Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

10 February 2016

Di Vila Linggi, Saya Menonton Teater Rakyat

Ahad, 7 Februari 2016, sebagai hari ketiga, kami berada di Pulau Dewata, saya berkesempatan menonton Teater Rakyat asuhan Bapak Ketut Sukadana. Sebuah tontonan yang baru kali pertama saya melihatnya. Konsep, panggung, pemain, dan jalan ceritanya berbeda sebagaimana yang pernah saya tonton di Uluwatu.  Lokasinya pun lumayan aneh. Disebuah Villa yang dibangun di pertengahan sawah, di Subak Kalangan Kebon, Singapadu, Gianyar, Bali.
Para penonton berada di sisi kiri dan kanan 'panggung' pertunjukan.

Pelataran yang menjadi halaman di villa, yang terdiri dari sebidang halaman rumput dengan ukuran lebih kurang 5 meter x 10 meter, kolam lumpur dengan air yang tidak dalam dengan ukuran lebih kurang 5 x 6 mater, plus sebuah pendopo yang berada di tataran atas halaman rumput tempat dimana dipan dan barong digantung dengan 4 tali. Di lokasi itulah para penari atau pemain teater rakyat tersebut ber-acting.
Babak awal pertunjukkan dimulai.

Permain diawali oleh seorang yang berperan sebagai asisten rumah tangga seorang pembesar desa yang rakus, yang digambarkan dengan meminta makan kepada si asisten rumah tangga dan dengan mempertontonkan cara makan yang tidak peduli rasa. Sampai dengan si juragan memotong hewan kurban untuk sebuah acara yang akan dilaksanakan.
Mononton bayangan di layar putih.


Cerita terus mengalir dengan durasi lebih kurang 90 menit tanpa jeda. Dengan panggung pertunjukan berpindah di tiga latar pertunjukan, pertama di lapangan rumput di hadapan kami, kedua adalah petak sawah kering yang berumput yang ada di undakan atas dimana layar putih terbentang. Dimana para penari menari di belakang layar terbentang tersebut dan kami melihat bayangan penari dengan atraksi yang diperagakan dengan bantuan cahaya lampu dan cahaya obor. Dan sebagai latar terakhir adalah petak sawah yang berlumpur dan berair, yang menggambarkan kesuburan, ujar Pak Ketut Sukadana.
Foto bersama dengan gaya menjulurkan lidah, semua penari dan pemain serta kami sebagai penontonnya.
Dan secara kesuluran, kami semua benar-benar puas terhibur akan atraksi dan penampilan dari sebuah pertunjukkan yang langka bagi kami. Untuk itulah kami mensyukuri atas kesempatan yang kami dapatkan ini. Mungkin Anda tertarik?

Jakarta, 9-10 Februari 2016. 

No comments: