Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

22 March 2012

Ahad Pagi di Jam Gadang

Jam Gadang di malam hari. Pengunjung dan pedangang bersatu padu menyesaki taman yang menjadi halamannya.









Ada mimpi dan kegemasan yang saya alami ketika saya hadir di halaman icon kota yang memiliki kontribusi besar bagi nasionalisme Indonesia ini. Icon yang khas, yang ketika ditampilkan di khalayak, maka khalayak tidak akan salah menyebutkan dari mana icon ini berasal, meski mereka belum pernah menjenguknya. Inilah yang menurut saya, sebuah pertanda kota yang dibuat dengan sangat cerdas dan amat spesifik. 

Kegelisahan ini karena pertanda kota dengan temannya yang tergolong sudah tidak lapang lagi ini, menjadi pusat dari semua unsure masyarakat untuk berkumpul. Baik mereka yang ingin berfoto untuk sbuah kenangan di kemudian hari, atau untuk ‘bersilaturahim’, bahkan ada juga yang kedatangannya untuk berjualan barang khasnya dan juga untuk berbelanja. Juga untuk melihat tontonan yang ditampilkan di salah satu sisi tamannya sebagaimana yang sya saksikan pada Sabtu, 17 Maret 2012 malam.

Dan kegelisahan saya ini bukan bagaimana pertanda itu telah dengan cermat dan rajin dirawat dan dipelihara oleh pihak pemerintah kota. Atau bagaimana pertanda itu tidak menjadi tenggelam oleh bangunan yang mengelilinginya serta keriuhan dan keramaian orang yang menjadikan suasana tidak manusiawi lagi. Tetapi lebih dari berupa bagaimana halaman pertanda itu bebas dari sampah hasil kegiatan manusia yang menjadi pedagang atau pengunjungnya.

Itulah kegundahan saya dan teman-teman ketika hadir di di pagi hari selepas azan subuh pada akhir pekan ketiga bulan Maret 2012 itu. Kegundahan yang melahirkan tekad untuk tidak hanya sekedar menuliskan ide bagaimana saya akan mampu memelihara manumen yang membanggakan ini. Tetapi sebuah tekad yang saya akan lakukan bersama seluruh penduduk yang hadir dan untuk memaknai kata peduli terhadap kebanggan bagi warganya. Caranya? Hanya satu kegiatan yang akan saya lakukan di pagi itu, yaitu membersihkan kota.
Dan ketika waktu yang terhitung pagi itu saya hadir di lapangan atau halaman monumen, saya yakin akan ada beberapa staf atau pegawai yang ada di kantor, dimana saya diamahi masyarajat dalam sebuah pesta demokrasi dalam bentuk pemilihan kepala daerah, atau mungkin yang di kecamatan dan sangat mungkin juga di kelurahan dimana monumen itu berada, akan tergopoh-gopoh datang ‘setor muka’ mengikuti jejak saya. Padahal untuk kali pertama itu saya hadir disitu tanpa pemberitahuan. Saya datang untuk niat menikmati pertanda kota. Saya memang memilih datang pagi-pagi di akhir pekan di monumen itu dan tidak ke lapangan golf.

Tentunya, selain para [egawai yang ada di lingkungan pemerintah daerah saya ini hanya setor muka, mereka akan bahu membahu membersihkan kota bersama saya dan petugas utama penjaga kebersihan. Dan kalau saja pada waktu itu Kepala Dinas Kebersihan kota tidak hadir karena kebetulan sedang melanjutkan istirahatnya di rumah, maka pada Senin paginya pasti akan menemui saya untuk menyampaikan penyesalannya dan permohonan maafnya atas kelalaiannya itu.

Dan ketika kegiatan dadakan itu sering saya lakukan, maka akan lahir budaya yang seolah-olah terasa baru, yaitu gotong royong. Padahal para ayah dan ibu mereka di kampung menjadikan gotong royong itu sebagai bagian dari hidup bersama yang harmonis. Dan seolah-olah lagi, sayalah inventornya!

Seperti di awal tulisan ini, maka artikel ini sebagai pertanda untuk saya bahwa sesungguhnya seorang sebagaimana yang saya gambarkan itulah yang saya mimpikan. Semoga…




Jam Gadang kala pagi hari. Jejak pengunjung berupa sampah.








 Ahad pagi di Bukittinggi, 18/03 – Jakarta, 22/03/2012.

No comments: