Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 September 2013

Spektrum Berpengetahuan dan Berakal

Beberapa kenyataan dalam pergaulan di kantorlah yang menerbitkan catatan saya ini. Ini karena selama kami bergaul bersama mereka menerbitkan banyak sekali anekdot yang menharuskan saya sendiri berpikir dan merenung. Bukan terhadap bagaimana teman-teman itu melakukan dan mengejawantahkan amanah kantor dalam kinerjanya sehari-hari saja, tetapi juga sebaliknya.Saya pun dapat menyerap segala rupa uneg-uneg yang menjadi bagian dari hubungan itu selama ini.

Dan dari komunikasi tersebutlah saya mendapatkan banyak hal yang menjadikan saya lebih bisa melihat dunia. Meski dalam artian yang sempit, dunia berpikir. Yaitu tentang bagaimana teman-teman itu melakukan tugas dan tanggungjawabnya masing-masing sekaligus bagaimana refleksi verbalnya atas pekerjaan yang dijalaninya. Hubungan antara melakukan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dengan refleksi verbalnya itulah yang saya lihat dari spektrum paradigma berpikir mereka.

Dan dalam spektrum itulah saya mendapati beberapa teman dengan beberapa latar belakang pengetahuan, atau setidaknya latar belakang pendidikannya yang berbeda-beda. Juga refleksi verbal yang menjadi pernyataannya dalam bergaul bersama kami, yang juga berbeda-beda. Itulah dua sisi yang menjadi perenungan saya belakangan ini. Tentunya karena saya menjadikan itu sebagai bahan belajar bagi kematangan diri saya sendiri.

Pak Udin yang Buta Aksara

Ada banyak hal mulia saya dapatkan dari sahabat lama saya ini. Dia, sebut saja Pak Udin, adalah orang yang usianya tidak bertaut jauh dari usia saya. Asal dari desa yang pada tahun 1980 masih berada di sebuah daerah yang terisolasi. Pak Udin ini memang buta aksara sejak kami bertemu di tahun 1985 yang lalu. Mungkin bayak usaha yang telah dilakukan teman lain untuk membantunya berhijrah dari realita buta aksra tersebut. Tetapi itulah kenyataannya. Ia buta aksara hingga suatu saat yang lalu ketika saya sendiri meminta nomor HPnya. 

"Lihat nomor saya di ruang guru saja Pak. Disana ada." begitu sarannya kepada saya saat saya meminta nomor kontaknya. Padahal kami bertemu di sebuah ruangan yang bukan ruang guru. 

"Loh, HPnya sedang dimana to Mas?" tanya saya. Saya pikir bukankah nomor HP bisa di lihat di HPnya kalau memang dia tidak hapal? Tapi dia bilang kalau HPnya sedang di charge. Saya mengalah untuk pergi ke ruang guru dan mencoba memanggil.

"Loh Mas, itu HPnya ada di kantong. Itu nomor saya." Kenyataan itu memahamkan saya bahwa Pak Udin sedang beralibi dan menutupi kalau ia sebenarnya tidak bisa menemukan nomor HP dari HPnya langsung ketika saya tadi meminta nomor kontaknya.

Meski begitu, saya belajar tentang bagaimana ia mensyukuri apa yang menjadi tugas dan rezki yang diterimanya sepanjang menjalani sebagai pegawai. Ungkapan verbalnya semitris dengan kedatangannya yang tepat waktu dan penyelesaian tugasnya yang membuatnya jadi andalan dimanapun di unit yang ditugaskannya.

Dan tidak hanya Pak Udin saja teman yang memberikan kepada saya cermin untuk saya dapat melihat diri saya sendiri. Masih ada beberapa teman baik yang dapat menjadi pemicu bagi semangat saya dalam mengarungi sebagai pekerja. Dan mereka berada dalam latar belakang pendidikan yang berbeda pula.

Pak Kim yang Mobilitasnya Tinggi

Teman lain yang menjadi cermin untuk saya adalah Pak Kim dan teman-temannya. Juga memiliki latar belakang pendidikan yang tidak seragam. Namun darinya, saya belajar bagaimana mereka memilih kata-kata yang sinis ketika harus mempormulasikan pernyataannya secara verbal. Atau kalau bukan sinis mungkin kata-kata yang menyiratkan kekecewaan yang berkepanjangan atas bebas dan rezki yang diterimanya selama ini.

Mereka, teman-teman saya ini pun, bukan teman-teman baru. Karena mereka telah bersama saya telah lebih dari 15 tahun! Dan dari sinilah saya merenungkan tentang bagaimana tidak nyamannya perasaan mereka dalam menunaikan pekerjaan di dalam situasi dan kondisi yang tidak memberikan ruang bahagia?

Pernah saya berpikir, apakah tidak sebaiknya tman-teman itu memilih perahu yang berbeda tanpa harus menunggu hingga berbelas atau berpuluh tahun berada dalam satu perahu yang juga mereka lubangi sendiri? Bukankah untuk berpindah perahu dan beralih tujuan menjadi bagian dari asasi kita sebagai orang yang berpengetahuan dan berakal?

Jakarta, 30 September 2013.

Ada Ibu yang Heran atas Kemampuan Anaknya

Benar itulah yang terjadi pada saat seklah menyelenggarakan kegiatan yang mengharuskan siswa bermalam. Karenanya maka seluruh peserta yang ikut wajib mempersiapkan diri dan tentunya perbekalannya. Termasuk di dalamnya adalah pakaian ganti yang diperuntukkan sepanjang dua hari satu malam saja itu.

Dan dalam durasi yang pendek itu, kami menerima kunjungan seorang Ibu dari salah seorang siswa kami yang kalau melihat fisiknya, maka sudah masuk dalam katagori seorang gadis. Meski usianya masih akan masuk ke-14 tahun. Belum dewasa memang, tetapi usia yang sudah harus mampu untuk mempersiapkan diri secara mandiri jika akan mengikuti sebuah kegiatan sekolah.

Namun itulah yang menjadi cerita saya dalam catatan kali ini. Karena ketika ada seorang Ibu yang mengunjungi putrinya di lokasi kegiatan, kami mendapat bahwa Ibu tersebut heran kepada apa yang kami informasikan. Bahwa pada sesi terakhir di malam itu, kami informasikan bahwa ananda telah berada di ruang kegiatan seperti teman-teman lainnya.

"Apakah sudah berganti pakaian Pak." tanya Ibu kepada kami.

"Maksud Ibu pakaian untuk kegiatan malam ini? Saya melihat semua peserta telah berganti pakaian Bu. Malam ini mereka mengenakan pakaian kasual. Sudah tidak ada yang masih mengenakan pakaian seragam sekolah." Jelas kami kepada Ibu yang membawa serta mbak yang biasa mengasuh si putri sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tentunya dengan driver yang menunggu di halaman parkir yang ada di lokasi kegiatan tersebut.

"Apakah kamu yang menyiapkan semua pakaian gantinya?" tanya Ibu tersebut kepada Mbak yang ada tidak jauh darinya.

"Tidak Bu. Sepertinya pagi hari tadi putri berangkat dengan tas sekolah biasanya. Saya malah tidak tahu kalau semua perlengkapannya berda di dalam tas itu." jawab si Mbak.

"Saya heran Pak Guru, mengapa putri saya biasa melakukan itu semua tanpa sepengatahuan kami. Apakah saya tetap bisa mengecek kebenaran dari informasi Bapak?" tanya ibu itu kepada kami. Tentnya apa yang disampaikan sang Ibu kepada kami, dan percakapannya kepada si Mbak yang memang kami dengar, justru membuat kami terheran-heran. 

Mengapa? Bagi kami, usia anak di bangku SMP, bukankah sudah layak untuk bisa melakukan apa yang memang seharusnya dilakukannya sebagaimana apa yang kisahkan di atas? Layak bkan jika kami malah yang terheran-heran atas keheranan Ibunda tersebut. Yang heran karena kamampuan putrinya yang mampu mempersiapkan segala rupa akan kegiatan sekolah yang diikutinya?

Jakarta, 30 September 2013.

27 September 2013

Mogok Sekolah

Saya mendapat telepon dari salah seorang dari sekian orangtua siswa kami, orang yang memang saya sudah kenal sebelumnya. Dan ketika saya angkat teleponnya itu, ia menceritakan tentang keponakannya yang sudah mogok ke sekolah untuk sekian pekan.

"Dia baru masuk sekolah selama dua minggu Pak di tahun pelajaran ini, dan sampai sekarang belum juga mau sekolah. Jumat lalu saya bawa ke sekolah anak-anak dengan tujuan agar dapat ngobrol-ngobrol dengan Bapak. Tetapi kebetulan Bapak tidak hadir. Terus terang saya ikut-ikut pusing juga Pak dengan tingkah polah keponakan itu." Demikian  Bapak yang ada di seberang telepon itu bercerita.

Bertemu

Tidak puas berkomunikasi dengan telepon untuk mencoba mencari dan menemukan strategi pengobatan bagi si keponakan, maka pada saat Bapak itu menjemput anandanya ke sekolah kami, bertemulah dengan saya untuk kemudian kita terlibat diskusi yang lumayan menyenangkan. Dan ini sebuah kesempatan bagi saya untuk belajar dengan melihat sebuah kisah. Itulah kisah seorang siswa yang harus mogok untuk tidak mau berangkat ke sekolah. Meski anak itu adalah keponakan dari seorang Bapak yang kebetulan adalah orangtua siswa di sekolah kami.

"Untuk pekan-pekan pertama disaat dia masuk sekolah, maka ayah atau ibunya akan secara bergantian menunggui anak itu di sekolah. Maka ayah atau ibunya itu bergantian cuti atau bahkan izin. Hingga akhirnya mereka berdua yang bekerja sudah terlalu malu jika harus meminta izin di kantor." Kata si Bapak di saat pertemuan di ruangan saya.

"Itulah maka saya harus membantu adik saya itu. Ada masukan dari Pak Agus? Saya sendiri setelah hampir dua bulan ini belum berhasil membujuk keponakan itu kembali ke sekolah, pusing dan buntu juga Pak." lanjutnya. Saya sendiri dengan mendengar kisah itu, ragu-ragu untuk memberikan pendapat, apalagi masukan. Padahal ketika Bapak itu menyampaikan kisahnya, tidak henti-henti juga saya memutar pikiran agar dapat memberikan sedikit bantuan meski itu hanya sebuah ide. 

"Bagaimana kalau Bapak bertemu dengan psikolog sekolah? Mungkin dia dapat memberikan bantuan atau setidaknya strategi sebagai jalan keluarnya Pak?" kata saya ketika diskusi berjalan lumayan panjang.

'Melihat Dunia' 

Pada tahapan berikut sdetelah diskusi itu, maka Bapak itu mengajak keponakannya untuk berdiskusi. Anak usia 6 tahun berdiskusi? Tapi itulah yang terjadi. Beberapa pertanyaan sebalagai jalan keluar bagi si mogok itu diajukan sang Pakde kepada keponakannya. Antaralain tentang; Bagaimana kalau ngak masuk-masuk sekolah? Apakah tahun pelajaran depan harus mengulang di kelas 1 SD lagi? Apakah kalau sekian lama tidak masuk sekolah nanti dapat langsung masuk kelas 2? Bagaimana kalau masuk sekolah di sekolah lain alias pindah sekolah? Tapi bagaimana kalau di sekolah yang sudah direncakan itu ternyata kelasnya sudah penuh sehingga tidak bisa lagi menerima siswa baru? Bagaimana kalau kembali memulai sekolah di sekolah yang lama?

Semua pertanyaan yang disampaikan oleh Pakde itu mendapat respon baik dari sang keponakan. Maka pada saat yang ditetapkan, berangkatlah Pakde bersama si keponakan menuju sekolah baru. Mereka bersama menghadap kepala sekolah. Berdialog bersama dengan penuh spontanitas tanpa rekayasa.

Juga menghadap kepala sekolah di sekolah lamanya untuk sekedar beraudiensi. Termasuk juga dengan guru kelasnya yang hampir setengah bulan anak itu berada di dalam kelasnya. Semua ikhtiar itu Bapak tersebut lakukan demi si keponakan yang mogok sekolah.

Siasat Anak Pintar

"Pasti ada sesuatu yang menjadi motivasi mengapa keponakan Bapak itu mogok sekolah." kata saya ketika pertama kali bertemu dengan Bapak yang juga orangtua siswa kami di sekolah itu.

"Dan sebagai anak pintar, maka dia akan berusaha agar motivasinya itu rapi tersimpan dalam album kecerdasannya. Nah, disinilah letak ujian bagi kepintaran kita sebagai orangtua yang ada di sekitarnya untuk menggali dan menemukannya. Mungkin dengan pengetahuan itulah kati dapat memasuki labirin bagi penyembuhan penyakit mogok sekolahnya." kata saya. Allahu a'lam bishawab...

Jakarta, 27 September 2013

26 September 2013

Karena Sisir

Agak sedikit kaget saja saya ketika seorang siswi di sekolah kami yang terlambat datang di sekolah, sehingga tidak bisa masuk ke ruang bersama untuk tadarus, mengaku terlambat sampai ke sekolah gara-gara sisir.

"Memang karena sisir Pak yang membuat saya terlambat sampai sekolah. Kemacetan juga. Tetapi untuk saya, terlabat sekolah karena sisir. Ibu saya memaksa saya untuk sisiran terlebih dahulu sebelum berangkat. Jadinya saya telat sampai sekolah." begitu siswi saya berargumentasi mengapa sampai telah datang ke sekolah.

Kaget, karena inilah pengakuan jujur, ngotot, dan sekaligus tidak masuk dalam akal pikiran saya. Mengapa? Bukankah kalau hanya sisir dan sisiran dapat kita lakukan sembari lari menuju gerbang sekolah? Atau sulitkan kita menyisir rambut ketika sedang menumpang kndaraan? Bukankah itu sebuah kegiatan yang boleh saya ketakan sebagai fleksibel?

Tetapi mengapa hal kecil yang sederhana itu justru berbeda ketika berada di tangan seorang siswi saya tersebut? Inilah cerita pagi saya tentang si anak yang sungguh berbeda itu.

Tidak Penyuka Sisir

Keberbedaannya itu karena memang selama ini kita sebagai guru di sekolah selalu melihat bahwa penampilan siswi kami itu hanya satu kurangnya. Dan Ibu-Ibu gurunya sejak dia duduk di bangku SD mendeskripsikan bahwa dia "Satu yang kurang. Yaitu sisir." begitu Ibu Gurunya menjelaskan kepada saya.

Oleh karenanya, meski rambut tebalnya  selalu bersih dan potong pendek, sbuah potongan rambut yang palin pas untuk dia, tetapi tampak jelas tidak disisirnya. "Kami pernah komunikasikan kepada Bundanya. an memang itu masalahnya di rumah. Utamanya pagi hari sebelum meningalkan rumah menuju ke sekolah." Begitu jelas Bu Guru lebih lanjut.

Maka tidak lagi aneh sebenarnya jika pagi itu saya menemukan dia duduk di selasar sekolah, di samping ruang serba guna,  karena terlambat sekolah sehingga tidak dapat masuk ke ruang serba guna tersebut untuk bergabung dengan teman-temannya yang sedang tadarus pagi. 

"Mengapa sampai terlambat?" tanya saya kepadanya setelah saya dekati.
"Karena sisir Pak." jawabnya datar saja.

Jakarta, 26 September 2013.

25 September 2013

Sekolah yang Membuat Jalanan Bertambah Macet

"Mbok ya orang tua yang jemput anaknya jangan nunggu satu sampai dua jam. Kan bisa tunggu 15 menit dengan sistem drop off, pas anak pulang langsung jalan," tandasnya. Demikianlah pernyataan dari Kasudinhub Jakarta Timur, Mirza Aryadi, Selasa (24/9/2013), yang saya baca di http://news.detik.com/read/2013/09/25/014411/2368454/10/banyak-kendaraan-penjemput-yang-ngetem-kasudinhub-jaktim-surati-sekolah?991101mainnews.

Sekolah dan Macet 

Apa yang disampaikan oleh petugas dari Dinas Perhubungan tersebut di atas adalah sebuah pernyataan yang disampaikan kepada sekolah-sekolah yang kebetulan karena terbatasan lahan parkir, sehinga para penjemput akan menggunakan badan jalan sebagai lahan parkir tambahan. Dan itu berimbas kepada kemacetan jalan yang benar-benar mengganggu bagi pengguna jalan yang kebetulan tidak berkepentingan.

Dan pernyataan yang bersifat himbauan itulah juga yang telah dilakukan oleh pihak sekolah secara berulang-ulang agar kiranya para orangtua siswa atau penjemput tidak memarkirkan kendaraanya secara berlama-lama di badan jalan. Bahkan banyak diantaranya yang memarkir kendaraannya itu dari sejak mengantar anak di pagi hari hingga anak pulang di sore hari.  Sulit himbauan itu menjadi terwujud dengan baik.

Entah apa yang akan terjadi jika kendaraan yang parkir di badan jalan itu, yang berada di tanda larangan parkir, benar-benar dilakukan tindakan pengempesan ban sebagaimana yang sekarang sedang digalakkan di Jakarta. Karena sebelumnya telah terjadi beberapa kendaraan yang parkir di tempat-tempat terlarang itu digembok. Namun belum memberikan impliksi yang positif terhadap ketertiban dan kedisiplinan.

Parkir Menjadi Masalah Kompleks

Keberadaan parkir di jalanan besar yang ada ada di ruas jalan-jalan protokol berkenaan dengan keberadaan sekolah sesungguhnya menjadi masalah yang tidak sederhana. Ini menjadi masalah yang sangat kompleks. Setidaknya kalau saya sebagai bagian dari sekolah ingin melihatnya dari beberapa sisi yang berkepentingan.  

Pertama dari sisi Orangtua siswa. Bila kita melihat bahwa parkir di sekolah menjadi begitu banyak karena adanya kendaraan yang ngetem di sekolah, ini tidak lain karena orangtua memang memiliki resources untuk itu.  Dan di samping kendaraan yang parkir tersebut, juga disertakan driver, dan atau nanny nya anak-anaknya. Ini sesungguhnya selain menjadi masalah parkir bagi sekolah yang hanya memiliki lahan parkir sempit, juga adalah problem sosial.

Problem sosial ini lahir manakala keberadaan driver dan para nanny di waktu sekolah sepanjang hari tersebut, jika bersama-sama maka akan lahirlah sebuah komunitas yang tidak hanya melahirkan hal positif saja. Tetapi juga pada hal-hal yang negatif. Diantara orang-orang tersebut akan saling bertukar cerita tentang apa saja. Mulai dari tentang upah hingga curhatan pribadi. Maka sesungguhnya keberadaan mereka di lingkungan sekolah sungguh bukan menjadi hal yang melahirkan masalah parkir semata.

Kedua dari sisi lowongan pekerjaan. Harus diakui bahwa ketika sekolah-sekolah tersebut menjadi lokasi berkumpulnya banyak kendaraan dan artinya juga banyak orang, maka peluang untuk sebuah lapangan pekerjaan menjadi bertambah. Misalnya peluang untuk bertransaksi, jual-beli bahan makanan atau keperluan lainnya, juga jasa pengamanan, dan tentunya para penarik iuran parkir.

Ketiga dari sisi kepentingan umum. Inilah yang menjadi bagian paling penting bagi pihak perhubungan dan pemerintah daerah. Karena dengan keberadaan parkir di badan jalan, ini merupakan tambahan bagi penghambat arus kendaraan. Yang berarti menambah masalah kemacetan yang ada di Ibu Kota ini. Dan inilah sisi yang dibela oleh pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan.

Jakarta, 25 September 2013.

Jangan Jatuh Bermain Futsal

Sungguh sebuah tontonan yang menarik untuk kami semua, utamanya orang dewasa, tentang bagaimana melihat lucu dan lugunya anak-anak yang baru saja tumbuh dalam sebuah sesi latihan futsal. Ini karena mereka adalah anak-anak yang menjadi siswa kami,  yang masih duduk di bangku kelas 3 SD, atau bahkan yang ada di kelas lebih bawah lagi, yaitu kelompok A dan kelompok B di TK, serta anak-anak kelas 1 dan 2 Sekolah Dasar. Sebuah sesi menarik karena dengan bola yang ada di lapangan plus dua tim dengan guru terlihat bersusah payah dalam menarahkan bola.

Meski terlihat dan terdengan bagi kami yang menyaksikannya, bahwa guru yang memandu pada sesi latihan itu tidak berhenti-hentinya memberikan pengarahan terhadap para pemain yang ada di lapangan dengan bolanya. Namun arah bola begitu sulit ditebak akan kemana. Bahkan tidak jarang bola itu menggelinding begitu saja walau seorang anak telah berusaha begitu keras mengyunkan kaki kanannya yang berbalut sepatu futsal yang berharga mahal.

Ini karena para pemain seperti kurang faham dengan kalimat perintah yang guru sampaikan sepanjang permainan. Atau mungkin memang anak-anak itu tidak dapat mendengar apa yang menjadi instruksi guru atau pelatihnya karena mereka begitu konsentrasi dengan bola yang harus mereka mainkan? Meski demikian, tidak ada rasa pantang menyerah bagi guru-guru itu dalam memberikan arahan. Nampak guru dalam setiap saatnya terus menerus memberi dotronmgan dan pengertian agar bola yang ada tersebut harus diapakan. Ini mungkin pas kalau saya menyebutnya sebagai disorientasi.

Dalam sebuah tayangan vedio yang pernah saya lihat, Stephen R Covey, Pengarang buku 7 Habit itu, peristiwa dimana anak-anak d\sedang menggiring bola itu menyebutnya sebagai visi. Maka jika ada dua tim yang sedang bermain, maka mereka sesungguhnya sedang menuju kepada visi timnya masing-masing.

Karena dalam vedio itu diperlihatkan bagaimana anak-anak bermain bola dengan tanpa mengetahui arah  kemana bola itu harus dilesakkan ke dalam gawang. Alhasil, pemain justru menendang bola hingga bola itu sendiri menggelinding masuk ke dalam gawang sendiri.

Persis seperti itulah lebih kurangnya dengan apa yang terjadi di lapangan dengan bermainnya anak-anak bersama guru dalam sesi latihan futsal.

Priyayi?

Sungguh saya kurang enak ketika harus menuliskan apa yang sering teman-teman katakan untuk mendeskripsikan betapa anak-anak kita itu layaknya sebagai priyayi. Mengapa? Karena anak-anak itu terlihat sekali tidak atau setidaknya belum memiliki daya juang untuk bersaing. Mereka dengan kondisi 'pengenalan' bola yang masih awam, justru memperlihatkan kepada kita betapa masih banyak tahapan yang harus dilalui. Terutama sekali ketika bola itu datang atau setidaknya menghampirinya. Mengapa mereka justru seperti menghindari bola? Bukankah semestinya bola itu ia songsong lalu di sepak kemanasaja ia mau?

Tapi demikaianlah adanya materi pemain futsal yang da di dalam sebuah tim. Tidak ada yang perlu dipertimbangkan lagi oleh guru yang sedang melatih futsal itu selain satu; keamanan dalam bermain agar anak-anak terhindar dari cidera.

Mungkin bukan cidera yang pas untuk mengungkapkan proteksi kita terhadapnya. Tetapi keamanan agar anak-anak terhindar dari jatuh saat bermain futsal...

Jakarta, 25 September 2013.

Bertahan Mengejar Cita

Melihat apa yang terjadi di 'bawah',  memang menjadi sebuah gerbang untuk  menggugah hati. Memberi ruang emosi yang lebih untuk diri. Dan inilah yang menjadi daya bangkit  sanubari untuk melakukan introsfeksi guna menatap masa depan yang lebih baik dari sekedar bersendagurau di dunia permainan. Tentunya dengan tidak meletakkan harga kita menjadi lebih.

Inilah setidaknya yang saya dapatkan ketika melihat mereka yang berjuang mencapai cita meski dengan keterbatasan. Melihat jalan yang dilalui seolah dengan penuh keringanan. Mungkin karena itulah ia menjadi begitu kokoh, dan tidak sekedar tabah sebagaimana kalau kita melihatnya, dalam menapaki setiap detik. Tanpa memandang berpa usia. Namun itulah justru, menurut saya, yang menjadu pintu masuk sebuah bangunan yang disebut impian. Cita-cita.

Di Masjid Kampus

Raut bahagia masih kuat memancar di setiap kayuhan pedal sepeda yang dikendarainya. Tidak perlu lagi saya mendeskripsikan bagaimana bentuk sepeda itu. Karena, menurut saya lagi, sepeda itu hanya satu yang harus dihargai, yaitu karena ia tidak berubah fungsi sebagai alat transportasi. Juga langkah mantap ketika menjalani hari-hari menuju ke kampus. Sungguh sebuah cermin yang sanggup malahirkan nostalgia di masasaya sendiri sedang di usia tumbuh. Sebuah cermin yang mengiris kenangan pahit masa silam.

Cerita bermula ketika saya memasuki halaman masjid kampus yang megah dan indah serta rindang, yaitu sejak saya masih berada di pelataran parkirnya. Dan terasa begitu lega serta sejuk ketika sudah berada di selasar masjid, yaitu antara ruang utama masjid dengan lokasi pengambilan air wudhu. Dan di wilayah itu saya bertemu dengan seorang pemuda cerdas dengan celana abu-abu congklang. Wajahnya penuh semangat dan sama sekali tidak menyiratkan rasa rendah.

Tentunya bukan karena ada idiolagi tertentu sehingga ia harus berpakaian yang berbeda dari para mahasiswa lainnya. Saya melihatnya itulah sebagai tampilan utuhnya. Sosok pemuda yang sedang mengejar cita di sebuah kota yang tentunya jauh dari kampung halaman.  

Di Kamar Kos

Ada pula yang begitu tidak enaknya ketika saya menirima berita dari bontot karena ada yang harus menjadi perhatiannya. Seorang teman yang masuk kos paling belakangan di rumah kosnya dan setelah berminggu bersama, namun berjumpa dengan apa yang disebut keterbatasan.

"Bagaimana bila kita melihat seorang sahabat kita ternyata tidur di kamar kos hanya beralaskan karpet dan tanpa lemari pakaian?"

Berita yang sungguh menggugah perasaan untuk menitikkan air mata...

Jakarta, 25 September 2013.

21 September 2013

Canggih Memainkan Akronim

Setiap  pulang dari kantor, saya selalu setia untuk mendengar siaran radio sebagai  bagian dari mengisi waktu luang di perjalanan. Tentu semakin tekun saya simak suara radio itu, manakala jalanan terhambat macet. Meski di jalan bebas hambatan sekalipun, macet tetap menjadi situasi hingga hari ini di kota Jakarta.

Dari suara radio, banyak hal yang saya dapat dengar dan pelajari. Tentunya selain mendengarkan lagu dan informasi jalanan, adalah juga satu hal  penting yang membuat saya senyum-senyum sendiri serta geleng-geleng kepala. Itu karena tidak lain adalah  tentang kecerdasan penyiar dalam membuat joke atau bahkan membuat akronim secara reflek dan terdengar spontan. Hebat bukan?

Saya menilainya itu sebagai hal yang hebat. Karena bagaimana secara cepat, terdengarnya spontan, ketika penyiar yang satu mengemukakan sesuatu yang masuk dalam ranah berita tetapi oleh penyiar yang lain diplesetkan menjadi sesuatu yang lucu, cerdas, dan membuat saya dan tentunya pendengar lainnya tersenyum-senyum. Bahkan ketika harus membuat sebuah kata menjadi sebuah akronim. Misalnya 'bejo', seperti yang sering kita lihat di layar tv itu. Merupakan singkatan dari bersih, jujur, dan ojo dumeh.

Akronim sebagai Slogan?

Kekaguman saya kepada para penyiar atau juga pelawak dalam membuat akronim dari kata-kata sebagaimanayang saya jelaskan tersebut di atas, tidak berbanding lurus dengan apa yang saya dengar dari sebuah presentasi seorang guru kemarin sore.  Karena dalam presentasi kawan saya tentang masa depan sebuah sekolah, sahabat saya itu terlalu banyak membuat akronim. Terdengar enak dan lancar memang pada saat ia menyampaikan presentasi dari rencananya. Namun pertanyaan saya justru; bagaimana mengaplikasikan akronim-akronim yang dibuatnya itu menjadi sebuah kata kerja? Menjadi sebuah bentuk operasional.

Bagaimana itu semua terangkum dalam kerja sehari-hari sehingga mencapai akronim-akronim yang dibuatnya?

Dari pertanyaan itu, saya justru menjadi kawatir bahwa akronim yang dibuat sahabat saya itu dalam rangka membuat peta perjalanan sekolah di masa berikutnya hanya berdiri sebagai slogan. Dan berhenti cukup hingga sampai disitu?

Jakarta, 21 September 2013.

Jejak Jepang dalam Bentuk Benteng

Ini adalah apa yang saya lihat dan rasakan ketika berada di atas sebuah benteng pertahanan dan pengintaian tentara Jepang di wilayah pegunungan Menoreh yang berada di Bagelen. Sebagaimana yang saya baca di sebuah media on line http://krjogja.com/read/187784/warga-bagelen-temukan-benteng-jepang.kr pada tanggal 20 September 2013.

Sumber; http://krjogja.com/read/187784/warga-bagelen-temukan-benteng-jepang.kr
Jejak Sejarah

Apa yang dieksplorasi oleh saudara-saudara kami yang tergabung dalam  Paguyuban Warga Bagelen (PWB) tersebut, adalah sebuah kepedulian dan rasa ingin tahu para generasi muda terhadap bangsanya. Dan salah satu yang menjadi bahan bagi penghilang dahaga rasa ingin tahu itu adalah jejak sejarah yang ada di wilayahnya. Itulah jejak sejarah dari sebuah bangsa yang pernah hidup di desa kami, dalam bentuk benteng.
Pintu benteng yang saya kunjungi, yang posisinya berada di arah bawah Mushola Samiaji. Dok,pribadi.
Terbayang oleh saya ketika pada Mei 2013 lalu saya berkesempatan mengunjungi salah satu benteng yang menjadi obyek eksplorasi para pemuda itu, yaitu bagaimana para saudara kami yang menjadi kuli bangunan itu pada saat membangun. Ini karena benteng yang kebetulan saya kunjungi tersebut, yang lokasinya berdekatan dengan Mushola Samiaji, dengan konstruksi yang kokoh. Berbahan bangunan semen yang keras dan tebal.
Jendela benteng. Dok. pribadi.
Juga, rasa ingin tahu saya ketika melihat ke arah garis pantai di Laut Selatan, Samudra Hindia, serta jalur jalan raya serta rel kereta api di bawahnya, apa yang sesungguhnya Bangsa Jepang ingin ketahui dengan hal-hal tersebut di atas?

Beberapa sesepuh dan orangtua yang masih sehat di desa kami yang menjadi salah satu dari lokasi benteng-benteng yang kabarnya terdapat 28 buah di kecamatan Begelen tersebut, tidak satu pun yang dapat memberikan informasi tentang pembangunan dan operasional dari benteng-benteng itu.
Pemandangan dari arah benteng. Dok. pribadi.
Tetapi dengan membaca berita yang ada di KR Jogja tentang aktifitas Paguyuban Warga Bagelen (PWB) tersebut, saya menjadi lebih optimis untuk ikut serta dalam pencarian makna dari jejak sejarah dalam bentuk benteng itu. Semoga.

Jakarta, 21 September 2013.

20 September 2013

Mengenang Sosok Idaman secara Lebih Dekat

Saat libur Idul Fitri yang lalu, saya mengajak anak bontot saya untuk blusukan ketika kami tiba di sebuah kota yang kami rindukan. Ini setelah kami selesai meletakkan koper dan segala rupa, termasuk menawarkan kepada istri dan anak yang lain untuk ikut srta dalam blusukan, hasilnya hanya kami berdua yang jalan di sore hari yang luar biasa padat. Sepanjang jalanan yang kami tempuh dengan berjlan kaki itu padat oleh pengunjung. Seperti juga jalan raya yang ada di sebelah kami, penuh oleh segala rupa kendaraan.

Setelah memutar-mutar tidak karuan, karena blusukan kan (?), akhirnya saya menawarkan tujuan kepada bontot saya; "Bagaimana kalau kita menuju kios buku saja?" kata saya setelah keluar dari mesin ATM yang ada di jalan kaki lima itu. "Okey. Siap." kata bontot saya penuh semangat.

Jadilah kami blusukan ke toko buku. Sambil clingak-clinguk membaca judul-judul buku yang berbaris rapi, saya seperti sedang belajar mengeja. Karena jumlah buku yang banyak dan ditumpuk secara padat, selain kami pun tidak tahu kelompok dari buku-buku itu, jadilah saya kebingungan. Bahkan untuk menyebut nama pengarang atau judul buku yang kami ingin cari, lupa!

Pendek kata, saya temukan juga buku yang telah saya lihat posternya beberapa waktu lalu di Jakarta ketika ada pameran buku yang tidak saya kunjungi. Tidak terlalu istimewa buku itu untuk langsung saya lahap. Bukankah saya dan anak-anak sedang dalam perayaan Idul Fitri? Benar saja. Buku yang saya beli itu entah terselib dimana menjadi belum sempat saya mulai baca. Hinga akhirnya Allah takdirkan saya untuk sakit dan mengambil waktu istirakat tidak beraktifitas selama tiga hari. Maka dengan izinNYA, buku itu berada di tangan saya. Alhamdulillah.

Mengenang secara Lebih Dekat

Lebih dekat, karena buku tentang HAMKA yang saya baca itu adalah buku karangan sang putra, Bapak Irfan HAMKA. Buku yang diberi judul Ayah... itu benar-benar mendekatkan kembali betapa HAMKA adalah sosok idaman. Banyak hal yang belum pernah saya mengetahuinya, dan dari buku itu terungkap dan memberikan tambahan kekaguman.

Tentang bagaimana beiau memegang teguh pendiriannya. Sebuah gambaran yang memberikan kekuatan jiwa dalam memegang keyakinan. Juga daya juang yang luar biasa liatnya. Adalah sosok yang memberi tambahan kekuatan semangat kepada saya khususnya dalam tumbuh sebagai manusia.

Juga dengan berbagai hal yang sulit untuk saya tuangkan dalam sebuah kalimat. Pendek kata, sebuah sosok yang pas untuk menjadi panutan. Panutan bagi saya yng juga adalah orangtua bagi anak-anak. Panutan bagi saya yang adalah pekerja yang harus memenuhi tanggung jawab. Panutan bagi jiwa yang terus menerus memegang teguh keyakinan. Panutan untuk menyingkirkan sejauh mungkin kebencian. Luar biasa. 

Tidak ada kata yang pantas untuk saya tulis lagi selain bacalah dan renungkanlah buku itu. Mudah-mudahan kita mendapat manfaat yang baik. Amin.

Jakarta, 20 September 2013.

Idul Kurban 1434 H #1; Menengok Sasaran Kurban

Beberapa waktu lalu, sebelum Agustus berganti, kami bersama-sama pergi ke sebuah lokasi yang relatif tidak jauh dari sekolah kami, untuk menengok sebuah desa yang rencananya akan kami jadikan sebagai desa sasaran bagi penyebaran hewan kurban dari anak-anak didik kami di sekolah. Terdapat tiga lokasi yang menjadi area silaturahim kami untuk saling membangun komunikasi awal. Ini terutama untuk berdiskusi tentang keadaan masyarakat di lokasi tersebut dengan para aparat desa atau DKM rumah ibadah yang ada di lokasi. Selain kondisi masyarakatnya, kami juga mendiskusikan tentang bagaimana mengorganisir pelaksanaan kurban itu sendiri.

Dari tiga lokasi yang kami rencanakan, semua lokasinya berada di Provinsi Jawa Barat. Satu lokasi berada di pinggir pantai utara Jawa, yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jakarta, satu lokasi lagi di daerah pembuangan sampah akhir, dan satunya lagi berada di wilayah pegunungan, yang lebih kurang 50 kilometer dari Pantai Pelabuhan Ratu. Tiga lokasi yang sebagiannya didiami oleh para saudara kita yang berkekurangan secara materi.

Dari ketiga lokasi yang ada, setelah kembali ke sekolah, kami mendiskusikan tentang jumlah hewan kurban yang layak untuk dapat kita distribusikan. Dan tentang jumlah hewan kurban ini, kami tentunya hanya meminta kepada para donatur, yang terdiri dari anak-anak didik kami, untuk menyalurkannya kepada sekolah. Dan dengan kondisi lokasi tempat kurban yang telah kami datangi, kami mencoba untuk menyamaikannya kepada anak-anak itu.

Dengan model berkurban semacam itu, kami merasakan bagaimana kami menjalin hubungan dan silaturahim dengan para saudara kami yang dalam kondisi tidak atau kurang beruntung, yang letaknya masih memungkinkan untuk kami kunjungi. 

Dari kegiatan semacam itu jugalah kami, guru-guru dapat melihat tentang bagaimana saudara-saudara yang menjadi aparat di desa atau yang terlibat langsung dalam komunitas tempat ibadah seperti DKM,  memberdayakan diri bersama masyarakatnya. Sebuah pengalaman berharga. Tentunya karena kami semua hampir rata-rata berasal dari sebuah komunitas yang juga tidak terlalu beruntung. Semoga

Jakarta, 20 September 2013.

Minuman Sehat

Menemukan anak-anak dengan minuman 'murah' dengan warna terang yang menggairahkan mata ketika menatapnya, sungguh menjadi ta tangan tersediri buat saya yang menjaga di pintu keluar gerbang sekolah. Bersama guru yang lain dan anggota security, saya benar-benar harus mencegah keinginan siswa untuk membeli dan mengkonsumsinya. Bukan karena diskriminasi dengan penjual minuman itu karena mereka berjualan di luar pagar sekolah, tetapi apa yang kami lakukan itu adalah niat murni karena untuk keselamatan raga anak-anak itu sendiri dimasa yang akan datang.

Ini memang menjadi tantangan tersendiri buat kami, dan saya. Mengingat minuman itu dibandrol dengan harga tiga ribu ruah, dengan aneka warna yang cemerlang, plus es batu yang menjadi penambah ngiler bagi siapa saja yang melihatnya di bawah terik Matahari. Harga yang tergolong miring jika dibandingkan dengan harga yang dijajakan di kantin sekolah. Sebuah perjuangan.

Investasi Sehat

Apa yang menjadi konsen kami dan saya di sekolah,  dengan minuman anak-anak itu tidak lain hanya untuk masa depan kesehatan dari raga mereka semua. Semacam investasi dalam persfektif jangka yang lama.

Ini tidak lain karena anak-anak di tengah teriknya matahari Jakarta, tersedianya air minum dingin, adalah sesuatu yang paling pas. Sepanjang mata menatap butiran udara di permukaan air minum itu, maka sepanjang itu pula godaan untuk menyantapnya. Bersoda? Citra warna dari bahan yang merusak? Berpengawet? Kandungan gula yang berlebihan? Semua tidak menjadi persoalan sekarang.

Itulah inti dari konsen kami tentang investasi sehat, yang musim panennya bukan esok atau minggu depan saja. Karena sangat boleh jadi lima, sepuluh, atau bahkan duapuluh tahun setelah hari ini. 

Pasar

Kami juga tidak ingin apa yang dilakukan anak-anak kami dengan menjadi konsumen bagi pedagang yang jajan di luar pagar sekolah adalah sebagai bentuk dorongan bagi para pedagang untuk membuak lapak baru, yang bernama pasar kaget. Kami akan menggunakan apa yang menjadi ide Minke, tokoh dalam buku tetraloginya Pramudya Ananta Toer, dengan cara boikot. Dengan penjagaan dari kami sepanjang jam [ulang sekolah, maka anak-anak akan tidak bisa melakukan transaksi. Dan dengan ini, kami bermaksud memboikot para pedagang itu.

Atau memang kita ingin agar sekolah-sekolah menjadi bagian dari sebuah komunitas jual-beli layaknya sebuah pasar? Saya yakin pasti, tentu tidak.

Jakarta, 20 September 2013.

Guru 'Dadakan'

Salah satu tugas, yang juga memang saya sangat suka untuk melakukannya, di sekolah, adalah sebagai guru dadakan. Ini karena ada beberapa alasan yang antara lain adalah; Bisa masuk kelas mana saja.  Memberikan pelajaran tentang apa saja yang di luar materi pelajaran yang ada dan sudah terjadwal. Boleh melakukan pembelajaran tidak terikat oleh waktu. Bisa panjang, bisa juga sebagai pengantar atau support saja. 

Biasanya saya akan menjadi guru dadakan ketika banyak guru yang secara kebetulan harus tidak masuk kelas untuk mengajar. Seperti yang terjadi di TK beberapa waktu lalu, dimana 7 guru yang ada, 7 guru dari 12 guru termasuk Kepala Sekolah harus mengikuti kegiatan PLPG dalam rangka sertifikasi guru beberapa waktu lalu. Tidak bisa tidak, kondisi darurat. Dan saya menjadi sukarelawan sepanjang satu pekan guru ikut serta menjadi peserta PLPG itu.

Burung Kutilang

Berbeda dengan apa yang pernah saya lakukan pada saat guru-guru ikut PLPG, maka pagi itu saya diminta untuk memberikan penjelasan, tepatnya mungkin bercerita, tentang burung. Dan kerena kami beberapa bulan sebelumnya 'kedatangan' seekor burung kutilang yang tampaknya tidak mampu hidup di alam bebas, dan akhirnya kami pelihara di dalam sangkar yang kami simpan di sekolah, maka tentang kutilanglah saya akan bercerita.

Maka dihadapan anak-anak TK itu saya bercerita tentang burung dengan sebanyak mungkin bertanya jawab dengan anak-anak itu. Dan burung, mejadi binatang yang lumayan akrab di dunia anak-anak didik kami yang masih duduk di bangku TK itu. Karena ada diantara mereka yang ternyata memiliki burung-burung peliharaan. Selain juga karena posisi sekolah kami yang berdampingan dengan taman kota yang memungkinkan beberapa hewan jenis burung berkicau di antara pohon-pohon yang tumbuh rindang di taman itu.

Danau Toba

Demikian pula ketika di penggalan hari saya bertemu anak-anak kelas 3 SD yang sedang belajar tentang lingkungan di ruang perpustakaan sekolah. Saya pun mendapat tawaran untuk berbagi cerita tentang Sumatera Utara, yang antara lain adalah Danau Toba. Dan dengan slide yang ada, saya bercerita tentang Medan di Sumatera Utara, tentang perjalanan Medan-Berastagi di Kabupaten Keban Jahe, tentang Bukit Gundaling yang ada di atas kota Berastagi, tentang Gunung Sinabung yang sedang meletus, tentang air terjun Sipisopiso, dan tentunya tentang Sigale-gale di Pulau Samosir.

Karena   dadakan, maka cerita saya seperti kurang perangkat yang perlu untuk lebih mendongkrak keikutsertaan anak didik dalam terlibat di dalamnya. Namun saya senang telah berbagi dengan mereka meski hanya berperan sebagai dadakan.

Jakarta, 20 September 2013.

18 September 2013

Mudik 2013 #18; Berharap Berbeda di Tahun Mendatang karena Gubernur Baru

Sepanjang mudik tahun-tahun yang saya lalui sebagai bagian dari kaum urban, ada harapan paling saya tunggu dengan adanya gubernur baru di Jawa Tengah pada 23 Agustus 2013 ini, Bapak Ganjar Pranowo. Tentunya selain infra struktur jalanan di sepanjang jalur mudik, utamanya di jalur tengah dan jalur selatan di sepanjang Provinsi Jawa Tengah, juga tanaman perindang sepanjang jalur itu, adalah marka jalan dan spotligth sebagai pemandu bagi kami yang melalui jalur itu di malam hari.

Karena memang itu antara lain yang menjadi janji gubernur baru itu di media. "Akan ada yang berubah di Jawa Tengah setidaknya dalam tiga tahun mendatang." Demikian disampaikan gubernur baru itu seusai di lantik di Semarang pada 23 Agustus 2013. Semoga.

Ilustrasi marka jalan dari www.kaskus.co.id
Putunjuk di Malam Gelap

Bagi saya, jika berkendara malam hari di wolayah Jawa Tengah, utamanya jalur yag saya sebutkan di atas tadi, adalah masih perlunya kami panduan dalam bentuk marka yang putih tebal dan terang. Juga spotligth di sepanjang sisi jalan yang berbelok.

Dua hal yang sangat penting untuk pentunjuk jalan kami di waktu gelap. Dan dua hal ini setelah infra struktur jalanan yang memang baik. Paling tidak sebaik ketika masa Idul Fitri di setiap tahunnya. Tidak sempurna, tetapi relatif tidak menyulitkan kami sebagai pengguna.

Spotligth dan marka ini menjadi dominan ketika kami lepas dari wilayah Banjar di Jawa Barat dan memasuki Majenang lanjut ke Wangon dan terus ke Yogyakarta. Ini karena hanya ruas jalan yang masuk wilayah 'kota' saja yang memiliki lampu penerangan jalan.

Dan sebagai urban, saya tentu berharap sekali Pak Gubernur Jawa Tengah yang baru itu dapat merubah wajah jalur mudik saya seperti yang saya harapkan. Semoga. Amin.
 
Jakarta, 18 September 2013.

Merapikan Perlengkapan Shalat

Seperti hari-hari yang lalu. Setiap anak-anak yang posisinya masih berada di sekolah setelah waktu Ashar, maka beberapa guru yang memergoki anak-anak itu akan memintanya untuk melaksanakan shalat terlebih dahulu. Terkecuali bila anak-anak itu akan segera pulang sehingga waktu shalat masih ada ketika ia sudah sampai di rumahnya masing-masing. Maka ketika suara adzah berkumandang dari pengeras suara yang ada di belakang, saya melihat ada jamaah yang diantaranya adalah anak-anak. Seperti ketika saya masbuk. Di samping saya siswa yang duduk di kelas 5 SD. Iya bersama temannya berdampingan. Saya menyusulnya dengan berada persis di sampingnya.

Namun begitu sholat selesai, saya harus meminta salah seorang dari teman untuk memanggil kembai anak yang ada di samping saya tadi kebali ke mushola. Karena begitu shalat selesai, anak itu langsung meninggalkan perlengkapan sholatnya tanpa melipat atau merapikannya kembali.

Benar saja. Anak itu telah menghilang lebih cepat dari pada saya menyelesaikan rakaat terakhir. Dan perlengkapan sholat itu saya minta kepada teman di mushola untuk tidak merapikannya terlebih dahulu. Karena saya juga bermaksud untuk mencari anak tersebut.

Mandiri

Seperti dalam catatan saya sebelumnya. Merapikan apa yang menjadi kewajibannya harus terus menerus kami ingatkan. Seperti melipat atau merapikan perlengkapan sholat tersebut. Karena masih sering anak-anak itu terlupakan. Ia masih belum merasa bahwa hal seperti itu menjadi kewajibannya. Mungkin karena merada bahwa nanny nya akan segera turun tangan terhadap apa saja yang mereka tinggalkan. Mungkin.

Jakarta, 18 September 2013.

Laporan Kehilangan Tangga Lipat

Pagi itu, seitar pukul 10.00, datang ke ruangan saya seorang guru yang memberikan laporan sekalgus juga  keluhan. Laporannya berkenaan dengan kehilangan tangga lipat yang disimpannya di dalam ruangan sesudah libur panjang akhir tahun lalu. 

"Tangga yang saya punya itu kualitas yang bagus Pak. Bukan seperti tangga-tangga aluminium sebagaimana yang banyak kita punya.  Tangga saya saya beli di A**. Terbuat dari stainless steel. Jadi kekar." katanya dengan nada yang pasti kecewa berat.

"Tukang dan orang bagian sipil sering saya lihat menggunakan tangga saya." Begitu laporannya kepada saya. Agar tidak membuang waktu, saya ajak Ibu Guru itu mendatangi pos bagian sipil di sekolah. Kebetulan orang yang ingin ditemua berada di tempat. Maka si pelapor dengan laporannya itu segera saya pertemukan dengan bagian sipil tersebut. Mereka saing tanya jawab berkenaan keberadaan tangga lipat yang entah dimana lagi.

Dalam pertemuan kami bertiga itu, keluarlah lagi keluhan ibu guru tersebut tentang seringgnya orang-orang bagian sipil menggunakan tangga lipatnya itu. Ibu guru mengingatkan untuk kedepan agar orang-orang bagian sipil yang ketika akan mengecat, membetulkan langit-langit kelas untuk tidak lagi menggunakan tangga lipatnya.

"Itu kalau tangga lipat Ibu dapat kita ketemukan?" kata saya untuk meminta kepastian persepsi.

" Bukan Pak. Saya dan teman akan membeli kembali properti kami yang telah hilang dan tidak kembali. Tapi entahlah." Jawabnya seperti nada pasrah menggelembung.

Jakarta, 18 September 2013.

Shalatnya, Cepat Sekali

Siang itu, ada salah seorang dari siswa kami yang terlambat ikut serta dalam shalat berjamaah di mushola sekolah. Ini karena ada sedikit 'kejadian' yang harus dilalui anak itu sehingga ia terlambat datang ke mushola. Maka ketika kami, teman-temannya dan para guru telah usai melaksanakan shalat, anak itu melakukannya sendirian.

Tapi aakah karena ia datang terlambat ke lokasi shalat berarti bahwa dia akan bersegera untuk melaksanakanya? Ternyata tidak. Dari dalam mushola, saya melihat ada Ibu Guru yang mendampingi anak itu ketika ia masih berada di toilet pria dan bahkan ketika ia sudah berada di depan tempat wudu. Terdengar oleh kami yang berada di mushola bagaimana Ibu Guru itu memberikan dorongan kepada anak itu untuk segera melaksanakan wudu.

Pada saat melaksanakan wudu pun, masih terdegar oleh kami Ibu Guru memberitahukan tertibnya berwudu. Mungkin Ibu Guru mendapati bagaimana anak itu masih kurang memenuhi semua tertib wudu dengan baik sehingga harus memberikan dorongan atau mengingatkannya. Pendeknya, anak itu seperti sedang terserang penyakit lemas yang akut. Maka yang tampak dari luar adalah perilaku malas-malasan. Tidak memiliki motivasi yang cukup kuat untuk melakukan secara tertib dan baik.

Lebih kaget lagi ketika anak itu telah berdiri di dekat mimbar untuk melaksanakan shalat. Tentunya dengan Ibu Guru yang masih berdiri di depan pintu mushola. 

"Loh kok sudah selesai?" tanya salah seorang dari kami yang sedikit kaget ketika melihat anak itu yang baru saja takbir di awal shalat tiba-tiba telah selesai menengok kanan-kiri dengan memberi salam.

Saya yang memperhatikannya sejak awal shalat tidak terlalu heran dengan durasi shalat yang singkat tersebut. Bahkan ketika aanak itu baru saja duduk untuk Tahiyat terakhir, tiba-tiba segera menengok kanak dan kiri sebelum duduknya sempurna betul.

"Pakai paket kilat ya Nang?" tanya guru yang satu lagi. Tanpa jawaban dari anak itu selain senyum-senyum meninggalkan mushola dimana kami semua berada.
Jakarta, 17 September 2013.

17 September 2013

Ada Nama Siswa Kami di Mesin Finger Print

Ini kejadian pagi hari tadi. Ketika kami para guru sedang sibuk mengantri untuk finger print secara bergantian, tiba-tiba ada anak didik kami yang ikut serta berada di dalam antrian. Kami tentu tidak menyadari akan keberadaannya itu. Oleh karenanya, kami hanya bertegur sapa satu sama lainnya. Namun ketika kami semua telah mendapatkan giliran, maka anak didik kami yang pintar itu maju mendekatkan salah satu jarinya ke mesin finger print.

Sembar kaget dan ingin tahu, salah seorang dari kami membuntuti seraya ingin tahu apa reaksi mesin absen itu ketika 'menerima' jari siswa kami. Bukankah semua jari kami terlebih dahulu di 'kenali' mesin absensi itu sebelum upacara datang dan pulang kantor ini diberlakukan? Oleh karena itu, maka teman kami yang berada di belakang anak didik kami itu yakin bahwa lampu merah yang akan muncul ketika jarinya menempel di mesin absensi. Pasti. Batinnya.

Namun apa yang menjadi keyakinannya meleset. Karena begitu jari siswa kami itu menempel ke mesin, justru warna hijau sebagai tanda bahwa jari anak itu telah dikenalinya. Dan step berikutnya adalah munculnya nama anak tersebut di layar mesin. Kok bisa anak yang masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar mampu mengutak-atik mesin absensi?
 
Praktek Kepintaran

Karena herannya dan kagumnya sebagian dari kami yang masih berada di dekat lokasi mesin absen tersebut, maka kami sepakat untuk meminta anak tersebut memperagakan tentang bagaimana mengoperasionalkan atau mempraktekkan mesin ketika merekam data baru.

Dan semakin kagum pula kami dibuatnya. Karena tanpa harus mengulang-ulang langkah yang harus dilakuakan, anak itu memencet-mencet simbul sebagai cara untuk merekam jari seseorang bila ia sebagai orang baru. Luar biasa sekali bukan?  Itulah pertunjukan kepintarannya. Kami, diantaranya adalah guru yang gemar mengutak-atik komputer, terperaggah.

"Berapa lama anak itu menjadikan mesin absensi kita sebagai sumber belajar?" kata teman saya mengomentari betapa hebatnya anak kecil itu. Tentunya tidak ada jawaban dari kami semua selain tersenyum karena kagum.

Jakarta, 17 September 2013.

Membuang Sampah di Jalan, Apakah untuk Berhemat?

Sore itu, ketika kami bersama-sama sedang menikmati sore di sebuah gang di dekat rumah, Pak RT dan saya terlibat diskusi tentang sampah (lagi). Ini adalah diskusi lanjutan sebagaimana yang telah saya utarakan sebelumnya, juga dalam catatan saya ini. Yaitu tentang menumpuknya sampah di pinggir jalan yang ternyata adalah tambahan sampah milik warga yang enggan mengumpulkan sampah di rumahnya, dan lebih memilih membuangnya disaat hari gelap atau di saat aksinya tidak akan diketahui oleh siapapun.

"Supaya tidak perlu membayar iuran uang sampah Gus." Demikian kesimpulan dan pendapat  Pak RT, yang disampaikan pada sore itu kepada saya. Sebuah pendapat yang seratus persen saya sendiri membenarkan. Bukankah beberapa waktu lalu saya memergoki seorang dari tetangga kami keluar gang dengan membawa bungkusan plastik yang tertutup dan terikat dengan rapi? Dan ketika kembali lagi ternyata bungkusannya tidak dibawanya kembali?

"Apakah dengan tidak membayar iuran sampah itu sebagai penghematan Pak? Bukankah iurannya hanya Rp 20,000 untuk setiap bulannya?" tanya saya lagi mencoba mengkonfirmasi.

"Memang hanya dua puluh ribu satu bulan. Tapi bisa jadi orang-orang semacam itu akan menghitungnya tidak dalam durasi bulanan Gus. Mungkin sekali dalam kurun waktu panjang. Misalnya sepuluh tahun. Bukankah itu sama artinya dengan 120 x Rp 20,000? Angka yang besar kan?" jelas Pak RT. Jalan pikiran yang diutarakan memang benar juga. Belum lagi jika mereka akan membuang sampai yang tidak biasanya. Bukankah harus mengeluarkan dana diluar iuran bulanannya itu?

Apapun dan bagaimanapun cara menghitung dan jalan pikiran yang dikemukakan dalam diskusi soren itu, menarik saya ambil pelajaran. Bahwa secara realita masih ada tetangga-tetangga kita yang berpikir dalam masalah sampah rumah tangganya justru jauh ke depan. Dua puluh atau bahkan seumur hidup ke masa mendatang. Tentu dalam usahanya untuk berhemat. Dan buah dari berhemat tentunya adalah pengumpulan dana.

Sementara ada pelajaran lain tentang bagaimana untuk menjadikan lahan sedekah yang sebanyak dan seluas mungkin. Yaitu mereka yang berpikir bahwa dengan kehadiran tukang sampah yang rutin datang tiga kali dalam satu pekan itu sebagai bagian dari mereka untuk menyimpan sebagaian dnanya dalam bentuk amal baik? 

Dua hal besar yang patut menjadi pertimbangan kita dalam melihat masa depan...

Jakarta, 17 September 2013.

Belajar dari Ketulusan Petani

Dalam sebuah kesempatan untuk berkunjung di salah satu wilayah yang masuk di Kabupaten Kulonprogo, pada pertenganhan tahun lalu,  masih saja membekas dalam  ingatan saya tentang bagaimana seorang petani yang begitu tulus membantu anak-anak sekolah dalam mempraktekkan konsep bertani alami yang bebas bahan kimia. Yaitu belajar tentang bagaimana cara bercocok tanam dengan sehat itu. 

Mulai dari menyiapkan media pembibitan, yang juga bebas dari plastik. Menanamkan bibitnya yang sehat. Memberi pupuk dengan pupuk alami yang sehat  karena tidak meninggalkan bekas sebagai kenang-kenangan di dalam makanan. Termasuk di dalamnya membantu membelajarkan siswa dalam membuat daun dan dahan tumbuhan untuk cepat menjadi kompos secara alami. Juga bagaimana mencegah dan membasmi hama dengan pembasmi yang sehat pula.

Petak-petak tanaman itu.
Dan dengan modal  pengetahuan konsep serta keterampilan bercocok tanam secara praktis seperti itulah maka anak-anak memperoleh pengalaman belajar yang tiada taranya. Tiada duanya. Sebuah pengalaman hidup yang istimewa tentunya untuk sebuah generasi Seusia mereka meski tinggal di lereng pegunungan yang subur.

"Lalu bagaimana Bapak menggaji petani itu sebagai imbalan dari bantuan yang diberikannya?" tanya saya kepada seorang relawan yang menjadi pemandu perjalanan kami di lokasi tanaman organik di sebuah lereng gunung dengan kemiringan tidak kurang dari 30 derajat itu. Ini menjadi manarik untuk kami ketahui karena secara nilai, apa yang diberikan oleh petani tersebut adalah sebuah upaya yang dahsyat luar biasa.

Bukanka penati ini dengan keahlian dan tenaga yag dimilikinya, juga kreatifitasnya, ia dapat mengusahakan sendiri apa yang diberikan kepada anak-anak didik di SD itu? Kalaupun lahan yang menjadi kendala, apakah tertutup kemungkinan baginya untuk menjadi tenaga kerja ahli di pusat-pusat argo yang sedang tumbuh baik di negeri kita ini? Ini adalah pertanyaan yang sederhana dari kami yang terlanjut besar dalam era industri pragmatis ini.

"Kami dan sekolah tidak akan mampu membayar atau memberikan imbalan kepada petani itu atas semua yang diusahakan sebagai bantuannya selama ini." jelasnya. Ini menjadi titik kulminasi buat saya yag memang sejak melihat lahan yang berpetak-petak di lereng itu ngiler luar biasa. Karena dalam setiap petak itu, konon anak-anak akan memanen hasil pertaniannya itu dalam durasi pekanan. Ini tentu, sekali lagi, bukan upaya amatiran.

Paradigma Transenden

Dalam catatan saya ini, baru saya sadari dengan sebenar-benarnya bahwa upaya petani yang tulus itu, untuk bersama-sama guru sekolah dalam membelajarkan konsep dan praktek bertani sehat tersebut, adalah bentuk nyata dari apa yang selama ini saya ketahui sebagai paradigma berkehidupan yang transenden.

Bagaimana mungkin petani itu dapat menghidupi diri dan keluarganya dengan hanya mengandalkan tanaman lain dan juga usaha jamur kuping yang diusahakannya di lahan yang sama?

"Mohon maaf Pak, saya tidak mengukur semua hasil usaha saya ini dengan upah dan uang. Saya mengukurnya dengan cukup menurut takaran saya."

Jakarta, 17 September 2013.

16 September 2013

Ujung Tombok

Mungkin untuk Anda, kosa kata ini sudah lekat sejak lama. Namun tidak untuk saya. Saat pulang kampung beberapa waktu lalu, saya mendengar kata ini dari seorang teman yang baru saja naik pangkat sebagai manajemen di sebuah sekolah. Tempat yang sebelumnya adalah tempat mengajarnya. Saat dia menjadi bagian 'penting' di sekolahnya. Setidaknya ini karena ia adalah satu-satunya guru yang bukan sebagai bendahara sekolah tetapi harus menggarap laporan sekolah untuk semua penggunaan dana sekolah. Termasuk pula laporan-laporan yang membutuhkan ketekunan, ketelitian, dan tentunya kecepatan agar tidak melampaui tenggat yang telah disepakati.

Namun justru dari pengalamannya itulah, yang sering juga ia istilahkan sebagai ban serep, ia menemukan bagaimana bentuk operasional dari istilah yang semestinya plesetan dari ujung tombak itu, yaitu ujung tombok.

Merasa sebagai Tukang Tombok

"Nombok apa yang telah kamu lakukan kok tega memberi stempel sebagai ujung tombok?" kata saya suatu ketika di sela-sela ia bercerita yang tiada hentinya.

"Paling banyak tugas dan waktu Gus." katanya dengan segera. Dari semangatnya bercerita, tampak sekali bahwa ia sedang mencari katarsis untuk menumpahkan apa yang dianggapnya sebagai kendala tentang tugasnya sebagai guru di sekolah.

"Tugas, karena ketika teman yang lain sudah tidak ada lagi hal ihwal yang harus mereka selesaikan, tetapi untuk saya belum. Selain harus pulang terlambat, juga kadang harus keluar dana untuk keperluan sebuah tugas agar lekas selesai." jelasnya lebih lanjut.

"Jadi ada semacam keluhan dengan apa yang kamu sampaikan ini?" desak saya. Saya ingin mengetahui apa yang sesungguhnya menjadi motivasinya untuk menganggab dirinya sebagai ujung tombok kepada saya kala itu. 

"Tidak juga Gus. Tapi paling tidak itulah yang menjadi kenyataan akan apa yang menjadi tugas sebagai guru di desa." jelasnya lebih lanjut.

Saya, tidak terlalu merasa bahwa apa yang sedang disampaikan oleh teman itu adalah sesuatu yang mengharuskan saya untuk memberikan empati. Karena memang bukan itu, tampaknya, yang sedang kawan saya inginkan. Tetapi semacam letupan, atau mungkin semacam pemberitahuan bahwa bahwa ia sekarang sedang memiliki tugas tambahan di bandingkan dengan tugas teman-teman guru sejawatnya di sekolah.

Mungkin semacam pemberitahuan. Pemberitahuan bahwa ia sedang menjadi bagian penting dari lembaga dimana ia berada selama ini. Jadi, pemberitahuan yang pastinya tidak membuatnya menarik istilah dan sekaligus stempel tentang dirinya yang menjadi ujung tombok!

Jakarta, 16 September 2013.

Melatih 'Sengsara'

Apakah sekolah yang melatih anak didiknya untuk menyapu dan mengepel lantai yang ada plasa yang ada di sekolah justru dibaca oleh orangtua dan masyarakatnya sebagai melatih anak didiknya untuk menjalani hidup 'sengsara'? Setidaknya inilah yang menjadi renungan saya dalam dua hari yang lalu. Ini karena ada dua hal yang menyangkut dengan belajar hidup 'sengsara' yang saya dapatkan. 

Bangganya Orangtua

Yang pertama adalah pertemuan saya dengan seorang orangtua alumni yang menceritakan bagaimana ia harus 'merelakan' sulungnya untuk hidup 'menderita' bersama program sekolah yang ada. Ini berkenaan dengan keikutsertaan ananda untuk hidup bersama di sebuah desa di Jawa Tengah. Sulungnya harus menjadi bagian dari keluarga minus selama lebih kurang empat hari. 

Minus, karena keluarga tersebut tidak memiliki kamar mandi dan toilet yang terletak di dalam bagian rumah induk. Juga masih memasak menggunakan kayu bakar. Semua keperluan rumah tangga seperti mencuci, menyeterika, memasak makanan, semua tanpa menggunakan alat modern. Dan lebih 'menderita' lagi, karena dari Jakarta menuju ke lokasi program yang berada di ujung timur Provinsi Jawa Tengah, hingga pulang kebali ke Jakarta, menggunakan transportasi kereta api dengan tarif Rp 50,000!

"Kalau begitu Ibu dong yang harus belajar. Jadi tidak saja si Sulung?" Kata saya mengomentari cerita sang bunda.

"Betul Pak. Kami sebagai orangtua harus merelakan." Jawab sang Bunda dengan mantap. Tampak nada keyakinan dari sang Bunda.

Kegiatan yang memberikan pengalaman berbeda seperti apa yang dilakukan sekolah dimana si sulung itu berada,  pasti menjadi pengalaman yang sangat idak akan pernah terlupakan bagi si anak. Dan pengalaman ini bisa dilihat dari berbagai sudut. Ia akan menjadi positif jika kita melihatnya agar supaya anak dan generasi mendatang lebih bisa menghargai apa yang ada di sekitarnya.

Tetapi juga dapat menjadi negatif jika itu dilihat sebagai bagian dari penderitaan dan bullying. Atau bahkan mungkin HAM anak?

Belajar Ngepel Lantai

Yang kedua adalah bagaimana anak-anak kelas 3 SD ketika mereka belajar tentang kebersihan. Selain guru menjelaskan tentang konsep bersih di dalam kelas, maka anak-anak diberikan proyek untuk membersihkan beberapa bagian sekolah. Ada kelompok yang kebagian membersihkan perpustakaan sekolah. Ada juga yang kelompoknya mendapat jatah untuk membersihkan plasa sekolah.

Bagaimana mereka melakuan praktek kebersihan itu? Yang di plasa sekolah, mereka akan menyapu lantai, mengelap seluruh perabot yang ada dengan kanebo yang sudah dibasahi terlebih dahulu, dan yang terakhir mengepel lantai.

Dan ketika saya melihat, maka tampak;  Bagaimana kikuknya anak-anak itu ketika harus mengarahkan kotoran saat menyapu?  Bagaimana ketika ia harus berjalan mundur saat mengarahkan kain pel yang juga harus diperas terlebih dulu setelah dibersihkan dalam air?  Juga bagaimana ia harus mengelap permukaan perabot yang ada dengan kanebo?

Jakarta, 16 September 2013.

Burung, Sudi Bersarang di Halaman Sekolah Kami

Saya menemukan sarang burung di halaman belakang sekolah kami. Ini tentu menjadi kabar menyenangkan, khususnya untuk saya sendiri, karena kesukaan saya untuk menitipkan tanaman yang saya anggap baik untuk di tanam di halaman sekolah. Disana antara lain ada pohon kepel, pohon kelapa puyuh dan cengkir, juga berbagai jenis pohon yang ketika saya tahu bahwa pohon tersebut belum ada di sekolah, saya pun segera untuk menanamnya. Termasuk juga pisang kepok kuning dan pisang tanduk, yang pernah berbuah lebat. Sekarang, kami sedang menunggu lebatnya daun dari dua jenis pohon cincau.

Dan selain pohon-pohon yang saya titip itu tumbuh dengan menggembirakan, ada beberapa yang dikemudian hari saya menemukan sesuatu yang membuat saya semakin takjub. Seperti yang baru-baru ini kami temukan, berupa sarang burung. Yang melihat karakternya, tampaknya sarang burung prenjak. Dan supaya sarang itu ditempati hingga telur-telurnya tumbuh menjadi generasi baru, saya memberikan 'pengumuman' kepada para penguasa taman agar menjaga sarang itu. Jangan diusik.
Di balik daun yang terlipat itulah posisi sarang burung itu.


Ini menjadi kegembiaraan saya mengingat di luar halaman sekolah yang kebetulan terdapat taman kota, sering saya ketahui beberapa orang yang begitu sabar berjalan mengamati 'pergerakan' burung-burung liar. Dan menurut kawan di sekolah, mereka itu adalah para penangkap burung liar.


Jadi, meski bukan sesuatu yang dahsyat, layak bila saya menuliskan temuan saya ini sebagai bagian dari catatan perjalanan. 

Jakarta, 16 September 2013.