang kami bangun sejak tahun 2005 lalu, keudian ada dua sekolah swasta lain yang benar-benar mengcopi apa yang kami punya, satu adalah sekolah swasta yang ada di bilangan Jakarta Selatan dan satunya lagi adalah sekolah swasta yang ada di Provinsi Kalimantan Timur, justru menjadi komentar minus dari salah satu asesor yang datang ke sekolah kami ketika sekolah kami ada kegiatan visitasi akreditasi sekolah dari BAS/M Prov DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Bukan karena galau maka saya membuat catatan ini atas peristiwa tersebut. Saya justru mengambil pelajaran atas terjadinya pernyataan asesor yang berkonotasi tidak positif tersebut.

"Meski bagus rumusan tentang student attitude tersebut, saya eniainya ada yang kurang. Karena dalam 10 attitude tersebut tidak mencerminkan adanya kecerdasan kinestatik." kata asesor tersebut di hari pertama saat saya sendiri selesai memaparkan tentang visi dan misi sekolah serta bagaimana prototipe siswa yang menjadi out put nya.

Dan atas pernyataannya itu, saya dan kepala sekolah berusaha untuk memberikan penjelasan serta klarifikasi sejak pernyataan itu dibuat di hari pertama. Bukan untuk memberikan sanggahan karena pernyataan itu tidak sesuai dengan harapan kami. Namun penjelsanan.

"Begini Pak Asesor, 10 hal tersebut adalah attitude tersebut ada dalam ranah perilaku, budi pekerti. Oleh karenanya kinestetik tidak dapat kita masukan di dalam ranahnya attitude. Dengan demikian, memang tidak perlu keberadaan kinestatik atas profile siswa yang kami miliki." Begitu jelas saya.

Penjelasan ini perlu saya sampaikan supaya Bapak Asesor tersebut tidak salah menafsirkan apa yang kami punya sdan miliki. Karena saya berpikir juga, bahwa saat itu adalah hari pertama dari dua hari akreditasi. Sehingga ketika hari kedua nanti persepsi tersebut menjadi lebih lurus. Begitulah yang saya pikir atas pernyataan yang dibuatnya.

Tetapi, usaha saya untuk meluruskan persepsi tersebut menjadi sia-sia belaka ketika pada saat penutupan acara akreditasi, Bapak asesor tetap membuat pernyataan ketiadaan kinestetik dalam profil siswa.  Artinya, simpul saya kemudian, Bapak itu memang tidak mendengar apa yang saya sampaikan sebagi penjelasan atas pemahamannya yang keliru.

Jakarta, 24 September 2014.

23 September 2014

Akreditasi #3; Pelatihan Aplikatif

"Saya protes dengan apa yang selama ini Bapak berikan kepada kami." Demikian kalimat guru saya ketika melakukan protes atas apa yang pernah kami alami, beberapa tahun yang lalu ketika kami masih berada di dalam satu lembaga. Yaitu ketika saya sebagai kepala sekolah, dan teman-teman itu sebagai gurunya. 

Teman-teman itu melakukan protes karena pada waktu bersama-sama dulu sekolah kami diakreditasi, mereka seperti kurang mendapatkan pengalaman yang seharusnya diterima. Misalnya karena tekanan dari asesor karena berawal dari ketelitian dan 'standar' asesor yang melakukan kunjungan atau visitasi di sekolah kami. Karena ketika teman-teman ada waktu itu mempersiapkan diri dengan semua form administrasi dan dokumen yang dikehendaki sebagaimana yang diminta dalam self assessment, pada saat pelaksanaan semua hal itu seperti tidak tersentuh oleh asesor untuk 'dikuliti'. Maka jadilah mereka, teman-teman guru saya itu seperti kurang menerima tekanan. Inilah yang menjadikan saya secara pribadi senang berada dan bekerja bersama-sama mereka. Pekerjaan ringan justru kurang diapresiasi!

Kalimat protes itu saya dapatkan ketika kami bertemu lagi, setelah masing-masing teman saya tidak lagi berada di lembaga sekolah yang sama, dan tentunya dengan posisi yang berbeda. Saya sendiri terlebih dahulu meninggalkan mereka ketika dipertengahan tahun pelajaran.  Sedang tiga teman dari mereka mendapatkan tawaran sebagai kepala sekolah di sekolah barunya di akhir tahun pelajaran.

"Karena pengalaman yang tidak banyak yang Bapak berikan untuk akreditasi sekolah, maka saya harus jumpalitan untuk mempersiapkan sekolah disaat saya sendiri baru menjabat kepala sekolah." Demikian lanjut mereka.

Apa yang disampaikan mereka itu sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Ini karena apa yang sehari-hari dilakukannya secara administratif maupun operasional di kelas, adalah bentuk 'persiapan'nya dalam menjalani uji kualitas. Karena, meski bukan semuanya, yang teman-teman guru lakukan dulu sewaktu berada di kelas sebagai guru, adalah komponen-komponen dari pada akreditasi sekolah.

Maksudnya, dalam kehidupan sehari-hari sebagai guru, teman-teman itu sesungguhnya telah melakukan pelatihan dan pemantapan untuk beberapa komponen yang terdapat dalam 8 (delapan) Standar Pendidikan Nasional. 

"Tetapi bagaimana harus berkomunikasi dengan asesor, Bapak tidak memberikan bekal sama sekali kepada kami?" jelas salah satu teman saya yang pada waktu harus menyiapkan akreditasi sekolahnya yang baru pertama di akreditasi.

Saya tentu menjadi tercenung juga dengan statmen terakhirnya itu. Ini karena berkaitan dengan kompetensi keala sekolah dalam hal berkomunkasi. Kompetensi yang memang tidak mudah dan dapat secara singkat didapat. Ia harus diupayakan dan bahkan harus secara terus menerus diaplikasikan.  Dan dalam forum akreditasi, kompetensi ini memang harus benar-benar dimiliki untuk memastikan bahwa apa yang terdapat dalam kegiatan operasional sekolah bersinergi dengan apa yang sudah dibuat dalam self assessment yang dilaporkan sebelum kegiatan visitasi akreditasi berlangsung...

Jakarta, 23 September 2014.

19 September 2014

Akreditasi #2; Dokumen sebagai Kelengkapan Administratif

"Apa yang tadi Ibu sampaikan dalam pembelajaran di dalam kelas ketika saya ada di sana Bu?" Demikian pertanyaan seorang asesor kepada seorang guru yang tadi kelasnya dikunjungi untuk diobservasi. Pertanyaan ini disampaikan asesor ketika ia meminta bertemu untuk berdiskusi atas hasil observasi kelasnya seusai Ibu Guru tersebut mengajar.

"Pada rencana mengajar yang mana dari dokumen yang Ibu miliki tersebut? Mungkin Ibu bisa tunjukkan kepada saya?" Lanjut asesor tersebut di ruang aula sekolah. Ruangan yang pada masa akreditasi sekolah itu disulap sebagai ruang administrasi, ruang makan, ruang presentasi, danjuga ruang varifikasi data.

Ibu guru yang ditanya tidak menunjukkan sikap aneh atau bahkan panik sedikitpun. Dengan tenang, karena ibu guru tersebut merasa benar-benar telah melengkapi apa yang disyaratkan ketentuan sehingga tidak ada yang patut dikawatirkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan oleh asesor kepadanya, membuka halaman-halaman buku rencana mengajarnya.

"Yang ini Pak." kata Ibu Guru itu sambil membuka halaman dan menujuk poin yang dimaksudkan kepada asesor yang duduk disebelahnya. Asesor tentu juga dengan tenang membaca butir-butir rencana mengajar tersebut secara berurut dari baris paling atas hingga bawah dan membuka halaman berikutnya.

"Dalam rencana mengajar yang Ibu buat ini, ibu sebutkan bahwa pembelajaran menggunakan metode kelompok, mengapa ibu tadi memberikannya dengan memberikan presentasi? Mungkin ibu merasa dengan presentasi maka pebelajaran akan lebih berhasil?" Tanya asesor.

Pada tahap ini, Ibu Guru itu sudah mulai goyah keyakinan akan apa yang telah ia lakukan. Mulai dari membuat rencana, alat belajar, hingga melakukan pembelajaran di dalam kelas. Fase ketidakyakinan ini berawal dari pertanyaan yang asesor sampaikan tersebut. Karena ia memang tidak menyadari bahwa pembelajaran yang dia lakukan tadi itu ternyata dalam rencana yang ada dilakukan dengan menggunakan kelompok.

"Atau Ibu lupa bahwa dalam rencana yang Ibu buat seharusnya dengan belajar kelompok Bu?" tanya asesor lagi. Pertanyaan yang semakin membuatnya terpojok. Karena memang kelupaannya akan rencana yang telah dibuat sebelumnya itu.

Buat saya, yang ketika kegiatan akreditasi sekolah berlangsung, berada di dalam luar lingkaran lembaga, apa yang disampaikan oleh asesor tersebut adalah sebuah keberhasilan atas penemuan hal kecil yang berharga.Penemuan semacam itu memberikan bukti bahwa ada guru yang membuat rencana mengajar tetapi sekedar sebagai persyaratan administratif dan dokumen tersebut tidak akan digunakan sebagai rujukan yang harus ia lakukan ketka proses belajar bersama anak didiknya berlangsung.

Jakarta, 17-18 September 2014.

17 September 2014

Akreditasi #1; Akreditasi dan Administrasi

"Kami datang ke sekolah ini dengan tujuan melakukan akreditasi adalah untuk melihat bagaimana sekolah ini berjalan dan menunaikan amanah kepada masyarakat pendidikan. Sedang administrasinya,  saya hanya akan meilihat surat-surat dan data-data lama yang berjalan sejak lima tahun lalu, yang Bapak Ibu siapkan pada kinjungan kami hari ini." Demikian pernyataan salah satu asesor yang hadir di sekolah kami, pada saat yang bersangkutan memberikan kata penutup di hari kedua kehadirannya di sekolah kami saat akreditasi sekolah.

Pernyataan itu benar-benar, benar. Bahwa pada saat asesor melakukan  visitasi ke sekolah untuk kegiatan akreditasi, sesungguhnya banyak sekolah yang tiba-tiba membuat dokumen dari administrasi baru untuk kejadian yang semestinya tidak baru lagi. Hal semacam ini antaralain sebabkan oleh; Satu, Dokumen yang diperlukan dan seharusnya ada, memang benar-benar tidak tersedia dan memang belum pernah ada. Kenyataan ini juga terjadi dan kami alami. Dan memang dalam kenyataannya, hal ini sulit dipenuhi karena memang tidak ada dan tidak juga tersedia informasinya. Dalam kondisi demikian, tidak ada kata lain kami selain pasrah. Dan jika pada hari pertama disampaikannya, maka pada hari kedua akan kami usahakan sebagai kelengkapan administrasi yang memang harusnya ada.

Kedua, Dokumen yang seharus ada, memang kami buat dan memang benar-benar ada, namun karena untuk kepraktisan, kami buat dalam satu dokumen. Misalnya saja berkenaan dengan rapat rutin yang diselenggarakan setiap pekan. Dimana undangan kami sampaikan kepada semua guru untuk ditempelkan di agenda masing-masing. Guru juga diminta untuk membuat notulensi rapat di bukunya tersebut masing-masing. Tetapi, nampaknya persepsi ini tidak benar-benar pas. Meski tetap diakui keberadaannya, namun masih perlu pemisahan.

Selain juga adanya perbedaan antara satu guru dengan guru yang lain dalam membuat notulensi. Dan pada masalah ini, ada diantara kami yang kami temukan sebagai penulis notulen rapat handal. Maka ketika asesor bertanya tentang suatu hal yang telah terjadi, maka sebagai pembuktian bahwa hal tersebut pernah kami bahas, kami cari di notulen rapat teman kami itu!

Ketiga, Sulitnya kami menemukan file administrasi kami yang telah berusia lebih dari satu tahun. Kendala ini menyebabkan kami harus menemukannya dalam bentuk soft copi yang terdapat dalam komputer atau email. Alhamdulillah jika itu kami temukan meski cukup memakan waktu. Tetapi hasilnya adalah meski hal itu merupakan dokumen lawas, tidak dapat dipungkiri bahwa kertas dan printingnya masih baru dan bahkan "masih bau kertas" kata asesor memberikan sindiran.

Dan berbagai masukan yang pastinya lumayan untuk menjadi catatan kami dalam membangun kesadaran akan pentingnya sebuah kelengkapan administrasi. Saya yang kebetulan bertugas mendampingi teman-teman selama dua hari menerima tamu istimewa tersebut, menjadi teringat akan apa yang pernah saya lakukan sendiri di sekitar tahun 2002an yang lalu, yaitu ketik saya selaku kepala sekolah menjalani akreditasi sekolah.

Dan ketika sedang sibuk-sibuknya menyusun file-file yang sekolah miliki untuk menjadi dokumen yang siap guna, siap cari, dan tersusun apik, ada rasa jenuh dan lelah serta bahkan sedikit malas. Ada semangat yang menjadikan saya lupa akan kendala, yaitu semangat untuk memberikan warisan kepada masa sesudah. Yaitu masa dimana saya mungkin tidak berada di lembaga tersebut, atau juga masa dimana saya sendiri tidak lagi menjabat sebagai kepala sekolah.

Maka dengan semangat itulah dokumen-dokumen tersebut kami susun dan atur untuk keudian kami bundel dengan hard atau juga soft copy, dengan aneka warna sampul pilihan kami. Dengan model itulah kami letakkan dokumen-dokumen tersebut dilokasi yang mudah terjangkau. 

Jakarta, 15-16 September 2014.

15 September 2014

Milad Lembaga dan Daya Saing Diri

Dalam sebuah perhelatan milad lembaga pendidikan swasta di Jakarta beberapa waktu lalu, saya diminta memberikan uraian  semangat untuk semua teman-teman yang menjadi bagian dari lembaga tersebut. Sebuah kesempatan juga buat saya pribadi guna membuat rumusan tentang eksistensi lembaga untuk berumur panjang.

Tentu ini adalah sebuah generalisasi dari beberapa fakta sejarah yang dapat saya lihat dari perjalanan lembaga-lembaga pendidikan swasta di sekitar saya berada sekarang ini. Diantaranya adalah lembaga pendidikan yang saya dapat meraba dan melihat secara lebih dekat.

Sebagaimana  yang saya alami di beberapa waktu lalu. Beberapa teman yang telah berkecimpung di lembaga yang saya maksudkan, datang dan mengajak bertukar pikiran tentang keadaan jumlah peserta didik mereka beberapa tahun belakangan ini yang terus menunjukkan tren menurun. Dan karena bertukar pikiran, maka saya mengajukan beberapa pertanyaan berkenaan dengan kondisi tersebut. 

Juga teman-teman lain yang bernasib relatif sama dengan kondisi tersebut diatas, yang juga mengajak saya untuk berdiskusi. Meski dengan kondisi spesifik yang berbeda-beda, namun nampak sekali bahwa semua itu memiliki fenomena yang linier atau pararel. Yaitu belum tumbuhnya kesadaran akan daya saing diri dari setiap pelaksana operasional lembaga yang ada. 

Dan atas semua itu, dengan kondisinya masing-masingnya,  saya menjadi teringat akan apa yang pernah saya dapatnya tentang 4 pola kondisi lembaga. Dari empat kondisi tersebut, setidaknya saya teringat selalu dengan salah satu kondisi, yaitu kondisi dimana anggota lembaga menyadari dan sadar sepenuhnya bahwa mereka tahun tentang kondisi mereka saat ini yang kekurangan siswa.

Kondisi sadar ini menjadi penting bagi individu yang ada di dalam sebuah lembaga, untuk menjadi titik tolak bagi sebuah semangat untuk memperbaiki keadaan. Dan kondisi sadar ini termasuk kondisi yang mahal pada situasi seperti itu. Mengapa? Karena pada umumnya, setelah bertahun-tahun menikmati kedanaan yang relatif mapan, akan membuat semua yang ada di dalamnya menjadi beku.

Dalam situasi yang demikian itu, kebekuan tersebut, akan membuat pengetahuan tentang apa yang sesungguhnya terjadi di lembaganya, tidak  mudah untuk dipahami. Jangankan paham, bahkan banyak diantara mereka yang sadar saja tidak. Oleh karenanya, jika individu dalam lembaga tersebut sudah mulai bangun dari kebekuannya dan menyadari akan kondisi yang sudah berbeda dengan sebelumnya, maka itu adalah pertanda baik bagi sebuah pergeralan untuk mencapai kebangkitan. Masih perlu upaya memang, tetapi setidaknya sudah dapat berangkat dari sebuah kesadaran.

Akan halnya dengan apa yang kami alami sendiri, adalah sebuah perjalanan yang sama. Hal ini tidak lain karena kami berada dalam konstelasi masyarakat yang memiliki dinamika yang sama. Maka tidak ada lain selain kami juga harus terus meyadari bagaimana lapangan menuntut kami untuk memiliki daya saing diri, bagi diri kami masing-masing. Semoga!

Jakarta, 31 Agustus-15 September 2014.

08 September 2014

Supaya Terlihat Pintar?

Ini adalah catatan saya sebagai refleksi dari apa yang dilakukan teman saya yang juga adalah seorang yang tergolong pintar. Bukan karena teman saya itu adalah peminum dari obat batuk yang diiklankan oleh Pak Menteri, tetapi karena ia sedang menduduki jabatan sebagai seorang pimpinan tertinggi di sebuah sekolah swasta. Dan dengan jabatannya itulah, setidaknya saya meyakininya bahwa ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang pintar. Setidaknya bukan orang yang biasa-biasa saja.

Terlebih dengan sepak terjangnya selama beliau menjalani karirnya sebagai guru. Beberapa kota yang ada di negara-negara maju telah dikunjunginya. Maka tidak salah bila saya termasuk orang yang senang dalam menjalin persahabatan setelah kami dipertemukan dalam sebuah kegiatan sekolah.

Banyak cerita-cerita yang disampaikannya ternyata bersentuhan dengan apa yang saya alami diawal-awal saya sebagai guru muda. Seperti pengalamannya berkonfrontasi seorang dengan seorang tokoh nasional yang kebetulan menjadi bagian dari komite Sekolahnya. Dimana tokoh itulah yang menyadarkan kepada saya dikala itu untuk tidak mudah mengeluarkan pendapat. Namun harus pintar dalam mengukur diri kapan seyogyanya memberikan komentar dalam sebuah percakapan atau diskusi informal.

Namun, bangunan persepsi yang saya miliki itu runtuh manakala sahabat yang saya kagumi itu menyampaikan pertanyaan ata lebih tepatnya pernyataan pada saat kami sama-sama mengikuti kegiatan belajar disebuah forum resmi.

"Apa menurut Bapak, jika ada sekolah yang berkomitmen pada sebuah bidang tetapi pemimpin atau kepala sekolah di lembaga tersebut justru pada titik itu tidak memiliki kemampuan pribadi?" Begitu kalimat yang disampaikannya. Dan pernyataan itu tentu difahami sekali utamanya oleh sebagian yang hadir. Karena sesungguhnya ia sedang membuat pernyataan yang ditujukan kepada kepala sekolahnya, yang juga adalah bawahan dan anak buahnya?

Pernyataannya itu justru membuatnya tidak sangat pintar. Sebaliknya, membuat saya sebagai orang luar dapat memberikan nilai buruk atas kompetensinya sebagai pemimpin di sebuah lembaga yang dimanahkan kepada dirinya. Pernyataannya itu telah menelanjangi dirinya sendiri bahwa ia adalah sosok pemimpin yang selalau mengacungkan telunjuk jarinya atas keburukan yang dia atau bahkan bawahan yang milikinya. Dia yang semestinya memiliki otoritas untuk mengekskusi sebuah pertanyaan dan keraguan yang ada dilembaga yang dipimpinnya justru mempertanyakan? 

Dan sebagai akhir dari catatan saya ini, saya ingin sekali menjadikannya sebagai butiran pelajaran hidup di masa berikutnya nanti. Khususnya untuk saya pribadi.

Jakarta, 8 September 2014.

Pengalaman dan Kepemimpinanannya tidak Selaras

Catatan saya ini berawal dari apa yang sedang teman saya alami di sebuah lembaga pendidikan yang selalu pusing dalam memilih puncak kepemimpinan tertinggi di lembaganya. Entah mengapa, pendek kata kandidat terpilih yag kkita kira akan menjadi solusi bagi kelancaran pengelolaan di lembaganya, selalu saja berujung kpada masalah baru. Meski, ketika kandidat tersebut dipilih, menampakkan latar belakang administratif dan pengalaman yang wah. Namun masih saja kandidat yang ada melahirkan masalah baru yang mengharuskan teman-teman saya yang berada di posisi Yayasan, harus turut serta menangani masalah operasionl. Sehingga keberadaan pemimpin tertinggi di lembaga tersebut seolah tidak ada karena tidak dapat berfungsi sebagamana mestinya.

Sebagaimana yangterjadi pada posisi terakhir, dimana teman-teman saya harus tidak mempertahankan kepemimpinan yang ada setelah kontrak awal selesai. Tidak mempertahankan berarti tidak memperpanjang kontrak. Dan tidak memperpanjang kontrak berarti harus mencari kandidat baru sebagai pengganti.

Pengalaman

Dan terhadap kepemimpinan yang terakhir itu, saya sendiri merasakan ada yang aneh. Bukan apa-apa. Karena dia adalah mantan pemimpin sekolah dengan siswa yang berjumlah hanya kurang sedikit dari seribu siswa untuk jenjang pendidikan di SMA. Bukan untuk dua sekolah dengan predikat RSBI, kala itu. Artinya, pengalaman itu cukup memberikan gambaran untuknya sebagai pribadi yang kokoh dan minimal tangguh. Dan dengan latar belakang seperti itulah maka teman-teman di Yayasan menentukannya sebagai pemegang tampuk lembaganya yang hanya mengelola siswa tidak lebih dari 400 siswa.

Namun dengan berjalannya waktu, masih ada beberapa masalah oparasional lembaga yang harus muntah dan menjadi urusan Yayasan untuk menyelesaikan. Sebuah problem yang harusnya tuntas di tingkat lembaga. Dan yang terakhir adalah penuntasan masalah konflik internal yang tidak berkesudahan. Dan lagi-lagi, kata teman saya, Yayasan menjadi bagian yang harus menyelesaikan.

"Mengapa permasalahan berbeda pendapat sesama guru harus menjadi urusan Yayasan?" Tanya saya suatu ketika.

"Karena pemimpin tertingi yang seharusnya menjadi solusi salah mengambil posisi. Dimana ia telah menentukan pihak tanpa terlebih dahulu mengelaborasi akar masalah yang ada di lapangan. Sehingga, pihak lain menentukan sikap untuk tidak ingin dan mau berislah."

Demikianlah kisah teman saya itu, yang tidak henti-hentinya menjadi penyelesai masalah-masalah taktis operasional di lembaga, meski keberadaannya ada dalam ranah Yayasan. Tidak salah memenang, tetapi menjadi tumpang tindih bilamana dilihat dari kacamata manajemen. 

Dan pengalamannya memilih orang yang hanya berpengalaman saja ternyata tidak memberikan jaminan baginya untuk mendapatkan pemimpin yang handal. Allahu a'lam bishawab.

Jakarta, 8 September 2014.

05 September 2014

Selalu Merasa Benar

Beberapa hari lalu, saya mendapat cerita dari teman baik saya yang sekarang mendapat amanah sebagai kepala sekolah di sebuah SMP swasta di Jakarta. Ia teman lama saya sejak tahun 2000an lalu. Berkenalan oleh sebuah kepentingan bersama, yaitu mengembangkan keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran di dalam kelas. 

Tentu, karena kami berangkat dari profesi yang sama, maka cerita yang dia sampaikan epada saya adalah cerita tentang guru-gurunya. Memang banyak juga yang dia sampaikan kepada saya selain cerita tentang guru. Seperti cerita tentang orangtua siswa dan anakanak didiknya. Namun dalam catatan ini, mungkin saya akan tuliskan sekelumit perilaku teman gurunya, yang kemudian nanti kita dapat mengambil pelajaran darinya. Semoga.

Selalu Merasa Benar Sendiri

Mungkin karena konsep inilah yang membuat seorang guru antara lain tidak dikehendaki oleh lingkungannya. Sebuah konsep yang dirinya sendiri boleh jadi tidak menyadarinya akan kekeliruan yang menjadi komitmen batinnya. Dan karenanya juga, ia terkucil secara sosial ataupun profesionalisme.

Juga menjadikan dirinya mudah mengungkapkan kata dan kalimat yang tinggi citarasanya, namun sama sekali tidak memberikan rasa percaya dari teman-teman yang sudah mengenalnya dengan baik. Nasehat? Semua yang ada di lingkungannya meyakini bahwa ia tidak perlu lagi nasehat. Dalam bentuk apapun. Jadilah ia sebagai pribadi yang merasa selalu benar dan selalu berada pada posisi yang lebih pintar, lebih berpikir masa depan, dibanding seluruh manusia yang berada di sekitarnya. 

"Lembaga ini telah berbuat zalim kepada kami semua sebagai pekerjanya. Zalim!" Begitu suatu kali ia mengungkapkan rasa amarahnya, pada saat ide dan pemikirannya tidak mendapatkan sokongan sebagaimana yang dikehendakinya. Sebuah ungkapan yang tajam sekaligus menantang untuk diuji kebenarannya.

Lalu pada kesempatan yang berbeda, ia ulang kembali kata dan kalimat seperti itu, manakala permohonan pinjamannya kepada lembaga belum mendapat respon sebagaimana yang dibutuhkannya. Mengingat permohonannya itu sangat dia perlukan secara mendesak sebagai penutup cicilan rumah yang telah terlambat beberapa bulan sehingga pihak pemberi kredit akan menyegel rumahnya.

Atau juga dengan kasus lain yang menyangkut kepada keberadanaanya di dalam kelas, sebagai kewajiban pokoknya sebagai guru. Teguran yang disampaikan kepadanya dari pihak kepala sekolah tidak akan serta-merta diterimanya sebelum ia memberikan argumentasi bahwa ketiadaan dirinya di dalam kelas pada jam pelajarannya adalah sebuah kebenaran!

Maka kata dan kalimat sebagaimana yang saya kutip di atas, adalah uangkapan yang amat ringan dan lancar keluar darinya. Dan karena itulah ia menjadi sosok yang benar-benar tidak dikehendaki oleh lingkungan terdekatnya di lembaga dimana ia mengimplementasikan kepintaran dan kepiawaiannya sebagai guru. Ia menjadi sosok yang diharamkan oleh teman-teman yang menjadi koleganya. 

Dan kalau keberadaannya saja tidak dikehandaki oleh lingkungan sosial yang mengenalnya, apalagi pikiran dan ucapan-ucapannya. Namun sekali lagi saya sampaikan bahwa, ia sendiri tidak pernah ingin dan belum juga mau belajar bahwa ia tidak tahu kalau selalu merasa benarnya adalah penyakit yang menjauhkan dirinya dengan lingkungannya.

Pelajaran

Untuk saya sendiri, pelajaran yang dapat diambil antara lain adalah bahwa apa yang akan menjadi hak kita dimasa depan kita, adalah apa yang kita upayakan pada hari ini dan juga hari-hari yang lalu dalam melakukan dan menjalani kehidupan bersama-sama dengan teman-teman dalam lembaga dimana kita berada bersama.

Dari sanalah maka saya sedapat mungkin harus mengasah kepekaan radar sosial saya. Sebuah lingkungan yag memberikan kepada kita feed back atas apa yang saya ejawantahkan. Lingkungan yang memberikan kepada saya kepercayaan. Lingkungan yang menumbuhkan saya menjadi lebih baik dan seterusnya.

Sebagaimana yang disampaikan oleh fikikawan ternama Indonesia tentang konsep mestakung. Semesta mendukung. Bahwa keinginan, perilaku, dan juga daya upaya yang baik serta positif akan didukung oleh seluruh unsur lingkungan sekitarnya. Semoga.

Jakarta, 5 September 2014.

03 September 2014

Teringat Teman di Awal Perjalanan

Saya tidak tidak bermaksud dan juga tidak ingin pamer atau bahkan sombong, kalau saya menulis catatan perjalanan ini menyangkut kepada sebuah etape perjalanan saya masuk usia kerja ini. Namun saya terdorong oleh sebuah ingatan saya yang baik kepada teman-teman saya yang hari ini diantara mereka telah berangkat atau bahkan baru saja berangkat menunaikan ibadah Haji. Saya tiba-tiba ingin sekali menyampaikan salam dan terimakasih atas pertemanan selama ini. Khususnya di tahun-tahun awal saya bersama mereka menapaki karier sebagai guru.

Catatan ini bermula dari beberapa tahun lalu, diawal saya memilih jalur sebagai guru di lembaga pendidikan swasta, memilih lembaga yang seperti apa sepertinya mengalir saja. Setidaknya itu yang saya masih ingat dengan jelas. Namun berjalannya waktu, dimana teman-tean juga banyak menjadi bagian yang berkontribusi kepada perjalanan hidup saya hingga sekarang. 

Tidak kurang-kurangnya teman-teman itu memberikan kepada saya masukan. Baik masukan yang memang berada pada sisi yang baik. Dan ini menjadi motivasi untuk saya. Juga teman-teman yang memberikan contoh, baik yang berupa administratif atau bahkan yang berupa strategi melakukan komunikasi dengan peserta didik di dalam kelas dalam pembelajaran, dan juga yang berupa kritik, serta kalimat meremehkan.

Bahkan, saya masih ingat bagaimana saya begitu irinya pada awal saya menjadi guru, kepada seorang teman dalam hal membuat proposal kegiatan. Ini menjadi hal yang sangat baru bagi saya yang berasal dari desa. Sebuah proposal kegiatan yang antara lain terdapat latar belakang, nama kegiatan, hingga perhitungan biaya yang diperlukan dalam kegiatan yang dirancang.

Dan karena begitu tertantangnya akan apa yang dimiliki teman tersebut, suatu kali saya bersama teman yang lain berinisiatif membuat kegiatan sebagai penanda bagi datangnya tahun baru Islam, Muharam. Pengalaman dengan kegiatan ini begitu membekas pada diri saya dan pastinya teman-teman yang lain, yang ikut serta dala kegiatan tersebut. Sebuah pegalaman yang tidak akan mudah begitu saja dilupakan. Ini antara lain  berkontribusi teman-teman itu kepada saya.

Demikian pula dengan teman-teman yang begitu semangatnya mengajak saya untuk bergiat diwaktu-waktu luar tugas. Harus berjalan kaki menempuh jalanan di seantero Cilandak di malam hari, yang kala itu masih begitu sepi dan jarangnya kendaraan yang melintas. Sebuah otmosfer yang juga memberikan daya tahan untuk saya dikemudian hari kelak. Termasuk juga kata-kata mengejek, yang kemudian justru saya terima sebagai sebuah tantangan untuk dibuktikan. Aneh memang. Tetapi setidaknya itulah yang terjadi.

Dan kepada semua teman-teman di awal-awal saya masuk dalam gerbang sebagai usia produktif itu, tanpa terkecualinya, mengucapkan banyak terimakasih.

Jakarta, 3 September 2014.

02 September 2014

Kinerja #8; Dari Kinerja yang Ditampilkan atas Amanah, Menjadi Cermin Lokasi Kerja Masa Depan

Pagi itu, datang kepada saya seorang teman dengan wajah yang tidak segar. Bahkan teramat kusut. Seluruh wajahnya diselimuti kesedihan yang teraman sangat. Ini tidak lain karena dia sedang dirundung ujian berat dalam perjalanan kerier di tempat kerjanya. Sebagaimana yang kemudian ia ceritakan kepada saya.

"Tolonglah Pak. Bapak sepertinya yang dapat memberikan pertolongan kepada nasib saya." Begitulah lebih kurang kalimat yang digunakannya disela-sela menguaraikan masalah yang menimpanya.

Rupanya ia baru sja menjdapat surat perintah dari atasannya, atau semacam SK begitu, yang memberitahukan bahwa ia harus pindah lokasi kerjanya. Mungkin lokasi kerja sebelumnya adalah lokasi yang basah. Basah karena derasnya uang gratifikasi. Sedang lokasi kerja berikutnya adalah lokasi kerja yang hampir tiada aktifitas. Jadi kita bisa membayangkan bagaimana ia begitu gundah di pagi itu.

"Yang bisa menolong masa depan Bapak adalah Bapak sendiri. Bukan saya. Apa yang akan terjadi nanti setelah SK itu Bapak terima adalah implikasi dari kinerja Bapak di masa sebelumnya." kata saya diantara keluh kesahnya.

"Dan dari kinerja yang selama ini Bapak berikan untuk perusahaan barangkali memang itu lokasi yang paling pas untuk Bapak? Oleh karena itu jadikan perjalanan karier Bapak ini sebagai pelajaran hidup." kata saya sok memberikan nasehat.

"Tapi saya kan sudah bekerja di sini sejak perusahaan ini kecil Pak. Bahkan sebelum gedung perusahaan ini benar-benar dapat digunakan. Tolonglah Pak jadikan ini juga sebagai pengorbanan saya." jelasnya berikutnya.

Saya diam saja. Ingin sekali pikiran usil saya mengeluarkan pernyataan untuk menimpali apa yang dia maksud dengan perngorbanan dalam bekerja sebelum gedung perusahaan ini selesai dan dapat digunakan. Karena pikiran saya mengatakan bahwa dimana letak pengorbanannya kalau selama ia menunggui gedung yang dibangun itu adalah memang pekerjaan yang harus dia laksanakan dan dengan itu ia mendapatkan upah?

Alhamdulillah, saya mampu menahan untuk tidak mengeluarkan pernyataan ini hingga akhirnya teman itu keluar dari ruang kerja saya. Lega.

Saya baru benar-benar mengerti apa yang sesungguhnya terjadi ketika beberapa orang, yang juga sebagai temannya datang kepada saya dan mau berbagi cerita tentang apa yang melatarbelakangi terjadinya mutasi atas temannya itu.

Dari sana, saya dapat mengerti apa yang menjadi jalan pikiran atasan teman saya itu sehingga harus mengambil keputusan untuk melakukan mutasi atas diri teman saya itu. Seperti kata-kata saya kepada teman saya ketika ia datang dan bercerita kepada saya di pagi itu; dari kinerja yang selama ini ditampilkan kepada amanah yang diberikan kepadanya oleh perusahaan, memang lokasi kerja itulah  yang paling pas untuknya? 

Jakarta, 2 September 2014.