Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

22 February 2016

Berbagi Halaman Buku

Berulang-ulang saya membolak-balik halaman buku yang menurut saya keren luar biasa. Dan dari beberapa kali membaca sekilas tentang buku itu, saya semakin penasaran untuk mempromosikan kepada teman-teman guru. Tujuannya hanya satu, supaya guru-guru dapat menerima vibrasi yang sama dengan saya berkenaan dengan apa yang disampaikan di buku itu. 

Beberapa kali saya sudah berusaha untuk membawa buku itu di hadapan guru-guru dan mengambil satu halaman sebagai 'kompor'. Namun belum berhasil juga membawa guru-guru itu pada demensi sebagaimana yang saya harapkan. Bahkan satu halaman itu saya sampaikan dalam bentuk cerita dan mencoba memaknai dalam tataran lokal. 

Mimpi saya padahal hanya satu, jika ini berhasil, maka saya akan meminta guru-guru untuk mengupas bagian-bagian dahsyat lainnya dari buku itu. Yang bagi seorang guru akan menjadi bahan luar biasa untuk memiliki keterampilan mengajar berbasis aktivitas yang aktif, kreatif, dan mencerdaskan. Dan, menurut hitungan saya, jika guru-guru itu interaksinya keren di dalam kelas, maka ujungnya adalah pada peningkatan kecakapan anak atau peserta didiknya. Tapi bagaimana?

Hingga akhirnya saya teringat akan sebuah aktivitas bersama mereka ketika kami mendapat buku tentang Bully Free Classrom beberapa waktu lalu. Dimana guru kami bagi dalam kelompok sesuai dengan bab yang terdapat dalam buku tersebut. Dan kepada masing-masing kelompok untuk dijadikan bahan diskusi dan sekaligus sebagai bahan buat masing-masing kelompok untuk presentasi kepada kita semua. Maka ketika semua kelompok selesai mendramatisasikan setiap bab yang ada di buku itu, kami semua belajar dengan utuh apa yang dmaksud dari isi buku tersebut. 

Inspirasi itulah yang akhirnya kami gunakan untuk kami gunakan sebagai strategi bagi 'memiliki' isi buku yang super duper bagus buat kami yang ada di dalam kelas. Yaitu berbagi halaman buku kepada teman-teman yang kami bagi dalam kelompok. Dimana masing-masing kelompok nantinya cukup belajar tentang satu hal yag terdapat dalam buku tersebut. Lalu masing-masing akan mendapat kesempatan untuk bergantian dan saling menyampaikan 'presentasi'. Semoga. 

Jakarta, 22.02.2016.

19 February 2016

Guru Honor, Teman Saya

Ketika ada yang harus berdemonstrasi di depan Istana Presiden beberapa waktu yang lalu, sebagaimana yang menjadi berita hangat koran dan media di Indonesia, maka teman saya tidak yang termasuk di dalamnya. Dia tidak pernah bercerita kepada saya bagaimana status ke-honorannya. Apakah dia masuk yang menjadi  K2 sebagaimana yang saya dapat berita atau belum, saya sungguh tidak tahu. Sekali lagi, ia tidak bercerita kepada saya berkenaan dengan statusnya.

Mungkin sebagai gambaran kita, perlu kiranya saya sampaikan disini bahwa guru honor teman saya itu berawal ketika sekolah negeri di Indonesia ditunjuk sebagai RSBI, atau Sekolah Rintisan Bersatandar Nasional. Dan pada masa itulah teman saya yang lulus dari Fakultas non kependidikan di sebuah  Universitas di Jakarta itu tertarik dan mendaftar sebagai guru honor. Sesuai dengan latar belakang pendidikannya, ia mengajar Matematika.

Sejak kala itu, saya melihatnya ia menikmati dengan profesinya itu. Karenanya tidak pernah mendengar bahwa teman saya akan beralih profesi. Artinya, ia telah nyaman berada pada lokasi seperti itu. Sebagai guru honor Mata Pelajaran Matematika yang berbahasa Inggris dengan kurikulum Cambridge. Dan yang menjadi guru di sekolah swasta, karena memang dari sananya memang sebagai Sarjana Pendidikan juga tidak pernah banyak cerita tentangnya.

Lalu bagaimana sekarang setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan berlakukan sekolah dengan standar RSBI/SBI yang menelan biaya besar dari APBN itu? Teman saya yang guru honorer itu tetap nyenyak berada di lokasi kegiatan utamanya itu.

"Saya mengajar lebih kurang dalam satu semester itu 20 jam pelajaran setiap pekannya. Dan itu saya lakukan sesuai jadwal yang ada di sekolah dalam tiga hari. Maka dua hari yang tersisa saya sebagai guru piket." Begitu suatu hari ia bercerita kepada saya.

"Tidak tertarik menjadi guru dengan status swasta di sekolah swasta seperti sekolah saya? Dengan kemampuan bahasa dan kompetensi mengajar mungkin akan menjadi baik untuk masa depanmu jika memang bukan PNS yang menjadi tujuanmu?" Begitu saya mencoba membuka sisi yang  berbeda. 

"Sampai hari ini saya belum tertarik. Karena secara pendapatan saya lebih menikmati posisi sekarang sebagai guru honor." Jelasnya kepada saya.

"Memang status saya sebagai guru honor. Tetapi di luar tugas jam sekolah, dengan status itu saya banyak mendapatkan tambahan mengajar secara privat. Dan itu menambah pendapatan buat saya." Lanjutnya memberikan penjelas lebih detil. Saya diam. Dari kacakapanya, saya menemukan sebuah jalan hidup yang diyakininya. Jalan yang total berbeda dengan apa yang selama ini saya yakini sebagai guru yang swasta murni sejak awal mula sebagai guru hingga kini.

Dan cara memandang yang berbeda itu, membuat saya paham bahwa memang pendapatan yang teman saya kejar dalam mengajar selama ini. Bukan sesuatu yang salah. Tetapi hanya berbeda dengan apa yang saya yakini selama ini...

Jakarta, 19 Februari 2016.

17 February 2016

Seragam Saya basah

Benar sekali apa yang menjadi prakiraan cuaca hari ini, Rabu, 17 Februari 2016, bahwa wilayah Jabodetabek diguyur hujan. Maka ketika keluar rumah dengan sepeda motor pagi ini setelah 30 menit azan Subuh, titik-titik hujan itu mulai menetes di bagian lengan saya. Hingga akhirnya hujan itu benar-benar deras sebelum saya sampai di kantor. Waktu masih menunjukkan pukul 05.30 ketika hujan itu benar-benar turus dengan lebat. Maka perjalanan selanjutnya menuju kantor saya menggunakan bajaj. 

Rupanya belum lengkap apa yang telah saya jalani ketika dari rumah menuju kantor. Ini terjadi ketika di kantor pada pukul 06.00, listrik ternyata tidak menyala sejak kemarin malam. Dan tidak ada yang mampu menangani listrik yang mati ini selain teknisi yang biasanya sampai sekolah pukul 07.00. Tidak pilihan bagi saya dan beberapa anak selain duduk di hall sekolah sambil ngobrol.

"Malu Pak saya. Seragam saya basah." Begitu ujar seorang guru di koridor sekolah. Saat itu  pukul 07.30. Dan saya baru saja akan masuk ruangan kantor setelah sebelumnya berputar-putar seputar sekolah, termasuk melihat anak-anak kelas VI yang sedang bersiap untuk melakukan Try Out di lantai 3.

"Iya Pak basah karena hujan sejak dari rumah." Lanjut Ibu guru itu seolah meminta perhatian saya sekali lagi. Dan saya memang tidak memberikan respon kalimat sedikitpun. Bukan tanpa alasan sehingga saya berbuat demikian. Ini karena saya benar-benar bingung untuk mengatakan apa atas laporan atau lebih tepatnya keluhan Ibu Guru tersebut. Dan karena bingung untuk menemukan kata atau kalimat yang tepat, maka saya hanya tersenyum.

Dan bersyukur, bahwa itu adalah kalimatnya yang terakhir sebelum akhirnya Ibu Guru itu melanjutkan langkahnya menuju lokasi dimana anak-anak kelasnya menanti di sebuah ruangan di ujung koridor. 

Dalam ruangan, saya berpikir dan mencoba membuat berapa kalimat. Apakah mungkin Ibu Guru itu tidak menyadari bahwa ia berangkat dari rumahnya yang berjarak hanya 7 ribu rupiah jika harus naik bajaj dari sekolah memang sudah terlambat? Lalu, mengapa ia melaporkan bahwa seragamnya basah?

Apakah Ibu Guru itu tidak berpikir kalau orang yang dilaporinya sudah harus keluar dari rumah pada saat beberapa menit selepas azan subuh? Sehingga kalau demikian maka jika ditimpa hujan lebih berhak untuk mengatakan dan melaporkan basah?

Apakah juga tidak terpikir olehnya kalau ada temannya yang di tinggal di wilayah Bekasi dengan mengendarai motor harus menyeberangkan motornya di wilayah Cakung yang tergenang ketika jam masih pukul setengah tujuh? Apakah ia tidak terpikir bahwa keluhannya itu sebenarnya membuktikan bahwa ia sesungguhnya telah berperilaku ego sentris, dimana tidak melihat orang tetapi hanya ber[usat kepada dirinya sendiri?

Hari ini, saya telah belajar bagaimana orang yang hanya mampu melihat dirinya sendiri. Padahal ia berada diantara orang lain dan orang banyak.

Jakarta, 17.02.2016.

Pak, Saya Izin...

"Pak hari ini saya izin tidak masuk sekolah mengajar karena harus mengantar Ibu Mertua ke Rumah Sakit." Demikian berita yang saya terima pagi hari ini. Sebuah berita yang biasa dan lumrah kalau pengirimnya itu adalah seorang guru yang memang jarang-jarang melakukan hal seperti itu. Tetapi dari guru yang ini, maka sms itu menjadi sesuatu yang mengaduk-aduk nurani serta kesabaran saya. Betapa tidak, dalam semester 2 yang baru menginjak pekan ke-6 ini, saya telah mendapatkannya izin tidak masuk kerja sebanyak 3 hari kerja, dan pulang lebih awal rata-rata 1 hari kerja disetiap pekannya. 

Kesebelan saya bertambah-tambah ketika, pertama; saya memberikan laporan hal ini kepada atasan saya dan atasan saya justru membalikkan kepada saya. "Oleh karena itu Bu, mengapa guru model seperti ini Ibu selalu berikan kepadanya kinerja BAIK? Dan klasifikasi berkinerja BAIK itu kenaikan gajinya akan seiring dengan standar kenaikan gaji pada tahun ini? Jadi kalau memang dia seperti ini, maka jadikan apa yang memang terjadi menjadi tampak di dalam lembaran kinerja guru yang bersangkutan?" 

Jawaban itu menjadikan laporan yang saya sampaikan kepada atasan justru berbalik menjadi bumerang. Memberikan bukti bahwa saya hanya responsif ketika melihat dan membaca kenyataan bahwa guru tersebut tidak layak mendapat predikat sebagai guru yang berkinerja BAIK. Saya merasa menyembunyikan apa yang menjadi kenyataan.

Dua, ternyata saudara muda guru yang sering izin tersebut pada waktu yang bersamaan, yaitu pada waktu beliau izin untuk mengantar Ibu mertuanya ke Rumah Sakit guna mengobati kanker yang terdapat di mulutnya, justru mengunggah foto  dan sekaligus membuat status baru; bersama teman-teman menonton film? Jadi, apakah sang Ibunda mertua benar-benar sakit dan beliau bawa ke Rumah Sakit atau hanya ngibul?

Tiga, Bukankah sebenarnya hari ini kelasnya, siswa dan siswinya, sedang mengadakan kunjungan ke luar sekolah? Bukankah jika demikian adanya maka guru kelasnya bertanggungjawab atas kegiatan yang dia rencanakan sendiri?

Maka dengan kenyataan itu, saya menjadi benar-benar tidak habis berpikir. Bagaimana memberikan kesadaran kepada guru saya itu, yang memang secara fisik sudah mencapai bentuk yang dewasa tetapi psikisnya masih belum nyambung antara kewajibannya sebagai pekerja di lokasi kerja?

Itulah  SMS pagi ini dari guru saya...

Jakarta, 17.02.2016.

16 February 2016

Peduli Sekitar

Kemarin baru saja kami dibuat tersentak atas penemuan makhluk hidup di ruangan yang begitu dekat dan akrab keberadaannya dengan kami sehari-hari ketika jam kantor. Dan ini penting menjadi catatan saya karena ada tiga hal. Pertama, karena kelurahan dimana sekolahan kami berada, warga yang terserang BDB oleh sebab nyamuk, menduduki ranking tertinggi di Kota Madya. Kedua, yang menemukan makhluk hidup itu adalah perangkat Puskesmas. Dan ketiga, sekolah kan lokasi dimana anak-anak berada di pagi hingga siang hari?

Itulah jentik nyamuk. Makhluk hidup yang saya maksudkan. Dan ini membuat kami semua harus mawas diri betapa kami selama ini kurang terlalu peduli dengan lingkungan terdekat kami. Ini tidak lain karena jentik nyamuk itu kami temui di pembuangan air dispenser yang ada di ruang kerja kami. Dan berita ini menjadi 'tranding topic' dalam perbincangan kami selama satu hari kemarin.

Ini tidak lain karena wadah pembuangan air itu setelah dibersihkan kemudian di foto oleh atasan kami dan kemudian foto itu diunggah di ruang bersama. Dan kami semua bertanya-tenya dari dispenser yang mana wadah pembuangan air itu berasal. Dan semua boleh saling menebak-nebak.

Dan masing-masing tebakan tidak ada yang pas benar dengan apa yang disampaikan dalam grup bersama. Karena masing-masing tidak menyangka kalau wadah pembuangan air dispenser tersebut adalah salah satu dari yang terdapat di ruang kerja kami! Dan informasi inipun menjadi penutup dari tebakan dan jebakan pertanyaan yang disampaikan ketika gambar wadah pembuangan air itu di up load. 

"Mungkin itu dari dispenser yang ada di ruang kita." Demikian kata salah seorang dari kami yang ada di ruang guru lantai 3. Tetapi komunitas yang ada di lantai itu segera mengecek kebaradaan wadah pembuangan airnya. Apakah ada di tempat atau tidak. "Tetapi wadahnya tetap berada di tempatnya. Jadi tidak mungkin sebagaimana yang di dalam foto?" Kata yang lain dengan argumentasi membela diri.

Dan benar saja, baru saja kami selesai berdiskusi milik ruangan siapa wadah pembuangan air dispenser itu, datang pesan dari atasan kami;

Bapak Ibu, jentik nyamuk itu kami temukan di wadah pembuangan air dispenser yang ada di ruang Bapak dan Ibu Guru. Ini tidak mungkin terjadi bila kita semua menjadikan lingkungan kita sebagai bagian dari perhatian kita bersama. Tidak saling mengandalkan kepada teman sebelah untuk membereskan apa yang ada di lingkungan kita. 

"Jadi dispenser ruang guru mana Pak?" Begitu salah satu teman saya ngotot ingin mengkonfirmasi. Tetapi tidak ada jawaban yang jelas dari atasan kami. 

Dan sekarang, kami selalu waspada dengan genangan air,  meski itu hanyalah setetes...

Jakarta, 16.02.2016

15 February 2016

Tentang Jabatan

Dalam catatan ini, saya akan menjelaskan tentang jabatan yang saya maksud. Bahwa sebagai orang yang bekerja di lembaga pendidikan formal, atau sekolah, maka jabatan yang saya maksudkan adalah jabatan yang ada di lingkungan sekolah. Memang tidak akan banyak jenis jabatan yang ada di sekolah karena sekolah merupakan lembaga yang tidak terlalu ruwet terhadap jenjang jabatan yang tersedia. Meski itu adalah sekolah swasta.

Selain guru atau pendidik, maka ada jabatan struktural di atasnya berupa Guru Koordinator di setiap pararel atau rumpun pelajaran yang ada, selain juga ada Wakil Kepala dan Kepala Sekolah. Jadi terlalu sempit jika jabatan yang menjadi ukuran sukses karier seseorang.

Tetapi itu semua menjadi terbuka jika ada diantara kami yang begitu antusias dalam mengejar kepandaian. Baik sisi kematangan sosial maupun sisi profesionalisme seperti kepandaian guru dalam membuat pembelajaran di dalam kelas. 

Dan kepada guru-guru dengan model seperti itu, jabatan bukan menjadi dorongan utamanya untuk terus maju. Lalu jabatan akan menghampirinya secara suka rela. Bahkan teman dari sekolah lain memesan dengan santun akan kiriman teman terbaik saya yang saya [punya untuk menduduki posisinya di sekolah formal yang mengelola lebih kurang 250 tenaga pendidik dan kependidikan. Sebuah lembaga [pendidikan yang mengelola jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak hingga jenjang SMA.

Jakarta, 15 Februari 2016.

Ingin Jabatan

"Kapan Pak Agus saya kebagian menjadi Wakil Kepala Sekolah." Kata sahabat karib saya ketika proses pemilihan Wakil Kepala Sekolah sedang berlangsung. Sebuah ungkapan yang saya tidak tahu apakah itu keluar sebagai kelakar atau memang jeritan hatinya. Mengapa? Karena kalimat itu keluar manakala kami sedang melakukan panel diskusi dengan sebagian kandidat Wakil Kepala Sekolah, yang mana karib saya itu menjadi bagian dari proses yang sedang kami jalani bersama. 

Jadi terus terang sulit juga bagi saya untuk mengomentari atau memberikan jawaban atas lontaran kalimat tersebut. Kalau saya melihat dan menganggap hal itu serius, pasti orang yang mengeluarkan kalimat tersebut memang tidak pantas menjadi bagian dari manajemen sekolah. Karena saya berasumsi bahwa karib saya itu hanya pas jika sekolah dalam kondisi kondusif dan tidak ada riak gelombang. 

Tetapi jika itu sebagai guyonan, sebagai kelakar seorang guru dengan teman karibnya, kepada saya, maka saya merasakan ada yang kurang beres terhadap teman karib ini. Karena kalimatnya itu bukan kalimat senda gurau. Bukan kalimat candaan yang pas dalam situasi seperti itu. 

Oleh karenanya, saya tidak sama sekali melihat atau menghubungkan kalimat tanyanya itu sebagai bagian dari unsur yang menjadi pertimbangan kami ketika kami mengumpulkan poin di akhir diskusi panel yang kami laksanakan. Dan kalau kami masukkan, pasti karib sayalah orang yang pertama kali mental dari kancah kandidat yang ada.

"Apa yang menjadi modal buat karib Pak Agus berkata seperti itu jika kalimatnya itu kita anggap sebagai kalimat serius?" Demikian kata teman saya yang menjadi salah satu penelis dalam diskusi panel tersebut.

"Mungkin senioritasnya." Kata saya sederhana saja.

"Tapi apakah cukup ingin suatu jabatan hanya dengan kapital senioritas di sekolah kita yang seperti ini? Apakah tidak memikirkan bagaimana menangani suatu ketidakpuasan pihak lain? Bagaimana berkomunikasi secara persuasi argumentatif dengan bahasa yang tetap santun?" lanjut teman saya. Dan dari kalimat yang disusunya, teman saya itu menyangka bahwa saya akan menjadi pendukung atas keinginan karib saya terhadap jabatan yang sedang kami proses pengisinya.

Saya tersenyum mendengar kalimatnya yang lumayan bertubi itu. Saya sendiri terpikir bahwa untuk sebuah lembaga pendidikan yang kompetitif, maka dibutuhkan manajemen yang juga pasti harus kompetitif. Dengan demikian karib saya harus berpikir sejauh mana nilai kompetitif dirinya untuk jabatan yang diingininya?

Jakarta, 15.02 2016.

Akhir Jabatan

Sebenarnya, untuk saya pribadi, ini bukanlah suatu hal yang menarik untuk kemudian saya jadikan sebagai catatan di halaman ini. Tetapi inilah yang saya dapatkan sebuah keluhan atau aduan dari teman yang memang sebenarnya tidak lagi akan berakhir jabatannya, justru malah akan selesai masa tugasnya. Namun entah karena daya dorong darimana beliau begitu enteng ketika bercerita kepada saya. Karena kemarin adalah hari dimana usianya sudah 54 tahun yang berarti tahun depan ia akan memasuki masa pensiun.

"Pak Agus, saya degar dari beliau bahwa kalau tidak diperpanjang jabatannya beliau akan memilih menjadi Dosen." Begitu kira-kira kalimat yang saya dapatkan dari teman yang sebentar lagi pensiun. Dia menyampaikan bertepatan dengan sebuah pertemuan rutin bidang SDM yang kami selenggarakan di lembaga dimana saya ikut terlibat di dalamnya. 

Terus terang saya bingung memberikan respon yang tepat dan baik serta elegan atas cerita, atau laporan, atau aduan teman tersebut. Namun yang saya ingat benar adalah, saya tetap mendengarkan dan menyimak apa yang disampaikannya kepada saya. Sekaligus saya mengangukkan kepala. Sekaligus juga berkecamuk pikiran bingung apa yang dimaksud dibalik kalimat 'tidak diperpanjang masa jabatannya', dan 'ingin menjadi dosen'.

Tidak Diperpanjang Masa Jabatannya

Atas kalimat tidak diperpanjang jabatannya setelah masa jabatannya selesai nanti, saya menjadi terpikir oleh semangat teman-teman yang lain yang menuntut sebuah 'suasana' berbeda dan berganti. Yaitu dengan suasana yang lebih menantang dan lebih bergairah dalam menerapkan situasi transformasi lembaga yang sedang dijalani. 

Dan dari semangat itu, maka ada kebutuhan baru dalam lingkungan manajemen selain hanya merotasi jabatan, tetapi adalah pemangku jabatan yang memahami ke arah mana kita akan pergi. Dan bagaimana kami semua dapat melakukan proses secara berhasil ke lokasi yang lebih kompetitif itu. Karena bagaimanapun, transformasilah satu-satunya cara untuk menjadikan kita semua berjalan berkesinambungan.

Lalu bagaimana jikalau pemangku yang akan datang adalah mereka yang kompetensinya telah kita pahami degan pasti, bahwa ia barulah bagus dalam menjaga stabilitas dan bukan yang lebih sigap dalam melangkah ke depannya?

Maka kalau kalimat  tidak diperpanjang jabatannya setelah masa jabatannya selesai nanti, saya lebih baik absen untuk memberikan jawaban spontan sampai menunggu tim dan berdiskusi dengan lebih detil lagi.

Ingin Menjadi Dosen

Dan dengan kalimat terakhirnya itu, saya justru merasa bersyukur bahwa kalau pun tidak diperpanjang jabatannya, maka masih ada lokasi baru yang akan menampungnya. Tetapi bukankah usianya sudah tidak muda lagi? Kalau begitu apakah bukan berarti saya sebenarnya sedang diberikan sebuah 'aba-aba' supaya mempertimbangkan akan berakhirnya masa jabatannya?

Jakarta, 15.02.2016.

11 February 2016

Kandidat Pengganti

"Apa yang harus lakukan Mas ketika teman-teman di bagian operasional sulit untuk melakukan ekskusi atas apa yang telah disepakati sebagai program kerja?" Demikian antara lain keluhan atau curahan hati teman karib saya ketika menghadapi masalah di tataran operasional di lembaga dimana ia harus menjadi bagian pembuat kebijakan.

Karib saya itu tiba-tiba mengadukan suasana hatinya yang benar-benar di puncak kejenuhan setelah bertahun-tahun menjadi penanggungjawab kebijakan di bagian pendidikan sebuah lembaya yang mengelola pendidikan formal di Jakarta. Kejenuhannya semakin menjadi ketika banyak sekali apa yang sudah digariskan bersama di tataran kebijakan untuk diimplementasikan dalam kerangka kerja di lapangan tetapi tidak bisa jalan juga.

Kejenuhan yang menjadi memuncak ketika masyarakat seperti semakin menjauhi apa yang dolakukan di lembaga pedidikannya dengan terlihat dari animo mereka untuk menjadi bagian di kala penerimaan siswa baru. Semakin tahun, secara signifikan sejak 4 (empat)  tahun belakangan ini. Berharap yang tinggi dengan program kerja yang berdiversifikasi untuk kembali menarik perhatian masyarakat luas, tetapi jeblok dalam implementasinya.

Sebab inilah yang menjadikannya datang kepada saya dan mengadukan kesedihannya. berbagi kisah sulit.

"Bagaimana saya harus memulai dengan kenyataan seperti ini? Dari mana saya mengajak teman-teman di sekolah untuk berangkat menuju perubahan?" lanjutnya kepada saya. Alhamdulillah, sejak saya menyimak apa yang menjadi masalahnya saya sedikit mendapatkan gambaran akan lebar dan luas masalahnya.

"Kepada siapa Anda berharap agar program kerja yang dibuat diimplementasikan di lapangan?" Tanya saya kepadanya. Sembari menatap halaman kertas yang saya tulis berkenaan dengan program-program yang dianggapnya unggul dan mampu menjadi sisi yang deferensiasi sekolahnya.

"Yang pertama dan utama ya pasti kepada manajemen sekolah. Kepada Kepala Sekolah dan wakil-wakilnya." jelasnya dengan mantaf.

"Berapa persen atau berapa banyak, jika dinilai dari skala penilaian 1-100, terhadap keterlaksanaan program tersebut?" Kata saya mencoba mengejar jawabannya supaya dengan begitu, saya bisa 'menarik' logikanya kepada apa yang ingin saya sampaikan.

"Kalau ada beda yang besar dan sulit ditingkatkan harapanmu, maka sebaiknya sekolah mencari kandidat yang baru."

Jakarta, 11.02.2016

10 February 2016

Di Vila Linggi, Saya Menonton Teater Rakyat

Ahad, 7 Februari 2016, sebagai hari ketiga, kami berada di Pulau Dewata, saya berkesempatan menonton Teater Rakyat asuhan Bapak Ketut Sukadana. Sebuah tontonan yang baru kali pertama saya melihatnya. Konsep, panggung, pemain, dan jalan ceritanya berbeda sebagaimana yang pernah saya tonton di Uluwatu.  Lokasinya pun lumayan aneh. Disebuah Villa yang dibangun di pertengahan sawah, di Subak Kalangan Kebon, Singapadu, Gianyar, Bali.
Para penonton berada di sisi kiri dan kanan 'panggung' pertunjukan.

Pelataran yang menjadi halaman di villa, yang terdiri dari sebidang halaman rumput dengan ukuran lebih kurang 5 meter x 10 meter, kolam lumpur dengan air yang tidak dalam dengan ukuran lebih kurang 5 x 6 mater, plus sebuah pendopo yang berada di tataran atas halaman rumput tempat dimana dipan dan barong digantung dengan 4 tali. Di lokasi itulah para penari atau pemain teater rakyat tersebut ber-acting.
Babak awal pertunjukkan dimulai.

Permain diawali oleh seorang yang berperan sebagai asisten rumah tangga seorang pembesar desa yang rakus, yang digambarkan dengan meminta makan kepada si asisten rumah tangga dan dengan mempertontonkan cara makan yang tidak peduli rasa. Sampai dengan si juragan memotong hewan kurban untuk sebuah acara yang akan dilaksanakan.
Mononton bayangan di layar putih.


Cerita terus mengalir dengan durasi lebih kurang 90 menit tanpa jeda. Dengan panggung pertunjukan berpindah di tiga latar pertunjukan, pertama di lapangan rumput di hadapan kami, kedua adalah petak sawah kering yang berumput yang ada di undakan atas dimana layar putih terbentang. Dimana para penari menari di belakang layar terbentang tersebut dan kami melihat bayangan penari dengan atraksi yang diperagakan dengan bantuan cahaya lampu dan cahaya obor. Dan sebagai latar terakhir adalah petak sawah yang berlumpur dan berair, yang menggambarkan kesuburan, ujar Pak Ketut Sukadana.
Foto bersama dengan gaya menjulurkan lidah, semua penari dan pemain serta kami sebagai penontonnya.
Dan secara kesuluran, kami semua benar-benar puas terhibur akan atraksi dan penampilan dari sebuah pertunjukkan yang langka bagi kami. Untuk itulah kami mensyukuri atas kesempatan yang kami dapatkan ini. Mungkin Anda tertarik?

Jakarta, 9-10 Februari 2016. 

02 February 2016

Antara Citra dan Fakta #2

Ini masih tentang kelanjutan dari fenomena pekerja, yang dengan kebanggaannya membuat citra yang bagus untuk tampil maksimal ketika berada di area publik. Visi utamanya di area itu tidak lain adalah dikenal sebanyak mungkin orang. Dikenal karena 'profesionalnya', dikenal karena pandainya mengemukakan banyak gagasan yang cermerlang, dikenal karena pengetahuannya yang luas. Dan beberapa diantara orang-orang yang mengenal dirinya akan melihatnya itu sebuah kesempurnaan yang menginspirasi. Paling tidak itulah asumsi beberapa orang yang mengenalnya di ruang publik. Pendidik profesional.

Dan itu semua pada tataran pencitraan yang ada dalam pemahaman saya. Sebuah sosok pendidik yang ideal. 

Namun begitukah yang menjadi sosok sesungguhnya dalam tataran kehidupan nyata? Mungkin kita perlu mengenalnya lebih dekat lagi. Atau mengenalnya dalam kurun yang lebih lama lagi. Ini untuk memberikan tenggat buat kita agar dapat menemukan unjuk kerja atau pola hidup yang benar-benar nyata.

Perlu pula melihat perjalanan karir dan persahabatannya dengan teman satu kantor atau satu lokasi kerjanya. Atau bila mungkin, mengunjungi apa yang sebenarnya yang ia sedang jalani dalam hidup sehari-hari di dunia nyatanya. Karena dengan ini kita baru akan menemukan sejauhmana inspirasi yang memang selayaknya kita terima.

"Apakah Pak Agus mengenal dengan baik dengan Pak Itu?" Begitu salah satu pertanyaan konfirmasi yang saya dapat di sebuah kegiatan keguruan. Dan menjawab dengan apa adanya. Karena sungguh saya mengenalnya dengan begitu baik.

"Saya bermaksud membawa teman-teman dari sekolah dimana saya membantunya untuk dapat mengunjungi dan berdiskusi dengan beliau. Sekaligus ingin melihat bagaimana penerapan konsep yang beliau kemukakan dalam forum-forum pelatihan. Kami sungguh ingin belajar. Karena saya mendapat kesan bahwa sekolah beliau adalah sekolah yang begitu kompetitif." Begitu teman saya memberikan argumentasinya.

Saya tentu menjadi buntu kalimat. Sulit melanjutkan percakapan. Saya hanya memberikan kepadanya alamat dan no seluler yag dapat mereka hubungi...

Jakarta, 2 Februari 2016.

29 January 2016

Antara Citra dan Fakta

Saya dalam kondisi yang harus merenung ketika ada teman-teman yang sibuk bukan main di organisasi profesi, yang merupakan organisasi nir-laba, yang oleh karenanya posisinya di organisasi itu seharusnya juga tidak ada pendapatan tetap bulanan. Sementara pada waktu yang sama, teman-teman itu bergelantung kepada profesinya sebagai guru! Dan dengan profesinya itu maka ia mendapatkan pendapatan tetap bulanan yang akan selalu masuk dalam rekeningnya. Tetapi jika melihat betapa jadwal hariannya yang padat, maka keberadaannya justru banyak di media sosial dengan aktivitas organisasinya daripada di lokasi dimana ia menyandang profesi sebagai guru. Inilah renungan saya, yang membuat dan mendorong saya, untuk mencatatnya di halaman ini. Inilah pula yang saya sebut sebagai kontradiksi antara citra dan fakta.

Mengapa Citra?

"Wah hebat sekali dengan Pak itu ya. Hebat. Membuat saya kagum. Kalau berbicara di depan umum dengan audiens sebanyak aula ini kok percaya diri dan terlihat pintar. Bahagia sekali lembaga atau sekolah yang menjadi tempat mengabdinya sehari-hari. Pasti jadi guru hebat di kelasnya. Juga pasti ia seorang Kepala Sekolah yang menginspirasi teman-teman kerjanya di sekolahnya." Beginilah lebih kurang deskripsi kalimat yang disampaikan oleh peserta seminar ataui peserta sosialisasi atau kegiatan publik lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dimana ia menjadi motor penggeraknya. Sebuah komentar yang dahsyat dan membanggakan.

Sebuah pernyataan yang merupakan asumsi tentang sebuah citra diri. Dan alangkah positifnya brand image yang terbangun dari sebuah kinerja panggung. Inilah gambaran dimana teman saya mendapatkan pujian dari lingkunganya di suatu acara.

Juga ada lagi seorang peserta seminar yang ketika selesai sesi menemui teman saya dan mengajaknya bercengkerama; "Pak, bagus dengan apa yang Bapak sampaikan. Saya setuju sekali. Pak apakah bisa saya disuatu saat nanti mengajak teman-teman guru di sekolah saya untuk berkunjung ke sekolah dimana Bapak sehari-hari mengejawantahkan profesi Bapak? Apakah persyaratan yang harus kami penuhi untuk itu?" 

Bagaimana Faktanya?

"Bu Kepala Sekolah, Pak itu hari ini kemana ya Bu? Kami di kelas tidak ada yang mengajar." Lapor seorang siswa di ruang Kepala Sekolah. Ia mewakili teman-temannya mengkonfirmasi sekaligus memberikan informasi bahwa ada guru yang tidak ada di dalam kelasnya ketika harus mengajar.

Jakarta, 29 Januari 2016.

28 January 2016

Jangan Rebut Guru Kami

Catatan saya ini ingin mengabadikan tentang kisah yang dialami oleh seorang kepala sekolah yang harus 'dimarahin' atau lebih tepatnya 'diceramahi' oleh teman kepala sekolah dari sekolah tetangganya karena harus menerima guru yang melamar di sekolahnya. Menjadi menarik buat saya karena temannya teman saya ini mempersalahkannya. 

"Apakah sejak awal Ibu tidak tahu kalau kandidat guru yang sedang Ibu proses itu adalah guru yang sedang mengajar dari sekolah tetangga Ibu?" Tanya saya mencoba melihat dari sisi yang berbeda.

"Saya memang membaca kalau kandidat itu masih sebagai staf pengajar di sekolah lain dari CV yang dikirim via pos. Tapi justru karena itu saya menjadi ingin tahu mengapa kandidat itu masih mau mengirimkan lamaran kepada kami?" Jelas teman saya.

"Terus apa informasi yang didapat setelah wawancara pertama dengan kandidat tersebut? Apakah Ibu dapat sesuatu yang dapat memberikan masukan sehingga Ibu berani mengambil dia sebagai guru Ibu?"

"Ya benar Pak. Setelah saya mendapat informasi dari dia maka saya mencoba memberikan penawaran untuk memberikannya sebagai guru di tahun yang akan datang."

"Lalu apakah selama proses berlangsung berarti kandidat itu harus meminta izin tidak mengajar di sekolah tetangga Ibu?"

"Karena itulah mungkin yang membuat teman saya menjadi gerah."

"Lalu dari mana kepala sekolah teman Ibu itu tahu kalau salah satu gurunya melamar di sekolah Ibu?"

"Kandidat itu sendiri yang menyampaikan kepada kepala sekolah teman saya."

Itulah yang menjadi kegalauan teman sesama kepala sekolah teman saya. Ia begitu menjadi sangat tidak dihargai oleh gurunya yang mengirim lamaran kepada sekolah tetangga dan sekaligus berlanjut mengajukan pengunduran diri. Dan wajar saja jika keluguan kandidat itu membuat atasannya uring-uringan.

Dan saya kira wajar juga jika kepala sekolah teman saya merasa bahwa gurunya direbut oleh temannya. Meski si gurunya tetap memiliki hak untuk menentukan pilihan lembaga yang diyakini membuatnya lebih baik di masa berikutnya.

Jakarta, 28 Januari 2016.

Bapak Main Saja, Bapakkan dari Kampung

"Bapak ikut main saja sama mereka, Bapak kan bisa. Bapak dan dari kampung." Demikian kalimat pernyataan dari seorang siswa saya yang masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, ketika bersama saya menonton teman-temannya yang sedang bermain congklak di halaman sekolah kami sebelum anak-anak itu masuk ke kelas setelah istirahat pagi.


Saya tersenyum senang dengan penuh ketulusan atas apa yang dia nyatakan. Kalimat yang dibuatnya itu benar-benar langsung dan benar-benar orisinil. Membuat saya justru tersenyum sekaligus kagum. Tersenyum karena sedikit kaget dengan kalimat yang dia sampaikan. Dan kagum karena saya tidak menduga sama sekali bahwa ada siswa kami di Jakarta memiliki kosa kata kampung. 

"Tidak. Pak Agus hanya ingin melihat teman-temanmu itu bergantian dalam bermain congklak. Kalau Pak Agus ikut main maka mereka akan antri lebih panjang lagi untuk dapat giliran." Begitu lebih kurang kalimat balasan saya.

"Dari mana kamu tahu kalau Pak Agus dari kampung?" Saya bertanya.

"Kan Bapak guru. Jadi dari kampung. Aku kalau pulang ke rumah nenek di Bandung juga bermain congklak sama teman di sana." 

Jakarta, 28 Januari 2016.

22 January 2016

Jangan Rebut Peserta Didik

Saya mendapat cerita dari seorang Kepala SD swasta di Jakarta atas keluhan teman sejawatnya, yaitu Kepala SD swasta juga,  yang menjadi tetangga sekolah perihal kepindahan siswa atau peserta didiknya. Ini terjadi manakala ada salah seorang peserta didiknya dari sekolah tetangganya yang mencoba untuk masuk atau pindah ke sekolahnya. Namun mengingat daya tampung sekolah yang sudah maksimal, maka ia meminta calon orangtua tersebut untuk menunggu hngga ada peserta didiknya yang pindah mengikuti orangtuanya. Dan ini kadang terjadi manakala ayah atau ibu anak-anak itu harus mendapat mutasi.

Akan tetapi, nampaknya informasi bahwa ada salah seorang peserta didiknya sedang berusaha masuk ke sekolah yang ada di tetangganya, maka Ibu Kepala Sekolah yang bersangkutan mengkonfirmasi kepada teman saya.

"Mengapa sebagai tetangga dekat Ibu menerima siswa kami yang akan pindah? Semestinya sebagai tetangga, dan sekaligus sebagai sama-sama sekolah swasta, Ibu tidak perlu menerima siswa pindahan dari sekolah kami." Begitu kira-kira kalimat aduan dan komplain dari teman sejawatnya kepada teman saya yang Kepala Sekolah.

Dan ketika selesai bercerita, saya mencoba bertanya kepada teman saya yang Kepala Sekolah itu;

"Berapa usia Kepala Sekolah yang siswanya akan pindah itu Bu?" Tanya saya untuk membuka percakapan.

"Sudah seperti kita Pak. Di atas lima puluh." Jawab teman saya.

"Mengapa orangtua tersebut ingin memindahkan putranya ke sekolah Ibu padahal sekolah itu berdekatan? Pasti bukan karena lokasi kan?" Tanya saya lagi.

"Bukan Pak. Menurut orangtua itu, motivasi ingin memindahkan putranya ke sekolah kami karena ia melihat dan mengalami sesuatu yang kurang pas terhadap guru-guru yang ada di sekolahnya sekarang. Dia sudah menahan diri. Juga sudah pernah menyampaikan apa yang menjadi konsernnya kepada Ibu Kepala Sekolah, tetapi seperti angin yang berlalu." Jelas teman saya itu.

"Lalu apakah Ibu Kepala Sekolah tetangga Ibu itu tahu persis terhadap isu-isu seperti itu dari pihak orangtua siswanya?" kata saya mencoba ingin tahu lebih detil.

"Tahu Pak." Jawabnya.

"Lalu mengapa Ibu Kepala Sekolah teman Ibu itu justru 'menyerang' Ibu sebagai sekolah pilihan barunya?" tanya saya lagi.

"Ya sebagai upaya agar siswanya tidak pindah berbondong-bondong Pak." Jelas teman saya.

Saya bersyukur bahwa saya hari itu mendapat cerita teman seperti itu. Bersyukur karena sebelum ceritanya saya tulis dalam catatan saya disini, saya sudah sampaikan kepada teman-teman saya yang ada di lembaga dimana saya berada, untuk tanggap terhadap 'perubahan' lingkungan. Agar teman-teman saya selalu mampu memberikan respon terhadap informasi dari sisi positif. Agar semua masukan dilihat dari kacamata kekurangan yang ada pada diri kita sendiri sehingga tidak bersikap bertahan serta menyalahkan persoalan ke[pada orang lain. Semoga.

Jakarta, 22 Januari 2016.

21 January 2016

Ini untuk Program KS Selanjutnya

Ini memang komentar yang sungguh saya tidak berharap keluar dari seorang Kepala Sekolah ketika saya menyampaikan sebuah paparan program yang kalau dijalankan dengan konsekuen dan berkelanjutan bisa menjadi salah satu daya saing sekolah. Dan ini membutuhkan semangat transformasi dari semua warga sekolah. Namun Kepala Sekolah-lah yang akan menjadi komandan bagi keberhasilan program yang di pilih untuk menjadi bagian dari keunggulan sekolahnya.

Maka tidak mengherankanlah jika dalam forum dimana saya sedang menyampaikan paparan di hadapan beliau beserta seluruh anggota yang ada di komponen sekolah, beiau menyampaikan komentar yang membuat saya kaget. "Saya perlu tegaskan yang Bapak dan Ibu Guru kalau hari ini kita akan belajar sesuatu yang baru buat kita. Ini menyikapi atas jumlah siswa baru kita yang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Dan ini nantinya menjadi program bagi Kepala Sekolah yang akan menggantikan saya, yang kasa tugas saya akan berakhir pada Juni 2016."

Dan sebagai keheranan yang tidak terkirakan atas statmen Kepala Sekolah itu, saya menjadi salah tingkah dan sulit menemukan kata atau kalimat berikutnya dalam melanjutkan paparan program yang seharusnya saya uraikan dan jelaskan. Saya tiba-tiba menjadi mati akal.

Saya merasakan kehambaran yang luar biasa dalam menghabiskan waktu paparan saya yang syukurnya hanya setengah hari. Ini  menjadi pengalaman terbaru buat saya dalam sebuah presentasi di pelatihan.

Karena pada umumnya, dalam setiap presentasi atau pelatihan, mayoritas peserta akan begitu antusias dalam menyikapi dan memberikan pernyataan atas apa yang saya sampaikan. Mereka begitu bersemangat untuk memberikan persoalannya dan harapan solusinya kepada saya. Tetapi dengan Kepala Sekolah itu, saya menemukan sebuah sosok yang berbeda sama sekali.

Jakarta, 21 Januari 2016.

18 January 2016

Guru Sertifikasi #13; Hanya Mengingatkan

Apa yang sering saya kemukakan berkenaan dengan guru sertifikasi dan tunjangan yang dapatnya adalah bagian dari tugas saya untuk mengingatkan. Mengingatkan agar teman-teman tidak melupakan hakekat dari sertifikasi itu sendiri dan jangan hanya fokus kepada tunjangan yang akan keluar. Karena perilaku teman-teman di sekeliling saya beberapa diantara teman hanya berpusat kepada tunjangan sertifikasinya hingga melupakan apa sesungguhnya tanggungjawabnya di lapangan ketika berinteraksi dengan siswa dan persiapan administrasinya yang baik.

Terlebih bila teman itu adalah bagian internal dari lembaga pendidikan yang menjadi tanggungjawab saya. Maka disharmoni sering menjadi masukan guru lain atau bahkan Kepala Sekolahnya kepada saya. Maka dalam beberapa pertemuan saya mencoba untuk mengingatkan mereka. 

Dan karena mungkin terlalu telatennya saya mengajak Kepala Sekolah untuk disiplin dan tertib dalam verifikasi berkas guru sertifikasi yang akan dikumpulkan, maka sering juga saya mendapat suara beda yang nadanya meminta saya agar tidak perlu cawe-cawe dengan hak orang lain.

Atau sebaliknya, tiba-tiba saya mendapat hadiah yang datangnya tidak disangka.

"Ini dari teman-teman guru yang sertifikasi Pak Agus." Begitu kalimat house keeping di sekolahan sembari menenteng satu bungkus plastik cukup besar berisi makanan enak. 

"Waduh, kok begitu Mbak. Itu buat saya semua Mbak? Apa ngak salah? Apakah untuk Mbak sendiri dapat kiriman yang sama?" Tanya saya sekaligus ingin mengorek informasi apa saja yang dia dapat dari teman-teman pengirim. 

"Kali ini hanya untuk Bapak Pak pesannya. Buat saya sudah beberapa waktu lalu. Dibeliin es Pak." 

"O... begitu ya Mbak. Okey kalau begitu Mbak. Tolong sekaligus dibagikan beberapa yang ada di dalam plastik itu untuk Mbak dan teman-teman di ruang itu." Begitu kata saya meminta Mbak di ruangan agar membagi-bagikan roti tersebut kepada kami semua.

Jakarta, 18.01.2016.

15 January 2016

Belajar dari Teman, Sebuah Catatan Subyektif

Bertemu, berdiskusi tentang suatu hal hingga juga suatu saat harus bersama-sama memutuskan suatu hal, bersama-sama juga menjalankan serta memantau, memonitoring tentang suatu hal yang telah kita sepakati, hingga menemukan titik temu untuk melakukan hal yang lainnya, menjadikan saya memiliki wawasan yang mendalam tentang karakter teman. Setidaknya setelah 10 tahun ini saya bersama-sama dengan teman untuk menjalankan banyak hal. Dan ini membuat saya belajar tentang hal baik yang akhirnya dapat saya jadikan sebuah ukuran.

Ukuran dengan mempertimbangkan bagaimana teman menilai sesuatu  menambah perbendaharaan bagi saya. Selain itu juga karena setelah sekian lamanya saya berteman, maka ketika akan mendapat even yang baru, bagus juga buat saya untuk mempertimbangkan apakah saya tetap akan bersama teman itu atau memilih teman yang lain?

Sebagai gambaran saja ketika kami sama-sama harus membuat suatu keputusan yang berdampak kepada orang banyak yang ada disekitar kami, maka ada teman-teman yang selalu berpikir prediktif dan hati-hati. Dan karena teman-teman dengan kaca mata ini yang lebih dominan dibandingkan saya, maka dengan berat hati dan penuh kegeraman, saya yang ada di pihak minor, harus mengalah untuk bilang setuju. Meski saya juga tidak ketinggalan menyampaikan sebagaimana yang sering saya sampaikan kepada mereka bahwa prinsip saya adalah "Aku adalah bagaimana hambaKu berprasangka kepadaKU."

Meskipun ada diantara teman saya yang langsung kena terhadap apa yang saya maksudkan. Tetapi atas dorongan nafsunya, ia tetap mengatakan kepada saya, sebagai argumentasi atas pilihan keputusannya; "Tidak bisa begitu Mas, bagaimana manapun kita harus melihat kapital yang kita ada. Dan sikap ini bukan bertentangan terhadap apa yang Mas Agus sampaikan."

Atau dalam hal lain, misalnya, saat kami harus menyampaikan perpisahan kepada teman kami yang telah bertahun-tahun berada dalam barusan yang sama, maka saya mengusulkan agar kiranya kita menganut saja azaz yang berlaku dan lazim. Azaz yang memang memiliki legal dan formalnya di hadapan aturan.

Namun sekali lagi, teman-teman saya mengusulkan cara pandang yang berbeda untuk membuat keputusan tersebut? Bentuknya? Merumuskan aturan sendiri, yang kemudian dijadikan sebagai ukuran dan standar. Tentunya dengan menisbikan apa yang selama ini berlaku di masyarakat luas.

Pada saat itu saya langsung memberikan komentar pedas kepada dua iorang yang mewakili kami dalam membuat keputusan, yaitu komentar "Medit!". Dan saya sama sekali tidak ambil peduli dengan reaksi teman-teman yang lain. Ujungnya?

Ketika suatu saat ada ketidakpuasan dari teman kita yang lain dan ketidakpuasannya itu ia bawa ke ranah pemerintah, maka apa yang menjadi rujukan dalam pembuatan keputusan, yang dibuat teman-temannya itu sama sekali dimentahkan. Apa komentar saya ketika itu? Lebih pedas lagi. Dalam sebuah forum kecil, saya menyampaikan bahwa; "Buat aturan atas aturan yang telah pemerintah buat untuk mengambil sebuah keputusan menjadi sia-sia. Apakah kita menganggap bahwa apa yang telah ada itu tidak sempurna sehingga kita harus membuat aturan yang berbeda? Mengapa kita beranggapan bahwa seolah kita pintar?".

Mungkin itulah catatan saya pagi ini terhadap 10 tahun perjalanan saya bersama teman-teman. Sebuah catatan pribadi yang subyektif.

Jakarta, 15 Januari 2016.

13 January 2016

Sertifikasi Guru #12; Admin Nanti Juga Dapat Sertifikasi!

Saya kaget luar biasa ketika ada teman guru yang, mungkin ngak sadar atau mungkin justru dengan kesadaran penuhnya lalu mencoba memberikan alasan, pada saat saya menyampaikan dalam forum guru agar tunjangan sertifikasi itu memberi dampak positif tidak hanya kepada penerimanya, tetapi juga lingkungan kerjanya. Semacam celetukan. Dan karena dengan volume yang lumayan keras, maka suaranya dapat didengar oleh audien yang lain, termasuk saya yang sedang menyampaikan amanat.

"Tenaga Admin nanti juga dapat sertifikasi Pak." 

Berkaca dari situlah saya membuat catatan ini untuk saya jadikan pelajaran bagi diri sendiri. Semoga.

Celetukan yang memberikan informasi serta penegasan bahwa saya tidak tahu kalau pada akhirnya nanti tenaga administrasi yang sekarang di sekolah menjadi petugas portal web, sebagai tenaga kependidikan, juga akan masuk dalam rencana pemerintah sebagai tenaga yang tersertifikasi. Padahal meski saya tidak tersertifikasi sebagai tenaga kependidikan atau pendidik profesional juga tidak buta. Karena ini menjadi bagian inheren dalam tugas profesional saya.

Oleh karenanya, dengan mendengar komentar tersebut di tengah-tengah saya sedang menyampaikan masukan kepada yang telah menikmati dana APBN yang bernama sertifikasi menjadi arif untuk membelanjakan, tersengat pula. Maka saya memberikan tambahan masukan atas asumsi yang saya miliki berkenaan dengan tunjangan tersebut;

Pertama,  harus disadari bahwa sebagian besar teman yang tersertifikasi di sekolah sebagai pendidik profesional itu menempuh jalan dengan PLPG. Dimana kegiatan ini membutuhkan waktu relatif panjang, sekitar 6 hari kerja. Dimana dalam kurun waktu tersebut kami di sekolah harus mengatur guru pengganti selama yang bersangkutan tidak berada di sekolah.

Kedua, Bahwa dalam setiap perbaikan data yang kemudian disebut sebagai pemberkasan, teman-teman pendidik profesional tersebut juga harus mengumpulkan berkas-berkas yang tidak semuanya merupakan usahanya sendiri, ada teman di kiri dan kanan yang terlibat dan berkontribusi.

Ketiga, tidak jarang pula bahwa ketika pemberkasan tersebut teman-teman pendidik profesional itu meninggalkan jam belajarnya di sekolah, yang berarti juga membutuhkan jadwl pengganti guru. 

Kelima, Berkenaan dengan data dan fakta mengajar teman-teman pendidik yang tersertifikasi itu harus masuk dalam web yang dirujuk, maka membutuhkan tenaga up loader. Dan karena web tersebut di akses oleh puluhan ribu admin sekolah dalam waktu yang nyaris bersamaan, maka kelancaran jaringan harus menggunakan kesabaran.

Berkaca dari lima hal yang saya kemukakan itu, maka semua bentuk komentar atau pendapat atau argumen yang ujung-ujungnya hanya karena uang sertifikasinya tidak rela berkurang, menurut pendapat saya adalah karena pelit. Seperti komentar atau celetukan teman guru di atas, pada saat saya memberikan pengarahan di forum.

Jakarta, 13 Januari 2016.

11 January 2016

Sertifikasi Guru #11; Pengurangan Persyaratan Guru Tersertifikasi

Beberapa kali saya mendapatkan whats app atau sms atau bahkan juga dibarengi dengan telepon dari seorang Kepala Sekolah yang meminta dukungan moril atas apa yang sedang membuatnya gundah manakala menentukan atau memutuskan sesuatu yang berkenaan dengan temannya yang sedang mengejar tunjangan sertifikasi guru. Teman saya ini butuh sekali penegasan dari saya. Tidak hanya lisan atau kiriman balasan whats app, tetapi juga meminta sebuah surat, seperti surat keputusan.

Mengapa harus galau? Tidak lain karena ada teman-temannya, yang juga adalah guru-gurunya, yang kebedaannya lebih dari satu orang guru, yang benar-benar tidak pada lokasinya untuk mendapatkan tunjangan. Bukan karena jumlah jam mengajarnya kurang, tetapi lebih dari ketidak beradaannya di dalam kelas sesuai dengan jadwal pelajaran yang telah ditentukan.

Kalau harus masuk kelas pukul 08.00, maka sering didapati kelas yang menjadi tanggungjawabnya itu dibiarkan kosong. Dan atas kenyataan itu, menjadikan informasi yang tidak sehat dan bagus untuk sekolah. Selain juga harus ada teman yang lain untuk menemani siswa di kelas. 

Atas keyataan itu, maka kami membuat kebijakan baru untuk semester berikutnya, yaitu mengurangi jam mengajarnya di kelas. Implikasinya adalah pengurangan persyarat jam mengajar bila harus melakuan pemberkasan di sertifikasi. Lalu disinilah muncul kegalauan itu. Guru masih belum menyadari mengapa jam pelajarannya diurangi, sementara tetap kekeh untuk mengejar dana sertifikasi yang menjadi 'hak'nya.

Maka dengan menunjuk kepada surat yang kami pesan itulah teman saya yang Kepala Sekolah itu dengan berat hati tidak menandatangani surat pernyataan sebagai Kepala Sekolah. Akibatnya, pemberkasan gagal dilakukan. Dan pada posisi ini saya selalu meneguhkan kepada teman Kepala Sekolah untuk tidak merasa bersalah.

Karena menurut saya, teman-teman tersertifikasi sebagai guru profesional itulah yang menjadi tolok ukur bagi etos guru di sekolahnya. Dan manakala ada diantara mereka dengan tidak menunjukkan unjuk kerja sebagai guru profesional, dan ketika hembusan ketidakpuasan dari siswa lebih-lebih hingga orangtua, maka terlalu berat beban sebagai Kepala Sekolah untuk menopang sisi buruk itu.

Maka salah satu upayanya adalah megurangi beban kerjanya meski akibatnya kepada pengurangan pemenuhan syarat sebagai guru tersertifikasi...

Jakarta, 11 Januari 2016.

07 January 2016

Sertifikasi Guru #10; Tunjangan dan Disharmoni Warga Sekolah

Satu lagi kisah tidak positif dari Sertifikasi Guru. Setidaknya ini apa yang saya dapatkan dari teman Kepala Sekolah. Bahwa orang kepercayaannya yang kemudian akan meninggalkannya dan lembaganya karena memilih lembaga yang baru yang menjadi tumpuannya. Ini tidak lain karena sang orang kepercayaan adalah juga administratur sekolah yang tersakiti hatinya oleh sikap dan perilaku beberapa oknum guru tersertifikasi di sekolahnya.

Administratur sekolah ini sekarang menjadi lumayan fital keberadaannya karena semua data harus masuk dalam sistem komputerisasi yang terpusat. Dan ini juga menjadi 'bahan' yang bersinggungan dalam konstelasi sosial. Karena para adminitratur ini tidak mendapatkan 'tambahan' apresiasi dengan beban yang lumayan berat. 

Berat? Karena data yang terpusat, maka membutuhkan waktu dan kesabaran bagi mereka untuk meng-up load data yang telah dia perbaiki ke dalam sistem komputer yang terpusat tersebut. Dapat di bayangkan kalau dalam waktu yang bersamaan ada 7500 adimintratur sedang meng-up load secara bersamaan?

Anehnya, karena ketika tugas admin telah kelar dan pada akhir  triwulan dan merasa bahwa tunjangan sertifikasi itu menjadi hak sepenuhnya dari guru yang telah mendapatkannya, mereka yang ada di dalam sekolah itu sepakat diam-diam dengan tidak memberikan kabar bahwa tunjangan telah cair. Meski kabar itu tidak harus dalam bentuk maklumat, tetapi, misalnya, ada makanan kecil yang tiba-tiba tersedia di ruang guru.]

Dan sebaliknya, ketika tugas admin dalam meng-up date data telah usai dan ternyata di akhir triwulan ada beberapa guru tersertifikasi belum memperoleh kiriman dari APBN ke dalam rekeningnya, maka guru-guru itu pasti akan bisik-bisik dan bahwa bicara terbuka atas nasibnya. Dan tidak juga jarang mereka akan memiliki perasaan dan pikiran buruk bahwa kiriman belum diterima karena sistem administrasi ada yang tidak beres. Dan ini pasti berkait  langsung kepada pihak admin sekolah yang barangkali ada keteledoran. 

Inilah salah satu dari titik disharmoni yang ada di sekolah akibat dengan tunjangan sertifikasi. Jadi karena salah satu saja, maka masih ada beberapa titik simpul yang menyebabkan lahirnya disharmoni. Namun saya akan mencobanya untuk mencatatnya dalam lembar catatan yang lain. 

Jakarta, 7 Januari 2016.

06 January 2016

Piknik Sekolah #2

Meski waktu itu hampir semuanya mendadak, mulai dari rencana keberangkatan, destinasi yang semula akan dituju kemudian berubah pada detik-detik terakhir, saya sendiri masalah dengan paspor yang harus membuat baru, piknik sekolah tetap berjalan. Mungkin karena rombongan kami tidak terlalu banyak dan peserta juga terdiri dari manajemen sekolah, jadi semua serba cepat dan kilat.


Saya sendiri mensyukuri bahwa menjadi bagian dari trip yang diselenggarakan sekolah itu. Selain karena ini merupakan bentuk hadiah atau bonus, kegiatan ini juga dapat menjado pembanding buat saya tentang yang orang-orang sering perbincangkan.



Jakarta, 6 Januari 2016.