Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

30 April 2014

UN 2014 #1; Hasil UN dengan Nyontek, tidak Membanggakan

Dalam pelaksanaan UN tingkat SMA dan sederajat pada tahun ini, teman saya yang adalah aktifitis di organisasi keguruan rajin meng-up load berita-berita berkenaan dengan UN SMA dan sederajat pada tahun yang berhasil dibocorkan. Dan salah satu dari apa yang di up load tersebut, adalah foto dari lembaran-lembaran kunci jawaban yang bocor dan berhasil di foto.

Mengapa bocor? Bagi saya sendiri, bocor hanya terjadi ketika memang ada motivasi ekonomi. Paling tidak pendapat  ini yang menjadi pendapat saya dengan mencermati terjadinya beberapa peristiwa dari bisik-bisik tentang UN yang bocor. 

Dan dengan motivasi ekonomi itu ga yang menjadikan para petualang itu sudah mampu mengirimkan, tidak tangung-tanggung, keduapuluh model soal UN yang ada di dalam ruangan sekaligus via SMS sekitar pukul 06.00! Ini adalah prestai luar biasa bagi sebuah kecepatan dan ketepatan. Sayangnya pada hal yang ilegal dan haram!

Tidak Membanggakan

Dan karena ingin mendapatkan sesuatu yang baik tetapi dengan mudah juga, maka anak-anak peserta UN, yang tentunya tanpa restu ortu, secara bergotong-royong, berpatungan, mengumpulkan sekian ratus ribu rupiah untuk mendapatkan kiriman SMS dari mata pelajaran UN yang akan diujikan pada hari tersebut.  Tapi sadarkah anak-anak muda itu bahwa hasil baik yang mereka dapatkan juga benar-benar tidak dapat menjadi hal yang membanggakannya?

Dan untuk hasil UN tinggi tetapi tidak membanggakannya itu, saya memiliki dua hal yang pernah saya alami, atau setidaknya yang pernah saya lihat dan dengar langsung. Pertama, tedapat seorang yang lulus dari jenjang pendidikan SMP, yang hasil UN untuk mata pelajaran Matematikanya mendapat nilai sempurna, 10! Tetapi apa alasannya ketika menginjakkan kaki di bangku pendidikan SMA, dia begitu ngotot untuk tidak masuk dalam program atau jurusan IPA? Bukankah hasil Matematikanya yang sempurna tersebut merupakan prasyarat baginya untuk secara mulus masuk ke juruan IPA? 

Dan kalau saja dia yang dengan nilai UN di Matematikanya sempurna ersebut menghindari masuk jurusan IPA ketika SMA, maka bagaimana jika mereka yang mendapatkan nilai di bawah itu? Dimanakah logika sehatnya? Dan jawaban secara gamblangnya, hanya Allah dan dia sendiri yang tahu persis apa yang menjadi tidak logisnya atas pemilihan jurusan di SMAnya. 

Kedua, Ketika ada seorang dari para penyontek kunci jawaban tersebut mendapatkan hasil UN yang tinggi, maka mau tidak mau ia akan menjadi siswa yang secara mendadak akan memperoleh ranking tinggi di sekolahnya. Malah kadang ada yang rankingnya melampai teman-temannya yang memang terkenal cerdas sejak semester I.

Dan bisakah kita membayangkan ketika acara perpisahan, kepala sekolah memanggil siswa-siswanya yang memiliki nilai UN tinggi itu ke panggung? Bagaimana jika ada si fulan yang pada semester I-V memiliki rata-rata nilai 7 atau 8, namun pada saat UN itu ternyata memperoleh nilai rata-rata 9,75?

Dari dua anekdot itu, cukuplah bagi kita, sebagai orang dewasa, bagaimana memberikan pengajaran kepada anak-anak kita untuk bisa merasa bangga atas prestasi yang mereka ukir sendiri secara jujur. 

Paling tidak itulh mengapa saya melihat betapa pentingnya bagi kita semua untuk melakukan yang jujur dan bukan hanya sekedar memperoleh hasil yang baik tetapi dengan jalan yang merusak tatanan kelogisan akal sehat. Semoga!

Jakarta, 30 April 2014.

No comments: