Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

10 December 2012

Generasi nir-Akal

Beberapa waktu yang telah lalu, saya membaca surat kabar dan menemukan istilah nir-akal. Dalam media itu, istilah ini dikemukakan oleh Prof. Irwan Pranoto, yang adalah guru besar Matematika di ITB, Bandung. Sebuah gambaran bagi mereka yang memperoleh gelar akademik tetapi dengan akal yang tumpul? Maksudnya sebuah generasi yang disbukkan dengan kegiatan mengingat dan memahami sebuah hal, namn luput untuk memperdayakan kompetensi analisa, sintesa, dan juga mencipta.

Dalam kehidupan keseharian, kepada teman-teman pramubakti di sekolah, pada saat memberikan pengarahan pekanan kepada mereka, saya pernah menyampaikan model generasi ini dengan munculnya pemikiran orang untuk mmperoleh harta atau keberhasilan lainnya dengan cara yang kilat. Dan bukan cepat lagi, tetapi kilat. Cara instan. 

Dan ketika saya membahas ini, saya memberikan contoh apa yang terjadi di masyarakat kita, yang semestinya tidak begitu mudah untuk dipercayai apalagi untuk dilakoni. Sehingga ujung dari perbuatan terkelabui itu adalah kerugian materiel yang tidak lagi sedikit bagi para korban. Demikian pula dengan pelaku, tentu jauh lebih rugi bahwa dengan apa yang diperbuatnya menjadikan masalah dia justru bertambah.

Seperti berita yang saya baca di DetikSurabaya (http://surabaya.detik.com/read/2012/12/09/124050/2113319/47), pada hari Minggu siang yang lalu. Dimana diberitakan adanya orang yang masih tertipu akan pengakuan orang lain yang mengaku mampu melipatgandakan uang (asli). Dan korban dari pengakuan orang tersebut adalah mereka yang kebetulan memiliki uang asli dan berkeinginan untuk mendadak berlipat-lipat uangnya tersebut dalam waktu cepat. Judul dari berita yang saya baca adalah: Kuli Bangunan Ngaku Bisa Gandakan Rp 6 Juta Jadi Rp 1 Miliar.

nir-Akal?

Dalam pertemuan dengan teman-teman pramubakti sekolah, saya katakan kepada mereka, bahwa jika orang yang mengaku mampu melipatgandakan uang tersebut benar-benar 'nyata' dan kemudian uangnya benar-benar sah sebagai alat tukar, maka oknum tersebut tidak akan mencari orang lain yangkemudian menjadi korban untuk menyetorkan uang aslinya kepada si oknum tersebut. Oknum itu pastinya, akan melipatgandakan uang miliknya sendiri. Tetapi mengapa ia membutuhkan uang (asli) milik orang lain? Inilah yang seharusnya menjadi bahan makanan akal sebelum sebuah keputusan diambil.
 
Dalam kasus lainnya, ini juga sebagai bahan renungan saya pribadi tentang pengakuan seseorang sebagai nabi beberapa waktu lalu di Jakarta, yang ternyata memiliki pengikut yang bukan saja dari kalangan kurang berpendidikan. Justru tidak sedikit para pengikutnya itu duduk atau telah mengenyam bangku kuliah di perguruan tinggi.


Dimana letak tidak masuk diakalnya? Ketika nabi palsu itu mengaku bahwa ia sebagai utusan setelah Nabi Muhamad SAW ketika ia berpuasa 40 hari suntuk di sebuah tempat di daerah Gunung Salak, Bogor. Mengapa tidak masuk akal? Karena kalau ia adalah pemegang risalah sesudah Muhammad SAW, mengapa ada puasa 40 hari? Sepengatuhan dan sepemahaman saya, tidak ada contoh dari Nabi Muhammad SAW tentang model puasa seperti itu.

Maka dengan landasan akal saya yang sederhna itu, dengan bumbu dalil apapun juga, sesungguhnya akal kita mampu membuat kesimpulan tentang fenomena yang nabi palsu itu. 

Dengan dua hal yang saya temui dalam kehidupan yang dekat dengan saya tersebut, saya setuju jika hasil pendidikan kita masih berkutat kepada hal yang berkenaan dengan mengingat, memahami, dan sedikit aplikasi. Tetapi belum sepenuhnya memberdayakan kepada kompetensi analisa, sintesa, dan mencipta. Dan itu landasan saya untuk menyetujui apa yang disampaikan Profesor Iwan Pranoto dari ITB, Bandung tentang realita nir-akal dalam pendidikan kita.

Jakarta, 10 Desember 2013.

No comments: