Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

25 September 2013

Bertahan Mengejar Cita

Melihat apa yang terjadi di 'bawah',  memang menjadi sebuah gerbang untuk  menggugah hati. Memberi ruang emosi yang lebih untuk diri. Dan inilah yang menjadi daya bangkit  sanubari untuk melakukan introsfeksi guna menatap masa depan yang lebih baik dari sekedar bersendagurau di dunia permainan. Tentunya dengan tidak meletakkan harga kita menjadi lebih.

Inilah setidaknya yang saya dapatkan ketika melihat mereka yang berjuang mencapai cita meski dengan keterbatasan. Melihat jalan yang dilalui seolah dengan penuh keringanan. Mungkin karena itulah ia menjadi begitu kokoh, dan tidak sekedar tabah sebagaimana kalau kita melihatnya, dalam menapaki setiap detik. Tanpa memandang berpa usia. Namun itulah justru, menurut saya, yang menjadu pintu masuk sebuah bangunan yang disebut impian. Cita-cita.

Di Masjid Kampus

Raut bahagia masih kuat memancar di setiap kayuhan pedal sepeda yang dikendarainya. Tidak perlu lagi saya mendeskripsikan bagaimana bentuk sepeda itu. Karena, menurut saya lagi, sepeda itu hanya satu yang harus dihargai, yaitu karena ia tidak berubah fungsi sebagai alat transportasi. Juga langkah mantap ketika menjalani hari-hari menuju ke kampus. Sungguh sebuah cermin yang sanggup malahirkan nostalgia di masasaya sendiri sedang di usia tumbuh. Sebuah cermin yang mengiris kenangan pahit masa silam.

Cerita bermula ketika saya memasuki halaman masjid kampus yang megah dan indah serta rindang, yaitu sejak saya masih berada di pelataran parkirnya. Dan terasa begitu lega serta sejuk ketika sudah berada di selasar masjid, yaitu antara ruang utama masjid dengan lokasi pengambilan air wudhu. Dan di wilayah itu saya bertemu dengan seorang pemuda cerdas dengan celana abu-abu congklang. Wajahnya penuh semangat dan sama sekali tidak menyiratkan rasa rendah.

Tentunya bukan karena ada idiolagi tertentu sehingga ia harus berpakaian yang berbeda dari para mahasiswa lainnya. Saya melihatnya itulah sebagai tampilan utuhnya. Sosok pemuda yang sedang mengejar cita di sebuah kota yang tentunya jauh dari kampung halaman.  

Di Kamar Kos

Ada pula yang begitu tidak enaknya ketika saya menirima berita dari bontot karena ada yang harus menjadi perhatiannya. Seorang teman yang masuk kos paling belakangan di rumah kosnya dan setelah berminggu bersama, namun berjumpa dengan apa yang disebut keterbatasan.

"Bagaimana bila kita melihat seorang sahabat kita ternyata tidur di kamar kos hanya beralaskan karpet dan tanpa lemari pakaian?"

Berita yang sungguh menggugah perasaan untuk menitikkan air mata...

Jakarta, 25 September 2013.

No comments: