Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

05 December 2012

Obrolan Saya Sore ini: "Aku Benci Mamah!"

Ini juga menjadi pelajaran sangat berharga untuk saya. "Aku benci Mamah!" begitu tema yang tiba-tiba saya dengar dari seorang anak didik saya sore ini ketika kami terlibat obrolan sebelum ia dijemput untuk pulang sekolah di pintu gerbang. Kalimat sederhana tetapi mengagetkan saya karena berasal dari seorang anak yang memiliki seorang Ibu yang luar biasa perhatiannya dengan semua apa yang diperlukan oleh sang anak.

Setidaknya itulah kesan pertama yang saya dapatkan ketika obroln itu berlangsung. Otak saya melayang-layang pada sebuah peristiwa Pelatihan Guru di awal semester beberapa tahun lalu, ketika anak itu masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar.

Dimana kala itu saya dipanggil oleh seorang Ibu dengan anak didik saya tersebut di sampingnya. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana Ibu tersebut meminta waktu saya untuk sekedar berdiskusi. Diskusi tentang kelanjutan sekolah kakaknya yang hampir lulus dari bangku sekolah dasar. Namun rupanya diskusi tidak berhenti di situ. Tetapi juga tentang harapan-harapannya yang beliau ungkapkan di hadapan sang anak-anaknya. Saya mungkin sebagai saksinya ketika sang ibu tersebut memberikan nasehat-nasehat diantara harapan-harapannya.

Oleh karenanya ketika anak didik saya sore ini bertemu dan bercengkerama serta mengngkapkan kalimat yang mengagetkan tersebut, saya terpancing untuk mengetahui lebih lanjut tentang sebab musababnya.

"Mamah selalu memberitahukan dengan nada yang marah. Selalu marah. Makanya aku lebih senang pulang malam terus langsung tidur. Pagi hari langsung ke sekolah lagi." Kata-katanya penuh ekspresi ketika memulai ceritanya tentang Mamah.

"Padahal nilai pelajaranku 8. Tetapi itu belum cukup. Makanya aku lebih senang diantar supir atau Ayah ketika berangkat ke sekolah. Kalau sama Mamah, maka selalu dinasehati tetapi dengan nada yang selalu marah-marah." Lanjutnya lagi. Saya hanya melihat rut mukanya yang serius ketika mengngkapkan ketidak sukaannya itu.

"Aku harus segera kuliah Pak. Supaya segera bisa berangkat ke Kanada. Mungkin itu akan menjadi masa yang menyenangkan. Bebas!" Lanjutnya lagi.

"Walaupun sekarang pun Mamah selalu memintaku untuk melanjutkan ke pesantren ketika lulus SD nanti. Tapi aku benar-benar tidak suka pesantren."

Kata-katanya mungkin akan terus berlanjut jika saja supir yang menjemputnya belum datang juga. Dan sepeninggalannya, saya jadi terpenung dengan fenomena yang menggantung di kepala saya. Inilah pelajaran yang tidak mungkin saya dapatkan dari sebuah mata kuliah apapun. Pelajaran hidup yang  harus dikuasai tidak saja untuk orangtua anak tersebut sehigga ia menjadi orangtua yang bijakbestari ke depannya, tetapi juga saya. Yang juga adalah orangtua bagi anak-anak saya di rumah. 

Pada saat saya berjalan menuu ke ruangan kerja, saya berharap semoga kegalauan anak didik saya itu segera mendapatkan jalan keluar yang baik. Tentunya dengan terbukanya hati Ibundanya. Semoga. Amin.

Jakarta, 05 Desember 2012.

No comments: