Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

20 January 2013

Pangkas Rambut yang Tak Terlupakan


Pagi itu, dengan handuk kecil, saya meninggalkan rumah tepat pukul 08.30. Dengan rambut yang semakin panjang, tampaknya sudah waktunya saya memangkasnya di pemangkas rambut pangganan saya. Karena langganan, maka tidak perlu saya memberikan penjelasan kepadanya model yang saya pilih. Juga pastiya pijatan di seputar otot belikat yang lebih lama dari yang lain. Serta handuk kecil yang saya selempangkan di bahu saya. Karena itu adalah handuk yang akan saya gunakan sebagai penutup tengkuk saya. Dan bukan handuk yang dari tukang pangkasnya.

Trauma Handuk

Dengan handuk yang saya bawa sendiri dari rumah itu bukan berarti saya ingin menyinggung dengan pemangkas rambut langganan itu, tetapi ini sebagai jaga-jaga setelah saya pernah mengalami pengalaman yang amat sangat menggelikan dengan handuk pada saat saya memangkas rambut di sebuah daerah yang relatif jauh, dari ukuran perjalanan darat yang memakan waktu tempuh empat jam perjalanan dari Ibu kota  Kalimantan Barat, Pontianak.

Kala itu, sebagai pengisi waktu luang dari waktu presentasi di sebuah ruang besar satu-satunya yang ada di daerah itu, saya berjalan-jalan untuk melihat lingkungan ruko dan pasar yang berhimpitan dengan tempat saya diinapkan. Tentu tidak banyak yang dapat saya lihat di sebuah kota kecil yang baru saja menjadi ibu kota kabupaten baru.  Apa yang saya saksikan dalam 'perjalanan' saya di pagi itu, mengingatkan saya kepada daerah dimana Ikal, tokoh dalam film Laskar Pelangi, saat masih kecil.

Namun dari sesuatu yang sedikit itu ada beberapa hal yang menarik perhatian saya. Bahkan satu hal yang benar-benar menarik tersebut adalah sebuah kios pangkas rambut. Kios pangkas rambut itu berada dalam deretan kios-kios lain yang berada di seputar pasar. Menarik, karena kursi dimana orang yang akan dipangkas rambutnya adalah kursi lawas yang dapat diputar. Tampak masih kokoh dan sekaligus unik. Juga mesin pemangkas rambutnya. Masih manual, masih model lawas yang digerakkan oleh jemari si pemangkas rambut.

Karena tertariknya, maka tidak salah jika pada saat itu, meski rambut saya belum terlalu panjang, ingin mencoba kursi dan sekaligus mesin pemangkasnya! Sebuah keinginan yang tiba-tiba muncul dan langsung gerak! Namun beberapa saat kemudian kaget saya muncul luar biasa. Yaitu pada saat tukang pangkas rambut itu memasangkan handuk yang sudah begitu kumal di bagian tengkuk...

Tersesat Setelah Pangkas Rambut

Selain dengan handuk, saya pun pernah mengalami pengalaman tak terlupakan dengan pangkas rambut. Pengalaman kedua ini saya alami ketika masih berusia Sekolah Dasar. Saat saya diantar Ayah saya untuk pangkas rambut di lagganan Ayah di Kota Gajah, Punggur, yang saat itu masih masuk Kabupaten Metro, Lampung Tengah. 

Karena langganan dan sudah kenal sangat baik, maka ketika saya ada di tempat pangkas rambut itu, Ayah saya segera meninggalkan saya di lokasi itu untuk menengok proyek rumah dinas yang sedang diawasinya, yang tidak jauh dari Pasar Kota Gajah. Pada saat rambut saya selesai di pangkas, maka tukang pangkas berpesan agar saya menunggu di kiosnya sampai Ayah saya datang menjemput. Tentu tidak lupa si tukang pangkas yang saya panggil Lek atau Paman itu memberikan uang koin untuk jajan.

Namun karena begitu girangnya dengan uang koin yang diberikannya, dan tidak sabar untuk segera membelanjakannya, maka saya berpamitan untuk menyusul Ayah di lokasi kerja. Meski tukang pangkas memaksa saya untuk sabar menunggu, tapi saya berhasil juga lolos dari pengawasan Paman saya yang tukang pangkas itu. 

Untung tak dapat diraih dan sial tak dapat ditolak. Saat saya pergi meninggalkan tempat pangkas rambut itu untuk berjalan kaki ke lokasi dimana Ayah saya berada, ternyata tida sesederhana dengan apa yang ada di pikiran saya. Karena lokasi dimana Ayah berada itu ternyata tidak saya temukan juga, meski saya telah menyusuri jalan tanggul yang ada di sepanjang kota kecil itu. Karena begitu putus asanya, juga karena haus dan keringat membuat saya semakin lemas, maka pasrah menjadi pilihan terakhir saya kala itu.

Dalam kepasrahan itulah, lahir ide agar saya kembali menyusuri jalan dimana saya tadi berasal. Sebuah gagasan yang memungkinkan saya bertemu dengan Ayah saya yang telah menunggu di sebuah jembatan sungai irigasi.

Intinya...

Saya mensyukuri saja apa yang telah menjadi bagian hidup saya. Sedang dengan handuk yang saya bawa dari rumah untuk saya gunakan sendiri saat pangkas rambut, ya sekedar untuk berjaga-jaga. Karena pagi itu memang pagi yang gelap. Karena awan dan rintik hujan yang belum juga beranjak dari wilayah yang menumbuhkan saya. Terima kasih.

Jakarta, 20 Januari 2013.

No comments: