Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

31 December 2013

Kpl

Inilah catatan iseng saya sepanjang  perjalanan Jakarta-Yogyakarta-Jakarta pada akhir Desember 2013. Tidak ada yang penting dalam catatan saya kali ini. Namun saya berpikir bahwa apa yang saya catat ini akan menjadi catatan perjalanan sejarah dikemudian hari nanti. Utamanya te tang rute perjalanan yang saya pilih untuk saya lalui, juga tentang kpl, kilo meter per liter. Sebuah ukuran yang pada hari ini menjadi pembanding untuk tingkat kehematan pengkonsumsian bahan bakar kendaraan.

Perjalanan kami mulai dengan rute Jakarta-Jawa Barat-Jawa Tengah-DI Yogyakarta. Jarak tempuh dari odometer yang ada adalah 464 kilometer. Konsumsi bahan bakar yang dibutuhkan ada,ah 34 liter. Yang artinya, bahwa dalam perjalanan pergi tersebut,  konsumsi bahan bakar untuk kendaraan adalah 13,5 kpl.

Perlu saya sampaikan bahwa jalur yang saya pilih di Jawa Barat adalah; Purwakarta-Kalijati-Subang-Kadipaten-Plumbon-dan lanjut ke Pejagan di wilayah Jawa Tengah.

Sedang jalur jalan di wilayah Jawa Tengah yang saya pilih adalah; Pejagan-Ketanggungan-Prupuk-Bumiayu-Ajibarang-Wangon- dan terus lanjut ke arah timur hingga masuk Daerah Istimewa Yogyamarta.

Bagaimana dengan jalur yang saya pilih untuk kembali ke Jakarta, dengan jarak tempuh 495 kilometer, dengan mengambil titik awal pencatatan adalah rest area Ambarketawang di daerah Gamping, Yogyakarta? Yaitu;Yogyakarta-Kebumen-Buntuk- wangon-Ajibarang-Bumiayu-Prupuk-Ketanggungan-Pejagan- terus lanjut ke jalur Pantura di Jawa Barat.

Dengan jelajah seperti itu, saya mencatat bahwa konsumsi bahan bakar kendaraan adalah 13,9 kpl. Begitulah sekedar catatan subyektif perjalanan saya untuk akhir tahun 2013 itu.

Jakarta,13.12.13

Sepi di Trusmi

Saat sampai di pelataran parkir di salah satu workshop batik di sepanjang jalan yang ada di komplek kampung batik Trusmi, Cirebon, saya sedikit ragu. Benarkah ini waktu liburan? Mengapa situasi liburan seperti tidak tercermin di wilayah ini? Mungkinkah saya yang salah posisi?

Ini tentu diluar perkiraan saya ketika sebelum masuk gang di kampung batik, di sepanjang jalan by pass, deretan warung makan Empal gentong, makanan khas Cirebon, dipenuhi kendaraan yang parkir di pelatarannya. Saat itu yang terbayang  dalam benak saya adalah tempat parkir yang sulit. Namun setelah sampai di salah satu lokasi, saya tidak direpotkan dengan urusan parkir kendaraan.

Pada sisi inilah saya mencoba bertanya, apakah saya salah posisi? Mungkin sekali Trusmi di liburan akhir tahun 2013 ditinggal para pelancong berkereta api dari Jakarta untuk memilih menghabiskan libur akhir tahun di luar negeri?

Bukan iri yang menjadikan saya berpikiran seperti ini. Setidaknya fenomena ini  menjadi renungan bagi diri sendiri akan arti pemberdayaan ekonomi kerakyatan? Sebagaimana yang saya dengar pada iklan-iklan di tivi itu.

Jakarta, 31.12.13 

27 December 2013

Transformasi Pembelajaran

Beberapa waktu yang lalu, ketika saya akan pulang, saya menemui beberapa anak-anak satu kelas berada di suatu tempat di sekolah. Mereka adalah anak-anak remaja. Oleh karenanya, saya bertanya kepada mereka mengapa mereka berada di lokasi yang tidak semestinya?

Saya katakan remaja, karena memang pada usia-usia itulah saya mendapati anak-anak kreatif dalam hal-hal tertentu. Maka tanpa membuang kesempatan saya segera bertanya kepada mereka tentang maksud keberadaan mereka itu. Bukankah ini sudah jam pulang sekolah? Di lokasi yang tidak semestinya, karena anak-anak remaja itu belum pernah saya menemukan berada di sebuah kelas milik adik kelasnya yang masih mungil-mungil, yaitu ruang kelas anak TK A.

"Mereka sudah izin kepada saya Pak." Seorang Ibu Guru memberikan penjelasan atas keberadaan anak-anak itu. "Katanya mereka butuh ruangan untuk rapat kegiatan assembly di kelasnya." Tambah Ibu guru itu.

Apa yang dilakukan oleh anak-anak pada saat berdiskusi untuk sebuah proyek kelasnya, yaitu dalam bentuk kegiatan assembly tersebut, pernah menjadi bagian dari apa yang anak-anak saya sendiri alami ketika mereka berada di usia remaja beberapa tahun lalu. Yaitu proyek kerja kelompok yang harus anak-anak itu lakukan di luar waktu sekolah. Alhasil? Anak saya yang tinggal di Jakarta Barat bagian ujung harus datang ke rumah salah seorang temannya yang tinggal di Jakarta Selatan ujung. Dan ini di Jakarta bung?

Jadi maksud saya apa? Ini sungguh tidak efektif. Karena transportasi sungguh menjadi problema besar. khususnya untuk saya yang tidak memiliki supir pribadi. Naik umum? jangan pernah berdiskusi tentang itu jika armada yang akan kita gunakan adalah selain taksi!

Solusi?

Di tahun 1997, ketika saya mengajar di kelas 5 sekolah dasar, proyek semacam itupun pernah saya alami bersama anak-anak didik saya. Kala itu, saya tidak memberikan anak-anak untuk tampil dalam kegiatan assembly tersebut berupa transkrip drama untuk dipentaskan, tetapi sya bersama mereka berdiskusi tentang tema yang akan menjadi drama di assembly kami dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Dan setelah tema itu menjadi kesepakatan, maka kami membuat garis besar dari adegan-adegan yang diperlukan. ketika akan ada 4 adegan yang kita sepakati, maka kami membuat 4 kelompok yang masing-masing mengembangkan cerita dalam setiap adegannya. Tentunya jalan cerita telah disepakati. Sehingga kelompok-kelompok itu hanya mendiskusikan draft transkrip. Setelah semua terlihat, maka masing-masing kelompok itu mensinergikan jalan cerita. Klop, anak-anak dalam pelajaran art and craft membuat properti drama yang diperlukan untuk penampilan drama 5 A Family tersebut.

Alhamdulillah, drama itu sukses anak-anak tampilkan dengan posisi saya sebagai benar-benar fasilitator mereka. Dari pengalaman itu saya menjadi yakin bahwa, anak-anak itu ternyata mampu. Dan yang mereka butuhkan dari kita adalah peta jalan dan pemandu. Anak-anak saat itu tidak saya sopiri dalam mengarungi jalan yang telah berpeta tersebut. 

Lalu bagaimana dengan nak-anak yang rapat di kelas TKA itu? Tampaknya itulah transformasi yang harus menjadi perjalanan kami selanjutnya. Semoga.

Jakarta, 27 Desember 2013.

Aswatomo dalam Youtube

Ini murni pelajaran awal yang saya dapatkan. Betapa media telah memberikan kita kesempatan untuk melihat dan sekaligus mendengar, serta juga merasa bagaimana hebatnya sang dalang dalam mengemas sebuah lakon cerita. Itulah sebuah sekuel tentang keluh dan kesah seorang Aswotomo di pakeliran lewat media vedio youtube!

Tentu apa saja yang kita mau jika kita menginkannya dan sekaligus berniat. Bahkan untuk sebuah teori tentang sesuatu yang sulit pun, sudah ada yang merelakannya untuk menjadi bagian dari khasanah dalam gudang film pendek tersebut. Termasuk yang sedang saya catat pagi ini, wayang kulit tentang Aswotomo!
http://www.youtube.com/watch?v=LH3Xuoc7usg

Ia adalah keturunan dari Begawan Durno, yang dalam adegan yang saya saksikan itu sedang berkeluh kesah tentang nasibnya yang tidak beruntung. Ia merasa merana karena ayahnya seperti tidak memberikan bekal kepadanya dengan sebaik ketika ayahnya membekali saudranya yang dari Pandawa; Puntodewo, Werkudoro, Janoko, dan Nakula-Sadewo. Keluhan yang akhirnya  didengarkan dan diluruskan oleh sang pamannya, Begawan Kerto.

Apa pelajaran buat saya?

Terus terang, meski keturunan dari Jawa Tengah, saya tergolong yang kurang memahami cerita wayang. Ketidak pahaman ini pasti ketidakseriusan saya ketika mulai belia saya tidak mengikuti  oengetahuan wayang itu dengan sepenuh hati. Menonton pertunjukan wayang, tetapi saya tidak berada di lingkaran pangguung. Bermain kartu gambar wayangpun, saya juga kurang merasakan selain keriangan akan kemenangan.

Menggambar wayang? Saya meminta teman, yang sekarang menjadi dalang di daerang Sucen dan Gebang untuk menggambarkannya. Karena saya tahu sahabat saya itu akan menggambar wayang tanpa melihat tokoh yang ingin digambarnya dengan hasil yang pasti tidak mengecewakan. Jadi, itulah yang saya alami. Hingga akhirnya di usia 7 hingga remaja, saya berada di lingkungan yang jauh dari bau pewayangan. Itulah yang membuat saya akhir-akhir ini begitu mencoba untuk menyemangati diri mengenal kembali dunia wayang dari bahasa yang masih saya miliki. Baik melalui VCD atau media internet.

Meski dalam satu sekual yang di upload oleh Cah Gununggandul itu, saya belajar bagaimana hidup dari kacamata wayang yang disampaikan oleh Ki Manteb Soedarsono. Terimakasih!

Jakarta, 27 Desember 2014.

24 December 2013

Panggung untuk Siswa

Sore hingga malam menjelang penerimaan rapor semester pertama yang lalu, guru-guru yang bertugas dalam kegiatan seni untuk menjadi pembuka kagiatan penerimaan rapor bekerja dengan relatif keras dan sungguh-sungguh. Meski teman-teman itu tampak lelah, namun semangatnyanuntuk hajatan itu  tetap penuh semangat. Setidaknya itulah yang saya saksikan sejak kemarin dan beberapa waktu sebelumnya.

Dan esok paginya, sebelum jam menunjuk pukul delapan, teman-teman itu kembali lagi ke pnggung dimana acara akan berlangsung. Bedanya, jika kemarin malam yang paling sibuk adalah semua yang berada dalam penyiapan latar belakang pangung dan pastinya gelaran karya seni dari karya anak-anak didik, tetapi pada hari H itu yang paling sibuk adalah para penjaga panggung. Mereka adalah sound man, para pengiring, pemandu panggung, penanggungjawab bagi anak-anak yang tampil, dan pastinya para juru foto.

Itulah sekelumit kesibukan guru dalam menghantarkan anak-aak didiknya tampil di panggung pertunjukan seni dan pameran karya seni. 

"Bapak sudah lihat ja pulang kami di mesin absensi belum?" tanya salah seorang dari teman guru itu. Mungkin ia bermaksud meminta perhatian lebih dari kami kalau ia beberapa waktu belakangan memang pulang terlambat tidak seperti biasanya.

"Iya saya tahu itu." Jawab saya tidak jujur. Itu karena saya memang sebenarnya telah melihat absensi mereka. Namun terus terang tidak atau mungkin kurang detil. Ini karena saya pertama-tama yang saya cermati adalah kehadiran teman-teman itu. Kemudian berikutnya adalah jam kedatangannya. Sedang jam pulangnya, saya hanya perhatikan secara scanning. Kurang teliti. Alhasil, jawaban saya iya, tetapi tidak mengandung keyakinan penuh.

Belakangan saya kembali lagi ke daftar absensi hasil dari rekaman mesin absensi. Dan memang ada beberapa kali dari sebagain teman-teman itu yang harus pulang dari sekolah setelah waktu Magrib.

Heboh

Sesungguhnya, apa yang diikhtiarkan oleh teman-temn guru itu adalah bagian dari bagaimana membuat sebuah perayaan bagi hasil kerja anak didik itu terasa meriah. Dengan demikian maka anak-anak merasakan ada yang berbeda dengan apa yang dihasilkan. Itulah yang kami sering sebut sebagai membuat heboh sesuatu yang bersifat perayaan. Meski yang dihasilkan itu adalah sesuatu yang normal.

Mengapa? Karena karya sni yang ditampilkan adalah karya anak-anak saat belajar di kelas mereka. Ada bingkai foto dan tempat pensil yang dibuat dari barang bekas, ada karya seni rupa tentang pola batik, ada manik-manik, ada hasil melukis yang sudah dibingkai. Juga penampilan dari beberapa kelas seperti paduan suara, drumb band, tarian, dan yang lainnya.

Dan dengan memaksa para orangtua yang menjadi penonton utama dalam kegiatan tersebut sebelum mereka mendatangi kelas-kelas untuk mengambil rapor, setidaknya kami ingin mengajak kepada komunitas sekolah bahwa hasil belajar bukan saja angka yang akan orangtua dapatkan ketika menerima buku laporan pendidikan anandanya, tetapi juga adalah karya seni anandanya. Semoga.

Jakarta, 20-24 Desember 2013

Status atau Indikator?

Beberapa waktu yang telah lalu, saya terjebak diantara dua kata. Dua kata itu adalah kata 'status' dan kata 'indikator'. Inilah yang akan saya jadikan catatan saya kali ini. Catatan yang sebelumnya sudah pernah juga saya sampaikan, namun dengan sudut pandang lain, saya merasa ada satu hal penting yang tertinggal.

Terjebak, karena memang pada awalnya saya benar-benar masuk dalam perangkat diantara dua kata itu. Dan bersyukurnya, dari dua kata itu belum sempat satu kalipun saya deklarasikan kepada orang-orang atau pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, maka pengertian dua kata itu belum menjadi bahan polimik yang berketerusan.

Begitu seriusnya? Benar, karena dua kata itu mewakili unsur status di sebuah lembaga yang telah begitu establis, sehingga kalau saja status itu terlanjut meluncur sebagai statmen, maka runyamlah perkara. Ini karena kebetulan sekali kami belum memiliki waktu yang leluasa untuk menympaikannya. Oleh karenanya kata status atau indikator tersebut masih menjadi polemik internal, yaitu masih dalam tataran diskusi kami. Belum keluar dari koridor kami.

Bagaimana? Ini karena setelah masing-masing unit yang ada dalam lembaga tersebut mengirimkan perwakilannya masing-masing, yag tentunya para perwakilan tersebut dipilih berdasarkan status tertentu dalam sebuah diskusi, maka beberapa perwakilan tersebut secara teratur menyadari bahwa tugas yang akan diembannya adalah tugas yang membutuhkan persyaratan tertentu. Dan teman-teman yang menjadi wakil tiap unitnya tersebut nampaknya memahami alur tugas yang harus dipenuhinya. Maka pada pertemuan berikutnya, teman-teman yang menjadi wakil itu telah berganti personil.

Maksudnya?  Ketika disebuah lembaga akan dibentuk sebuah tim pengembangan, maka yang terpiir oleh tiap unit yang ada di lembaga tersebut segera memberikan mandat kepada teman-teman yang dengan 'status' senior.  Ini memang sudah daoat dengan mudah dipahami da nprediksi. Meski bukan status itu saja yang sesungguhnya diperlukan dalam sebuah gerbong yang berlabel pengembangan.

Namun ketika dalam pertemuan awal yang menguraikan maksud dan tujuan, serta tentunya keluasan dan kedalaman tugas yang akan diemban, maka lahirlah apa yang kami membutuhkan, sebagai 'indikator' dari figur-figur tersebut. Yaitu mereka yang bedarah muda, trengginas, obyektif, bervisi, persisten, dan berkomitmen.

Dan pertemuan awal itulah yang menjadi pembebas pada diri saya terhadap himpitan dan kekangan dari kata 'status'  senior, yang mungkin akan merusak harmonisasi lingkungan sosial yang telah apik itu. Pertemuan itu juga melahirkan 'indikator' bagi orang-orang yang diperlukan oleh sebuah tim pengembangan, sebagai pintu gerbang bagi kebebasan saya...

Jakarta, 24 Desember 2013.

23 December 2013

Berita dari Kampung

Jumat, tanggal 20 Desember 2013 sore, saya mendapat berita dari kampung halaman tentang banjir yang datang di seantero kampung. Tidak saja menggenangi jalanan dan halaman rumah, tetapi juga masuk ke ruang tamu, kamar tidur, dan bahkan ke dapur yang sengaja telah kami buat lebih tinggi. Banjir begitu tinggi menyambangi kampung kami tahun ini. Dan ini memang untuk kali pertama banjir datang dan memaksa penghuni rumah yang ada mengungsi ke lokasi yang lebih memadai. Namun bagi saya yang jah dari kampung halaman, banjir kali ini menjadi berbeda.


Aoa yang membuat berbeda dengan kehadiran air bah itu di tahun ini? Utamanya bagi saudara yang ada di kampung halaman dan menjadi korban banjir itu, tetapi juga bagi saya yang mendapat kabar. Bukan apa yang kami rasakan dengan banjir yang datang itu yang paling signifikan dirasakan warga di kampung, tetapi bagaimana berita itu tampil di media sosial, dan juga bagaimana kehadiran pemerintahan di rumah-rumah warga dan di pengungsian-pengungsian.

Dua hal yang cukup membuat saya dan saudara di kampung begitu merasakan perbedaan. Sebagaimana yang saudara saya sampaikan, bahwa siang ketika air bah melalap seluruh pelataran dan pekarangan yang ada di kampung, maka perahu karet bersama aparat pemerintah menyambangi rumah-rumah kami untuk mengajak ke lokasi pengungsian.


Ini satu hal yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Meski, sekali lagi saya paparkan, bahwa banjir kali ini bukanlah yang untuk pertama kalinya. Saudara saya sampaikan bahwa yang datang bukanlah mereka yang perahu dan kaos yang dikenakan relawan adalah simbol partainya, tetapi dari aparat pemerintahan. Mudah-mudahan ini awal lahirnya kehadiran pemerintahan di sendi kehidupan sanak dan handaitaulan kami yang tinggal di kampung halaman. Semoga.


Juga adalah updating berita dan foto yang disebarluaskan oleh para relawan yang melek teknologi. Karena hanya dengan seperti itu, kami yang jauh di rantau tahu kondisi detil dan terkini. Ini sebuah keberbedaan yang lain lagi. Dan atas semua hal itu, saya di rantau berterimakasih.

Jakarta, 23 Desember 2013

21 December 2013

Menjadi Aset atau Beban?

Dua kata yang baru saja saya temukan di buku catatan saya pertanggal Juni 2007. Aneh sekali bagi saya sore itu ketika menemukan kembali kata-kata itu. Ini tidak lain karena dua kata ini disampaikan oleh teman saya di Bintaro, Tangsel, yang sekarang sibuk dengan halaman FBnya ketika sedang memberikan seminar hebat.

Dua kata yang kebetulan sekali saya juga baru dengan dari seorang motivator yang dihadirkan di sekolah, yang bercerita tentang professionalism personality, yang juga mengangkat kata-kata aset. Tidak heran bila kata-kata itu begitu menggempur ingatan saya akan apa yang kami lakukan di tahun 2007 lalu dalam sebuah diskusi panel yang kami sebut sebagai ngobrol ngalor-ngidul, atau dialog utara-selatan.

Menjadi Aset

Lalu apa makna  terbaru dari kata aset yang saya dapatkan ketika beberapa waktu lalu dalam sebuah seminar motivasi yang saya ikuti itu? Tentuya ketika saya berada dalam sebuah khasanah yang bernama pekerja? Lalu apa pula hubungan antara apa yang oleh motivator saya, yaitu  professionalism personality dengan kata aset?

Tidak lain adalah mengejawantahkan atau kalau bahasa saya mungkin lebih pas, yaitu optimalisasi potensi diri kita secara maksimal dalam menjalankan semua tugas yang menjadi tanggunjawab dan amanah yang diemban. Tidak juga berbeda jika saya memaknainya sebagai bentuk dari etos kerja optimal.

Karena hanya dengan pegawai yang  memiliki dedikasi, komitmen kerja dengan penuh kesungguhan dan dengan penuh rasa mecintai pekerjaan yang lakoninya, maka mereka telah memiliki indikasi sebagai aset bagi tempatnya bekerja.

pegawai yang menjadi aset bagi tempatnya mencari nafkah adalah mereka yang menjelang akhir tahun tutup buku akan mendapatkan predikat outstanding untuk penilaian ki erjanya. Itu beraarti juga bahwa ia adalah pegawai teladan atau yang dapat dijadikan standar bagi pekerja lainnya untuk dapat dijadikan panutan.

Lalu apa pula yang dimaksud dengan menjadi beban? Sederhana saja. Siapapun akan meletakkan barang di bahunya manakala itu menjadi beban yang tidak memberikan kebermaknaan baginya.

Jakarta, 13-12-'13.

19 December 2013

"Buku Apa yang Bapak Baca?"

Demikianlah pertanyaan seorang siswi saya disaat bertemu pada pagi hari di pintu gerbang sekolah. Ia adalah siswi kelas 7 di bangku SMP kami. Ia merupakan anak kedua dari keluarganya, dimana kakaknya dalah siswa kami juga yang duduk di kelas 9.

Tentu itu bukan pertanyaan istimewa yang disampaikan oleh seorang siswa kepada gurunya. Tetapi dengan latar belakang yang saya lakukan sebelumnya, saya melihat pertanyaan itu sebuah pertanyaan kepenasarannya sebagai seorang siswi yang ig\ngin tahunya banyak. Itu adalah pertanyaan untuk anak-anak didik yang berada di atas rata-rata. 

"Buku Apa yang Bapak Baca?"

Memang menjadi bagian dari tugas, ketika saya berada di dalam kegiatan yang anak-anak lakukan. Seperti juga kegiatan rutin mereka untuk bertemu dan berkumpul di pagi hari sebelum kegiatan belajar berlangsung di dalam kelas. Anak-anak berkumpul untuk melakukan pembukaan belajar dan breifing dari kepala sekolah atau guru. Nah dalam kesempatan itulah saya ikut serta nimbrung di dalamnya.

Dan tidak terlalu sering juga saya memberikan cerita kepada anak-anak itu. Karena untuk menghindari kebosanan terhadap apa yang saya sampaikan, maka saya berusaha untuk bercerita tidak terlalu sering. Juga materi ceritanya. Saya berupaya untuk mendapatkan apa yang akan saya sampaikan kepada anak-anak itu sebagai bagian dari motivasi kepada mereka. Juga memberikan paradigma baru agar anak-anak itu terus berjuang dengan sungguh-sungguh, daklam rangka memaksimalkan potensi dirinya.

Dari dari sinilah nampaknya ada satu dari sekian n\banyak anak-anak yang berada di dalam ruangan ketika saya bercerita tersebut datang kepada saya begitu ia sampai di sekolah. Dengan mengajukan pertanyaan yang sungguh diluar dugaan saya;
 "Buku apa sih yang Bapak baca?"

Tidak ada kata atau kalmat yag dapat saya sampaikan kepada ank itu sebagai penjelasan dan jawaban saya. Namun saya langsung mengajak anak tersebut datang ke ruangan saya untuk menunjukan antaralain buku yang saya baca.

"Ini nak, buku yang ditulis oleh Moenawar Chalil..."

Begitu kata saya sembari memegang buku jilid 4 dan jilid 6 yang kebetulan ada di belakang meja saya. Di dalam benak saya berguman kekaguman yang amat terhadap rasa ingin tahunya tentang sumber cerit yang selama ini saya sampaikan kepadanya dan teman-temannya. Luar biasa.

Jakarta, 19 Desember 2013.

15 December 2013

Kinerja #7; 'Galau' Saat Menentukan Kinerja

Inilah sata-saat saya merenungkan untuk menentukan kinerja teman-teman guru dan karyawan yang ada. Galau bukan karena ketiadaan data dan fakta atas apa yang menjadi landasan penentuan kinerja tersebut. Juga bukan karena terlalu subyektifnya penilaian yang telah dilakukan teman-teman kepala unit masing-masing bagian, juga bukan karena tidak establisnya parameter yang digunakan. Galau justru karena saya sendiri masih sering mendengar ketidakpuasan di setiap tahunnya dari para guru dan karyawan atas apa yang dicapainya dari kinerjanya sepanjang tahun ke belakang.

Padahal penentuan akhir yang telah saya pegang ini, adalah hasil akhir dari bawah yang disusun dengan mengacu kepada teman yang ada di posisi yang sama dengan mereka yang dinilai, atasan langsungnya dan juga berdiskusi dengan saya. Meski saya tidak memberikan kontribusi langsung terhadap hasil penilaian itu, tetapi sekali atau sepuluh kali, saya memberikan masukan menguatkan atau juga melemahkan dengan apa yang dibawa kepala unitnya untuk benar-benar hasil penilaian kinerja tersebut final.

Atas realitas dan fenomena itulah saya menyadari akan masih adanya perbedaan cara melihat. Bahwa masih ada teman-teman yang masih memiliki ekspektasi berbeda dengan kepala unitnya. Dan dari persfektif itu ia merasa berbeda dalam melihat apa yang telah dijalaninya. Keperbedaan yang akhirnya melahirkan deviasi cara pandang antara hasil penilaian, penilai dan yang dinilai. Itulah yang pada akhirnya menjadi sumber dan sekaligus muara kegalauan saya.

Membuat Peta

Untuk melihat agar apa yang kita simpulakan benar-benar benar, guru atau laryawan itu sering pada tahap akhir, saya dan kepala unit bersama-sama membuat peta posisi masing-masing guru atau karyawan yang ada. Dan peta itu, memastikan siapa berada dimana. Dari peta posisi masing-masing guru atau karyawan tersebut, kami mencoba mendiskusikan kembali  apa data dan fakta yang terkumpul dalam lampiran kinerja yang dimilikinya.

Apa yang kami lakukan itu tidak lain adalah untuk menempatan kinerja seseorang tepat pada posisi yang memang semestinya. Dan peta itu, juga membantu kami untuk memperbanding guru atau karyawab yang satu dengan yang lainnya.

Dan selalu saja, ketika hasil kinerja tersebut kami oleh sebagai sumber argumen bagi kenaikan gaji secara berkala, hasilnya selalu masih ada komentar:"Mengapa saya yang lebih lama mengajar gajinya berada sedikit di bawah si Anu yang beru bergabung dua tahun sesudah saya?" 

Itulah antara lain yang membuat saya galau pada setiap tahunnya. Bukankah bila perhitungan gaji kami didasari oleh kinerja, maka paradigma lama dan baru akan menjadi lenyap?

Apakah ada yang ingin berbagi kegalauan?

Jakarta, 15 Desember 2013.

'Bertani' di 'Rumah Beteen'

Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan bermaksud tidak menghargai, saya sungguh belajar dari Bapak dan Ibu pensiunan yang menjadi tetangga sahabat saya di sebuah perumahan yang berada tidak jauh dari pertigaan antara perumahan besar Sawojajar, Abdurahman Saleh, dan kecamatan Tumpang di Malang beberapa waktu lalu. Sebuah pemandangan yang dapat menjadi  inspirasi bagi kita untuk tetap mandiri, sehat jasmani rohani, dan tentunya bermartabat. Setidaknya itulah yang saya lihat dari hamparan tanaman dalam poly back yang terhampar pada sebidang tanah halaman di 'rumah beteen'.

Sungguh sebuah pemandangan yang terlalu langka untuk dapat saya temukan, nikmati, atau bahkan dapat dipelajari. Maka tidak salah bukan jika saya benar-benar menghargai apa yang ada di depan mata saat itu untuk kemudian saya bagi di catatan saya ini. 

Menikmati Pensiun

Pengalaman berkunjung ke rumah teman di Malang dan sekaligus melihat bagaimana tetangga itu memandirikan jiwa dan raganya dengan bertani di lingkungan rumah, adalah sebuah anugerah yang inspiratif bagi masa depan dan sekaligus teladan baik untuk tetap bermartabat.

Inilah penampakan lahan 'pertanian' itu...
Dan tampaknya, bermatabat dan mandiri, adalah dua kata yang sarat kesaktian bagi saya, karena masa depan adalah rancangan kekuatan, keuletan, dan sekaligus tekad sebagai pegawai swasta. Penting sekali agar di masa akhir nanti dapat menikmatinya dengan penuh pengharapan. Maka sekali lagi, tidak salah bila kunjungan itu, meski begitu singkat sekali, menjadi pengalaman penuh makna.

"Bapak dan Ibu sedang mengaji." Begitu penunggu rumah memberikan informasi ketika sahabat saya yang baik itu bertanya keberadaan Bapak untuk memohon izin mengunjungi polyback yang ditanamin bayam, kangkung, tomat, wortel, dan cabe. Juga kandang-kandang yang tidak terlalu besar yang berisi kelinci dan ayam kampung.

Dan sembari mengambil gambar dari tanaman dan kandang yang ada, saya berkomentar kepada teman yang mengajak saya berkunjung ke lokasi tersebut; "Layak sekali untuk menjadi telah bagi calon pensiunan."

"Ha... ha... ha... merasa sudah akan pensiun ya?" timpal sahabat saya ini. 

Terima kasih Pak, atas kesempatan yang telah saya dapatkan...

Jakarta, 15 Desember 2013.

08 December 2013

Apakah Kaya?

Ketika seorang teman memberikan konsep bahwa orang yang kaya adalah mereka yang memiliki semua yang dibutuhkan dalam kehidupan ini, saya mencoba meraba apa yang ada di kepala saya sendiri. Setuju. Bahwa kaya memberikan makna tentang kepemilikan apa yang ada pada dirinya. Kepemilikannya lebih dari sekedar konsep terpenuhinya sandang, pangan, papan.

Lalu bagaimana dengan, misalnya, seperti yang pernah kita lihat di tivi atau baca di koran dengan gambar-gambar puluhan mobil mewah yang ada di garasi? Pasti itu juga adalah bentuk atau profil bagaimana kaya itu dalam realitas. Juga misalnya kisah teman yang mampu berada di negeri orang untuk belajar dengan fasilitas rumah tingga atau aparteman pribadi. Itu juga adalah bentuk orang yang mampu. Itu semua adalah bentuk nyatanya, walau apa sesungguhnya definisi kaya tersebut, mohon maaf bahwa saya sendiri tidak berusaha menemukan dari KBBI atau googling.

Namun sore itu, setelah obrolan dengan teman tentang kepemilikan harta dan benda dunia, saya benar-benar tersadar akan makna dari kata kaya itu secara esensi. Jika memungkinkan, saya mencoba melihatnya dari kaca mata yang berbeda. Mengapa kaca mata yang saya gunakan berbeda? Karena berbasis kepada apa yang saya tangkap dari beberapa seliwiran pendapat dan informasi yang selama ini saya dapatkan.

Salah satu orangtua siswa, kepada saya menyatakan untuk memberikan bantuan kepada kegiatan bagi anak-anak yang akan berangkat ke suatu daerah guna melaksanakan trip kekeluargaan. Semua ia berikan. Bahkan, untuk memberikan kepastian akan kelancaran dari kegiatan tersebut, orang yang dihormatinya dalam trah keluarga tersebut rela datang lebih dahulu ke lokasi yang ada di luar Jakarta tersebut. Ia menunggui kedatangan anak-anak tersebut, menemaninya ketika telah sampai lokasi yang dituju, dan memberikan kenangan dalam bentuk sebuah pesta yang tidak saja bagi anak-anak yang menjadi tamu, tetapi juga seluruh komunitas dan keluarga besar yang ada di lokasi itu.

Sementara teman, yang belakangan memiliki omset t, dan memang belum begitu kaya mengingat ia belum menjadi bagian dari daftar orang terkaya versi majalah Frobes, tetapi begitu memudahkan apa saja yang ada disekelilingnya. Ini karena usahanya mendirikan sebuah kegiatan ekonomi sukses dan lancar. Mengalir. Namun dari perilakuknya ketika memperlakukan orang lain, saya cenderung memasukkannya ke golongan yang bukan kaya.

Lalu, bagaimana pula dengan kenalan saya yang lain lagi? Dimana dalam usia yang tidak terlalu jauh berpaut dengan saya, begitu mudah juga mengalirkan sebagian apa yang dimilikinya kepada yang memang membutuhkannya. Baik membutuhkannya untuk kemudian dikonsumsi, atau diinvestasikan dalam bentuk biaya pendidikan atau properti, tanpa terlebih dahulu meminta syarat atau bahkan akad.

Jadi, apakah kaya? Tanpa melihatnya secara deskriptif, tampaknya saya memilihnya sebagai mereka yang memiliki antara lain perilaku yang mencerminkan bahwa ia tidak merasa, mengaku, mempertontonkan, bahwa ia memiliki dan menggunakannya. Dan itu semua atas kesadarannya sepenuhnya dengan penuh keyakinan diri yang melekat pada dirinya. Tidak membutuhkan asesoris apapun agar orang lain memasukkannya sebagai bagian kalangan itu. Mereka itu, mudah mendistribusikan apa yang dipunya kepada lingkungan sekitar yang sepantasnya ikut serta menikmati.

Atau, apakah dapat dikatakan kaya bila untuk sebuah pengorbanan masih berpikir bagaiaman anaknya, masa depannya, persiapan ke depannya? Dan saya mencita-citakan menjadi bagian dari orang seperti itu. Atau mungkin Anda sendiri yang sekarang terlebih dahulu berada di bagian itu? Motivasi dan inspirasilah saya!

Jakarta, 8 Desember 2013.

03 December 2013

Berharaplah Positif!

Pagi itu, sebagaimana biasanya, saya menjadi bagian dari ritual pagi hari di sekolah. Ini kesempatan saya, dari beberapa banyak sekali kesempatan, bagi saya, yang tidak memiliki jam mengajar pasti di kelas-kelas yang ada di tingkat TK, SD, dan SMP, untuk mengenal anak-anak. Mengenal nama-nama mereka. Mengenal karakter dari masing-masing mereka. Termasuk uga adalah ikut serta menikmati kegiatan yang sedang mereka lakukan di pagi hari itu.

Dan pagi itu, tampaknya menjadi pagi hari yang berbeda dari pagi hari yang lain yang pernah saya temukan. Karena pagi hari itu adalah awal bulan. Dan itu berarti guru konseling kami akan memaparkan hasil diskusi dia bersama anggota dewan guru yang lain, dalam menentukan siapa saja anak didik kami yang istimewa pada bulan lalu. Kami menyebutnya sebagai siswa berprestasi.

Belajar Konsisten

Dari tiga bidang yang dinilai sepanjang bulan oleh teman-teman guru itu, maka bagi saya ada satu hal yag menjadi begitu menarik untuk saya sampaikan dalam catatan saya ini. Itu adalah konsistensi dalam memperbaiki diri. Dan para bagian ini, ada siswa kelas 8 yang mendapatkannya.

Ia adalah seorang siswa yang sejak berada di TK saya mengenalnya. Berbagai hal dan cerita yang pernah dilakoninya sebagai bagian dari anak remaja di kota besar  yang juga sibuk dengan driver kemana dan dimana pun ia berada. Seperti pada siang yang lalu, dimana saya melihat bagaimana mobilnya yang berisi antara lain adalah bantal, sepatu, pakaian, dan lain-lain, sebagaimana kalau kita ingin berkendara untuk tujuan yang jauh. Hampir semua perlengkapan mandi dan dandan, ada di sana.

Beberapa kali juga saya mendengar bahwa ada yang harus menjadi perhatian dari sekolah karena perkembangan emosi sosialnya. Tentu itu sebelum ia menjadi satu dari sekian anak yang berdiri di depan teman-temannya karen prestasinya itu.

Karena ketika pagi itu, ia adalah profil siswa yang secara konsisten memperbaiki diri dan visinya dalam mengarungi masa remajanya. Koordinat perilaku dan komitmennya begitu pasti. Sesuatu yang sunguh membuat, antara lain saya, kagum.

"Kapan ia belajar menjadi konsisten?" tanya saya kepada seorang guru.

"Sejak ia masuk di gerbang remaja. Dan saat ia berminat menjadi ketua OSIS." jelas teman saya.

Dari sekelumit cerita itu, saya belajar satu hal tentang anak-anak didik kami. Bahwa  anak-anak itu, siapapun dia, adalah tunas-tunas yang penuh harapan. Kadang tumbuh rasa dari diri kita untuk tidak begitu meyakini terhadap harapan yang kurang positif, sehingga membuat kita merasa lelah dan berputus asa untuk berikhtiar. Tetapi, selama harapan baik dan ikhtiar yang tiada putus-putusnya, anak-anak itu seperti menghampiri cahaya yang akan membuatnya turut serta dalam bersinar da memberikan keterangbenderangan. Sebuah relaita yang kembali memberikan kepada kami semangat. Hebat!

Jakarta, 3 Desember 2013.

Melihat Status Profile

Ternyata, status profile seseorang di ruang publiknya, bisa menjadi bagian dari kita untuk membuat sosiometri. Ini saya dapatkan beberapa waktu lalu ketika teman  menceritakan kepada saya tentang seorang teman yang selalu meng-update status di profile smart phone-nya. Saya juga sering melihat-lihat status seperti itu. Termasuk juga dalam ruang publik, seperti misalnya di facebook atau di twitternya. Namun baru benar-benar ngeh, setelah teman itu memberikan kesimpulannya.

"Tanpa harus memintanya untuk membuat siapa yang disuka dan tidak dalam bekerja di tahun pelajaran depan, sebenarnya kita telah dapat menentukannya, dengan berdasarkan kepada status profile di smartphone-nya!" Demikian kesimpulan teman saya itu.

Sosiometri, yang saya pahami ketika saya belajar tentang hubungan sosial di sekolah pendidikan guru tahun delapan puluhan dulu, berguna untuk memetakan bagaimana hubungan sosial yang terjadi pada siswa didik kita. Ini penting agar kita dapat memetakan siapa saja di kelas kita yang membutuhkan bantuan kita dalam melakukan hubungan sosial. Karena ketika anak-anak  diminta untuk menuiskan siapa teman yang paling dia suka dan tidak, maka dalam kertas, sebagai hasilnya,  kita akan melihat peta hubungan itu. Kita akan menemukan anak-anak yang paling disukai teman-temannya dalam pergaulan dengan diplih oleh banyak temannya. Ada juga yang memilih teman banyak, tetapi tidak satupun temannya yang memilihnya.

Nah, apa hubungan sosiometri dengan status profile teman-teman itu? Hubungannya adalah karena statusnya selalu berisi curahan hatinya terhadap seseorang yang anonimkan. Padahal teman-teman yang menjadi sahabat disekelilingnya memahami bahwa teman itu sedang tidak berhubungan baik dengan seseorang anonim tersebut yang ditulisnya di satus profile-nya.

Kok begitu mudahnya? Memang itulah yang terjadi. Dan benar apa yang disimpulkan teman sebagaimana yang saya kutip di atas. Apakah tidak diberikan nasehat untuk kepadanya untuk sedikit menyimpan apa yang sedang bergolak dalam sanubarinya?

"Sudah kelar! Tapi dia berkeyakinan bahwa ruang publik yang digunakannya adalah atas nama account pribadinya. Jadi hak asasinya kan?" Begitu teman saya menerangkan kepada saya.

Saya memaklumi atas apa yang dianggapnya sebagai hak asasi. Dan saya belajar dari sini. Bahwa sesungguhnya masih ada batas-batas yang membatasi hak asasi yang disebutkannya itu.

Jakarta, 3 Desember 2013.

02 December 2013

Menyambut Prosfective Parent

Beberapa waktu lalu, pada saat kami bertemu untuk mempersiapkan diri guna memberikan pelatihan kepada semua unsur yang ada di sekolah guna melakukan kegiatan penerimaan tamu atau menyambut tamu, yang adalah para calon orangtua siswa, kami merakan adanya kekurangsiapan beberapa teman. Kurang siap bukan karena belum atau bahkan tidak menguasai apa yang harus dilakukan dalam atau selama kegiatan tersebut. Atau properti kegiatan yang belum lengkap. Tetapi lebih kepada kekurangsiapan mental dari sebagian dari kami. 

Ini saya dapat maklumi mengingat ini adalah bentuk kegiatan yang benar-benar baru bagi kami. Bahwa kami pagi itu akan menerima tamu untuk kemudian tamu-tamu itu berada di dalam kelas kami. Dan akan kami coba untuk menyampaikan testimoni sebagai guru di sekolah kami, sekaligus membuka pertanyaan kepada para calon orangtua siswa tersebut.

Kegiatan ini setidaknya menjadikan kami sebagai sumber informasi atas apa yang ingin diketahui oleh prosfective parent tersebut sebelum mereka benar-benar akan memasukkan putra atau putrinya di sekolah kami. Dan ini, dilakukan tidak saja oleh bagian dari admission sekolah, tetapi juga kami para guru. 

Meski ada sedikit kegugupan, namun inilah lahan baru bagi kami dalam melakukan pembelajaran diri. Khususnya dalam hal menumbuhkan rasa percaya diri  ketika harus berbicara tidak saja kepada para anak didik kami, tetapi jga kepada mereka yang hendak mengetahui lebih dalam tentang sekolah kami.

Perubahan

Meski ada diantara kami yang masih gugup ketika harus berhadapan dengan para calon orangtua siswa yang masih tergolong muda-muda dan cerdas-cerdas, peristiwa itu menjadi bagian dalam meningkatkan rasa percaya diri dalam arti yang sesungguhnya. Saya sendiri merasakan atmosfer itu.

Dan dari sisi ini juga saya melihat dan merasakan bahwa kami sedang melakukan proses trasformasi atau perubahan terhadap apa yang kami jalani selama ini. Bahwa selama ini kami para pendidik memiliki tugas utama sebagai penanggungjawab pendidikan di sekolah dalam tingkat kelas, tetapi dalam proses kegiatan yang dirancang menerima tamu dan memberikan testimoni tersebut, kami adalah sosok guru yang sedang berubah. Karena kami juga adalah agen bagi kelanggengan atau keberlanjutan dari eksistensi sekolah kami yang sekolah swasta.

Dan dengan seperti yang kami sedang usahakan itulah moga-moga para calon orangtua siswa itu dapat melihat kami sebagai sosok yang tidak saja hangat kepada anak didiknya di kelas dan sekolah, tetapi juga kepada masyarakat luas. 

Maka, dalam ranah inilah kami melihat bahwa kami sedang melakukan sebuah perubahan. Moga-moga ke arah yang lebih baik. Amin.

Jakarta, 2 Desember 2013.

27 November 2013

Makan Malam di Toko Oen

"Itu tempat makan turis Belanda Pak. Ngak kuat saya bawa keluarga untuk makan di situ." 

Itulah komentar teman saya yang tinggal di Buring Indah, Malang, ketika ia bertanya dimana acara malam kemarin sehingga saya berhalangan datang dan bertemu dengannya. Dan saya terpaksa harus menunda pertemuan itu, mengingat sebagai orang yang baru berada di kota Malang, saya sungguh ingin tahu banyak hal yang ada di kota itu. Meski jujur, pertemuan dengan teman yang dipernalkan oleh sebuah kepentingan, untuk pertama kalinya di sebuah kamar Hotel Bumi Senyiur, di kota Samarinda pada pertengahan tahun 2007.

Kata sambutan bagi pengunjung; welcom...
Namun untuk bertemu di kota Malang, dimana ia sekarang berada bersama keluarganya, adalah sebuah sensasi dari untaian silaturahim yang, sekali lagi bagi saya, menjadi sebuah kenangan yang bersejarah. Oleh karenanya, meski barada di kota Malang tidak lebih dari 3 hari, saya mencoba 'mencuri' waktu untuk berfoto bersamanya di kota Malang itu. Atau di rumah dimana keluarganya berada!

"Turis Belanda yang datang ke Malang, mereka akan menyempatkan untuk bertandang di Toko Oen sebagai nostalgia."

Demikian pendapatnya. Saya tentu percaya benar apa yang menjadi komentarnya tentang toko ice Cream Oen yang telah ada sejak tahun 1930 itu. Karena sejak mudanya, hingga ia menyelesaikan studi Magisternya di kota itu. Tetapi tentunya saya masih perlu menggali lagi tentang toko kuno itu. Melalu liputan dari teman-teman blogger, web, termasuk ulasan istri saya yang informasinya merupakan hasil membacanya dari liputan majalah makanan langganannya. Termasuk juga seorang Belanda, Elizabeth van Kampen yang berusia 79 tahun, yang menuliskan pengalaman hidup di masa kecilnya tinggal bersama keluarganya di Malang dan Batu, dalam webnya, http://www.dutch-east-indies.com .

Sate 5 Tusuk

Lalu apa yang kami makan pada saat makan malam di rumah makan tersebut? Kami, dalam romobongan, tampaknya memesan makanan yang sama dengan pesanan makanan yang dipesan oleh tamu-tamu yang lain. Termasuk diantaranya adalah sate.  Dan karena rakusnya, saya sendiri melahap 5 tusuk sate yang ada di meja bagian kelompok kami. Meski itu berarti saya harus melanggar apa yang saya sampaikan kepada teman yang ada d satu meja untuk hanya memakan 2 tusuk sate saja masing-masingnya.
Bersama teman, saya makan begitu lahapnya.

Ada juga beberapa teman yang memesan ice cream setelah hidangan makan malam itu kami tuntaskan. Mungkin enak dan penuh kenangan. Saya tidak dapat menceritakannya. 
 
Jakarta, 27 Nopember 2013.

Menumbuhkan Semangat Menulis Siswa

Pada Rabu, 30 Oktober 2013 yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk ikut serta bersama anak-anak dalam kegiatan yang diperuntukkan untuk mereka, yaitu bertemu dengan penggiat sastra Lingkar Pena, Ibu Helvi Tiana Rosa. Acara berlangsung pada jam sekolah, dimana anak-anak yang bergiat menulis di kelas berkumpul di ruang serba guna. Mereka itu adalah anak-anak yang memang sudah menuliskan cerita yang tulisannya antara lain terkumpul dalam sebuah buku yang diterbitkan sekolah. Juga adalah mereka yang memang tertarik dengan tulis menulis.

Sesungguhnya, kegiatan yang dilakukan oleh sekolah dengan mengundang Ibu Helvi, yang juga adalah sastrawan Indonesia itu, sebagai upaya biasa, yang dilakukan sebagai program kelas oleh guru Bahasa Indonesia kami. Namun agar upaya itu menjadi lebih memotivasi siswa, maka kami membuatnya dengan diheboh-hebohkan. Dan benar saja, anak-anak menjadi tertantang dan termotivasi untuk hadir dalam acara tersebut.

Membuat Heboh

Dan dari beberapa acara yang dilakukan oleh guru itu, saya semakin meyakini bahwa membuat setiap kegiatan yang dilakukan dengan cara membuat heboh itu adalah sebuah trik dan strategi. Sebuah upaya untuk memprovokasi anak-anak untuk lebih bersemangat. Untuk lebih tertantang. Dan sekaligus mereka menjadi begitu bersemangat dalam membuat tulisan tentag apa saja yang mereka bisa tuliskan sdan ungkapkan.

Seperti apa yang tertera pada sebuah papan display di kelas yang pernah saya sambangi. Dari sejumlah siswa yang ada di kelas, tidak ada seorangpun yang karyanya, dalam bentuk tulisan tangan, terpajang di sana. Dan dari semua tulisan itu, nampak sekali bagaimana anak-anak itu begitu pintar meramu dan merangkai kata menjadi sebuah narasi.

Dan nampak pula bahwa anak-anak itu telah menerapkan apa yang disampaikan oleh Ibu Helvy dalam sebuah pertemuan tersebut, agar anak-anak tidak memulai tulisanya dengan cara yang berbeda dari tulisan-tulisan yang pernah dibacanya.

Setidaknya, saya menjadi yakin dan setuju dengan apa yang menjadi upaya guru bahasa itu dalam membangkitkan semangat dan keterampilan menulis para siswanya. Karena dengan seperti itulah, anak-anak semakin bisa melakukan eksplorasi lebih luas dan dalam terhadap apa yang menjadi perhatiannya. Anak-anak menjai begitu leluasa dalam menyelami apa yang terjadi di lingkungannya. Hebat!

Jakarta, 5-27 Nopember 2013.

25 November 2013

Harga Mahal untuk Laku

Kalau dengan harga murah justru dipertanyakan  keabsahannya, leglitasnya sebagai hasil pertanian organik, maka menjadikan mahal adalah sebuah pilihannya untuk dapat disajikan di meja makan. Inilah sebuah anomali konsep dagang, yang kemudian dianut oleh Cak Slamet dan teman-teman yang ada di Kampung Organik Brenjonk, Trawas, Mojokerto. Sebuah anomali yang justru menjadi keuntungan baginya dan teman-temannya yang tergabung dalam komunitas Brenjonk itu.

Karena alasan harga itu juga, saya ketika berada dalam sebuah super market hanya mampu memboolak-balok produk organik yang terpajang tanpa tega memasukkan ke keranjang belanjaan. Itu karena harganya masih terlalu tinggi untuk saya dan keluarga. 

Beras tuton dari kampung Brenjonk.
Tetapi sebagai sebuah kesempatan untuk dapat berkunjung di kampung organiknya Cak Slamet itu bersama dengan romobongan dari berbagai tempat, membuat saya dan teman-teman untuk dapat membawa buah tangan untuk keluarga di Jakarta. Jadilah beras tuton yang saya masukkan dalam tas punggung yang sempit.

Mahal? Memang, dalam kemasan plastik yang telah dipadatkan, dengan berat 2 kilogram dan harga 35 ribu rupiah, menjadi pilihan saya. Dan ini sebuah latihan lidah bagi kami sekeluarga untuk merasakan bagaimana rasa beras tuton yag masih penuh dengan kulit ari beras. Gurih, beda, dan mengenyangkan meski dengan suapan yang tidak terlalu banyak porsinya. Mungkin itu yang menjadi ungkapan pertama saya.
Jakarta, 24-25 Nopember 2013.

Taksonomi Bloom Masih Berlaku?

"Selamat hari guru untuk teman-teman guru dan siapa saja yang berkidmat untuk dunia pendidikan di tanah air!"

Tidak terlalu istimewa jika kalaimat itu saya sampaikan kepada diri saya sendiri. Bukankah hari ini adalah hari guru? Dan saya dari ruangan kantor mendengar bagaimana hebohnya anak-anak didik kami yang masih duduk di bangku SD meniupkan terompet sebagai peringatan hari guru. Dan rupanya, setelah terompet tersebut ditiupnya, kue tart yang telah disiapkannya pun di potong dan dibagi-bagikan. Tentunya ini atas peran serta guru menyampaikan informasi kepada anak-anak didiknya tentang hari istimewa ini. 

Taksonomi Bloom Masih Berlaku?

Khusus untuk mengingatkan kepada saya pribadi terhadap hari guru ini, saya telah mencatat atas  teman yang telah menjadi mantan. Teman saya itu adalah mantan pegawai yang pernah menjadi pejabat kepala sekolah. Tentunya tidak baik jika saya sampaikan disini sekolah mana yang pernah dikepalainya. Dan Anda, pasti akan terjengkang karena kaget dan karena terlalu tidak percayanya, bila saya sebut sekolah tersebut.

Yang jelas, saya sungguh kagum atas apa yang telah dicapainya. Karena saya sangat yakin bahwa untuk jabatan yang pernah dipegang teman saya itu, penuh persaingan. Dan selain persaingan, dalam mengarunginya pun akan penuh onak dan duri. Atau kalau dalam istilah Paul G Stolz dalam Kecerdasan Adversitasnya, sebagai tantangan. Dan teman saya ini adalah tipe untuk climber. Dahsyat bukan?

Tiga domain tujuan pendidikan dalam Kurikulum 2013. Menerjemahkan Taksonomi Bloom.
Alhasil, dalam catatan saya ini yang akan saya jadikan hikmah adalah bagaimana sahabat itu berpendapat tentang praktek pendidikan yang begitu mengagetkan saya. Padahal, teman saya itu adalah pelaku utamanya. 

Belakangan saya tidak tahu lagi apa yang menjadi motivasi sehingga ia mengemukakan dalam sebuah diskusi kecil bahwa pembelajaran yang dilandaskan kepada tujuan pendidikan Benjamin S Bloom sudah tdak berlaku lagi. Sudah kuna. Begitu katanya setelah saya sampaikan kepada forum agar teman-teman guru di lapangan benar-benar memahami  taksonomi Bloom itu, untuk dapat menjadi cara berpikir dan cara bertanya guru kepada siswanya saat berinteraksi. 

Lalu, bagaimana pula dengan taksonmi Bloom ini dalam realita pendidikan di sekolah pada hari ini? Benarkah tidak berlaku lagi sebagaimana pendapat teman saya yang adalah mantan kepala sekolah hebat itu?

Inilah hikmah yang harus menjadi pelajaran untuk saya. Utamanya karena saya adalah guru. Dan hari ini adalah hari guru. "Selamat Hari Guru."

Jakarta, 25 Nopember 2013.

24 November 2013

Tutup Buku, Buka Tarub

Tutup buku dan buka tarub, adalah sebuah ungkapan yang baru pertama kali saya mendengarnya, dari seorang yang memiliki pemikiran maju di sebuah desa yang lebih kurang berjarak 15 menit dari posisi sebuah Candi Singosari, Malang, Jawa Timur. Sebuah lokasi yang dikelilingi perkebunan tebu. Tidak ada telepon seluler dari kami yang menjadi tamu di kediamannya yang mengindikasikan adanya sinyal. Semua blank! Sebuah
Tangan terampil Ibu Laila ketika mengajari kami untuk menyusun perca dalam motif kawung di rumahnya.
pengalaman yang baru lagi lagi bagi saya dan para pengunjung yang lainnya.

Apa Maksudnya?

Mesin jahit, mesin obras, hibah dari Pemerintah Daerah Kabupaten Malang kepada kelompok Ibu Laila.
Begitu yang kami tanyakan kepada siempunya rumah, Ibu Laila, yang usianya masih 25 tahun dengan memiliki tiga putra. Dimana anak tertuanya sedang menempuh pendidikan di kelas 6 SD. Jadi, usia berapa Bu Laila melahirkan anak ertamanya itu? Setelah lulus dari bangku sekolah dasar. Maka itulah makna dari ungkapan tutup buku buka tarub. 

Karena begitulah budaya di daerahnya. Anak-anak perempuan akan segera menutup buku sekolahnya ketika ia telah lulus sekolah dasar atau SMP paling tinggi. Dan akan memesan tarub atau tenda untuk sebuah pesta pernikahan.

Ada Ikhtiar Laila 

Rombongsn kami meninggalkan halaman rumah Ibu Laila.
Karena rasa inginnya untuk maju,  dalam sebuah pengajian Fatayat, ia belajar tentang menjahit kain perca dari seorang pengusaha garmen, yang juga adalah pendiri Pelangi Nusantara, Ibu Yanti. Dari perkenalan itulah Ibu Laila mencoba untuk memberikan kesibukan baru bagi teman-temannya yang ada di desanya, belajar mencipta marajut kain perca menjadi sebuah karya berharga. 

Siapa sangka dari tanggannya dan juga tangan teman-temannya ini melahirkan karya kain perca yang indah dan layak sekali untuk digunakan oleh kaum ibu yang berkantor di Jalan Thamrin, Jakarta?

Jakarta, 24 Nopember 2013.

Harga untuk Handmade

"Mengapa harganya mahal?"

Demikian satu dari kami saat memandang dan membolak-balik barang hand made di daerah Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Ini karena tas yang dipilihnya, dan tampak begitu menarik hatinya namun ketika bertanya tentang harga, ternyata tidak murah-murah amat. Maka terlontarlah apa yang menjadi sifat dasar pembeli.

Ini adalah sebuah pengalaman baru bagi saya melihat bagaimana kain-kain perca yang merupakan sisa industri dari perusahaan garmen besar, ditampung di sebuah perkumpulan ibu-ibu, lalu diolah menjadi barang mewah. Itu berupa dalam bentuk tas, dengan berbbagai model, ukuran, dan jenisnya, juga barang art and craft yang aduhai.

Sarung bantal untuk sofa. Meski dari perca, luar biasa bagusnya!
Sebuah kegiatan yang mampu menyulap seorang yang tidak terampil sama sekali menjadi seorang pengusaha, yang berkumpul dalam perkumpulan koperasi dengan tokoh utamanya adalah Ibu Yanti. Dialah pendiri sekaligus penggerak perkumpulan Pelangi Nusantara, atau Pelanusa, di Singosari tersebut.

Belum berhenti disitu, maka pada kunjungan kami berikutnya, dimana kami diajak ke lokasi perkumpulan ibu-ibu yang memakan waktu perjalanan lebih kurang 15 menit dari lokasi awal yang berdekatan dengan Candi Singosari, dengan melalui jalan beraspal tidak sempurna diantara rerimbunan pohon tebu, kami menemukan jawabannya bagaimana tas ibu-ibu model kawung dibuat dengan begitu rumit. Hand made lagi! 

Ini karena ada diantara kami yang benar-benar mencoba mengikuti bagaimana ibu-ibu warga desa itu mengkait dan menganyamkan perca-perca sebanyak 250 lembar dengan ukuran persegi yang sama dengan begitu rumit, teliti, dan sabar!

"Layak untuk berharga mahal!"

 Tas dengan model kawung. Luar biasa rumit saat membuat.
Begitu akhirnya seorang teman yang lain memberikan penilaian. Meski ia hanya membeli satu tas dengan motif kawung untuk istrinya.

Jakarta, 24 Nopember 2013.

Kesamaan Kue Balok di Bandung dengan Kue Bika di Padang Panjang

Ketika melihat bagaimana kue balok yang ada di Rumah Makan Bancakan Bandung saat dibuat, ingatan saya langsung di sebuah tempat pembuatan kue yang cara membuatnya serupa, yaitu di Padang Panjang, Sumatera Barat. Namanya kue Bika, yang dimasak dengan cara memberikan panas api dari kayu bakar yang ada di dalam tungku yang bawah dan di atas adonan yang telah disiapkan. Ini tidak lain karena cara memasak dari kedua jenis panganan tersebut sama. Yaitu menggunakan panas api bawah dengan api atas.

Tatakan bakar dengan panggangan api dari bawah dan dari atas.
Namun demikian, memang citarasa dari kedua kue tersebut jauh berbeda. Kue balok yang ada di Bancakan Bandung itu serupa sekali dengan kue pancong yang sering kami konsumsi di rumah pada saat saya kecil di desa Sritejokencono, Punggur. 

'Wajah' kue balok ketika panggangan atas diangkat. Mekar manawan menarik selera.
Sedang kue bika yang saya temui di kota Padang Panjang, berupa hasil masakan dari adonan tepung dengan campuran suwiran kelapa setengah tua. Yang menghasilkan pagangan jauh berbeda dari apa yang saya saksikan dan pesan di Bandung tersebut. Namun dari cara memasaknya tersebut, saya disuguhi sensasi bagaimana tradisi memasak yang ditemukan oleh para pendahulu. Sebuah teknik dan teknologi tepat guna maha pintar.

Jakarta, 24 Nopember 2013.