Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 November 2014

Belajar Menginap #8; Sebuah Kenangan

Dua pekan usai kegiatan Belajar Menginap yang diantaranya kami menyebutnya denfan istilah Live In, ada beberapa cerita dan kisah yang tetap terjaga dalam ingatan. Itulah yang ingin saya sampaikan dalam catatan saya kali ini. Catatan tentang sebuah kenangan atas kegiatan siswa dalam mengalami hidup bersama warga desa Sedamukti, Pengalengan, Bandung, Jawa Barat, pertengahan Nopember 2014 lalu. 

Sekretaris RW 

Bahwa kami dipandu sepenuhnya oleh tokoh muda di desa itu yang kebetulan adalah sekretaris rukun warga di desa tersebut. Dan beliaulah yang menjadi  tumpuan kami dan warga, karena Pak RW di wilayah itu sedang tidak memungkinkan melaksanakan tugas karena penyakit yang sedang dideritanya.

Pak Yanto, begitulah kami memanggil tanpa pernah tahu siapa nama panjangnya. Dia adalah juga peraih Penyuluh PNPM Mandiri terbaik kedua di Provinsi Jawa Barat.  Dan atas seluruh panduannya itulah ke-142 siswa kami berada di rumah warga yang menjadi wilayahnya. Alhamdulillah bahwa seluruh kegiatan anak-anak berjalan lancar dan memberikan kesan yang positif.

Disamping Pak.Yanto, yang adalah sekretaris RW, adalah Pak Haji Ai, yang adalah tokoh bagi masyarakat yang ada di area RW 04 desa Sidamukti tersebut. Seorang Magister Manajemen yang menjadi perangkat di kantor Kecamatan Pengalengan. Seorang tokoh yang merelakan rumah tempat tinggalnya sebagai 'markas' kami para guru dalam berkoordinasi. Yang punya semangat memajukan masyarakat dan punya pemikiran untuk masa depan.

Warga yang Tulus

Apa yang menjadi ukuran sehingga kami menilai bahwa masyarakat yang telah menerima peserta didik kami untuk tinggal bersamanya itu tulus? Diantaranya adalah raut muka dan bahasa tubuh yang mensiratkan ketulusan tersebut. Ini kami alami pada saat pertemuan kami dengan masyarakat itu tiga jam sebelum anak-anak sampai di lokasi. Mereka menyampaikan pertanyaan; apakah yang harus mereka sampaikan jika peserta didik kami yang menginap di rumahnya belum menjalankan sholat?  

Juga ketika kegiatan berakhir dan anak-anak kami harus meninggalkan rumah-rumah mereka. Seluruh warga mengantar anak-anak kami hingga  ke lokasi parkir bus. Dan selain lambaian tangan perpisahan juga deraian air mata.

Dua hal itulah yang menjadikan kami menilai betapa tulusnya warga desa tersebut. Berbeda dengan kisah yang dialami teman ketika anak-anak didiknya melaksanakan program yang sama di sebuah wilayah, yang sebelum pelaksanaan program mensyaratkan 150 paket sembako.

Dan atas ketulusan itu jugalah kami sekali lagi ingin menyampaikan ucapan terimakasih.

Jakarta, 30 Nopember 2014.

Belajar Menginap #7; Belajar Berempati

Sebagaimana yang sudah saya sampaikan terdahulu, bahwa pelaksanaan kegiatan Belajar Menginap di rumah-rumah warga yang tinggal di Rw. 04 Desa Sidamukti, Kecamatan Pengalengan, Bandung, Jawa Barat, merupakan konversi dari kegiatan Camping Pramuka untuk tiga hari dua malam. Tujuan dari kegiatan ini tidak lain adalah mengembangkan budi pekerti peserta didik.

Salah satu dari budi pekerti yang kami harapkan dapat lahir dalam diri anak-anak antara lain adalah perilaku berempati. Hal ini karena anak-anak kami tempatkan tinggal di rumah-rumah penduduk dalam kelompok yang terdiri dari dua atau tiga anak. Dengan demikian anak sedikitnya akan merasakan sesuatu yang berbeda. Berbeda kondisi antara apa yang ada di rumahnya di Jakarta dengan rumah yang mereka tempati di Pengalengan.

Keberbedaan lokasi tempat tinggal tersebut, meski mereka hanya hidup bersama warga hanya dua malam, pasti membuat anak-anak harus menumbuhkan daya penyesuaian. Terutama dalam hal kondisi fasilitas mck yang membuatnya harus menyesuaikan.

"Apa yang membuatmu tidak betah di hari pertamamu berada di rumah orangtua asuhmu?" Tanya saya pada benerapa anak perempuan yang duduk di kelas tujuh.

"Alhamdulillah toilet dan kamar mandi orangtua asuh saya bagus dan bersih Pak."  Jawab seorang anak dengan sumringah. Ini karena ia tahu bahwa tidak semua temannya seberuntung dia. Tinggal bersama orangtua asuh yang punya cita rasa kebersihan dan kesehatan.

"Saya tidak pergi ke toilet Pak. Karena lantainya pecah-pecah. Belum pakai keramik. Warnanya abu-abu. Jadi saya nebeng ke rumah orangtua asuh teman lain." Jawab anak lain.

Masih ada beberapa  komentar atas pengalaman anak-anak itu yang tidak semua saya sampaikan disini. Dan saya pun sempatkan bertanya kepada anak-anak laki-laki.

"Hari pertama  saya tidak sanggup ke toilet yang lokasinya ada di luar rumah dan hanya menggunakan papan." Kata seorang anak yang duduk di bangku kelas delapan. "Memprihatinkan Pak kondisi rumah dan toilet orangtua asuh kami." Lanjutnya.

"Apa yang kalian lakukan atas apa yang kalian lihat dan alami? Apakah kalian belajar dengan hal-hal itu?" Tanya saya kepada mereka. Dan mereka menjawab beragam. Hampir semuanya mengemukakan hal positif atas kegiatan yang mereka ikuti. Tapi ada yang layak untuk saya sampaikan disini. Yang disampaikan oleh seorang anak yang duduk di bangku kelas sembilan; "Saya hanya menyisakan satu lembar uang dua puluh ribuan di dompet saya. Yang lain saya sampaikan kepada orangtua asuh saya."

Jakarta, 30 Nopember 2014.

29 November 2014

Mengobrol dengan Transmigran, Menemukan Makna Visioner

Siang itu, saya tergopoh-gopoh naik Damri menuju Bandara Soeta. Bagaimana tidak, saya adalah satu-satunya orang yang masih belum sampai Bandara siang menjelang sore itu. Sementara semua anggota rombongan sudah berada di ruang tunggu. Maka sembari memberikan laporan secara berkala kepada teman-teman tentang posisi saya, saya terus menerus tidak henti berharap lepas dari kemacetan jalan bebas hambatan.

"Posisi sekarang sudah sampai persimpangan tol Sedyatmo." Begitu pesan terakhir yang saya kirim. Karena benar, setelah lepas persimpangan itu jalanan begitu lancar. Saya menjadi lega. Karena ternyata pesawat harus delay satu setengah jam. Maka meski teman lebih dulu sampai ruang tunggu, saya masih memiliki waktu cukup panjang untuk menemani mereka. Termasuk berbincang dengan sepasang  suami istri asal Jambi yang ingin mengunjungi sanak familinya di Ngawi.

"Saya trans Mas. Tahun 1982 berangkat dari Ngawi ke Jambi untuk menggarap tanah dua hektar." Begitu si Bapak bercerita kepada saya. Sementara si istri yang duduk disampingnya menyimak pembicaraan kami. Kami di ruang tunggu yang sama karena pesawat kami sama-sama memundurkan jam terbangnya karena alasan teknis.

"Berapa lama Bapak dan Ibu prihatin di daerah trans itu,  hingga mendapatkan penghasilan yang mantap?" Tanya saya.

"Lima tahun kami luwih (lapar) Mas." Jawab sang istri. "Setiap pagi kami membawa alat tani dan periuk nasi dengan ikan asin. Nasi kami tanak, dan diatasnya kami masukkan sejenis kembang genjer serta ikan asin. Sore kami kembali. Rutin sepanjang lima tahun. Guna merawat pohon sawit yang kami tanam di dua hektar tanah pembagian." Lanjut si ibu.

"Sawit itu baru memberikan harapan kepada kami setelah usianya lima tahun. Ia kami panen dua kali dalam satu bulan. Alhamdulillah Mas sampai sekarang sawit itu masih menghasilkan tandan-tandan hasil keringat kami dahulu."

"Apakah semua teman trans Bapak Ibu satu nasib dengan Bapak dan Ibu?" Tanya saya.

"Tidak Mas. Banyak juga diantara mereka yang tidak tahan di tahun pertama, kedua, ketiga, atau keempat. Tanah-tanah mereka yang akhirnya kami bayar." Kata si Bapak.

"Ada juga tetangga kami yang tetap bersama kami tetapi nasibnya belum berubah banyak." Lanjut si Bapak.

"Apa mereka tidak ikut menanam sawit seperti Bapak dan Ibu?" Tanya saya.

"Mereka menanam apa yang kami tanam. Tetapi tidak merawatnya." Lanjut si Bapak yang murah cerita itu.

"Mereka malas?" Desak saya tidak mengerti.

"Mereka pekerja keras. Tapi mereka bekerja untuk mendapatkan upah di ladang milik orang lain. Mereka selalu mendapat uang sebagai buruh tani di lima tahun pertama. Sementara kami tidak punya uang." Jelas Bapak dan Ibu itu.

Atas apa yang disampaikan itu, saya belajar bagaimana cara untuk mendapatkan penghasilan atau uang lebih berlipat. Si Bapak dan Ibu ini adalah profil tangguh yang punya visi masa depan. Sementara tetangganya yang menghendaki uang dengan memelihara ladang sawit orang demi upah, adalah sosok  yang hanya berpikir jangka pendek. Berpikir untuk hari ini.

Terimakasih...

Jakarta, 29 Nopember 2014.

Belajar Menginap #6; Belajar Bersyukur...

Alhamdulillah. Itulah ungkapan yang paling pas dari kami atas kesesuaian harapan kami terhadap ungkapan yang disampaikan anak-anak didik kami seusai pelaksanaan kegiatan menginap di rumah penduduk yang tinggal di Rw 04, desa Sidamukti, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada pertengahan bulan Nopember 2014 lalu. 

Sebagaimana pada awal pembuatan program hingga sosialisasi kepada perwakilan orangtua kelas dan orangtua siswa lainnya, serta juga kepada anak-anak, kami tidak henti-hentinya meyakinkan kepada semua tentang tujuan baik yang kami inginkan. Dan tampaknya, tidak semua orangtua melihat program kegiatan tersebut sepenuhnya baik. Ada diantara mereka yang mengkhawatirkan atas keamanan di lokasi kegiatan. Namun melalui pola komunikasi yang terus mengalir, serta bantuan pihak orangtua lain yang kebetulan anandanya pernah memiliki kegiatan serupa ketika duduk di bangku SMA, usaha sosialisasi kami sedikit memberikan titik terang.

Kondisi tersebut memungkinkan keterlaksanaan program yang kami rancang tersebut. Dan rasa syukur kami tidak akan mudah kami lupakan dalam ingatan atas keberhasilan kegiatan tersebut. Itulah yang membuat kami mantap atas apa yang kami visikan. 

Keberhasilan atas program Belajar Menginap tersebut dapat kami temukan pada setiap laporan yang dibuat siswa seusai mereka mwnjalankan kegiatan. Juga tampak sekali dengan ungkapan dan pendapat mereka ketika saya pribadi mencoba secara acak mewawancarai mereka.

"Alhamdulillah Pak. Saya punya nomor telepon orangtua asuh saya. Dengan itu saya dapat terus berkomunikasi meski saya sudah kembali hidup normal di Jakarta." Ungkap seorang siswa kelas delapan dengan penuh keyakinan.

"Saya mendampingi orangtua asuh sebagai pedagang es keliling. Dan hasil penjualan untuk satu hari diwaktu itu adalah enam ribu rupiah. Yang berarti es kami laku terjual 6 buah." Kata anak perempuan yang masih duduk di bangku kelas tujuh.

"Arti dari enam ribu rupiah adalah tidak lebih atau kurang dari sepertiga uang jajan saya setiap hari." Lanjut anak itu mencoba memberikan bandingan makna uang. Antara pendapatan orangtua asuhnya sebagai pedagang es keliling dengan uang jajannya setiap hari.

"Saya belajar bersyukur atas apa yang orangtua saya punya dan saya nikmati Pak." Kata seorang lainnya yang duduk di bangku kelas delapan.

Alhamdulillah. Itulah ungkapan paling pas atas apa yang dicapai oleh anak-anak dalam pelaksanaan pembelajaran di Pengalengan...

Jakarta, 29 Nopember 2014.

28 November 2014

Sertifikasi Guru #2; Guru dan Kelasnya

Hari itu ada dua pengawas sekolah hadir di sekolah saya sejak pagi sekali. Mereka hadir ke sekolah untuk bertemu dengan teman-teman kami yang telah tersertifikasi sebagai Guru Profesional. Biasanya, ini adalah bagian dari tahapan untuk pencairan dana tunjangan sertifikasi. Maka, tak ayal lagi bahwa semua teman yang hari ini akan bertemu pengawas, sudah hadir dan bersiap sedia dengan dokmentasi administrasi. Diantanaranya yang saya lihat sendiri adalah daftar nilai siswa. Juga ada beberapa dokumen lain, pastinya, yang tidak saya lihat langsung. 

"Jangan lupa stempelnya." Begitu salah seorang teman mengingatkan teman lain pada saat sedang menunggu giliran bertemu di ruang guru. Ada beberapa guru sertifikasi di ruangan itu sembari bersiap. 

Saya yang menjadi pengunjung di ruang tersebut menjadi mengetahui secara langsung kesibukan apa yang sedang berlangsung. Dan tanpa memiliki rasa apapun terhadap apa yang saya alami di pagi itu, saya mencoba membuat catatan apa yang saya saksikan di lapangan terhadap teman-teman guru.

Sebagaimana kegiatan di pagi hari di sekolah kami, maka ketika pukul 07.25, kehadiran anak-anak sekolah nyaris lengkap. Mereka ada di berbagai ruang di sekolah selain di kelasnya masing-masing, sembari menunggu waktu untuk kegiatan bersama di pagi hari tepat pukul 07.30. Dengan demikian, maka teman-teman yang menunggu giliran untuk bertatap muka dengan Pengawas Pendidikan tersebut tentu untuk sementara waktu tidak sedang berada di kelas bersama peserta didiknya masing-masing.

"Gurunya sedang sibuk bertemu Pengawas untuk sertifikasi. Jadi anaknya tidak akan ditemani selama kegiatan guru itu belum kelar." Begitu komentar seorang guru kepada saya ketika kami bertemu di koridor sekolah.

"Ini mungkin salah satu implikasi dari sertifikasi guru Pak. Bagaimana jika sekolah hanya memiliki guru sebanyak pararel yang ada plus guru olah raga dan guru agama, bagaimana guru dapat bertatap muka dengan pengawas sekaligus mengajar di kelas dan bertatap muka dengan peserta didiknya? Bagaimana juga ketika guru sertifikasi tersebut sedang mengumpulkan berkas hard copy di hari dan jam kerja?" Kata saya menimpali komentar singkat guru itu.

Kami sama-sama tidak mengiomentari lebih panjang lagi terhadap komentar kami masing-masing. Kami tentu maklum akan konsekuensi yang tidak diinginkan atas keberadaan guru sertifikasi di sekolahnya.

Jakarta, 28 Nopember 2014

Belajar Menginap #5; Saya sudah Betah Pak, Tapi Harus Pulang...

Itulah salah satu komentar yang saya dapatkan dari anak ketika mereka berada dalam kegiatan sekolah, yang disebut sebagai Live In. Kegiatan berlangsung pada 18-20 Nopember 2014 di sebuah lokasi di Kecamatan Pengalengan, Jawa Barat.

Kalimat tersebut dia sampaikan keada saya ketika kami bertemu di halaman sekolah setelah jam sekolah berakhir. Ketika dia sedang menunggu jemputan. Dan saya kebetulan sedang menjalankan tugas rutin, yaitu melaksanakan piket setelah jam sekolah.

"Pak, pada malam pertama kami menginap di rumah orangtua asuh kami di Pengalengan itu, saya benar-benar tersiksa. Saya harus menahan untuk tidak pergi ke kamar mandi untuk keperluan apapun. Ini karena kondisi kamar mandi yang membuat saya harus menahan keinganan saya tersebut." Demikian anak itu membuka percakapan dengan saya. Ada dua teman lain yang ikut serta daam diskusi kecil tersebut.

"Saya menangis Pak. Saya benar-benar ingin pulang ke Jakarta. Saya ingin sekali menelpon Ibu saya di Jakarta untuk menjemput saya. Saya benar-benar tidak kerasan." Lanjutnya dengan mimik yang sungguh-sungguh.

"Terus apa yang membuatmu bertahan sehingga tidak jadi menelpon Ibumu?" Tanya saya

"Pertama Pak, telpon kami semua dipegang oleh guru. Kedua, ada teman yang memberikan bantuan kepada saya ketika masa sulit itu saya alami."

"Bagaimana itu bisa terjadi?"

Demikianlah lebih kurang  percakapan kami siang itu. Dan dari percakapan itu, saya kembali mendapatkan feedback tambahan mengenai program kami tersebut dari salah seorang anak. Dia ceritakan bahwa ketika rasa ingin pulangnya itu memuncak, ada teman yang mengajaknya pergi ke rumah teman lain yang tinggal di orangtua asuh yang berbeda. Dimana orangtua asuh temannya itu memiliki rumah tinggal yang jauh lebih baik dari orangtu asuhnya.

Singkat cerita, ketika keinginannya untuk keperluan ke kamar mandi itu selesai, dan hari berganti, anak itu merasakan kehangatan penerimaan dari orangtua asuhnya. Yaitu sejak melaksanakan shalat subuh, sarapan, pergi ke ladang untuk bekerja dan seterusnya.

"Tapi saya harus pulang ketika saya merasa betah tinggal bersama orangtua asuh saya di Pengalengan itu Pak." Demikian kisah anak didik saya ketika ikut serta dalam kegiatan sekolah di Pengalengan.

Semoga saja itu kegiatan sekolah yang dapat ia petik hikmahnya, dan menjadi bagian dari pembelajaran moral. Semoga.

Jakarta, 28 Nopember 2014.

23 November 2014

Belajar Menginap #4; Feedback Orangtua

Berikut ini adalah apa yang saya dapat dari orangtua terhadap kegiatan siswa di Pengalengan. Berita ini tentu terlalu sayang kalau saya hapus dan buang begitu saja. Dan untuk kelestarian apa yang membahagiakan ini, maka saya ikat kenangan ini dalam catatan saya. 

Harapannya tidak lain adalah agar apa yang telah disampaikan itu menjadi pemicu positif bagi kami dimasa-masa depan.

Begini kira-kira apa yang saya sebut sebagai feedback tersebut;

  • Bu Guru, terima kasih telah bersama anak-anak kami selama 3 hari ini. Menjaga mereka dengan baik. Insya Allah akan banyak manfaatnya buat ananda kami. Sampaikan salam dan terima kasih kami buat guru-guru yang lain. Terimakasih banyak Bu untuk update berita dan ceritanya. Membuat kami tidak merasa khawatir.
  • Saya juga terimakasih banyak dengan program ini putri saya bisa lebih mandiri dan bisa punya empati dengan orang lain. Karena ananda orangnya agak cuek dengan lingkungan di sekitarnya.
  • Alhamdulillah, terima kasih banyak Bu Guru dan rekan guru lainnya atas bimbingan dan pembelajarannya. Insya Allah bermanfaat, amin.
  • Terima kasih Bu Guru dan seluruh Pembimbing yang telah dengan sabar dan penuh perhatian.
  • Terimakasih banyak Bu Guru. Tadi malam anak-anak tiba di Jakarta dengan selamat. Terimakasih ananda juga dalam keadaan baik dan sehat. Sepanjang jalan ananda bercerita panjang lebar tentang pengalamannya berada di disana. Tampak dia sangat terkesan dan sangat menyenangkan selama disana. Semoga program tersebut dapat diselenggarakan sekolah setiap tahun. Terimakasih juga untuk guru yang lain, juga sampaikan terimakasih untuk Kepala.Sekolah yang mendampingi.
  • Alhamdulillahirobbil'alamin semoga program live In pertama ini menjadi pembuka atas keberhasilan program-program selanjutnya. Amin. Terima kasih yang setinggi-tingginya.
Demikian apa yang saya dapatkan dari teman-teman guru yang dengan penuh komitmen menemani dan memberikan support kepada anak-anak selama kegiatan live in. 

Pantai Senggigi, Lombok, 23 Nopember 2014. 

22 November 2014

Belajar Menginap #3; Beragam Model Bekerja

Bahwa saya memang mendampingi seluruh kegiatan yang anak-anak jalani selama berada di Pengalengan untuk melaksanakan Live in disana. Karena saya hanya datang ke lokasi kegiatan justru sebelum anak-anak itu tiba di sana.  Saya datang dan menginap sebagai bagian dari tim awal yang datang satu hari sebelum anak-anak sampai. Saya berada bersama tujuh orang lain yang mempunyai tugas mempersiapkan kegiatan. Bertemu dengan perangkat desa, berdiskusi tentang program bersama mereka, mencoba trek untuk wide game, dan juga berkoordinasi dengan para house family.

Namun sekembalinya saya ke Jakarta, saya banyak mendapatkan kiriman berita dan gambar dari panitia tentang kegiatan anak-anak. Baik kegiatan sosial yang anak-anak lakukan di pagi hari seperti jalan-jalan di lingkungan kampung, kegiatan ketika anak sedang bekerja menanam tomat di ladang, bekerja membantu keluarga induk semang yang sedang mencangkul di ladang, atau juga menyiangi rumput di kebun.

Juga beberapa kabar dari panitia sebagai ilustrasi dari gambar-gambar yang dikirim kepada saya. Tentunya saya ikut berbahagia atas terselenggaranya kegiatan ini. Juga mengapresiasi atas usaha dan ikhtiar panitia dan guru-guru sehingga kegiatan ini berjalan. 

Bahkan saya pun mempunyai kesimpulan akan berbagai model anak-anak dalam  melakukan kerja bersama orangtua pengasuhnya. Itu kesimpulan saya ketika melihat gambar yang dikirim guru. Tampaknya apa yang saya simpulkan itu tidak meleset dari pengamatan guru-guru yang berada dan mendampingi anak-anak.

Seperti foto tiga siswa kita yang sedang membantu menanam tomat. Dengan mengenakan pakaian training  lengkap dengan jaket trainingnya berada di tengah ladang. Yang seorang tampak menunduk dan memasukkan benih tomat sedang dua anak lainnya terlihat berdiri mengamati dengan kedua tangan masuk ke saku jaketnya.

Ada juga seorang anak yang  sedang mencangkul lahan dengan penuh penghayatan. Betapa tidak,   dia mencangkul dengan melepas kaosnya dan bertelanjang dada. Sementara disampingnya terlihat seorang anak usia 3 tahun duduk mengamitinya.

Melihat itu semua, saya sungguh ijut berbahagia atas berlangsungnya kegiatan itu. Harapannya, kegiatan itu menjadi bekal untuk masa depan anak-anak itu. Amin.

Mataram, 22 Nopember 2014.

19 November 2014

Belajar Menginap #2; Bertemu Induk Semang

Sebelum anak-anak didik kami datang untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai kegiatan live in, saya menemani beerapa guru untuk datang ke lokasi lebih awal. Keperluan kami datang lebih awal adalah untuk mempersiapkan semua hal yang menyangkut kegiatan live in, yang saya senang menerjemahkannya sebagai kegiatan Belajar Menginap.
Sekedar gambaran situasi lokasi belajar menginap yang kami pilih.
Ini adalah kegiatan untuk kali pertama anak-anak kami belajar menginap. Karena untuk kegiatan tahun-tahun sebelumnya, kegiatan yang kami lakukan adalah kegiatan Pramuka daam bentuk camping. Dan alhamdulillah, meski ini merupakan kegiatan kali pertama, namun hanya beberapa anak yang tidak ikut. Mayoritas anak bersemangat untuk merasakan hidup bersama warga desa di daerah pegunungan yang dingin, didekat kebun teh Malabar, di Pengalengan, Jawa Barat.

Maka ketika kami datang dan berjumpa dengan para tokoh desa, kami diajak berkeliling kampung untuk melihat semua rumah yang akan menjadi induk semang atau kalau dalam program home stay disebut sebagai host family bagi anak-anak didik kami. Juga ketika menjelang tengah malam, kami mencoba menyusuri rute jurit malam yang merupakan salah satu kegiatannya.
Suasana pertemuan dan dialog itu.
Juga bertemu dan berdialog dengan semua induk semang di sebuah aula gedung PAUD yang ada di desa itu siang hari sebelum anak-anak sampai ke lokasi. Sebagai guru, kami benar-benar menginginkan adanya implikasi pembelajaran budi pekerti kepada anak didik kami ketika mereka belajar hidup ala desa. Sebuah kehidupan yang pasti sangat berbeda ketika mereka tinggal di rumah besama orangtua, atau bahkan ketika mengikuti kegiatan home stay di luar negeri. Semoga.

Pengalengan-Jakarta, 19 Nopember 2014

Belajar Menginap #1; Dua Anak Cukup

Bebrapa waktu lalu, dalam sebuah seminar pendidikan, saya menyimak dengan begitu antusias tentang baby booming yang melanda Indonesia dan prediksi akan adanya usia produktif. Juga beberapa kali pemerintah seperti menyadarkan masyarakatnya akan pentingnya mengurangi jumlah natalitas, dimana negara kita adalah negara yang memiliki jumlah kelahiran yang banyak dibanding negara-negara lain. Tetapi tampaknya apa yang didengungkan pemerintah tersebut dewasa ini tidak menjadi bagian yang begitu sengit.
Prediksi ledakan penduduk dan ancaman bencana...
Meski iklan ada, tetapi saya merasakn sekali bagaimana peran yang begitu gencar dilakukan oleh lembaga yang dulu benama BKKBN di era pemerintahan sebelum reformasi. Mungkin ini bagian penting dari hasil reformasi itu sendiri, dimana semua sisi kehidupan dikembalikan ranahnya kepada masyarakat itu sendiri. Sehingga terasa sekali peran pemerintah, atau badan yang menangani kependududukan tersebut berkurang dan mengendor.

Namun saya berjumpa sebuah slogan yangberbentuk gambar mural di sebuah dinding  sebuah sekolah Dasar Negeri di daerah Pengalengan, Jawa Barat. Dan menili kondisi gambarnya, meski bukan baru selesai di gambar, tetapi juga tidak terlalu lama.

Dan ketika melihat gambar tersebut, yang pertama terbersit dalam benak saya adalah; Apakah pemerintah hari ini kembali berkeinginan mendidik masyarakat untuk ber Keluarga Berencana dengan cara mengatur kelahiran dan memberikan paradigma bahwa dua anak cukup? Mungkin iya. Tetapi mungkin juga prakarsa gambar itu adalah dari masyarakat itu sendiri?

Seorang siswa melintas di jalan samping sekolah yang dindingnya memberi pesan untuk ber-KB.
Meski demikian, keberadaan gambar mural ajakan untuk ber-KB di dinding sekolah yang saya jumpai itu, mengingatkan kehidupan sosial di masa remaja saya, yang rupanya tidak semuram sebagaimana yang disuarakan oleh para aktivis yang hari ini menjadi elit di pemerintahan dan partai politik!

Pengalengan-Jakarta, 19 Nopember 2014. 

18 November 2014

Membeli Tenda

Untuk alasan efisien atau kehematan dan efektif atau tepat guna, saya sering harus menuliskan catatan dalam proposal permohonan yang diajukan sekolah. Bahkan untuk tujuan agar apa yang saya tuliskan tersebut tidak menjadi salah pengertian dari sekolah, saya pun berbicara langsung dengan Kepala Sekolah. Memang hanya pada permohonan tertentu saja hal tersebut saya lakukan. Utamanya adalah karena pertimbangan efisien dan efektif itu. 

Misalnya apa yang pernah saya sampaikan ketika mendapat permohonan pembelian tivi untuk kelas beberapa tahun lalu. Saya sempat tidak menyetujui proposal permohonan waktu itu. Namun karena permohonan dari pihak sekolah yang mempertimbangkan pentingnya pengadaan barang tersebut, maka argumentasi efektif dan efisien dari saya tidak menjadi masukan yang penting.

Padahal tivi pada waktu itu dapat digantikan fungsinya dengan lcd kalau untuk menonton tayangan film. 

Demikian pula dengan permohonan untuk pengadaan tenda perkemahan. Bagaimana tenda tersebut penting buat sekolah yang satu tahun pelajarannya hanya melakukannya satu kali. Selain juga sudah kita ketahui bersama bahwa hampir semua lokasi camping di wilayah Bogor selain lahan atau lokasi untuk berkemahnya juga sekaligus menyediakan tenda kemah untuk siapa terpasang?

Itulah yang menjadi alasan utama mengapa saya menyampaikan pertimbangan efektif dan efisien. Namun begitulah yang terjadi. Saya menjadi Mr. Pelit. Dan tenda itu akhirnya dibeli juga. 

Benar prediksi saya. Untuk kali pertama pemakaian, tenda-tenda itu menjadi solusi. Namun begitu usai perkemahan tahun pertama, tenda itu sudah mulai menjadi beban. Antara lain adalah masalah pencucian dan penjemuran. Juga masalah penyimpanannya.

Begitulah realita yang terjadi ketika pemahaman akan pentingnya konsep efektif dan efisien belum menjadi budaya pada tataran operasional.

Pengalengan, 18.11.2014.

16 November 2014

Bapak Pacaran Diusia Berapa?

Dalam catatan kali ini, saya menyampaikan dialog seorang peserta didik yang telah duduk di bangku kelas IX disaat menunggu dijemput di lapangan sekolah. Kejadian ini mengalir begitu saja ketika saya sedang menunaikan tugas sebagai guru piket di saat jam pulang sekolah. Piket yang tugas utamanya adalah menemani anak-anak pulang sekolah di halaman. Dan seperti juga pada saat piket dipekan-pekan yang lain, selalu ada pengalaman yang menyenangkan yang aya dapatkan dari anak-anak itu. Termasuk dialog singkat yang terjadi pada saat itu antara seorang anak laki-laki dengan saya.

"Kapan Bapak pertama kali pacaran?" Begitu pertanyaan siswa saya. Sore itu masih pukul 15.30, pada saat kami berada di pinggir lapangan basket sekolah, dekat pintu keluar. Sebenarnya tidak hanya kami berdua yang ada di lokasi tunggu itu. Ada beberapa anak berada di situ. Namun selain kami berdua, yang lain tampak begitu asyik dengan jalannya latihan futsal yang dilakukan oleh kelas V sekolah dasar.

"Mungkin bukan pacaran waktu itu yang Bapak rasakan. Ada rasa senang kepada teman perempuan. Kalau itu yang dimaksudkan, Bapak mulai ketika duduk di kelas IX seperti kamu sekarang ini." Kata saya mencoba untuk memberikan penjelasan. Termasuk juga pengertian yang ada di kepala saya tentang perbedaan antara suka dengan teman awan jenis dengan pacaran.

Saya sampaikan bahwa saya pada saat masih duduk di SMP itu, yang ada adalah rasa gembira ketika saya bertemu dengan teman lawan jenis itu di halaman sekolah saat kami sama-sama pulang. Dan rasa bahagia itu ketika bertemu itu disimbolkan senyum tersipu ketika bertemu. Itu saja. Sedang ketika sudah masuk bangku kuliah, ketika kami berada tidak pada kota yang sama, saya baru merasakan apa itu persahabatan yang lebih inten meski hanya dengan bertukar cerita melalui surat yang ditulis tangan dan dikirim via pos.

"Wah... zamannya masih kuno ya Pak?" komentar anak didik saya itu polos.

Cerita itu terputus ketika ada seorang anggota Satpam sekolah yang meminta bantuan kepada saya untuk memanggilkan seseorang.

Jakarta, 16.11.2014.

14 November 2014

Jam Kosong #15; Terbantu Sumber Belajar

Sebagai bagian dari lembaga pendidikan yang sudah lama tidak secara formal mengajar di kelas dengan memegang tanggung jawab terhadap mata pelajaran tertentu, maka penguasaan materi pelajaran yang saya miliki tidaklah sebaik dengan guru formal yang terjadwal. Apa lagi jika dihadapkan kepada mata pelajaran yang buka latar belakang pendidikan saya. Namun demikian, karena terdapat sumber balajar yang dapat saya akses, maka keterbatasan itu sedikit banyak telah menghapus keterbatasan tersebut.

Paling tidak karena pembelajaran yang saya lakukan pada jam-jam kosong di kelas tersebut tidak selalu berfokus kepada penguasaan materi pelajaran Maka banyak sekali kegiatan belajar yang dapat saya unduh untuk kemudian saya sampaikan dan lakukan bersama anak-anak di kelas. Baik untuk mata pelajaran Sejarah atau juga Bahasa Indonesia yang juga pernah saya lakukan. Ini semua tidak lain karena begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi yang semuanya mejadi mungkin.

Tidak ketinggalan juga adalah teman-teman saya yang satu profesi, dimana dengan ketulusannya, mereka membagi apa yang pernah dijalaninya dalam pembelajaran di kelas mereka untuk kemudian mereka tampilkan di halaman blognya. Bahkan termasuk di dalamnya slide belajar yang mereka buat sebelumnya. Juga uraian materi pelajaran, atau bahkan video link yang menjadi rekomendasi teman-teman.

Kenyataan hari ini, sebagaimana yang saya alami dengan jam kosong dan ketidaksiapan saya untuk menjadi guru penganti di kelas, tentunya tidak mungkin saya nikmati di saat perkembangan teknologi informasi belum memberikan aksesbilitas kepada semua pihak, termasuk di dalamnya guru.

Oleh karenanya, saya menjadi banyak mendapatkan masukan dan ilmu baru ketika jam kosong itu ada di hadapan saya. Hal ini juga karena pengguna teknologi informasi tersebut juga telah merayap dan marasuk ke dalam kompetensi teman-teman guru, yang memungkinkan semua teman itu berbagi apa yang telah mereka kerjakan. Alhamdulillah. 

Jakarta, 14 Nopember 2014.


13 November 2014

Jam Kosong #14; Tidak Jadi Masuk Kelas, Karena Gurunya Datang

Pada catatan saya kali ini, masih merupakan catatan saya yang berkisah tentang jam pelajaran kosong, yang oleh teman saya diinformasikan agar saya dapat masuk untuk menggantikannya. Karena ini adalah pelajaran yang saya sendiri dapat memberikan, meski dengan materi yang berbeda, maka saya mencoba untuk menyanggupinya. Namun saya meminta waktu guna mengambil peralatan mengjar saya di ruang kerja yang berada di lantai bawah.

Saya bersemangat untuk mengabil presentasi yang ada di dalam flash disk tentang materi pelajaran yang telah selesai saya buat beberapa waktu yang lalu. Ini karena topiknya adalah sesuatu yang menjadi minat saya. Maka untuk mengikat apa yang saya baca, maka materi tersebut saya simpan dalam format power point. Demikianlah awal yang terdapat dalam benak saya begitu saya mendapat kabar adanya jam kosong dari teman tersebut.

Presentasi tersebut berupa beberapa peta lokasi kejadian dari peristiwa yang ingin sekali saya sampaikan kepada anak-anak, selain juga beberapa kalimat uaraian dari lkasi tersebut. Walaupun harus saya akui bahwa power point yang saya buat itu masih dalam bentuk standar. Tetapi setidaknya, itu nantinya dapat menjadi panduan saya ketika saya sampaikan kepada anak-anak di kelas.

Namun, keberuntungan rupanya belum berpihak kepada saya. Ini tidak lain karena ketika saya sampai ruang kerja di bawah, pada saat yang sama saya bertemu dengan guru yang oleh teman saya di lantai tiga sudah dalam catatan tidak hadir.

"Alhamdulillah Bapak sudah datang." Kata saya menyapa teman yang terlambat datang itu. Saya sadar belakangan setelah kalimat teguran saya itu terlontar.

"Maaf Pak, saya terlambat." Begitu teman yang nyaruis saya gantikan mengajar itu dengan bahasa tubuh yang bersalah.

"Ya Pak. Dan sekarang, karena Bapak sudah hadir di sekolah, maka saya tidak jadi masuk kelas Bapak guna menggantikan." Kata saya. "Terimakasih Pak." kata saya selanjutnya.

Jakarta, 13 Nopember 2014.

Karena Macet atau Terlambat Berangkat?

Pagi ini saya bertemu teman guru yang tergopoh-gopoh di halaman sekolah ketika jam sudah menunjukkan tanda waktu terlambat bagi guru. Mungkin ada rasa salah dari dirinya, atau juga bisa kagok karena bertemu muka dengan saya di halaman, sehingga tanpa saya bertanya kepadanya, terlontar alasan yang disampaikan; "Macet sekali Pak jalanan."

Saya sependapat apa yang disampaikan itu. Bahwa jalanan, sebagian besar macet saat jam berangkat dan pulang kantor. Bahkan di jalan bebas hambatan sekalipun. Saya juga sependapat kalau jalanan macet dan lancar sulit diprediksi. Utamanya saat jam pulang kantor, siang hingga sore hari. Tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang menggunakan jalanan yang relatif sama, saya sedikit melihat kemacetan dengan pendapat yang berbeda. 

Ini terutama untuk jam berangkat ke kantor, dimana saya sering berkorban untuk tidak berangkat bersama-sama dengan pengguna jalan yang lainnya. Walau implikasi dari usaha ini adalah keberangkatan saya yang lebih awal dan sampai kantor juga paling awal. Tetapi jika saya ingin bersama teman-teman kantor lain yang ada di Jakarta, maka akan mendapat nasib yang sama. Macet di jalan dan pasti terlambat sampai di tempat tugas.

Dengan logika semacam itu, dan perasaan untuk tahu diri serta sadar posisi bahwa saya adalah bagian dari pekerja yang lain, maka mana yang terlebih dahulu, yang kemudian menjadi penyebab bagi yang datang belakangan? Jika teman saya menyampaikan argumentasi atas keterlambatannya sampai kantor, maka; 
  • Apakah karena macet sehingga saya terlambat sampai ke kantor? Atau; 
  • Karena saya terlambat berangkat dari rumah yang menjadi penyebabnya?

Saya tidak ingin berdebat tentang dua premis tersebut. Namun saya punya pengalaman sendiri setelah bertahun-tahun menjadi karyawan yang sering mengalami terlambat datang sampai lokasi kerja. Pengalaman itu adalah suara hati saya ketika begitu saya keluar rumah untuk berangkat.

Ada rasa yang sering terlintas ketika saya benar-benar meninggalkan rumah di pagi hari. Rasa itu adalah harapan agar semua lampu merah yang saya lalui selalu hijau. Ini tidak lain ketika jarum jam yang saya lihat saat berangkat tersebut benar-benar hanya memberikan waktu yang mepet kepada saya untuk mencapai tujuan dengan tepat waktu. Artinya, selalu ada rasa kawatir untuk sampai di kantor tidak tepat waktu.

Maksud saya, sebelum sampai di kantor dengan kondisi yang terlambat, saya pun kala itu sudah dapat mengetahui bahwa akan terlambat begitu meninggalkan rumah (?). Allahua'alam bi shawab...

Jakarta, 13 Nopember 2014.

11 November 2014

Jam Kosong #13; Peta Mudik

Alhamdulillah, bahwa kegemaran mengoleksi peta mudik pada setiap tahunnya, dan saya selalu simpan ditumpukan buku yag ada di ruangan kerja saya, bermanfaat ketika saya harus mesuk kelas untuk mengisi jam kosong di kelas. Seperti berada dalam ruangan terkunci yang tiba-tiba ada jendela dan intu yang terbuka untuk mejadi akses keluar. Begitulah lebih kurangnya keberadaan peta mudik tersebut pada saat saya harus masuk kelas untuk mengajar.

Peta yang selalu saya minta dari toko buku yang saya kunjungi setiap pekan terakhir bulan Ramadhan. Karena waktu itu adalah saat yang tepat saya memperoleh peta-peta mudik secara gratis dan lebih dari dua atau bahkan lima eksemplar.

"Apakah boleh saya mengambil dan membawa pulang peta-peta ini lebih dari lima?" Begitu biasanya saya bertanya kepada penjaga titipan barang, tempat dimana peta-peta mudik itu dibagikan secara gratis.

"Bisa Bapak. Silahkan diambil. Kami mempunya stok yang banyak. Dan ini memang untuk didistribusikan kepada pengunjung. " Begitu penjaga akan menyahut pertanyaan saya. Dan biasanya pula ia akan membangun keakraban dengan bertanya balik kepada saya; "Mau mudik kemana Pak tahun ini?" 

Pendek kata, peta-peta yang saya ambil di toko buku itu, saya masih bagi-bagikan keada teman-teman sekantor yang ingin melakukan perjalanan mudik, atau yag ingin memiliki saja. Dan sisanya? Menjadi tambahan koleksi saya.

Dan pada saat mengisi jam pelajaran yang kosong di kelas, peta-peta tersebut sebagai alat pembelajaran saya. Seperti ketika saya hrus mengajar di kelas 7 beberapa waktu lalu. Dimana materi yang harus saya sampaikan antara lain adalah distribusi. Maka anak-anak secara berpesangan saya berikan peta mudik tersebut. 

Kepada anak-anak putra, saya memberi mereka tugas untuk mengirimkan barang dari kota Surabaya ke kota Sukabumi dengan mengendari kentaraan truk. Demikian juga kepada anak-anak putri, mereka harus mengirim barang yang ada di Jakarta menuju kota Malang. Dengan panduan peta mudik itu, anak-anak diminta menuliskan nama kota/kabupaten yang dilaluinya. Dan karena mereka harus mengendari alat angkutan truk, maka hanya jalan utama saja yang dapat menjadi rute perjalanan.

Itulah paling tidak makna peta mudik yang saya peroleh ketika ada jam kosong di sekolah. Dengan kenyataan itu, saya berpikir untuk mengoleksi lebih banyak lagi peta mudik di Ramadhan-Ramadhan mendatang. Pasti!

Jakarta, 11 Nopember 2014.

10 November 2014

Jam Kosong #12: Tidak Masuk Karena Sakit

Masih seputar SMS guru yang sakit sehingga tidak dapat menunaikan tugasnya mengajar di kelas. Maka berikut ini adalah ketidakmasukan guru karena  sakit. Namun karena ini bukan hari pertama Ibu Guru tidak masuk karena sakit tersebut, maka bukan lagi Ibu Guru yang SMS ke Ibu Kepala Sekolahnya, tetapi justru Ibu Kepala Sekolah yang mengirim SMS terlebih dahulu.

Saya tidak yakin kalau saat menulis kata-kata dalam SMS-nya, dan juga memilih kata-kata yang apik untuk tidak menyinggung tetapi cukup memberikan pesan yang jelas, Ibu Kepala Sekolah dalam kondisi yang benar-benar rileks. Mungkin tetap dengan kepala dingin tetapi pasti dengan kecurigaan dan suasana batin yang tidak sempurna.

Ini tidak lain karena si Ibu Guru tidak masuk karena sakit kepala untuk hari ke-5! Dan itu diawali hanya dengan SMS tidak masuk pada hari pertama Ibu Guru sakit. Maka tidak heran kalau pada hari ke-5 itu, Ibu Kepala Sekolah mengirim SMS untuk menanyakan keadaan tentangkondisi kesehatannya, surat dokter, dan juga jam pelajaran kosong di kelas.

Benar saja, SMS Ibu Kepala Sekolah segera mendapat jawaban dari si sakit. Dan mungkin masih dalam keadaan yang kurang begitu fit, Ibu Guru yang sakit itu datang juga di hari Senin pada pekan berikutnya dengan surat dokter.

"Mengapa Ibu tidak langsung membawa ke rumah sakit untuk cek penyakit apa sesungguhnya yang sedang diderita Ibu?" Begitu kata Ibu Kepala Sekolah di ruangannya saat Senin Ibu Guru itu masuk.

"Saya tidak merasa begitu sakit Bu. Hanya setiap pagi saya merasakan kepala saya begitu berat dan pening." Jelas Ibu Guru yang sakit itu.

"Itulah, Ibu atau keluarga harus tahu mengapa penyakit Ibu selalu datang di pagi hari. Ini untuk mengetahui secara dini apa yang sesungguhnya sedang Ibu idap. Saya berharap apa yang sedang Ibu alami karena Ibu kurang istirahat. Tetapi harus jelas Ibu. Supaya kami di sekolah mendapat keterangan jelas." Kata Ibu Kepala Sekolah.

Ungkapan yang disampaikan oleh Ibu Kepala Sekolah tidak lain karena berbagai informasi yang masuk kepadanya, baik dari teman sejawat yang harus menggantikan jam kosong Ibu Guru selama sakit dan  tidak masuk sekolah. Dari para siswa yang merasa dirugikan akan ketidakhadiran guru. Khususnya mereka yang berada di kelas sembilan, yang sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir. Dan juga dari pihak orangtua siswa yang gemes dengan sekolah, yang seolah-olah tetap melakukan pembiaran atas guru yang sering tidak masuk...

Hari Pahlawan.
Jakarta, 10 Nopember 2014.

09 November 2014

Jam Kosong #11; Morning Shock

Murni, saya dapat istilah yang bagus dari teman Kepala Sekolah untuk memberikan ilustrasi tentang SMS dari guru yang memberitahukan berhalangan tidak masuk sekolah di pagi hari. SMS di pagi dari guru yang bikin shock Kepala Sekolah karena SMS itu mengharuskan dirinya sesegera mungkin mengatur guru yang lain untuk menjadi pengganti dan menjalankan tugas bagi guru yang tidak masuk kerja tersebut.

Memang guru piket yang ada di hari itu yang menjadi andalan bagi pengisi jam kosong di kelas yang ditinggal guru yang absen. Tetapi hal ini juga harus dilihat seberapa banyak jam kosong yang ditinggal guru absen. Itulah tugas yang tidak enak bagi teman saya disetiap pagi. Sehingga paslah kalau dapat SMS guru yang bermaksud tidak masuk kerja sebelum jam pelajaran dimulai sebagai morning shock.

Lebih shock lagi jika guru yang mengirim SMS itu adalah guru yang mengirim SMSnya dengan patern. Antara lain dari penyebab ketidakhadiran guru itu adalah merencanakan sesuatu yang bersifat pribadi dihari kerjanya. Dan karena sudah direncanakan, maka sesungguhnya ia sudah dapat mengirim berita tidak masuk kerjanya guna mengajar siswanya sebelum hari berganti. Setidaknya tidak mengirim SMS di pagi hari.

Sedang patern yang dapat kita tangkap antara lain adalah dengan pola hari kerja yang diambilnya untuk tidak masuk bekerja. 

Itulah yang menjadi ilustrasi bagi penyakit morning shock yang diderita oleh teman saya yang menjadi penjaga gawang di unit sekolahnya. 

Jakarta, 9 Nopember 2014.

Diprotes Siswa

Pada saat bertemu di siang itu, teman saya yang sekarang sedang mengemban amanah sebagai Kepala Sekolah di sebuah sekolah swasta di Jakarta bercerita panjang lebar tentang hari-harinya di sekolah. Baik yang berkenaan dengan tugas-tugas barunya sebagai Kepala Sekolah, tentang para siswanya, dan tentunya tentang teman-teman gurunya. Semua asyik untuk saya simak dan jadikan pelajaran buat saya sendiri.

Ini tidak lain karena apa yang menjadi bahan ceritanya pada saat itu adalah sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan posisi kerja saya di kantor. Setidaknya, cerita teman itu dapat saya jadikan cermin untuk berkaca tentang apa yang terjadi di lapangan. Itulah yang saya selalu membuat saya bersemangat untuk menyimak apa yang menjadi kisah teman-teman di lapangan kerjanya.

"Saya diprotes oleh para siswa kelas delapan karena kinerja guru." Begitu kalimat pembuka dari cerita itu. 

"Ini karena guru tidak mampu melakukan pembelajaran yang kondusif. Ini menjadi tantangan baru buat saya." Lanjutnya di siang itu. Sebuah kisah yang normal bagi seorang Kepala Sekolah. 

"Apa yang menjadi kendala guru untuk tidak mampu melakukan kontrol kelas sehingga pembelajaran tidak dapat berlangsung dengan kondusif? Persiapannya kurang?" Begitu papar saya untuk membuat suasana menjadi timbal balik. Selain juga bermaksud untuk memberikan bantuan jalan keluar, jika memungkinkan, atas cerita yang sedang disampaikan.

"Persiapannya justru relatif paling bagus dibanding teman-temannya. Bahkan presentasi dengan power point pun dia buat buat dengan detil dan cermat." Jelas teman saya.

"Saya menduga, karena dorongan nafsunya yang fokus kepada ketersampaian materi pelajaran saja, maka ia seperti tidak melihat apa yang seharusnya ia lakukan ketika di dalam kelas." Lanjut Kepala Sekolah itu.

Diskusi itu masih berlanjut panjang. Sehingga dari situlah kami dapat menemukan bahwa betapa guru juga harus rileks atas tugas yang harus diembannya dengan bertatap muka dengan peserta didiknya, meski tetap dan selalu serius atas bahan ajarnya. Sikap rileks itu akhirnya akan memungkinkan dirinya berinteraksi secara wajar di kelas, hingga siswa juga menjadi fokus yang lain.

Ini penting, karena interaksi guru dan peserta didiknya di kelas adalah interaksi pendidikan dan bukan saja pengajaran. Karena jika hanya bertumpu pada pengajaran, maka sesungguhnya apa yang guru itu sudah lakukan sudah tuntas. Dan tidak perlu kehadiran protes siswa. Namun karena interaksi pendidikan, maka protes siswa menjadi sangat wajar.

"Lalu bagaimana langkah berikut setelah ada protes siswa?" Tanya saya untuk kembali fokus kepada ceritanya.

"Saya akan menjadi model buat dia di kelas. Saya mengajar pelajaran yang telah dibuat rencananya. Dan dia akan mengobservasi selama itu berlangsung." Kata Ibu Kepala Sekolah itu. Saya salut rencana itu. Bagus dan tepat. Memberi choaching.

Jakarta, 9 Nopember 2014.

06 November 2014

Jam Kosong #10; Kesempatan Eksplorasi

Setelah berada pada amanah yag sekarang, terus terang bahwa jam mengajar saya di kelas yang formal ada jadwalnya, telah kosong. Tidak ada. Namun demikian, saya masih sempat masuk kelas secara reguler di kelas-kelas yang ada  tetapi tidak untuk mengajar sebagaimana yang dilakukan guru sehari-hari. Karena ketika saya berhadapan dengan siswa, maka materi mengjar saya adalah materi motivasi. Untuk itulah, maka ketkika mendapat tugas untuk mengajar jam pelajaranyang kosong, itulah kesempatan bagi saya untuk benar-benar merasakan kembali secara utuh bagaimana mengajar.

Hal ini mengingat, kesempatan saya untuk masuk kelas dan mengajar adalah juga menjadi kesempatan untuk belajar tentang bagaimana menyampaikan apa yang ingin disampaikankepada siswa dengan jalan pikiran siswa. Ini menjadi kesempatan bagi saya untuk kembali belajar apa yangpernah saya jalani secara formal di tahun 2000! Dan ini menjadi kesempatan yang luar biasa menyenangkan serta memberikan cukup tantangan.

Dan salah satu tantangan yang saya hadapi adalah bagiamana saya harus mampu membuat persiapan mengajar dalam waktu yang relatif singkat. Untuk itu, pada saat-saat mendapatkan jatah mengajar dijam kosong tersebut, saya mencoba untuk memahami dan menguasai apa yang harus disampaikan kepada siswa. Dan langkah berikutnya adalah bagaimana saya menyampaikan itu semua dengan paradigma awalnya adalah; membuat pembelajaran menyenangkan dan menantang bagi anak-anak.

Itulah yang keudian melahirkan pada diri saya untuk kembali membuak buku-buku yang telah terbengkelai lama di rak buku. Baik yang saya simpan di rumah atau juga yang masih rapi tertata di sekolah. Dan ini berarti, ada semangat untuk mengekplorasi lahir kembali pada diri saya. Dan ini membahagiakan.

Jakarta, 6 Nopember 2014.

05 November 2014

Jam Kosong #9; Ditawari Jam Kosong

Pagi itu, sekitar pukul 08.00, pada saat saya baru saja selesai berkeliling sekolah di latai dua, saya bertemu guru wali kelas dan menawari kepada saya jam pelajaran kosong. 

"Pak Agus, ada jam kosong ini Pak di Mata Pelajaran Agama." Begitu kata guru wali kelas tersebut di ruang guru. Kelas yang ditawarkan kepada saya berada tidak jauh dari ruang Pak Guru tersebut.

"Pelajaran apa yang kosong Pak? Mengapa kosong?" Kata saya ingin tahu penyebab jam kosong dan Mata Pelajarannya. Ini perlu saya sampaikan karena siapa tahu saya memang sudah punya stok materi dan kegiatan pelajaran yang diperlukan. Sebab jika saya sendiri tidak siap dengan materi dan kegiatannya, bukankah anak-anak juga tidak akan tertarik dengan keberadaan saya sepanjang di dalam kelas?

"Mata Pelajaran Agama Pak. Materinya apa saja yang Bapak ingin sampaikan kepada anak-anak." Bujuk teman saya itu. Saya masih ragu untuk menerima atau tidak. Karena saya yakin bahwa guru yang dimaksudkan akan segera datang. Oleh karena itu, saya pun sedang berfikir materi apa yang saya dapat berikan kepada mereka?

Dan saya teringat bahwa beberapa hari lalu baru saja mengcopy beberapa gambar peta dan silsilah pemerintahan Islam dari awal setelah Ali ra hingga keruntuhannya di awal abad 19. Namun karena saya sendiri belum yakin saya simpan dimana presentasi tersebut, maka saya memutuskan untuk ke lantai bawah guna mengecek.

Alhamdulillah, dalam perjalanan saya menuju lantai dasar dimana lokasi ruang kerja saya, saya berjumpa dengan guru Agama yang kami nantikan. aka positiflah bahwa tawaran jam kosong dari seorang teman guru wali kelas pada saat itu tidak dapat saya terima.

Jakarta, 5 Nopember 2014.

04 November 2014

Musyawarah Mufakat dan Voting

Sebagai orang yang berlatar belakang politik, saya agak sedikit terganggu juga dengan realita di koran atas perilaku para anggota baru yang tidak lebih dan kurang sedang menyampaikan praktek dari unsur demokrasi, yaitu musyawarah mufakat dan voting. Menarik sekali untuk saya dapat memahami apa yang sesungguhnya maksud dan makna dari musyawarah mufakat dan voting itu selain dari kamus. Karena adu argumentasi atas makna dari dua hal tersebut itu justru telah memberikan kepada saya bagaimana pengertian orang-orang dari anggota baru itu menyiratkan makna dari dua hal tersebut.

Dua kubu yang ada sesungguhnya telah memberikan makna yang hakiki kepada saya tentang dua hal tersebut, yaitu musyawarah mufakat dan voting. Karena kubu yang saya bersikeras untuk megambil keputusan hanya berbasis dengan musyawarah mufakat saja. Sedang kubu yang lainnya tidak kalah kerasnya untuk juga membuka peluang voting jika musyawarah tidak berujung kepada mufakat. Seru bukan?

Lebih seru (baca: lucu) lagi, kalau ada yang HANYA ingin mengambil kesimpulan dengan cara musyawarah mufakat tetapi juga dengan menggunakan syarat HARUS(?). Artinya proses harus menggunakan musyawawah mufakat tetapi yang diputuskan harus INI (?).

Memilih 10 dari 25 Karakter

Di awal tahun pelajaran 2005/2006 yang lalu, kami punya pengalaman bersama guru dalam mempersempit atau meyedikitkan karakter siswa yang akan menjadi tujuan pembalajaran dan juga pembiasanaan kami di kelas. Namun kala itu ada kendala yang harus kami putuskan. Kendala tersebut tidak lain adalah karena setelah hasil diskusi yang banyak dari teman-teman yang masuk dalam komite kerja, terdapat 25 karakter yang harus kami belajarkan. Dan jumlah itu menurut kami, terlalu banyak.

Argumentasinya adalah, karena karakter yang akan dibelajarkan terhitung banyak, maka kami benar-benar kawatir bahwa karakter-karakter yang kami belajarkan tersebut tidak mampu kami ingat. Nah kalau mengingat karakternya saja kami kesulitan maka bagaimana kami bisa memahami setiap karakter? Bagaimana juga kami bisa mengaplikasikannya dalam kebiasaan sehari-hari kami? Bagaimana kami dapat menjadikan karakter-karakter yang kami punya tersebut sebagai landasan berbuat baik?

Atas itulah maka kami berkumpul untuk memutuskan mengurangi jumlah karakter yang akan menjadi fokus pembelajaran. Dan jumlah yang kami sepakati adalah 10 karakter. Namun setelah kami bermusyawarah kepada semua guru yang ada, sulit dicapai kata sepakat atau mufakat karakter apa saja yang 10 itu dari 25 karakter yang ada sebelumnya. Alasannya? Semua teman sepakat bahwa semua karakter yang 25 itu, adalah karakter yang sangat penting dan bagus. 

Karena kata mufakat tidak juga kami dapati, maka semua teman tetap dapat membuat keputusan, jadi tidak mewakilkan kepada siapapun, kami meminta kepada semuanya untuk memilih masing0-masing 10 karakter yang dalam pandangannya paling bagus dari yang bagus itu. Hasil pilihan teman-teman itu, kemudian saya rekap. Dan karakter yang paling banyak dipilih teman-teman, kami buatkan rankingnya. Dari situlah 10 karakter terpilih dari 25 karakter yang ada dapat kami jadikan kesimpulan musyawarah dan diskusi kami.

Berkaca dari peristiwa itu, kami melihat di anggota terhormat sekarag ini sedang mencoba memberi makna demokrasi pada dua hal tersebut di atas. Yaitu musyawarah untuk mufakat dan voting...

Jakarta, 4 Nopember 2014.

Jam Kosong #8; Berburu Jam Kosong

Kalau ada diantara pembaca yang bertanya dalam diri tentang catatan dan kisah saya berkenaan dengan jam kosong di sekolah, misalnya apakah setiap hari selalu ada guru yang tidak mengajar atau tidak masuk sekolah, sehingga harus meninggalkan tanggungjawabnya di kelas sehingga mengaharuskan adanya jam kosong? Maka jawaban saya adalah tidak selalu benar. Ini karena ada beberapa penyebab mengapa jam pelajaran di kelas kosong selain karena disebabkan guru tidak ke kelas.

Karena tidak semua guru yang tidak mengajar di kelas yang menjadi tanggungjawabnya itu dengan alasan izin atau sakit. Ada diantara mereka yang harus ikut dalam seminar pemantapan Kurikulum 2013. Ada juga yang harus menyertai anak-anak ketika mereka harus belajar diluar sekolah seperti execursion atau menjadi Duta Budaya. Bahkan ada juga guru terpaksa tidak berada di sekolah karena harus pemberkasan administrasi untuk pencairan dana sertifikasi guru atau juga guru bantu. Atau bahkan ada guru yang karena sesuatu, sehingga saya datang ke kelas terlebih dahulu sebelum dia dan anak-anak didiknya. Misalnya ketika anak-anak selesai menunaikan ikrar pagi, maka ketika anak-anak itu kembali ke kelas, di dalamnya sudah ada saya yang menunggu. Sehingga ketika guru sampai di kelas itu, saya menyampaikan permohonan untuk bisa ikut serta 'memberikan' sesuatu kepada anak-anak.

Jam kosong itu sering juga saya dapatkan ketika saya sedang berputar di lorong sekolah dengan 29 kelas, dan menemukan guru yang belum siap benar mengajar meski sudah berada di dalam kelas, maka pada saat itu pula saya akan meminta jam guru yang bersangkutan untuk menyampaikan kepada anak-anak. Itulah jam kosong dalam makna saya, yang selalu saya dapat selain memang ada guru yang tidak bisa masuk ke dalam kelasnya. Dan atas usaha untuk dapat masuk kelas sebagaimana yang saya ikhtiarkan itu, saya menyebut diri sebagai pemburu jam kosong yang pekerjaannya adalah berburu.

Jakarta, 1 Nopember 2014

01 November 2014

Jam Kosong #7; Mengajar Distribusi

Saya mendapat tugas untuk mengajar Mata Pelajaran Ekonomi di kelas VII. Dan salah satu dari materi yang akan kami bahas adalah tentang distribusi. Selain produksi dan konsumen. Maka setelah kami bersama-sama menghitung barang-barang yang kita miliki sebagai konsumen dan besaran rupiah yang telah kita keluarkan untuk membelinya, semua menjadi ternganga. "Kok besar sekali Pak?"Komentar seorang anak.

Misalnya, sebagai konsumen alat komunikasi seluler, bahwa kami yang menjadi komponen sekolah, akan tidak sedikit uang yang harus dialokasikan untuk pengadaan alat tersebut. Belum lagi jika alat komunikasi tersebut dihitung juga biaya pulsanya. Jika terdapat 700 siswa, guru, dan karyawan yang ada membutuhkan 50 ribu perbulan perorang, maka dalam satu bulan uang pulsa yang dibutuhkan adalah 35.000.000 rupiah. Lalu berapa banyak untuk 7000 orang pengguna seluler? Bagaimana lagi jika 70.000 orang?

Itulah awal materi pembelajaran yang saya sampaikan kepada anak-anak. Juga tentang pengaruh kemudahan distribusi barang terhadap harga jual suatu barang.

Dan sekedar serta sembari bermain-main untuk memberikan pengertian yang lebih nyata akan proses distribusi itu, saya membagikan Peta Mudik Lebaran yang saya punya kepada anak-anak.

Tentang peta tersebut saya meminta anak-anak untuk memperhatikan legenda peta setelah saya membagikan peta tersebut kepada mereka. Juga lokasi kota, baik kota Provinsi, Kabupaten/Kota, dan juga kota kecamatan.

Dan setelah anak-anak faham apa dan bagaimana menggunakan peta, saya baru memberikan tugas kepada anak-anak itu untuk menulis rute perjalanan yang dilaluinya, yaitu dengan menuliskan Kota/Kabupaten di buku tulis mereka masing-masing.

Ini ketika anak-anak itu saya minta berperan sebagai supir truk yang akan mengirim barang dari Jakarta menuju Malang. Atau dari Surabaya dan harus mengirim atau mendistribusikan barang menuju Sukabumi.

"Berapa kalian meminta bayaran untuk pengiriman barang tersebut?" Kata saya.

"Maka biaya itu yang menjadi tambahan harga yang dijual di toko kepada konsumen."  Lanjut saya.

Jakarta, 1 Nopember 2014

Jam Kosong #6; "Pak, Kok Pak Agus Lagi yang Ngajar?"

"Pak, kok kelas kita yang mengisi jam kosong Pak Agus lagi?" Demikian saya mendengar cerita seorang guru yang mendapat aduan dari seorang anak yang meminta izin untuk pergi ke toilet ketika saya sedang di dalam kelasnya. Tetapi selain ke toilet sebagaimana dia sampaikan kepada saya, ia justru menuju ke ruang guru dan mengadukan keberadaan saya di ruang kelasnya.

"O... Jadi begitu pandangan anak-anak kepada saya ketika saya masuk kelasnya ya Pak?" Kata saya kepada guru itu di koridor lantai dua. 

"Mengapa mereka seperti itu ketika ayah yang mengajar di jam kosong?" Kata anak bontot saya pada saat kami berbagi cerita disebuah sore. Kebetulan bontot saya kangen dengan kami sehingga week end itu ia pulang ke rumah dari tempat kosnya. 

Lalu saya mencoba mengingat mengapa anak-anak punya pendapat seperti itu ketika saya sebagai guru pengganti pada jam pelajaran yang kosong. Mungkin anak-anak itu tidak dapat terlalu rileks ketika saya mengajar. Atau mungkin juga mereka bosan dengan apa yang saya sampaikan selama ini?

"Apakah mungkin ayah terlalu kaku ketika sedang berada di dalam kelas? Seperti anak-anak tidak bisa mengekspresikan apa yang seharus mereka bisa sampaikan ketika bersama guru yang lain? Atau boleh jadi ayah terlalu banyak ceramah, nasehat, sehingga mereka bete?" Tutur bontot saya lagi.

Mungkin. Semua serba bisa untuk menjelaskan apa dan mengapa anak-anak punya pendapat seperti itu. Karena memang saya meminta anak-anak tidak bicara ketika ada satu orang yang berbicara. Mereka tetap bisa mengajukan pertanyaan dan pendapat secara bebas dengan mangangkat tangannya dulu. Dan saya juga tidak akan mengizinkan anak-anak itu meminta izin ke luar kelas selama pelajaran berlangsung. Jadi mungkin aturan saya itu yang membuat mereka tidak terlalu bebas.

Jakarta, 31 Oktober 2014.

Jam Kosong #5; "Ceritanya Keren Pak"

"Cerita yang tadi diceritakan Bapak keren." Kata seorang anak kelas VI di ujung tangga ketika kami bertemu. Tentu ini pujian yang menjadikan saya senang mendengarnya. Tapi juga sekaligus saya takut. Jangan-jangan itu tidak tulus. Tapi saya berpikir positif meski tetap harus waspada dengan pujian dari anak-anak sebagaimana yang baru saja saya terima tersebut.

Peristiwa saya mendapat pujian dari anak itu ketika saya baru saja menyelesaikan kisah saya tentang sebuah perjanjian yang harus dirusak oleh salah satu pihak pada saat pihak yang lain sedang membutuhkan pertolongan atau bahkan support. Ini adalah bentuk ketidakkomitmenan terhadap persahabatan.

Alkisah, pada saat saya bermalam di losmen yang ada di wilayah Jalan Dagen, Yogyakarta di awal Oktober 2014 lalu, ada artikel yang menjelaskan sebuah sejarah dengan cara yang tidak adil. Sejarah yang dibuat dalam bentuk kartun dan terbit di Perancis itu memiliki tendensi jahat.

Maka ketika saya kembali ke sekolah dan bertemu dengan anak-anak, ada kesempatan bagi saya untuk memberikan penjelasan kepada mereka tentang perjalanan sejarah yang sesungguhnya terjadi. Kesempatan itu sendiri saya dapatkan ketika seluruh anak-anak berkumpul dalam acara kegiatan mingguan di sekolah kami.

Apa yang saya sampaikan adalah penjelasan tentang latar belakang dari sebuah peristiwa yang diterbitkan di Perancis tersebut dalam bentuk kartun. Karena artikel itu hanya memberikan sebuah fakta akibat, tanpa menyampaikan penyebab, dan berlanjut kepada membuat kesimpulan. Logika sejarah semacam ini mereka sampaikan kepada kalayak tidak lain untuk menggiring opini publik (baca: pembaca), yang  memiliki akal pendek dan gegabah.

Penjelasan itu sendiri yang saya ambil dari pendapat sejarawan yang juga Kiai, yaitu ustad Moenawar Khalil. Dan saya bersyukur kalau ada satu dari anak-anak yang mendengar penjelsan saya itu memberikan pujian kepada saya usai berkisah dihadapan mereka. 

Jakarta, 1 Nopember 2014.