Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

14 April 2015

"Kami dari Pagi Pak"

Sedikit tidak enak ketika ada permohonan di dalam forum rapat sebuah sekolah agar pelaksanaan rapat tidak perlu memakan waktu lama  sehingga rapat-rapat yang diselenggarakan hingga kumandang azan magrib. Dan permohonan itu mengisyaratkan agar rapat dapat berlangsung hingga jam kantor usai.

Mengapa? Karena rapat yang harus mengundang nara sumber dari luar sekolah itu hanya bisa berlangsung mulai pukul 15.00, dengan menyesuaikan waktu yang ada pada nara sumber. "Usahakan dapat dimulai seusai jam makan siang Pak. Karena kami sudah ada di kantor sejak pagi." Begitu permohonan yang terlontar sebelum rapat benar-benar ditutup oleh moderator yang berasal dari sekolah.

Sebagai nara sumber dalam diskusi tersebut, saya hanya senyum. Tidak ada komentar. Justru moderator mencoba memberikan konfirmasi dengan kata-kata bijaknya; "Baik Bu. Untuk pertemuan berikutnya kami coba diskusikan dengan Pak Agus kapan kira-kira waktu yang pas. Sehingga dapat berlangsung sejak pukul 12.00." Dengan komentar terakhirnya itu, rapat dibubarkan. dan semua peserta rapat meninggalkan ruang rapat.

Saya dan teman-teman yang masih berkemas-kemas dengan komputer presentasi serta peralatan lainnya, mencoba mendiskusikan pertemuan berikutnya sebagai bagian dari usaha yang digagas Yayasan pengelola sekolah tersebut untuk mentransformasikan diri. "Bagaimana kesan pertama Pak Agus? Apakah satu sesi cukup untuk memberikan gambaran kepada Bapak kemana dan bagaimana perjalanan yang harus kami tempuh? Karena sesi pertama ini berisi manajemen sekolah Pak." Kata salah seorang pengurus Yayasan yang menggagas atas semangat transformasi ketika melihat fenomena penurunan minat masyarakat terhadap sekolahnya. 

Saya sebagai orang luar dan diminta membantu menuju jalan yang diinginkan bersama, banyak belajar dengan pertemuan kami di sesi pertama tersebut. Sesi yang juga memberikan kepada saya tentang nuansa atau aroma mana saja yang dapat menjadi domain transformasi lembaga tersebut. Namun demikian saya menahan diri untuk menyampaikan penilaian karena ini memang masih dan baru pertemuan tatap muka pertama. Saya membutuhkan pembuktian yang berupa fakta di sesi dan pertemuan diskusi selanjutnya.

Jakarta, 14.04.14

Sertifikasi Guru #9; Guru 'Andalan' Sekolah

Jika ada klasifikasi guru di sekolah, mungkin akan ada klasifikasi guru yang dapat menjadi 'andalan' sekolahnya. Ini tidak lain adalah guru yang sedikitnya memiliki kompetensi akademik bagus , memiliki  pengalaman sebagai guru yang lumayan panjang, mendapatkan pelatihan profesional yang baik setidaknya melalui porto folio atau PLPG,  dan paling utama, sudah memperoleh sertifikat sebagai guru profesional!

Teman-teman guru yang telah tersertifikasi ini memang layak menjadi andalan sekolahnya seperti tidak pernah memberikan limpahan masalah kepada kolega dan kepala sekolahnya dalam mengejawantahkan kerja profesionalismenya dalam mengemban tugasnya. Inilah salah satu klasifikasi guru yang ada di sekolah kita. Kepada merekalah seharusnya guru-guru kita yang masih junior dapat melihat, mengobservasi, berkaca, serta menimba ilmu. 

Impian?

Terlebih bagi sekolah swasta yang memang harus berdaya saing above average, sebagai upaya kerasnya dalam mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, sehingga masyarakat tetap akan memilih sekolah tersebut bagi anak-anak dan hadaitolannya. Dan inilah yang menjadi impian untuk kita semua atas hasil dari sertifikasi guru yang setiap triwulannya mendapat tunjangan dari APBN.

Sebagai andalan bagi sekolah, tentunya kelompok ini benar-benar dapat menjadi cermin profesi guru yang dapat digugu dan ditiru. Sungguh menjadi bantuan sekaligus solusi bagi sekolah. Dan impian ini semoga benar dalam ranah operasionalnya di sekolah dan kelas-kelas kita. Semoga. Amin.

Jakarta, 10-14.04.2015.

10 April 2015

Sertifikasi Guru #8; Peran Pengawas

Berkenaan dengan kejujuran akan data yang berasal dari sekolah dalam hal sertifikasi guru, saya menganggap peran Pengawas Pendidikan adalah pilar utamanya. Ini tidak lain karena Pengawas Pendidikan juga adalah bagian dari Guru Sertifikasi dalam Jabatan yang juga harus memiliki data profesionalisme yang lengkap. Maka keberadaan Pengawas Pendidikan untuk melakukan pengecekan, atau verifikasi atas kebenaran data di lapangan (baca: sekolah), adalah vital adanya.

Struktur Kurikulum dan Jadwal Pelajaran

Saya sedang membayangkan apa yang dapat saya lakukan untuk keperluan verifikasi data yang utuh dan jujur di suatu sekolah ketika saya hadir di dalamnya sebagai Pengawas Pendidikan. Konsepnya adalah; tidak ada ketidakjujuran yang sempurna. Atau kalau dalam pernyataan terakhir Kepala Sekolah sebelum mereka benar-benar mengirimkan data on line  (memencet tombol YA) ke Dapodik Depdikbud, adalah rekayasa. Lalu apa modal saya?

Pertama, adalah data sekolah yang terkirim di Dapodik. Saya harus mempunyai data atau dokumen yang akan saya verifikasi ketika saya datang ke sekolah yang menjadi obyek verifikasi tersebut. Tentu setelah ini saya datang dan berada di sekolah obyek tersebut. 

Kedatangan saya ini tentunya menjadi bagian dari pelaksanaan tugas saya untuk melakukan pengawasan, pengayoman, dan tentunya pendampingan ke arah kebaikan. Untuk itu apa yang sedang saya jalankan tersebut sebagai bagian penting bagi pelunasan kewajiban saya untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi bukan?

Kedua, adalah meminta struktur kurikulum dan jadwal pelajaran di sekolah. Ini juga dilengkapi dengan tinjauan lokasi sekolah sekaligus menemui guru-guru yang ada di kelasnya ketika melaksanakan pembelajaran. Dengan ini saya juga dapat memastikan berada jumlah rombongan belajar di sekolah tersebut dan sekaligus menemukan kecocokan data yang telah dikirim kepala sekolah ke Dapodik dengan realitas di lapangan. 

Kegiatan ini pasti menjadi sumber informasi bagi saya untuk memastikan siapa saja guru yang berhak memperoleh tujangan sertifikasi di sekolah tersebut. Sehingga tidak akan ada guru yang kurang jam tatap mukanya di kelas memperoleh tunjangan sertifikasi karena kekurangannya mendapat sumbangan dari guru muda yang belum tersertifikasi atau dari guru honor di sekolah tersebut. Atau praktek lain yang menjadi trik umum di sekolah, yang pada intinya adalah rekayasa data.

Ketiga, mungkin setelah saya selesai melakukan verifikasi dan memastikan bahwa data yang saya verifikasi sudah valid, maka saat berpamitan dengan kepala sekolah ada baiknya jika saya menyampaikan bahwa, kejujuran data yang dibuat oleh guru, kepala sekolah, dan semua perangkatnya, adalah pintu gerbang bagi keberkahan ketika APBN mngucurkan tunjangan sertifikasi tersebut. Semoga.

Jakarta, 7-10.04.2015.

07 April 2015

Sertifikasi Guru #7; Data yang Jujur

Catatan kali ini saya akan mulai dari kiriman foto WA teman tentang pernyataan kejujurannya pada saat menandatangani verifikasi data sekolahnya. Tidak lain berkas yang harus ia tandatangani adalah berkas sertifikasi guru untuk syarat turunnya tunjangan guru profesional triwulan pertama tahun 2015. 

Beginilah bunyi WA yang saya kutip:

Saya kepala sekolah ............    menetakan bahwa data yang dikirimkan ke server Dapodikdas Kemendikbud adalah benar sesuai dengan fakta di sekolah yang saya pimpin. Apabila terjadi rekayasa data maka saya bersedia dikenakan sanksi moral, sanksi administrasi serta tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Data ini sudah diperiksa kebenarannya oleh pihak sekolah untuk diperbantukan dikirimkan oleh operator sekolah.

Tertanda Kepala Sekolah,
........... (Nama Sekolah)
........... (Nama Kepala Sekolah)

Ya            Tidak

"Bagaimana menurut Bapak dengan komitmen yang harus saya penuhi sebelum semua saya kirimkan sebagai data guru untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi?" Tanya teman saya kepada saya via telepon. Dia bertanya dengan kalimat seperti itu sesungguhnya sedang meminta penegasan kepada saya untuk menjawab bahwa kita harus jujur. Dan itu nampak menjadi tuntutan dia kepada saya, setidaknya nanti saya dapat memberikan dukungan argumentasi ketika dia harus berhadapan dengan teman-teman guru profesional di sekolahnya, yang masuk dalam golongan senior.

"Apa yang Ibu sedang butuhkan dari saya? Apakah sekedar pendapat untuk mengatakan jujur? Atau mungkin seharusnya ada hal lain yang Ibu tuntut dari saya?" Tanya saya sedikit menantang. Tujuannya tidak lain agar teman saya ini berani mengatakan apa yang semestinya menjadi haknya untuk mendapat dukungan dari saya sebagai seniornya.

Akhir cerita, kami sepakat untuk benar-benar memberikan data yang memang apa adanya. Dan sebagaimana yang sudah ia dan saya duga, kami harus memberikan penjelasan dengan berbagai gaya bahasa dan dari semua ranah pemikiran yang baik-baik. Termasuk juga harus mengatakan satu kata; tidak, ketika ada senior lain yang ternyata tidak masuk di akalnya apa yang telah kami jelaskan.

Itu semua karena kami yakin sekali bahwa jujur adalah pintu gerbang keberkahan. Semoga. Amin.

Jakarta, 7 April 2015.

Sertifikasi Guru #6; Dapodik dalam Sertifikasi Guru

Lagi-lagi catatan saya tentang sisi sertifikasi guru sebagai pelaku pendidikan di lembaga swasta. Yaitu berkenaan dengan data pokok pendidikan yang menjadi dasar perhitungan beban mengajar, tatap muka, guru di sekolah. Dengan data yang menjadi standar pendidikan di NKRI, maka data itulah yang menjadi acuan bagi perhitungan perhitungan jumlah guru. Tentunya dengan rata-rata jumlah mengajar tatap muka paling sedikit 24 jam pelajaran per pekan.

Bahwa data itu berbasis kepada struktur kurikulum yang berlaku di Indonesia, yang adalah standar nasional. Dan berbasis ini pulalah maka pemerintah dapat dengan mudah, terstandar, dan akurat  dalam memverifikasi guru sebagai penerima tunjangan sertifikasi. Tentunya setelah diperhitungkan juga jumlah rombongan belajar serta jumlah siswa dalam setiap rombel yang ada.

Diversikasi Sekolah Swasta

Mengapa ini menjadi bahan catatan saya disini? Karena inilah yang justru menjadikan perbedaan bagi kami yang berada di sekolah swasta dengan sekolah pemerintah. Ini karena kami yang sekolah swasta, untuk jenjang sekolah dasar atau SD, terdapat jumlah jam belajar lebih dibanding yang distandarkan di struktur kurikulum. Jumlah jam belajar tersebut kami alokasikan kepada mata pelajaran Pendidikan Agama dan Bahasa. 

Tambahan jam pelajaran di mata pelajaran tertentu tersebut adalah bagian dari ikhtiar kami sebagai sekolah swasta untuk mendiversifikasi program sekolah. Ikhtiar ini tidak lain adalah usaha kami dalam mendongkrak daya saing sekolah sehingga membuat kami berbeda. Harapan kami, keberbedaan ini menjadi bagian dari daya tarik masyarakat kepada sekolah sehingga income sekolah, sebagai unsur utama dalam operasionalisasi dan kesejahteraan guru dan karyawan terjamin dan berkelanjutan. 

Walau harus diakui bahwa tidak hanya berbentuk jumlah waktu belajar saja yang membedakan kami dengan sekolah lain. Tetapi jika berbicara tentang sertifikasi guru dan Dapodik, maka jumlah waktu dan jam belajar siswa menjadi hal yang penting. Karena makna dari dasar pergitungan jumlah guru sertifikasi yang akan terverifikasi sebagai penerima tunjangan guru profesional berdasarkan dapodik pemerintah, berbeda dengan apa yang terjadi di sekolah kami. 

Implikasi dari ini adalah, jika berdasar pada Dapodik yang ada sekolah kami membutuhkan jumlah guru bahasa 1,5 guru, maka realitas di sekolah kami adalah 2 guru. Demikian pula dengan guru Pendidikan Agama.

Jakarta, 4-7.04.2015.

02 April 2015

Sertifikasi Guru #5; Setifikasi Guru = Mutu Guru

Lagi-lagi saya mencatat betapa memiliki guru yang sudah sertifikasi bukan jaminan sebagai kualitas atau mutu. Dan, antara lainnya, atas dasar fakta inilah maka memasukkan data jumlah guru yang telah tersertifikasi sebagai benefit atau nilai tambah di hadapan para orangtua siswa ketika pertemuan bersama mereka, bagi saya yang berada di lembaga pendidikan swasta, sungguh membuat kawatir. Mengapa? Karena  data guru yang tersertifikasi tidak, atau tepatnya belum,  memberikan jaminan mutu. Dan ini pulalah yang saya baca dari sebuah laman pemerintah yang mengurus tentang sertifikasi guru di Indonesia. 

Dibandingkan tahun anggaran 2014, tunjangan Sertifikasi Guru tahun 2015 mengalami kenaikan sekitar 32 Persen. Padahal pada tahun 2013, anggaran tunjangan profesi mencapai Rp. 43,1 triliun. Pada 2014 menjadi Rp. 60,5 triliun dan pada 2015 naik lagi menjadi Rp. 80 triliun. 

Menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP dan PMP) Kemdikbud Prof. Syawal Gultom, bahwa Kenaikan tersebut memang sangat beralasan mengingat anggaran tunjangan profesi guru setiap tahunnya selalu bertambah. 

Pembayaran tunjangan profesi guru tahun 2015 yang mencapai Rp80 triliun rinciannya adalah Rp. 72 triliun untuk tunjangan untuk tahun berjalan dan Rp. 8 triliun untuk tunjangan tahun 2014 yang belum ditransfer ke daerah.

Menurut Dirjen Pendidikan Dasar Kemdikbud Hamid Muhammad di Jakarta, bahwa pembayaran tunjangan profesi guru untuk tahun 2015 yang mencapai Rp80 triliun sama dengan anggaran Kemdikbud per tahunnya. Jumlahnya terus meningkat dan menyedot APBN. Namun sayangnya, peningkatan budget pembayaran tunjangan guru itu tidak diimbangi dengan peningkatan mutu guru, demikian menurutnya.

(Sumber: http://www.sertifikasi-guru.com/2015/01/tunjangan-sertifikasi-guru-tahun-2015.html).

Jakarta, 2 April 2015.

31 March 2015

Sertifikasi Guru #4; Guru Sertifikasi, Aset atau Beban?

Sebagai sekolah swasta, keberadaan siswa yang cukup dalam setiap kelasnya sesuai dengan target atau standar yang telah dibuat,  adalah sebuah gambaran nyata bagi keberlangsungan hidup sekolah tersebut. Terlebih lagi dengan sekolah swasta yang menolak untuk menerima dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, dana yang berasal dari sumbangan masyarakat, dalam hal ini melalui uang sekolah yang berasal dari siswanya, menjadi satu-satunya sumber dana mulai dari dana investasi, kepegawaian, hingga operasional sekolah secara keseluruhan.

Atas dasar pemikiran itulah maka sekolah-sekolah swasta harus mengembangkan diri untuk berbeda dalam segi kualitas. Karena hanya dengan pembeda itulah, maka masyarakat akan terus mempercayakan pendidikan putra-putrinya ke sekolah tersebut untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas, berbeda dengan sekolah-sekolah lain. Konsep inilah yang kemudian melahirkan daya saing untuk setiap sekolah.

Kemampuan berdaya saing inilah yang kemudian menjadi sumber vitalitas bagi sekolah tersebut dalam mempertahankan, atau bahkan terus mengembangkan diri dalam meraih reputasi di mata masyarakat yang menjadi market-nya.

Dalam ranah pengembangan daya saing itulah maka sekolah-sekolah swasta berlomba untuk berkualitas jika memang kelanggengan menjadi tujuan. Maka tidak heran bila sebuah sekolah swasta yang mampu akan memenuhi standar sarana dan prasarana belajarnya sesuai dengan standar sekolah yang telah dibuat oleh pemerintah.

Dan bahkan, untuk meraih daya tawar tersebut, sekolah juga melirik program-program yang menjadi penarik minat bagi masyarakat pengguna sekolah. Seperti kurikulum yang berasal dari luar negeri untuk diadopsi. Atau juga usaha lain yang pada ujungnya adalah menjaga reputasi sekolah agar sekolah mampu bersaing.

Guru?

Lalu bagaimana dengan posisi guru sebagai salah satu sisi daya saing dari sebuah persaingan tersebut? Tidak bisa tidak, ia adalah bagian yang paling vital. Karena sebaik dan bahkan semewah apapun saran dan prasarana sekolah yang ada, kurikulum luar negeri yang diadopsi sekolah, tetapi semua berujung kepada guru. Karena guru akan menjadi pengguna sarana tersebut, akan mengoperasionalkan kurikulum yag diadopsi, dalam setiap interaksinya dengan para peserta didiknya.

Dan di sekolah, guru-guru yang telah memiliki latar belakang mengajarnya lebih dari belasan tahun, merekalah kelompok guru yang telah menerima sertifikat sebagai guru profesional dari pemerintah. Sebuah status yang kemudian akan mendapatkan tunjangan profesi dari APBN, yang normalnya keluar setiap tiga bulan sekali.  Dan sekolah-sekolah swasta yang telah berusia, pasti akan memiliki guru tersertifikasi sebagai guru profesional dengan presentasi lebih banyak dari komunitas guru yang ada. 

Pertanyaannya: apakah guru sertifikasi itu benar-benar profesional sebagai sertifikat yang disandangnya sehingga mereka menjadi aset bagi sekolahnya dalam menjaga reputasi sekolahnya? Atau justru kelompok itulah yang sebagian besarnya menjadi beban bagi keberlangsungan sekolahnya?

Inilah sebuah pertanyaan tidak mudah bagi setiap sekolah swasta. Dan dari sisi ini jugalah kita seharusnya berangkat untuk benar-benat mewujudkan bahwa guru sertifikasi itu bukan sekedar guru profesional dalam status sebagai sertifikat yang dimilikinya. Tetapi memang itulah yang terjadi di lapangan. Ini menjadi alasan kuat karena guru sertifikasi adalah guru yang sebagian besarnya sebagai guru yang senior di lembaganya. Maka layak pula jika kepada mereka teladan profesional itu hidup setiap harinya. Amin.

Jakarta, 31 Maret 2015.

26 March 2015

Proposal Transformasi

Suatu malam, disebuah ruang pertemuan, saya terlibat dialog dengan teman tentang bagaimana 'ruh' transformasi menjadi langkah awal yang tercermin dalam sebuah proposal kegiatan di sekolah. Pemikiran ini lahir ketika dalam setiap Permohonan Uang Muka atau PUM untuk sebuah kegiatan di sekolah mensyaratkan pembuatan proposal kegiatan yang dibuat oleh panitia kegiatan dan disetujui oleh Kepala Sekolah.

Akan tetapi, proposal kegiatan yang dibuat oleh panitia kegiatan yang berlangsung dari tahun ke tahun seperti tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas dari kegiatan yang berlangsung. Ini bermakna juga bahwa kegiatan-kegiatan yang berlangsung dari tahun ke tahun di sekolah hanya merupakan kegiatan reguler. Sebuah rutinitas yang berulang.

Apa indikasi dari pernyataan tersebut? Bagi saya, indikasi yang paling mencolok adalah bahwa rencana kegiatan yang sudah tertuang dalam proposal yang dibuat panitia kegiatan, sudah memberikan gambaran akan seperti apa kegiatan tersebut berlangsung. Bahkan, sembari berkelakar, teman kepala sekolah saya itu berkata; "Gambaran hasil kegiatan yang akan dilaksanakan saya sudah tahu Pak. Padaha kegiatan baru akan berlangsung satu pekan yang akan datang" Katanya dengan percaya diri yang penuh.

"Apa kira-kira yang dapat ibu ambil contoh dari pernyataan Ibu seperti itu?" Tanya saya meminta konfirmasi dan penjelasan lebih lanjut. 

"Karena sejak rapat pertama panitia, dimana saya ada di dalamnya sebagai peserta, beberapa masukan untuk merubah format kegiatan yang disampaikan oleh anggota panitia tidak diakomodasi Pak. Bahkan ketua panitia memberikan statmen kalau mereka tidak perlu membuat kagiatan yang melibatkan anak-anak dengan format yang beda dan aneh-aneh. Itu hanya akan merepotkan." Kata Ibu Kepala Sekolah itu. 

"Pernyataan ketua panitia itu sudah cukup buat saya bahwa kegiatan akan berlangsung sebagaimana yang berlangsung tahun lalu. Tidak ada kemauan apa lagi keberanian untuk merubah." Lanjutnya lagi.

Apa yang menjadi penjelasan Ibu Kepala Sekolah itu cukup buat saya untuk melihat bahwa dalam langkah awal sebuah kegiatan, seperti misalnya pada saat diskusi perumusan pembuatan proposal dalam sebuah kegiatan, semangat transformasi sudah dapat memberikan harapan akan adanya sesuatu yang berbeda. 

"Jika ide-ide segar diakomodasi dan menjadi format kegiatan yang berbeda dengan tahun sebelumnya, maka itu sudah memberikan angin segar bagi sebuah semangat transformasi." Jelas Ibu Kepala Sekolah itu lebih lanjut. "Maka saya hadir di forum semacam itu untuk memastikan bahwa gagasan bagus meski akan membuat format kegiatan rutin berubah, akan menjadi perhatian saya Pak Agus. Dan saya membantu panitia tersebut merumuskan proposal kegiatan lama dengan format baru yang dapat menggambarkan bagaimana bentuk operasional dari konsep yang disampaikan." Katanya lagi.

Itulah yang mereka sebut sebagai proposal transformasi di sekolah mereka. Karena sejak curah gagasan hingga kegiatan usai dilaksanakan, seluruh personal yang ada di dalamnya berhak untuk memberikan kontribusi. Sehingga ketika kegiatan dimaksud terlaksana dengan baik, itu menjadi miliki mereka bersama. Maka tidak salah bila proposal kegiatan sekolah yang mereka sebut sebagai proposal transformasi tersebut menjadi wahana dalam mengembangkan kompetensi personel yang ada di dalamnya. 

Dan saya, sebagai bagian dalam dialog tersebut, memetik pelajaran baik bagi pengembangan kualitas guru dan karyawan di sekolah dimana saya berada di dalamnya. Semoga. 

Jakarta, 26 Maret 2015.

Berpengetahuan = Berpikir Kritis?

"Begitu hebatnya Bapak itu. Bagaimana tidak, dalam satu wadah air minum, beliau menawarkan kepada tamunya air minum rasa apa yang diinginkan. Lalu beliau tuang." Kata sahabat saya berapi-api menguraikan kisahnya di suatu sore kepada kami ketika sedang menikmati waktu luang dengan berdiskusi utara-selatan atau ngalor-ngidul kalau menurut istilah jawa. Dikatakan diskusi utara-selatan karena memang topik yang menjadi perbincangan kami bebas. Boleh apa saja. Kebetulan saja ketika sahabat saya sedang menyampaikan kisahnya itu, ia sedang menceritakan pengalamannya ketika hidup masih diusia muda.

"Lalu mereka yang ingin minum soda atau teh atau kopi terpenuhi?" Kata saya penuh heran dan sekaligus terkesima dengan kisah sahabat saya itu. Dan tentunya tidak kalah semangatnya si sahabat saya ini ketika memberikan lanjutan kisahnya.

"Benar. Terpenuhi." Jawabnya dengan yakin dan sekaligus juga rasa bangga. Ekspresi rasa itu begitu jelas terlihat diraut mukanya yang begitu sumringah dihiasi dengan senyum.

"Pak Agus tidak percaya dengan apa yang saya sampaikan ini?" Sahabat saya tiba-tiba mengalihkan perhatiannya kepada saya yang kebetulan juga sebagai saksi dalam penyampaian kisah tersebut.

"Percaya itu bisa terjadi. Tetapi pasti itu bukan karena buah dari sebuah kelurusan. Saya yakin pasti bahwa itu terjadi karena izin Allah. Dan juga karena ada pihak lain yang ikut serta dalam kejadian semacam itu." Kata saya biasa saja. Mungkin karena biasa saja itulah ketika mendengar apa yang disampaikan kepada kami kisah tersebut sehingga membuat sahabat saya membidik saya.

"Maksudnya?" Sahabat saya masih belum puas atas apa yang saya sampaikan. Dan itu saya sadari sebagai hal biasa saja. Karena teman lain yang ada dalam diskusi tersebut semua enjadi terkesima akan kompetensi si Bapak yang menjadi pusat kisah sahabat saya tersebut. Sedang saya tanggapannya datar.

"Karena dalam sejarah yang saya baca, tidak ada Nabi dan sahabat-sahabatnya memiliki kompetensi yang ditampilkan di ranah publik dengan begitu enteng sebagaimana cerita barusan. Pertanyaan saya kepada Anda; Siapa yang menjadi anutan dalam kita mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat nanti?" tanya saya kepada semua yang ada.

"Ya tentu dan pasti Nabi kitalah. Bukan Bapak yang ada di cerita itu?" sambut teman saya yang lain yang juga ada di dalam forum tersebut.

Diskusi masih berlanjut. Tapi ada hal yang membuat saya menjadi yakin bahwa hafalan dan pengetahuan tentang sesuatu yang dimiliki seseorang, kadang belum membuatnya menjadi pemikir kritis. Mungkin...

Jakarta, 26 Maret 2015.

25 March 2015

M. Assad: Sukses sebagai Perjalanan

Selasa, 24 Maret 2015, saya beserta anak-anak SMP,  di ruang serba guna sekolah, menyimak dengan tekun apa yang menjadi visi dan misi tokoh muda, Muhammad Assad, M.Sc., yang antara lain menulis buku 99 Hijab Stories. Kegiatan ini berlangsung dalam rangka menginspirasi anak-anak SMP di Special Event yang bertema Moslem Fashion Week

Banyak cerita dan kisah yang disampaikan untuk menginspirasi. Juga pertanyaan yang disampaikan anak-anak, seperti apa misalnya tentang apa saja kunci sukses? Bagaimana menghadapi jatuh dan bagaimana usaha untuk bangkit lagi?
M Assad, ketika berbicara di hadapan anak-anak didik kami.
Dalam uraiannya, Muhammad Assad memberikan penjelasan bahwa yang dinamakan  sukses itu bukanlah sebuah tujuan. Sukses adalah sebuah perjalanan. Maka menjadilah pribadi yang memiliki ‘nilai’ yang baik sehingga dirasakan bagi orang banyak  yang ada di lingkungannya. Kejarlah sukses dunia dan akherat! Semoga. Amin.

Jakarta, 25 Maret 2015.

24 March 2015

'Cerdas Pendengaran'

"Pak bagaimana saya dapat melakukan apa yang Bapak sampaikan itu semua kalau program yang Bapak susun itu tidak ada yang menyentuh kami, atau setidaknya saya." Demikian seorang teman guru menyampaikan pendapatnya di sebuah forum diskusi yang kebetulan saya ikut serta hadir di dalamnya. Kata-katanya terasa cerdas dan berbobot. Saya mencoba mencerna saja kata-kata itu. Sebagaimana kata-kata lain yang bergantian mengudara di ruangan diskusi guru tersebut.

Diskusi tetap berlangsung setelah pertanyaan dan pendapat yang disampaikan mendapat jawaban atau penegasan dari para nara sumber. Termasuk juga pendapat yang sudah saya kutip di atas. Mendapat jawaban yang baik menurut saya. Walau terus terang konteks dari makna yang tersembunyi itu tetap bukan menjadi pemahaman saya.

"Bapak dan Ibu sekalian, jangan pernah kita untuk naik kelas, untuk meningkatkan daya saing diri kita sendiri, harus bergantung dari program atau uluran tangan lembaga atau orang lain. Konsepkan bahwa daya saing kita di masa depan adalah hasil dan buah dari jerih payah kita hari ini. Juga jangan sampai ketika kita menunggu kesempatan program pengembangan itu tidak datang-datang, tetapi justru kitalah sebenarnya yang paling banyak menikmati program pengembangan dari lembaga tersebut?"

Jawaban itu mengalir begitu saja. Penggalan kalimat pertama saya setuju sekali. Bukan karena memang begitu konsep yang seharusnya. Tetapi juga masuk akal sehat saya. Namun penggalan kalimat yang kedua atas jawaban itu, saya tidak atau setidaknya belum faham konsepnya.

"Itu karena Ibu yang bertanya tersebut adalah guru yang selama ini mendapat tugas dari sekolah untuk mendampingi peserta didiknya ke luar negeri." Jelas teman diskusi saya yang berada di satu atap dimana si penanya tersebut bertugas sehari-hari sebagai guru.

"Jadi jawaban tersebut justru mengenai pada apa yang sedang di ungkapkan tersebut. Tetapi kalau telinganya juga cerdas menangkapnya." Lanjutnya.

Saya hanya diam saja. Karena saya memiliki konsep pengembangan diri pada diri saya sebagai bekal untuk meningkatkan daya saing saya adalah mulai dari diri saya sendiri, sekarang juga, dan awali pengembangan itu dari yang paling mungkin dilakukan!

Jakarta, 24 Maret 2015.

Bersih dan Sekaligus Santun

Pagi ini, Sabtu, 21 Maret 2015, melalui berita on line saya disuguhi berbagai judul berita yang mengulas sosok pemimpin yang nampaknya  bersih dan tegas tetapi sering mengeluarkan kata kasar. Sebagiannya mungin ada yang memaknai bahwa kata-kata tersebut  bukan kasar, tetapi tegas. Apapun kata-kata yang terlanjut terucap itu telah masuk dalam ranah sosial, misalnya saja yang berada di saluran tivi, maka kita sebagai warga yang berada di depan tivi tentu akan tahu kata-kata yang dimaksud. Bahkan kita pun dapat menyimpan kata-kata yang terucap sekaligus bentuk ekspresi yang mengucapkanya dalam file. Karena semua itu sekarang ini memungkinkan untuk dilakukan.

Catatan saya ini bukan akan mencatan bagaimana dan seperti apa kata-kata pemimpin yang diindikasi bersih dan jujur serta tegas itu. Tetapi akan melihat bagaimana kita belajar dan menyerap apa yang ada di lingkungan sekitar kita sebagai sumber belajar. Dan kita yang saya maksudkan bukan saya saya dan Anda yang telah baligh usianya, tetapi semua kita yang dapat mengakses berita yang ada di udara kita masing-masing tanpa dibatasi usia dan jenjang pendidikan terakhirnya. 

Bahwa apa yang tertangkap oleh telinga dan mata, yang berasal dari lingkungan manapun itu telah masuk dalam kepala kita untuk dilakukan proses selanjutnya. Dan itulah yang oleh sebagian pendidik sebut sebagai kurikulum masyarakat. Yaitu kurikulum yang memberikan pengaruh kepada kita untuk sebagai wanaca saja, atau bahkan ada yang mengkloningnya. Menirunya untuk kemudian berlanjut sebagai perilaku. Maka lahirlah perilaku pongah. Jadi sudah bukan lagi sekedar pada tataran perilaku sombong atau angkuh saja, tetapi lebih dari itu, pongah. Sebuah kata yang pernah saya dengar dari Bapak Mantan Bupati Solok, dan Gubernur Sumatera Barat, serta juga mantan Menteri Dalam Negeri Indonesia.

Santun

Atas dasar catatan sekelumit itulah saya justru sedang merindukan seorang pemimpin yang jujur atau bersih, juga tegas dan komitmen dalam apa yang pernah disampaikan kepada kami semua sebelum menjadi pemimpin, dimana langit pernah mencatatnya, namun sekaligus ia adalah sosok yang luar biasa santun.

Semoga.

Jakarta, 21-24 Maret 2015.

20 March 2015

Jujur Paripurna

"Pak, minta info ya, apa yang seharusnya menjadi langkah kita pada posisi seperti ini?" Begitu permohonan salah satu anggota Satpam sekolah kepada saya di suatu pagi ketika kedatangan tamu yang bertanya tentang alamat seseorang. Lalu kami sedikit berdiskusi tentang persoalannya kepada mereka.

"Mohon maaf bahwa kita tidak mungkin memberikan bantuan. Mengingat ini persoalan ayah dan Ibunda peserta didik. Jadi sekolah berkewajiban untuk tidak memberikan bantuan kepada pihak ketiga." Begitu jawaban saya kepada Satpam tersebut untuk menjadi pijakan ketika ia harus bertemu dengan seorang tamu istimewanya.

Anehnya, beberapa waktu setelah berlalu, datang kepada saya guru untuk menyampaikan informasi bahwa ayah dan ibunda anandanya sudah menyelesaikan semua kewajiban dan persoalan, dengan status seperti itu maka mereka tidak merasa kawatir jika ada tamu istimewa ke sekolah anandanya untuk mencari-cari informasi. Ternyata? Semua adalah langkah menghilangkan jejak buruk yang ada di belakang. Tujuannya tidak lain adalah menutupi apa yang memang sesungguhnya terjadi.

Dan ini, menjadi pembelajaran yang lain buat saya dari sebuah perjalanan kehidupan yang selalu saya jalani bersama teman-teman saya yang baik. Harapan saya dan teman adalah lahirnya sebuah kesadaran bahwa; mendidik anak itu adalah bagaimana orangtua mengelola kehidupan keluarganya sehari-hari secara apa adanya. Itulah jujur yang paripurna.

Jakarta, 20 Maret 2015.

'Simpanan' Sebatas Angan

"Apakah masih bisa diundur hingga 10 hari ke depan ya Pak? Mengingat proyek saya sudah gol semua tetapi hanya kesulitan dalam pencairan dananya. Mudah-mudahan dalam sepuluh hari ke depan dana-dana saya sudah cair dan dapat segera menunaikan semua tugas saya yang masih menggantung." Kata seorang Bapak kepada seorang Bapak yang lain, yang selama ini telah berkontribusi dalam kelancaran transportasi anandanya.

"Ketika mendapat pesan seperti itu saya benar-benar bingung Pak. Mau apa lagi jawaban saya untuk Bapak itu. Bukankah kata-kata saya sebelumnya benar-benar telah jelas dan sangat mudah dimengerti?" Bapak itu mengadukan kapada saya suatu siang di halaman sekolah.

"Maka setelah menghitung-hitung berapa besar kontribusi yang telah saya berikan kepada Bapak itu dan keluarganya sejak tahun pelajaran yang lalu, maka saya bertekad untuk berani mengatakan tidak." Kata Bapak itu dengan raut muka yang tentunya tidak bahagia. Karena sebagai seorang pengemudi, mendapat langganan adalah sebuah anugerah. Dan anugerah itu selalu terbayang sebagai simpanan kelak ketika ditunaikan. 

Nyatanya? Simpanannya itu belum juga ditunaikan. Maka tidak ada kata lain selain mengatakan tidak. Meski masih ada janji baru, yaitu mundur sepuluh hari. Itulah yang akhirnya saya bilang kepada Bapak itu bahwa simpanannya masih sebatas angan. Semoga kelak dicukupkan Allah.

"Amin. Terimakasih Pak Agus."

Jakarta, 20 Maret 2015.

Bicara tentang Konten yang tak Difahaminya

Kami datang di ruang rapat hanya lima menit sebelum jadwal rapat, sebagaimana undangan yang kami terima kemarin siangnya. Berdua. Saya mewakili pihak yang menjaga secara operasional sekolah. Dan seorang yang menjadi atasan saya di yayasan, dimana kalau dalam struktur organisasi adalah sebagai pengelola sekolah. Ruang rapat berada di sebuah gedung bertingkat-tingkat yang kalau dilihat dari luar terlihat mentereng. Sedikit berbeda dengan apa yang ada di dalamnya. Mulai dari toilet dan rupa-rupanya.

Jangan kaget. Karena apa yang saya lihat pada saat rapat terakhir itu, ruangan sudah relatif rapi. Sekat-sekat ruang kerja para karyawan terlihat dan tertata rapi. Meski di setiap meja kertas-kertas, nampaknya dokumen penting, masih menumpuk. Tetapi yang paling menonjol selain dari penataannya adalah lenyapnya bau rokok dari ruang rapat. Pendek kata, apa yang saya alami dalam ruangan tersebut masih belum sinergi 'wah' nya dengan tampilan gedung tersebut dari luar.

Rapat dimulai setelah 45 menit jadwal dalam surat undangan yang kami terima. Artinya terlambat. Sebagai orang yang berasal dari luar institusi, kami berdua menunggu dan hadapi saja apa yang akan berlangsung. Dan, antara lain, kami melihat dan menonton sekaligus bagaimana gaya bicara yang mendekati duplikasi sebagaimana gaya bicara pemimpin mereka ketika diwawancarai.

"Begini saja Pak Ketua Rapat, kalau memang lembaga ini sudah tidak bisa atau tidak sanggup mengelola aset yang kita punya, mungkin yang lain masih banyak yang mampu dan sanggup mengelolanya." Kata seorang peserta rapat dengan gaya bicara yang pintar.

"Begini Bapak dan Ibu semua, apa yang kita lakukan bersama Bapak-Bapak ini berlandaskan kepada nota kerjasama. Jadi kita harus melihat dengan cermat sumber hukum yang ada ini. Jadi bukan sanggup atau tidak sanggup." Pemimpin rapat mencoba menengahi.

Kami diam dan menunggu kesempatan yang akan diberikan untuk mengemukakan pendapat. Dan sementara kami menunggu kesempatan yang diberikan itu, saya mengambil pelajaran, jangan asal bicara kalau konten yang akan kita bicarakan kosong. 

Pendek kata, rapat itu berlangsung hingga 120 menit kemudian dengan pola bicara yang sebagiannya tidak sadar konten apa yang dibicarakan. Padahal orang-orang yang berada di ruang rapat tersebut sedang mengundang kami untuk diajaknya berdiskusi tentang apa yang seharusnya kami lakukan. dan mereka adalah representasi pemimpin mereka?

Jakarta, 20 Maret 2015.

19 March 2015

Benar-Benar 'Kesing'

Saya pernah menuliskan catatan dari dialog antara saya dengan tukang bajaj sepulang dari sebuah lokasi di Pondok Indah beberapa waktu lalu. Dan dalam dialog tersebut si tukang bajaj mengungkapkan pendapatnya bahwa dewasa ini kelakuan pengguna jalan telah sama saja. Dia sesungguhnya ingin menyatakan bahwa perilaku menyodok antrian saat kendaraan harus antri karena lampu lalu lintas atau karena galian kabel, bukan menjadi monopoli pengendara kendaraan plat kuning saja. Bahkan kendaraan plat hitam pun juga. Dan dilalahnya, pas kami sedang asyik bicara pada tema seperti itu, ada kendaraan 4 X 4 yang memotong antrian kami melalui bahu jalan. Jadilah komentar si tukang bajaj saya itu : "Tu kan Pak, baru saja saya selesai ngomong, Bapak sudah melihat buktinya kan? Jadi kelakukan plat kuning dan hitam kan sama saja. Yang embedakan kami hanya 'kesing'nya!".

Itu adalah catatan saya ketika berdiskusi dengan si tukang bajaj. Lalu bagaimana catatan saya yang lain yang senada dengan hal yang saya temui itu? Tidak lain adalah perilaku buruk, yaitu dengan nebeng untuk mendapat donasi dengan cara mengakali teman kerjasamanya, yang dilakukan secara berulang. Anehnya, orang yang saya kenal itu adalah sosok yang sehari-harinya tidak bisa naik kendaraan umum semacam taxi atau naik sepeda motor. Tetapi masih mengantar anaknya ke sekolah dengan kendaraan pribadi (?). 

Artinya, tidak akan mengira orang yang baru kenal dengannya memiliki pendapat bahwa orang tersebut layak untuk dikasihani. Karena apa yang dia kenakan dan lakukan dalam menjalani hidupnya layak masuk dalam kelompok super mapan. Tetapi saya dan teman-teman yang mendapat aduan akan sisi yang berbeda tentang orang tersebut, benar-benar geleng-geleng kepala dengan apa yang dilakukannya.

Bahwa ia harus berpindah armada angkutan yang satu ke armada angkutan lain karena apa yang orang tersebut lakukan dan komitmenkan benar-benar hanya omong kosong untuk durasi sekian bulan (?). Juga beberapa orang lain yang bertanya tentang keberadaan orang tersebut selama ini, sesuatu yang pasti saya tidak tahu menahu, karena sudah sekian ribu juta rupiah belum dikembalikannya (?). 

Dan atas kenyataan itu, saya benar-benar yakin bahwa 'kesing' telah menjadi topeng yang relatif sempurna bagi orang tertentu. 

Jakarta, 19 Maret 2015.

Terseret oleh Praktek Sosial

Saya benar-benar merasa sumpek dengan apa yang sedang berlangsung di ranah sosial kita. Dan koran Kompas hari Rabu, 18 Maret 2015, telah memuatnya dalam beberapa rubrik. Yang satu dengan lainnya terasa membuat saya bodoh serta terasing.
Bukankah kita Bangsa Pedagang? Apa yang akan diekspor? Alat tulis isi 3 warna saya ternyata made in luar!
Menunggu efek baik dan kelahiran zaman baru dari formula ini.
Jangan sampai batu yang menjadi pihak yang dipojokkan.

Jakarta, 19 Maret 2015

Bertanya tentang Praktek Sosial

Pada sebuah dialog di sekolah, ada teman guru yang mengeluhkan praktek kehidupan yang sepanjang hari berada di depan kamera sehingga mereka menjadi bagian yang selalu ada dan hadir di ruang tamu kita. " Itu adalah bagian pola dan sisi kehidupan yang lambat tapi pasti akan menjadi budaya peserta didik kita. Ini tidak lain karena kehidupan yang tersaji dalam sinetron fiksi serta berita realiti, adalah bagian dari kurikulum kehidupan." Demikianlah lebih kurang dari apa yang disampaikan.

Dan dengan apa yang disampaikan oleh teman itu, tidak ada yang saya sangkal kebenarannya. Karenanya, saya setuju. Bahwa realitas hidup yang anak didik kita, atau juga anak kita sendiri di rumah adalah bagian dari 'peserta didik' hal itu. Kita tidak akan dapat menghindar dari kenyataan itu sekalipun mengisolir diri.

Kenyataan tersebut sekaligus memberikan gambaran kepada kita sebagai orangtua di rumah dan guru di sekolah, bahwa tugas yang diemban dalam mendidik anak-anak adalah penuh tantangan. Untuk itu perlu  bagi kita semua tambahan semangat.

Karena hal-hal yang dikemukakan tersebut adalah apa yang benar berada di luar otoritas kita sebagai guru yang berada di sekolah dan di kelas. Dan akan menjadi penyakit bila kondisi yang berada di luar genggaman serta kuasa kita itu terus menerus menjadi rujukan ketidaksemangatan kita untuk berinteraksi secara positif kepada para peserta didik.

Terlebih lagi jika hal tersebut justru meracuni semangat yang terlanjur menipis. Maka akan membuat keyakinan yang menebal tentang eksistensi pembelajaran moral selama interaksi guru-siswa di sekolah. Dan pada titik inilah saya ingin mendorong diri saya untuk menjadikan apa yang berada dalam wilayah serta otoritas sebagai bagian utama bagi penegakan apa yang berada di luar tampak porak poranda.

Dan semangat serta dorongan untuk melaksanakan amanah itulah yang selalu menjadi bagian penting dalam memicu andrenalin. Pada ranah inilah saya ingin sekali mengejawantahkan apa yang teman-teman guru sebut sebagai 'praktek sosial' yang positif. Membangun mimpi akan lahirnya sebuah praktek sosial yang bebas teriakan, pencelaan, mempengaruhi untuk hanya satu pilihan, dan lain sebagainya yang bermuara kepada keburukan. Semoga. Amin.

Jakarta, 8-19.03.2015.

04 March 2015

Kreativitas Mencari Nafkah

Kunjungan saya kali itu bersama dengan teman-teman zaman sekolah dulu sungguh banyak sekali memberikan manfaat buat kami selain memang tujuannya kebersamaan. Dan manfaat bagi saya sendiri atas kepergian saya dan teman-teman itu disebuah kota yang sekarang sedang in menjadi tujuan wisata bagi penduduk Jakarta selain kota Bandung, harusnya juga dibarengi kreativitas Pemerintah Daerahnya dan juga seluruh warganya untuk 'sadar wisata'. Ini karena sejak kunjungan saya kali pertama hingga kunjungan terakhir saya kalai itu, kota yang saya kangeni dengan kuliner dan batiknya itu sedikit terganggu oleh dua hal penting; PKL dan pengemis.

Dan tampaknya, semakin hari, dua hal yang lumayan sekali membuat image sebuah daerah menjadi kumuh dan seakan tidak memberikan sambutan yang baik buat kami para pengunjungnya itu, semakin bertambah dalam berkontribusi terhadap ketidaknyamanannya. PKL dan para pengemis, terus tumbuh dan berkembang di daerah tujuan yang akan kami kunjungi, meski tiket masuk daerah wisata tersebut naik sesuai dengan harga ke lokasi 'indah' dan 'bermakna' lainnya. Sungguh dua hal yang benar-benar mulai mengusik. PKL dan pengemis seperti dua komoditi yang tidak tersentuh oleh pekerjaan pemerintah daerah. Mengherankan!

Walau demikian, ada juga cara mengais rezeki yang tergolong kreatif. Seperti ketika kami tiba di sebuah lokasi wisata, dimana banyak sekali 'juru foto' yang selalu mengincar keberadaan kami. Ini mengingatkan saya ketika saya bersama anak-anak saya datang ke sebuah gedung disaat kegiatan perpisahan sekolah.  Para 'juru foto' itu berlomba menemukan sudut jepreten paling asyik. Mungkin karena melihat kami yang datang secara berbondong mengenakan pakaian seragam sehingga para 'juru foto' itu mudah sekali dalam mengenali kami. Tapi ini model dan cara mencari rezki yang tidak mencitrakan aura negatif bagi pengunjung di sebuah lokasi wisata.
Kreatif dan sungguh-sungguh. Hebat! Semoga berkah. Amin.

Dan ketika kami berada di sebuah distinasi berikutnya, ternyata foto-foto kami yang tadi di jepret sudah ada di halaman depan dimana kami keluar. Dan cukup dengan lima ribu rupiah, kami sudah memiliki dokumentasi sebuah  foto. Sebuah kenangan yang sekarang jarang kami punyai selain dalam bentuk digital.

Jakarta, 4 Maret 2015.

27 February 2015

Percaya Pembisik

Untuk tidak menjadi salah dalam memberikan arti kepada judul tersebut, ada baiknya kalau saya membatasi makna dan lingkup dari pembisik dalam catatan saya ini. Bahwa pembisik dan bisikan-bisikannya, sebagaimana posisi saya yang berada di sekolah, maka  pembisik dan bisikannya adalah apa yang beredar di sekolah.

Oleh karenanya maka pembisik dan bisikannya merupakan aktivitas yang berada di lingkungan saya, yaitu sekolahan. Jadi berbeda sekali dengan pengertian selama ini tentang pembisik yang ada di lingkungan penyelengaraan kenegaraan. 

Bahwa dalam praktek operasional sekolah, sesungguhnya saya meminta banyak sekali masukan dan pendapat dari berbagai teman. Tidak saja dalam forum resmi, seperti rapat atau FGD, tetapi ada juga diantara teman yang menyampaikan informasi, masukan, atau pendapatnya diluar forum yang saya sebutkan. Dan juga tentang berbagai hal yang ada di lingkungan sekolah. Termasuk diantaranya adalah tentang kantin sekolah.

Bahwa ada teman yang berperan sebagai pemberi informasi  atau pembisik tersebut tidak semuanya linier antara tujuan yang diinginkan dengan apa yang disampaikan. Karena tidak semua apa yang diinginkan selalu tersirat dengan informasi apa yang disampaikan. Terlebih informasi yang disampaikan tidak dalam forum resmi. Mungkin ini yang dinamakan lobby di dunia politik. Dan pada titik inilah saya selalu memegang teguh untuk tidak mudah goyang dengan garis yang seharusnya saya berada.

Seperti tentang kantin sekolah itu. Bahwa kadang saya percaya dengan apa yang menjadi masukan. Tetapi selalu pijakan terbesarnya dalam membuat kesimpulan adalah rapat atau forum resmi.

Ini menjadi komitmen saya mengingat sayalah nanti yang harus memegang tanggungjawab atas kesimpulan yang saya ambil. Pembisik akan selalu berada pada posisi penonton. Jadi, saya tetap akan mendengarkan bisikan pembisik, namun keputusan dan kesimpulan tetap menjadi ranah saya.

Jakarta, 27 Februari 2015.

22 February 2015

Kantin Sekolah #6; Kontrak Baru

Satu pekan lalu, saya minta bantuan sekretaris sekolah untuk melihat dokumen kontrak kantin sekolah. Baik posisi durasi waktu yang ada di dalam kontrak, jenis makanan yang disajikan, penggunaan listrik selama operasional kantin, dan juga kelancaran pembayaran kontraknya. Dari dokumentasi yang ada, saya juga minta agar diteliti beberapa hal yang saya kemukakan itu. Ini tidak lain sebagai usaha kami dalam terus menerus melakukan pengawasan dan koordinasi dengan para pengelolanya.

Dengan informasi yang ada pada kami, itu sebagai modal dalam pertemuan dengan para pengelola itu di pekan berikutnya. Tentunya sebagai usaha agar kualitas dan kontrol kepada operasional mereka dapat terus kami lakukan. 

Selain informasi dari para pengelola kantin, kami juga menghimpun data dari internal sekolah. Baik dari para guru atau siswa, juga kepada para kepala sekolah.

Hasil pertemuan kami nanti dapat berupa perpanjangan kontrak dengan beberapa tambahan atau perbaikan lampiran yang dibutuhkan. Juga dapat menjadi bagian bagi kami untuk memberikan edukasi tentang kualitas makanan dan juga peningkatan kebersihan.

Memang harus kami akui bahwa sedikit sekali para pengelola kantin itu kami stop kelanjutan kontraknya. Kecuali kalau mereka  benar-benar telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kontrak yang ada. Dan meski kami telah komunikasi dengan mereka tetapi tetap tidak ada perbaikan, maka hal itu menjadi poin bagi kami dalam mengambil kesimpulan. 

Namun, kontinyuitas kontrak bagi para pengelola kantin sekolah harus selalu menjadi konsen kami. Semoga.

Jakarta, 22.02.2015.

Up Grade Seluler

Entah bagaimana jalan pikiran peserta didik saya, yang sudah duduk di bangku kelas IX ini ketika melihat seluler saya di saat-saat menjelang jam pelajaran dimulai. Namun dari pernyataannya saya menjadi faham bagaimana cara dapat  'menikmati' orisinalitas kecerdasan di masa remajanya.

Bahkan sebelum dia,  pada usia yang sama, ada seorang remaja yang pada tahun ini sudah duduk di bangku kelas XI SMA,  memiliki komentar yang membuat saya kagum dan tercengang tentang alat komunikasi seluler saya.

Dan dari kedua komentar dari dua anak yang berbeda itu, saya menemukan benang merahnya, betapa mereka peduli dengan saya. Termasuk didalamnya peduli dengan apa yang ada pada saya. Dan itu adalah bagian lembaran hidup yang menjadi kesan bahagia bagi saya sebagai seorang guru. Pengalaman hidup yang tidak dapat ditukar dengan materi. 

Anak yang pertama, waktu itu ketika kami bertemu di halaman sekolah dan ketika saya sedang menemani mereka sebelum mereka dijemput oleh para orangtua atau drivernya, menyatakan bahwa usia hand phone saya sudah empat (4) tahun. 

"Tapi masih bagus Pak. Walau sekarang HP dengan jenis yang sama sudah ada seri yang terbarunya. Itu kan Bapak beli ketika saya masih duduk di kelas enam (6)." Katanya kala itu. Dan karena dikatakan dihadapan beberapa temannya, maka wajar jika ada temannya yang menyangsikan apa yang dikatakannya.

"Ah masak. Memang begitu Pak?" Kata temannya penuh ragu. Saya diam dan kembali memasukkan HP ke saku celananya setelah menyelesaikan panggilan dari teman kerja yang ada di lantai tiga.

Anak kedua, yang baru saja terjadi pada beberapa waktu lalu, adalah juga komentar orisinil yang menghibur.

"HPnya bagus Pak. Seperti HP yang dipakai ayah saya. Keren." Katanya. Juga didengar oleh beberapa teman yang sedang duduk disekitar kami. Saya tidak bereaksi sama sekali terhadap pernyataan yang sampaikan.

"Tapi sekarang sudah lahir lagi generasi 4nya Pak. Lebih optimal dari generasi 3, sebagaimana yang Bapak miliki itu. Di up grade saja Pak. Punya ayah saya juga akan di up grade." Tuturnya. Di up grade? Bayangan saya seperti perangkat komputer yang di up grade perangkat lunaknya.

"Jadi bisa di up grade ya?" Kata saya tidak mengerti dan faham dengan apa yang dimaksudkan.

"Bisa Pak. Jadi Bapak bawa saja HP generasi ke 3 Bapak ini ke toko dimana Bapak dulu beli. Lalu tukar tambah dengan yang baru. Yang generasi ke 4." Saya tentu saja batu ngerti apa yang dimaksudlan dengan up grade itu ketika kalimat terakhirnya selasai. Dan saya kagum dengan cara berguraunya itu. Dalam hati saya berkata; lucu...

Jakarta, 22.02.2015.

21 February 2015

Kantin #5; Uang Jajannya Besar

Masalah kantin yang berkaitan dengan anak-anak adalah uang jajan yang berlebih. Terlalu banyak untuk dihabiskan dalam kurun waktu satu hari. Dan ini memang bukan menjadi masalah disemua anak, tetapi akan ada dua atau tiga anak dalam setiap tahun pelajaran. Ini masalah kompleks yang juga selalu kurang menjadi pelajaran bagi, utamanya, orangtua siswa.

Kompleks, kerena tidak hanya menjadikan anak tersebut akan memiliki keinginan untuk menghabiskan uangnya di kantin dengan cara memakan apa yang hanya diinginkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan asupan gizi bagi kebutuhan tubuhnya. Sehingga akan menimbulkan efek samping karena kelebihan gizi bagi pertumbuhan fisiknya. Tetapi juga akan menjadi masalah psikologis yang tidak kalah berbahayanya bila tidak ada dialog dan kontrol dari orangtua terhadap penggunaan uang jajannya tersebut. 

Belum lagi masalah sosial yang berupa rasa bangga diri bagi anak karena ia akan menjadi anak yang berbeda dibandingkan dengan anak lain di lingkungannya yang berawal dari uang jajannya yang berlebih dibanding yang lain. Dan ini juga akan melahirkan rasa iri di mata teman yang lemah psikisnya arena melihat ada temannya yang selalu kelebihan uang jajan.

Apa yang Terjadi?

Seperti apa yang saya alami sendiri suatu hari di kantin ketika bertugas menemani anak-anak di istirahat makan. 

"Pak Agus saya jajanin Pak. Bapak mau makan apa?" Kata seorang anak dengan memegang dompet. Didalamnya saya melihat sekilas lembaran uang seratusan ribu. "Iya Pak Agus. Mau saja Pak. Dia kan uang jajannya banyak. Dia juga sering kok bayarin kami makan di kantin." Celetuk teman anak tersebut kepada saya.

Saya menolak. Meski untuk minum sekalipun. Ini karena kebiasaan saya ketika sudah menyantap sesuatu, maka saya mencoba untuk berhenti. 

"Terimakasih. Maaf Pak Agus sudah makan sebelum kesini. Pak Agus ke kantin hanya ingin melihat bagaimana kalian berada di kantin." Jelas saya.

"Kalau begitu minum saja Pak." Katanya kepada saya. Anak itupun sudah bersiap dengan dompetnya yang ada di tangan kiri.

Dan diantara dialog saya dengan anak itu, saya berfikir tentang betapa mudahnya hidup yang anak itu sedang jalani. Dan justru pada titik inilah saya kawatir. Dialah anak yang baru ada di sekolah kami di semester dua. Semester pertamanya dijalani di sekolah lain. Dan karena alasan tidak betah, ia memilih sekolah kami.

Yang kedua, ternyata hasil akademis anak itu juga pas-pasan. Kelebihan dan kemudahan hidupnya jelas tidak berbanding lurus dengan daya juangnya untuk berprestasi disemua bidang di bangku sekolahnya. Justru, kelebihan dan kemudahannya menjadikan daya juang psikologisnya lemah dan rapuh serta sederhana.

"Saya kan sudah sukses Pak. Jadi tidak perlu berjuang keras." Ujarnya suatu kali ketika saya mengajaknya berdiskusi.

Saya tentunya takut dengan model anak muda seperti ini. Takut kalau insyafnya baru dia akan dapatkan ketika sumber utama kesuksesan keluarganya diambil Allah.

Jakarta, 21.02.2015.

15 February 2015

Kantin Sekolah #4; Piket di Kantin

Beberapa waktu lalu, kebetulan saat saya sedang tidak berada di lokasi sekolah, saya sempat mengirimkan pesan untuk teman-teman yang bertugas di SMP. Pesan yang saya kirim tersebut berkenaan dengan piket kantin yang dilakukan oleh guru. Tentunya pada saat kantin itu ramai dengan anak-anak. Yaitu pada saat waktu istirahat pagi atau istirahat makan siang.

Pesan singkat saya itu sebagai penguatan agar teman-teman tidak sampai melupakan kewajiban yang seharusnya menjadi tanggungjawabnya itu. Ini tidak lain karena kantin adalah tempat berkumpulnya semua siswa saat mereka sarapan dan makan siang. Dan seperti juga pada saat anak-anak berkumpul, maka kantin dapat menjadi lokasi terjadinya bully atau perundungan.

Sebuah budaya yang benar-benar menjadi musuh kami, para guru di lembaga sekolah. Dan memang, kegiatan piket guru diwaktu istirahat sekolah itulah yang menjadi usaha preventif kami akan terjadinya periatiwa tersebut.

Maka untuk alasan itulah saya selalu akan mengingatkan teman-teman agar tidak lupa menemani anak-anak di kantin diwaktu istirahat.

Dan untuk memastikan keberadaan teman-teman yang menjalankan piketnya, saya sering menuju ke kantin di waktu istirahat tersebut. Tidak banyak yang saya lakukan disana. Hanya berkeliling menyapa anak-anak yang sedang antri beli makanan atau yang sedang duduk bergerombol dengan makanan favoritnya masing-masing, atau bahkan sekedar berdiri di pintu masuk kantin sembari menyapa anak-anak satu persatu.

Seperti itu saja yang kami lakukan dengan waktu piket itu. Namun hal sepele itu, harus benar-benar kami jalani dengan sepenuh hati. Karena kami meyakini bahwa perundungan hanya akan terjadi ketika anak-anak tersebut berkumpul tanpa adanya pengawasan dari kami. Semoga.

Jakarta, 15.02.2015.

Teman Lama #5; Semangatnya Silaturahim

Sebagaimana saya catatan sebelumnya yang berkenaan dengan teman-teman lama, maka ketika sebuah kegiatan akan dilakukan, dan saya sebagai pihak yang menjadi penghubung diantara mereka,  maka selain sibuk dengan tanggungan kantor juga adalah sibuk dalam menuliskan pesan singkat, up load undangan di lini masa yang teman-teman dapat akses. 

Dan terus terang saja. Dari sekian banyak teman lama yang saya punya data basenya, tidak bakalan semua itu saya hubungi atau sampaikan undangannya. Ini tidak lain karena dari pengalaman yang ada, tidak semua mereka memberikan atau mengorbankan waktu dan biaya transportasi untuk dapat hadir di acara yang kami rancang bersama.

Dari kegiatan satu ke kegiatan lainnya itu, akhirnya saya telah tahu benar siapa yang memang semngat silaturahimnya tinggi, sehingga kehadirannya nyaris sempurna di setiap kegiatan yang ada, atau siapa yang hanya hadir ketika acara benar-benar di kompleks yang berdekatan dengan tempat tinggalnya.

Maka hanya kepada mereka yang rajin dan komitmen saja itulah saya akan kirimkan undangan, SMS, BBM, WA, atau melalui Line. Kepada mereka yang hanya datang dan memenuhi undangan kami sesekali, tidak bakalan menerima kabar adanya kegiatan pertemuan kami. 

"Saya akan usahakan hadir Gus. Meski hanya berkendaraan sepeda motor kemana-mana. Dan saya tidak akan merasa minder untuk bertemu teman yang secara materi benar-benar jauh dari saya. Mengapa Gus? Karena semangat saya adalah menjaga hubungan dan persahabatan. Semangat saya adalah silaturahim." Demikian salah seorang teman lama berargumentasi atas komitmennya untuk terus memenuhi undangan pertemuan kapada saya.

saat itu saya tidak memberikan jawaban langsung. Namun saya pikir, landasan semangatnya untuk bersahabat memang pada koordinat yang benar. Dan saya setuju itu. 

Jakarta, 15.02.20.15.

Teman Lama #4; Belajar dari Teman

Catatan saya tentang teman lama ini berkisar kepada aktivitas saya dengan teman-teman yang pernah berada di sebuah lembaga pendidikan yang sekarang tidak lagi eksis, yaitu SPG. Sekolah Pendidikan Guru. 

Betul, memang kami semua yang tergabung dalam pertemanan ini lebih karena terikat oleh kesamaan lembaga pendidikan yang kami tempuh. Maka sebagian besar kami yang berkumpul, bersahabat, dan jalan-jalan adalah guru. Walaupun tidak semua kami adalah guru. Ada pula yang menjadi pengusaha, tentara, dan bahkan kontraktor. Itu karena tidak semua dari kami yang ketika lulus sekolah guru kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Keguruan.

Dan itulah kenyataan yang kami alami. Ketika sama-sama merantau di Jakarta, ada diantara kami yang begitu solid bertemu untuk melanjutkan persahabatan.

Ada banyak sekali ide agar silaturahim diantara kami dapat lebih erat lagi selain berkomunikasi dengan  menggunakan jejaring sosial, seperti fb, maillist, BB, atau Line, tetapi tetap saja pola komunikasi itu dirasa kurang. Maka.muncullah pertemuan dua bulanan dengan model berkeling ke rumah masing-masing kami secara bergantian. Dan yang terakhir adalah pergi jalan-jalan.

Dan apa sesungguhnya yang kami bisa peroleh dari aktivitas bersama teman lama ini? Bagi saya, mengenal teman lama secara lebih dekat tersebut, setidaknya buat saya, adalah belajar tentang aneka ragam hidup dan cara pandang menjalaninya. Dari teman yang berkecukupan saya belajar bagaimana ringannya tangan mereka untuk sebuah kendala terselesaikan. Juga kepada mereka yang sering mengeluh akan tugas dan kewajibannya serta bagaimana teman yang lain dengan begitu ikhlas memberikannya jendela kemungkinan sehingga teman itu dapat mengintip betapa banyak ia sesungguhnya dapat bersikap secara positif. Dan lain sebagainya. 

Itu mungkin diantara pelajaran yang saya ambil dari sebuah persahabatan dengan teman sekolah.

Jakarta, 15.02.2015.

Teman Lama #3; Iri pada 'Kemajuannya'

Usianya memang masih ada di bawah saya. Dan kami pernah dipertemukan dalam sebuah wadah nir laba, yang dulu berlokasi di Jalan Nangka, Jakarta Selatan. Memang tidak rutin kami bertemu dan bertukar pikiran. Hanya beberapa kali dalam satu bulan, dan itupun diwaktu sebelum waktu Magrib tiba hingga sebelum pukul 21.00. Tetapi ada banyak momen yang akhirnya saya dapat lebih banyak bercengkerama, yang membuat kami lebih tahu tentang masing-masing secara lebih mendalam.

Alhamdulillah, bahwa perkenalan itu membuat kami dapat saling menerima dan berbagi pengalaman dan pemikiran seputar pengembangan lembaga pendidikan. Termasuk di dalamnya pengembangan SDM, yang kalau di sekolah sebagian besarnya adalah Guru.

Mungkin di awal pertemanan kami, pada saat bertemu di Jalan Cikini, Jakarta Pusat, seputar tahun 2000an, teman saya ini banyak menerima dari apa yang saya sampaikan di sebuah forum diskusi. Hingga beberapa presentasi saya dibuatnya sebagai referensi. Dan kami memang saling mengikhlaskan apa yang dapat kami beri.

Namun terbalik ketika sepuluh tahun kemudian kami bertemu dan bertukar pikiran di dunia maya. Karena ia justru memiliki lebih banyak sesuatu yang dapat saya jadikan referensi. Dan pada titik semangat perubahan dirinya itulah saya iri.

Bahwa durasi sepuluh tahun adalah masa yang tidak terlalu panjang dan juga tidak dapat dibilang pendek bagi teman saya untuk make over daya saing dirinya. Masa sepuluh tahunnya itu telah dia isi dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh dan konsisten.

Dan harus saya garis bawahi bahwa rasa iri saya kepada teman itu pada ranah posisi atau materi, tetapi lebih kepada daya saing dirinya. Sebagai orang dengan status pegawai swasta, teman saya itu seperti orang merdeka untuk memilih dimana dan seperti apa amanah yang ia akan terima dari sekian banyak peluang yang ada. 

Jakarta, 15.02.2015.

14 February 2015

Teman Lama #2; Bertanya Posisi

Banyak kenangan yang saya alami ketika masa bersama di sebuah lembaga pendidikan masa itu. Sebelas tahun adalah bukan masa yang terlalu pendek untuk sebuah perjalanan karier. Bahkan bukan saja yang berkait dengan profesi yang sama-sama kami jalani, tetapi juga perkembangan cara berfikir tentang transendental. 

Dan kala itu, saya dan kami yang pernah beriringan bersama, merasa dekat justru karena cara fikir dan tindakan kami terasa bersama. Karena itu jugalah maka kami merasa dekat satu sama lainnya. 

Dan sesungguhnya, cara pandang transendental kami hingga sekarang tetap pada koordinat yang relatif tidak berubah jauh hingga kini. Meski diantara kami telah melalui perjalanan dan mengalami peristiwa yang berbeda dan tidak serupa. Tetapi prinsip dasar berfikir kami relatif sama.

Namun demikian, karena respon yang berbeda-beda dari kami kepada apa yang kami lalui sepanjang perjalanan jauh sejak kami tidak dalam satu lembaga lagi dalam menunaikan profesi kegurian kami, maka diujung hari ini, kami telah berada pada domain yang tidak lagi sama. Ada diantara kami yang tetap pada posisinya ketika kami berpisah hampir 20 tahun lalu. Dan ada pula yang selama itu ia telah berevolusi begitu progresif.

Seperti dalam catatan perjalanan Teman Lama saya terdahulu, bahwa apa yang didapat teman-teman saya hari ini, sekarang ini, adalah wujud dari ikhtiar mereka yang istiqomah dan terus - menerus yang penuh kesungguhan. Artinya, teman saya yang di hari ini tetap berada pada titik yang sama ketika kami berpisah 20 tahun lalu, adalah juga hasil dari ikhtiar yang istiqomah dia lakukan secara spartan.

Anehnya, pada saat bertemu setelah berpisah 20 tahun dengan saya, teman saya itu bertanya; "Kapan saya dapat posisi Kepala Sekolah?"

Pertanyaan wajar dan amat sangat lumrah bika itu keluar dari teman dengan semangat berevolusi yang penuh komitmen. Tetapi justru menjadi pertanyaan yang penuh gurau kalau itu datang dari teman lama saya yang tetap melakukan cara-cara mengajar dan mendidik peserta didiknya persis seperti ketika kami berada di lembaga yang sama di 20 tahun lebih yang lalu?

Jakarta, 14.02.2015

04 February 2015

Teman Lama #1; Perjalanan Ikhtiar yang Istiqomah

Pasti sesuatu yang menggembirakan dan membahagiakan bisa bertemu dengan teman-teman lama. Apakah itu teman sekolah, teman ketika bersama di saat susah, atau juga teman kerja di kantor yang dulu kita juga berada bersamanya. Kita dapat bercerita tentang bagaimana melalui  masa-masa saat bersama. Kadang cerita-cerita itu diimbuhi dengan ilustrasi yang disaat kejadian dulu tidak terlukiskan. Dan pasti, menyenangkan.

Tetapi selalu akan hadir dua sisi ketika pertemuan berakhir dan ketika kenangan pertemuan itu kembali membayang. Dua sisi itu adalah sisi yang membuat saya menjadi kagum, bangga, dan bersemangat untuk menyimak usaha dan kisahnya lebih lanjut. Itu karena tidak lain teman lama itu begitu berbeda dengan sosok yang selama kami bersama dulu. Teman itu begitu melejit dalam mengemban tugas-tugas kehidupannya.

Usaha dan atau posisinya di kantor begitu membanggakan karena begitu berprestasinya. Semua jalan begitu lebar untuk ia melangkah. Dan ketika pada posisinya itu, teman tersebut masih begitu polos dan tulus bersama kami. Termasuk, misalnya, ikhtiarnya menyelesaikan jenjang pendidikan yang ada, dan berhasil pula sebagai anutan bagi orang-orang yang berprestasi.

Bekerja begitu bersemangat dan penuh komitmen. Menghabiskan waktu di luar kerjanya dengan bersama dengan rumah, pasangan hidupnya, dan istri. Begitu menikmati setia centi bagian rumah tinggalnya. Sebuah jejak hidup yang juga diikuti oleh anak keturunannya. Jujur, sederhana, dan tidak kuper.

Dan sebaliknya, pada sisi yang berbalik, ada pula teman yang tetap saja sebagaimana dulu ketika kami bersama. bahasa dalam pertemuannya adalah kalimat kekecewaan akan tidak adilnya sistem yang tidak memihaknya. Sebagaimana pertemuan terakhir saya dengan teman itu. Yang langsung membombardir saya dengan kisah sedihnya bersama dengan ibu Mertua di rumah. Hampir-hampir tidak ada sisi baik yang dapat saya peroleh dari teman seperti itu etika kami meninggalkan tempat acara pertemuan.

Hingga terbersit gagasan dalam  pikiran saya bahwa, apa yang telah ia perolehnya pada hari dimana ia bercerita kepada saya, adalah merupakan hasil dari apa yang telah ia rencana dan kerjakan pada saat-saat sebelumnya.

Namun demikian, bertemu teman lama yang berada pada sisi berlawanan itu, tetap memberikan bekas kepada saya bahwa menjalani hidup tidak lain adalah bergerak dengan rencana dan ikhtiar yang istikomah, terus menerus, dan menanjak. Karena semua pergerakan itu akan menghasilkan akibat.

Jakarta, 4 Februari 2015.