Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

20 September 2013

Minuman Sehat

Menemukan anak-anak dengan minuman 'murah' dengan warna terang yang menggairahkan mata ketika menatapnya, sungguh menjadi ta tangan tersediri buat saya yang menjaga di pintu keluar gerbang sekolah. Bersama guru yang lain dan anggota security, saya benar-benar harus mencegah keinginan siswa untuk membeli dan mengkonsumsinya. Bukan karena diskriminasi dengan penjual minuman itu karena mereka berjualan di luar pagar sekolah, tetapi apa yang kami lakukan itu adalah niat murni karena untuk keselamatan raga anak-anak itu sendiri dimasa yang akan datang.

Ini memang menjadi tantangan tersendiri buat kami, dan saya. Mengingat minuman itu dibandrol dengan harga tiga ribu ruah, dengan aneka warna yang cemerlang, plus es batu yang menjadi penambah ngiler bagi siapa saja yang melihatnya di bawah terik Matahari. Harga yang tergolong miring jika dibandingkan dengan harga yang dijajakan di kantin sekolah. Sebuah perjuangan.

Investasi Sehat

Apa yang menjadi konsen kami dan saya di sekolah,  dengan minuman anak-anak itu tidak lain hanya untuk masa depan kesehatan dari raga mereka semua. Semacam investasi dalam persfektif jangka yang lama.

Ini tidak lain karena anak-anak di tengah teriknya matahari Jakarta, tersedianya air minum dingin, adalah sesuatu yang paling pas. Sepanjang mata menatap butiran udara di permukaan air minum itu, maka sepanjang itu pula godaan untuk menyantapnya. Bersoda? Citra warna dari bahan yang merusak? Berpengawet? Kandungan gula yang berlebihan? Semua tidak menjadi persoalan sekarang.

Itulah inti dari konsen kami tentang investasi sehat, yang musim panennya bukan esok atau minggu depan saja. Karena sangat boleh jadi lima, sepuluh, atau bahkan duapuluh tahun setelah hari ini. 

Pasar

Kami juga tidak ingin apa yang dilakukan anak-anak kami dengan menjadi konsumen bagi pedagang yang jajan di luar pagar sekolah adalah sebagai bentuk dorongan bagi para pedagang untuk membuak lapak baru, yang bernama pasar kaget. Kami akan menggunakan apa yang menjadi ide Minke, tokoh dalam buku tetraloginya Pramudya Ananta Toer, dengan cara boikot. Dengan penjagaan dari kami sepanjang jam [ulang sekolah, maka anak-anak akan tidak bisa melakukan transaksi. Dan dengan ini, kami bermaksud memboikot para pedagang itu.

Atau memang kita ingin agar sekolah-sekolah menjadi bagian dari sebuah komunitas jual-beli layaknya sebuah pasar? Saya yakin pasti, tentu tidak.

Jakarta, 20 September 2013.

No comments: