Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

18 May 2015

UN 2015 #5; Tamu Istimewa

Senin, 18 Mei 2015, menjadi hari pertama pelaksanaan Ujian Sekolah/Madrasah Berstandar Daerah. Yaitu Ujian Nasionalnya tingkat pendidikan SD. Mata Pelajaran yang diujikan pada hari pertama adalah Bahasa Indonesia.  Dan pada saat saya hadir di ruang Pengawas Ujian yang berasal dari SD luar yang ada di lantai tiga sekolah, untuk menemani pengawas yang telah hadir, saya mendapat kabar bahwa akan hadir di sekolah sekitar pukul 09.00  pejabat dari Kecamatan. Tentu tidak ada persiapan yang macam-macam di sekolah di pagi itu. Karena memang fokus kami adalah peserta ujian.

Alhamdulillah bahwa seluruh peserta ujian hadir semua, dan bahkan sebagian besar dari mereka telah hadir dan bersiap sejak pukul 06.30 di ruang Musholah sekolah. Anak-anak dipandu dan didampingi ibu dan bapak guru melakukan afirmasi. Kegiatan ini sebagai penyemangat agar dalam melaksanakan ujian anak-anak dapat berkonsentrasi dengan optimal.

Seperti yang berlangsung di tahun-tahun sebelumnya, anak-anak selalu kami persiapkan secara mental untuk dapat berkonsentrasi penuh pada saat mengerjakan soal-soal ujian. Untuk itulah, beberapa guru yang bertugas secara bergantian akan menemani anak-anak yang telah hadir di sekolah sepagi apapun. Dan pada waktu itulah anak dan guru akan berkumpul di ruang Musholah. Kita berharap bahwa upaya terakhir kami dalam mendampingi anak bermanfaat bagi keberhasilan anak-anak itu sendiri kelak. amin.

Tetapi ada yang berbeda dengan pelaksanaan kegiatan ujian di tahun ini. Terutama di ruang pengawas. Yaitu dengan kehadiran tamu istimewa, yang sebelumnya tidak terbayang akan hadir di sekolah dalam sebuah hajatan, Ujian Nasional SD. Merekla adalah Pak Camat, Pak Lurah, Pak Kasi Dikdas Kecamatan, da juga seorang Pengawas Pendidikan.


Jangan salah, bahwa kehadiran Pak Camat dan Pak Lurah ke sekolah kami adalah untuk bersilaturahim. Hanya memang momentumnya pada saat pelaksanaan UN. Sebagaimana yang beiau sampaikan saat dialog dengan teman-teman guru tentang bagaimana penataan PKL dan masalah sampah. Sedang Pak Kasi Dikdas dan Pak Pengawas Pendidikan memang bertujuan untuk melakukan monitoring pelaksanaan UN SD. Meski punya tujuan yang berbeda, toh kami tetap gembira atas kehadiran Bapak-Bapak itu di lokasi dimana kami sehari-hari menunaikan tugas sebagai pendidik. 

Jakarta, 18 Mei 2015

17 May 2015

UN 2015 #4; Peristiwa Keramat

Dalam sebuah kegiatan para Kepala Sekolah tingkat Sekolah Dasar di sebuah sanggar di kecamatan di wilayah Jakarta, teman saya mengunggah foto bersama teman-temannya. Terlihat lima Kepala Sekolah di foto yang unggahnya. Mereka adalah Kepala Sekolah swasta yang berdekatan. Dan untuk hajatan Ujian Sekolah Berstandar Daerah tingkat SD yang jatuh pada Senin-Rabu tanggal 18 sampai 20 Mei 2015, teman-teman itu disibukkan dengan hajatan tahunannya tersebut.

Dan bila pada tahun-tahun sebelumnya semua berjalan relatif dengan kondisi dan POS yang normal, maka berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 2015 ini untuk ujian di tingkat SD dan di wilayah dimana kami berada. Satu hal yang berbeda adalah kerelaan sebuah sekolah untuk mempersiapkan ruangan menginap bagi Kepala Sekolah yang mendapat jatah piket menunggui soal yang akan diujikan esok harinya.

Tentunya bukan setiap sekolah. Karena untuk kami yang sekolah swasta yang ada di satu kecamatan,  terdapat beberapa sekolah. Maka salah satu dari kamilah yang ditunjuk pihak kecamatan untuk bersama dalam satu payung. Dan dengan konsep seperti ini, bagi saya sendiri, lengkaplah proses keramatisasi Ujian Nasional dengan standar daerah untuk tingkat SD.

Jakarta, 17.05.2015.

Rekrut Guru #4; Kandidat Potensial

Ketika terbentur waktu yang bersamaan antara mengobservasi kandidat guru yang diminta praktek mengajar dengan rapat dengan staf pramubakti dan tata usaha sekolah, maka pilihan yang saya ambil adalah menengok praktek mengajar untuk kemudian lanjut ke rapat. 

Ada beberapa menit saja saya melintas dan menengok di depan kelas dimana seorang kandidat sedang melakukan pembelajaran di kelas VIII itu. Dan waktu yang singkat itu fokus saya adalah situasi kelas dan cara guru pada saat berdiri di depan kelas dengan slide yang ditayangkan. Tidak detil apa yang dapat dapatkan dengan observasi seperti itu. Tetapi setidaknya saya sudah dapat informasi yang cukup sebagai gambaran awal saja. Karena di dalam kelas sudah ada dua teman guru yang juga adalah wakil kepala sekolah yang menunggui kandidat itu melakukan praktek mengajar dari awal hingga akhir pelajaran.

Gambaran awal itu cukup bagi saya untuk memberikan nilai pada penampilan dan bahasa tubuh guru di dalam kelas. Karena saya akan bertemu para kandidat itu secara individual untuk berbincang-bincang. Dan pada saat seperti itu saya akan menangkap kecerdasan dan keluwesan serta tata krama bahasanya. Termasuk juga kecenderungan perilakunya.

Semua informasi yang kami dapatkan akan menjadi pertimbangan bagi kami untuk menentukan satu kandidat yang paling potensial. Kandidat itu ditentukan setelah kami diskusi bersama atas interaksi kami dengan para kandidat yang ada. Berbagai sisi menjadi pertimbangan kami.

Dan potensi yang akan menjadi fokus diskusi adalah kepada wawasan berfikir mereka, kecenderungan perilaku dan sikap profesionalnya, serta bagaimana dia dihadapan anak-anak yang nantinya sebagai peserta didiknya. 

Kami khawatir bahwa kandidat yang kami pilih adalah kandidat yang akhirnya menjadi staf guru 'pembangkang' pada saat menerima masukan atau kritik. Semoga.

Jakarta, 17.05.15.

15 May 2015

Rekrut Guru #1; Memilih Surat Lamaran

"Apakah sudah ada surat-surat lamaran yang masuk di web Pak Agus?" Begitu pertanyaan teman kepada saya saat kami bertemu untuk sebuah diskusi yang berbeda. Maka pertanyaan itu adalah pertanyaan di luar konteks dengan topik yang akan kami diskusikan. Saya memang meminta agar web sekolah memberikan 'kantong' khusus untuk para pengunjung menulis dan mengirimkan lamara kerja bila berkenan berkarir di sekolah kami. Dan alhamdulillah pada setiap bulannya kami telah mengumpulkan beberapa surat lamaran dari berbagai daerah.

"Alhamdulillah sudah. Beberapanya sudah di print dan dalam bentuk hard copy. Mungkin perlu sekali kita mempunya waktu khusus untuk memilih dan memilah surat lamaran dan cv dari para kandidat itu." Jawab saya. 

Dari beberapa lamaran yang masuk dan sudah di print out oleh bagian sekretariat, saya dan teman-teman dapat mengecek dan membolak-balik dari profil para pelamar. Dan untuk sisi pendidikan, hampir rata-rata anak-anak yang melamar di sekolah untuk berkarir sebagai guru atau sebagai staf administrasi, memiliki latar belakang pendidikan yang bagus. sebagian besar mereka lulus dari perguruan tinggi negeri di Pulau Jawa. Juga dengan nilai kumulatif yang lebih dari 03,00. Jadi tergolong bagus.

"Mengapa banyak dari para sarjana kita yang membuat lamarannya tidak dengan sepenuh hati? Diantaranya menggunakan jenis huruf yang standar dengan kata-kata yang seperlunya." Kata saya suatu hari kemudian disaat kami bertemu untuk berdiskusi tentang surat lamaran yang masuk.

"Maksud Bapak?" Tanya staf yang turut serta dalam membantu kami memilah surat-surat lamaran yang ada.

"Mestinya, dengan perguruan tinggi dimana mereka lulus, dan juga dengan nilai komulatif yang tidak standar, mereka mampu membuat dan menulis lamarannya yang menyiratkan kepandaian mereka?" Kata saya. 

"Bagaiamana kita bisa menebak seberapa pintar kalau lamaran dan cv yang dibuatnya bentuknya seperti ini?" Kata saya lagi kepada teman-teman yang ada di ruangan saya. Semua melihat surat lamaran ukuran A 4 yang ada di tangan saya. Semua fokus. Dan tampak sekali teman-teman itu sepakat dengan pendapat saya. Karena memang diantara lamaran yang ada terdapat pula lamaran dan cv yang dibaut dengan padat, jelas, informatif, rapi, dan sekaligus menarik.

Jakarta, 15 Mei 2015.

13 May 2015

Rekrut Guru #3; Evaluasi Bulan Pertama

"Bagaimana selama satu bulan berada bersama kami Ibu. Apakah semua berjalan dengan baik-baik saja?" Tanya saya kepada seorang guru kami yang baru, baru satu bulan berada diantara kami, sebagai evaluasi pertamanya. Kami lakukan ini supaya kalau ada kendala yang disimpan oleh guru baru tersebut dapat dengan cepat kami tangani. Juga bila yang bersangkutan merasa tidak betah karena sekolah kami berbeda, kami juga dapat memberikan penjelasan yang dibutuhkan. 

"Alhamdulillah Pak sejauh ini saya tidak menemui kendala yang berarti selama satu bulan berada di sekolah ini. Terimakasih banyak Pak atas pengalaman dan kesempatan yang diberikan kepada saya." Jelasnya. Dan bersama kami ada Kepala Sekolah yang memberikan beberapa masukan kepada saya atas beberapa hal yang memerlukan masukan dari Ibu Guru baru kami itu. Maka pertemuan tersebut menjadi pertemuan evaluasi. Agar dalam tempo yang tidak terlalu lama Ibu Guru baru tersebut mengejar apa yang seharusnya menjadi bagian dari profesionalitasnya sebagai guru. 

Karena hanya dengan cara seperti itulah kami dapat dengan lebih akseleratif membangun tim yang bagus dan tersetandar. Ini menjadi penting bagi sekolah kami, yang adalah sekolah swasta. Dimana seluruh operasional sekolah menjadi tanggung jawab kami sendiri untuk terjamin keberlanjutannya. Dan semoga usaha ini menjadi bagian dari ikhtiar mewujudkan misi kami itu.

"Bagaimana pandangan Ibu setelah selama satu bulan berada dan bersama kami disini? Mungkin saya dapat mendengar apa yang akan Ibu sampaikan?" Lanjut saya dengan pertanyaan berikutnya. Sementara Kepala Sekolah berada di samping saya dan hanya sebagai pengamat.

"Iya Pak. Saya sendiri masih dalam tahap mengenali dan belajar untuk beberapa halnya. Karena membaca panduan guru agak sulit saya dapatkan dari pada saya mengalami dalam kehidupan secara langsung. Jadi mohon disampaikan beberapa hal yang memang membutuhkan perbaikan terhadap saya selama ini." Katanya. Kalimat yang disampaikannya membersitkan nilai positif  akan brand dirinya. Santun dan memberikan aura terbuka.

Dan dalam pandangan kami, perilaku seperti itulah yang memberikan harapan terhadap kualitasnya di masa mendatang. Dan mudah-mudahan itulah yang memang akan kami hadapi nanti. Karena hanya bermodalkan perilaku seperti itulah guru-guru baru itu akan memperoleh keterampilan dan bervisi. Semoga. 

Jakarta, 13 Mei 2015.

Rekrut Guru #2; Wawancara Kandidat

"Sudah berapa lama Ibu mengajar di tempat sebelumnya?" Pertanyaan saya kepada seorang kandidat yang akan kami ambil sebagai guru menggantikan sahabat kami yang mengundurkan diri karena harus mengikuti suami bertugas ke luar daerah. Maka kandidat baru ini antara lain harus saya wawancarai diantara wawancara lain yang dilakukan oleh pihak sekolah. Dan selain wawancara, kandidat juga diminta untuk menulis artikel pendidikan di komputer sekolah. Selain juga harus praktek mengajar di kelas yang telah disepakati.

"Sudah tiga tahun Pak." Jawabannya singkat. Lalu supaya saya dapat menggali informasi lebih banyak tentang siapa kandidat yang melamar tersebut, bagaimana ia mengajar di sekolahnya, bagaimana bentuk sekolah yang selama ini dia menjadi staf pengajarnya, juga wawasannya tentang dunia pendidikan, maka saya bertanya dengan berbagai cara dan tentang berbagai hal.

"Bagaimana Ibu memaknai perjalanan karier Ibu sebagai guru di sekolah tersebut? Adakah hal-hal yang menarik untuk Ibu sehingga Ibu dapat bercerita kepada saya tentang sesuatu yang menjadi perhatian Ibu?"

"Saya merasa biasa-biasa saja Pak dalam menjalani waktu tiga tahun sebagai guru. Tidak ada sesuatu yang saya anggap istimewa."

"Apa yang memotivasi Ibu untuk mencari lokasi mengajar di sekolah lain?"

"Saya ingin mencari tantangan baru Pak. Saya merasa sudah bosan dengan lingkungan mengajar saya selama ini. Siapa tahu saya mendapat sesuatu yang berbeda dengan pindah mengajar."

"Apa yang Ibu petik sebagai pengalaman bagus bagi karier Ibu selama tiga tahun itu?"

"Saya merasa tidak terlalu signifikan Pak pengalaman yang saya dapatkan. Malah belakangan saya ikut tidak nyaman dengan kondisi sekolah."

"Mengapa Itu menjadi kesimpulan Ibu?"

"Karena di sekolah saya sekarang Yayasan sekolahnya terlalu ikut campur dengan masalah sekolah."

"Dari mana kesimpulan itu Ibu ambil?"

"Kebetulan ada kantin baru di sekolah kami. Dan Yayasan membuat keputusan agar semua guru wajib makan di kantin sekolah."

"Apakah Ibu sudah siapkan bahan ajar yang akan menjadi kegiatan Ibu bersama anak-anak?"

"Sudah Pak." Kata guru itu sembari menunjukkan lokasi lap top yang akan ia pergunakan sebagai alat belajar nanti ketika melakukan praktek mengajar. Saya mengangguk menandakan kefahaman saya kepadanya. Dan selanjutnya saya mohon diri untuk menggalkannya di ruang tunggu sekolah kami.

Esok harinya, ketika kami mengevaluasi hasil interviu para kandidat yang ada, saya merasa ada yang kurang sreg pada kandidat tersebut. Bagaimana dengan yang lain? Alhamdulillah ternyata ada sinergi antara saya dengan pihak unit sekolah. Alahamduliallanh.

Jakarta, 13 Mei 2015.

Tanggap pada Persaingan

"Ibu, saya tidak melihat ada guru  yang menemani anak-anak ketika mereka berada di plasa sekolah untuk menunggu jemputan atau dijemput. Dan sepertinya penjemput juga masuk dan berada di lokasi yang sama. Bagaimana kita dapat memastikan situasi seperti itu tetap terjaga kondusif?" Begitu pertanyaan saya suatu hari kepada seorang Kepala Sekolah. Saya ingin tahu bagaimana kira-kira tanggapan Kepala Seklah terhadap kondisi di halaman sekolahnya saat jam pulang sekolah.

Karena kebetulan sekali pada jam tersebut saya berada di lokasi guna ingin bersama teman-teman yang lain melakukan diskusi kelompok berkenaan dengan perkembangan sekolah swasta dan peningkatan daya saingnya di sebuah sekolah swasta juga. Maka pertanyaan sebagai tamu, ingin tahu saja bagaimana teman saya itu menanggapi atas situasi seperti itu. Walau saya akui bahwa pada saat itu ada seorang Wakil Kepala Sekolah berada di tempat penjemputan tersebut. Namun saya merasa itu tidak terlalu efektif. Bagaimana jika Ibu Wakil Kepala Sekolah itu ditemani sepuluh guru dari 30 kelas yang ada?

Lalu apa posisi guru dan Wakil Kepala Sekolah di lokasi tersebut pada jam yang saya sebutkan? Tidak lain adalah sebagai Guru Piket. Ini juga menegaskan bahwa pekerjaan profesionalisme guru tidak hanya berdiri di depan siswanya guna menyampaikan materi pelajarannya. Guru tidak sekedar sebagai pengajar. Guru juga adalah pendamping peserta didik manakala peserta didik berada di sekolah.

"Bentul Pak Agus. Karena kami punya Satpam." Begitu jawaban Ibu Kepala Sekolah kepada saya. Jawaban yang akhirnya membuat saya sadar bahwa tataran berpikir Ibu Kepala Sekolah kurang pada ssi pelayanan kepada peserta didiknya. 

Atas jawaban seperti itu, maka saya menyampaikan pernyataan atas jawabannya itu; "Di Indonesia Bu, siapa yang akan nurut dengan Satpam?" Maksud pernyataan saya adalah bahwa area sekolah harus menjadi kewajiban mutlak seorang pendidik. Maka menjada anak-anak di teritori pendidikan adalah juga menjadi ranahnya seorang pendidik.

Tetapi sebagai orang yang posisi saya sebagai teman, maka saya hanya menyampaikan kepada beliau bahwa jika pengawasan itu menjadi tanggung jawab penuh dari para guru piket yang ditemani oleh salah satu manajemen sekolah yang ada, pasti ini menjadi bagian paling bagus di mata para siswa dan orangtua siswanya. Ini akan menjadi berita bagus bagi sekolah tersebut. Dan berita bagus seperti ini pasti menjadi salah satu daya saing, menjadi pembeda antara sekolahnya dengan sekolah lain.

Dan memiliki pembeda, adalah soko guru bagi memenangkan sebuah persaingan. Dan memenangkan permainan serta daya saing, adalah energi bagi keberlangsungan sebuah lembaga yang bernama sekolah swasta. Semoga. Amin.

Jakarta, 13 Mei 2015.

12 May 2015

Mengawal Transformasi

Ketika teman saya bercerita tentang waktu yang dia akan bersama dengan guru pada saat kegiatan sedang direncanakan, maka dia menyampaikan bahwa ketika panitia sudah membuat kegiatan dalam bentuk proposal. Karena biasanya sekolah telah menunjuk penanggung jawab kegiatan. Dan pada rapat kali pertama, penanggung jawab kegiatan akan membuat susunan panitia yang lebih lengkap sekaligus membuat draft kegiatan yang akan dilaksanakan.

"Jadi kapan Ibu akan hadir dalam rapat kepanitiaan tersebut?" Begitu pertanyaan saya kira-kira kepadanya. Saya ingin tahu sekali bagaimana ia membawa sebuah kegiatan yang lebih bermakna dan tentunya lebih berhasil dibandingkan dengan kegiatan serupa di tahun sebelumnya. Karena bukankah dalam setiap kegiatan selalu diadakan monitoring dan evaluasinya? 

"Biasanya pada saat panitia sudah melakukan rapat yang ketiga Pak Agus." Begitu jawabannya. Ia nampak begitu datar menjawab pertanyaan saya. Padahal saya ingat betul bahwa beberapa orang dari guru-gurunya yang ia tunjuk sebagai penanggung jawab kegiatan sekolah, bersikap otoriter dalam kepanitiaan. Otoriter yang dimaksudnya adalah ketidak mauan si penanggung jawab tersebut menerima masukan dari anggota panitia lainnya  yang telah terbentuk di rapat panitia kali pertama.

Lalu kalau jawabannya seperti itu, apakah itu jawaban yang memberikan solusi atas apa yang dia pernah kemukakan kepada saya beberapa waktu sebelumnya? Bukankan kalau ia sebagai pemberi amanah penanggung jawab kepada seseorang, yang juga adalah sebagai Kepala Sekolah dapat memberikan masukan ketika panitia mulai dibentuk?

"Saya tidak ingin dilihat melakukan intervensi Pak. Jadi saya ingin supaya guru-guru dapat berpikir, membuat rencana kegiatan dengan bebas dan semoga juga dengan kreatif." Begitu argumentasi teman saya yang Kepala Sekolah itu. Jawaban yang justru membuat saya bingung. Bukankah sebagai pemegang amanah tertinggi ia dapat memandu semua komponen yang ada di unit kerja untuk bersinergi?

Apakah ia benar-benar sadar kalau guru yang diberinya tanggung jawab atas kegiatan sekolah tidak mengindahkan masukan positif dan bahkan rekomendasi atas hasil monev atas kegiatan tahun sebelumnya, tetap dibiarkan melakukan kegiatan sekolah dengan format yang sama dengan tahun lalu? Yang berbeda hanya tanggal kegiatan, lokasi kegiatan, dan juga personil serta biaya kegiatan? Lalu apakah itu bukan yang disebut sebagai penganut 'kenapa susah-susah?'

Sebuah aliran di sekolah yang banyak dianut oleh mereka yang sudah tidak lagi ingin mengerjakan kegiatan yang neko-neko. Mengapa harus membuat kegiatan yang berbeda dengan kegiatan yang ada sebelumnya. Bukankah kegiatan serupa selalu dilakukan di tahun-tahun sebelumnya?

Pada titik inilah sebenarnya fungsi kepala Sekolah sebagai pemandu itu penting. Kalau para penganut konsep bekerja 'kenapa susah-susah' itu tetap memaksakan format kegiatan dalam membuat proposal kegiatan tidak mau menerima masukan, biasanya dari juniornya, maka kita sebagai Kepala Sekolah bisa mengajukan beberapa pertanyaan yang memancing si juniornya kembali memiliki semangat.

Bagaimana Bapak dan panitia mengatur 150 anak dalam kegiatan klasikal ceramah? Apakah Bapak sudah membuat parameter agar anak-anak benar-benar mendengarkan ceramah selama kegiatan itu berlangsung? Bagaimana jika 150 anak itu kita bagi menjadi 5 kelompok untuk kemudian kita buat kelas pararel dengan model station? Bagaimana Bapak dan panitia bisa yakin bahwa anak-anak akan mendapatkan manfaat yang besar ketika mereka mengikuti program ini? Dan seterusnya.

Pertanyaan kita itu tujuannya hanya satu, untuk mengajak teman-teman panitia berpikir operasional ketika sedang membuat rencana. Dengan begitu, mereka akan melihat rencana kegiatan yang dibuat dari kaca mata anak. Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang menantang bagi penitia. Semoga.

Jakarta, 12 Mei 2015.

11 May 2015

Siswa Juga Sumber Belajar

Minggu, 10 Mei 2015 kemarin, ada pertunjukan seni di panggung OSIS SMP saya. Lokasinya di halaman sekolah. Penampilnya adalah mereka, para alumni, seniman dari sekolah lain, dan juga kelompok band yang sedang meniti karir, plus puncaknya adalah Kunto Aji. Namun selain ada di puncaknya, ada penampil yang membuat saya bungah dan terkesima. Seperti penampilan solo alumni, Just Five Band, dan Jakarta Beat Box. Dan ini kegiatan OSIS untuk yang kesepuluh kalinya di sekolah saya, yang murni dikelola dan menjadi agenda kerja para pengurus OSIS. Dan OSIS yang menyelenggarakan kegiatan kemarin adalah OSIS yang ke sebelas yang ada di sekolah saya. 
Just Five Band di panggung OSIS SMP Tugasku.

Ada memang bantuan guru, terutama kepada bagaimana membuat rencana, pemilihan artis, penentuan waktu pelaksanaan kegiatan, menemani anak-anak untuk berburu sponsor, menguhubungi artis dan membuat kesepakatan dengan tim mereka, dan tentunya mengelola dana yang ada. Termasuk di hari pelaksanaan, tidak ada yang tidak hadir untuk menemani anak-anak sejak kegiatan belum mulai hingga anak-anak bubar di malam hari. Ada juga dua dari teman-teman itu yang harus menginap di sekolah untuk berperan serta dalam menjaga properti kegiatan yang telah terlanjur di pasang.
Penampilan Jakarta Beat Box yang mengagumkan.

Lalu apa pelajaran yang saya dapat dari kegiatan yang dibuat dan dikelola anak-anak itu? Banyak. Tapi satu hal kecil yang saya dapatkan dari tahun ke tahun adalah ketika mereka menentukan siapa artis yang akan menjadi penutup pertunjukan. Karena kadang nama yang mereka ajukan adalah nama yang tidak akrab di kuping saya dan teman-teman guru lainnya. Lalu dari mana anak-anak itu menentukan parameter untuk mengundang artis?

Dan inilah yang saya harus sadari bahwa, meski saya merasa erat berhubungan dengan dunia maya, tetapi tampak sekali bahwa masih ada jarak yang jauh dibandingkan dengan anak-anak. Mengapa? Karena anak-anak itu ternyata memiliki kemampuan meneliti di dunia maya yang jauh lebih akrab dan unggul. Sepertinya, seberapa banyak pengunjung yang telah membuka video klip sang artis yang terpasang di you tube (?).
Kunto Aji dengan 7 lagu, yang membawakan 2 singgle apiknya.

Maka, dari sisi inilah saya harus memahami bagaimana anak-anak itu menentukan siapa artis yang akan diundang. Inilah sumber belajar saya di sebuah kegiatan sekolah yang bernama Pertunjukan Seni...

Jakarta, 11 Mei 2015.

10 May 2015

UN 2015 #3; Ada Anak Nyontek!

Ketika hari terakhir pelaksanaan Ujian Nasional tingkat SMP sederajat, tepatnya pada hari Kamis, 7 Mei 2015 lalu, saya mendapatkan cerita dari teman-teman guru di sekolah tentang bagaimana ia mengawasi anak-anak yang menyontek ketika UN berlangsung. Dan karena ini menjadi sebuah pelanggaran, maka ia meminta anak tersebut untuk bekerja tanpa harus melihat alat komunikasinya.

Dia, teman saya itu, tidak menyangka kalau semua anak di ruangan yang diawasinya boleh membawa serta telepon selulernya ke dalam kelas. Dan itu tidak tampak ketika hari pertama hingga hari ketika pelaksanaan UN. Tetapi pada hari terakhir pelaksanaan UN, yang mengujikan Mata Pelajaran IPA, ia sebagai pengawas Ujian Nasional yang bertugas mengawas di sekolah lain, menjadi terusik dengan anak-anak yang memegang alat komunikasi ketika ujian masih berlangsung.

Di sekolahnya, anak-anak akan mengumpulkan semua alat komunikasinya ketika selesai mlakuakan kegiatan afirmasi di ruang bersama sebelum UN dimulai. HP itu akan dikumpulkan oleh guru kelasnya masing-masing dan hanya dikembalikan ketika anak-anak tersebut telah usai melaksanakan UN dan pulang sekolah.

Untuk ia, teman saya itu, lumayan kaget ketika anak-anak yang diawasinya memegang HP di tangannya sementara waktu ujian masih berjalan setengah main. Alhasil ia meminta salah satu anak yang sedang asyik melihat layar HPnya. Dan sebagai bukti ceritanya, ia memfoto layar HP tersebut untuk kemudian dia bagikan kepada saya.

Kira-kira, apa hasil belajar dari anak-anak yang ketika pada tahapannya ia menyontek?

Jakarta, 10 Mei 2015.

Kantin #6; Kantin sebagai Pemandu Pola Makan

Saya sedang ancang-ancang untuk menceritakan bagaimana sebuah kantin sekolah yang seharusnya. Yang berfungsi sebagai penyedia makanan dan sekaligus men'drive' pola makan anak-anak. Termasuk juga minum. Dengan kemampuan seperti itu diharapkan sekali anak-anak hanya akan makan makanan berat disaat istirahat makan siang. Dan juga hanya minum minuman tidak ada rasa alias minum minuman air mineral.

Dan khusus untuk minum, anak-anak hanya membutuhkan botol minum dari rumah. Karena di sekolah akan kami sediakan air minum yang kami olah dari air yang ada di sekolah. Sehingga ketercukupan air untuk minum tidak akan menjadi kendala.

Dengan demikian, maka kantin sekolah hanya akan melayani anak-anak satu waktu saja. Tidak seperti selama ini. Kapan saja anak mau, kantin siap melayani. Tidak hanya makanan kecil tetapi juga makanan berat. Juga minum. Berbagai jenis.minum disediakan kantin. Sehingga anak-anak tidak dapat mengatur pola jenis makan makanan mereka. Implikasi dari model kantin sebagaimana yang banyak terdapat di sekolah Indonesia sekarang ini adalah anak-anak yang tidak memiliki visi hidup sehat mulai sejak mereka mengkonsumsi makanan dan minuman.

Lalu bagaimana merealisasikan model kantin yang selama ini sudah berlangsung di sekolah-sekolah internasional tersebut? Tentunya saya harus memberikan testimonial terhadap bentuk kantin seperti yang akan saya sampaikan itu. 

Dan bila perlu, saya harus janjian dengan teman-teman yang sekarang masih berada di sekolah dengan model kantin 'sehat' itu, untuk meminta waktunya agar kami dapat mengunjungi mereka, khususnya kepada bentuk kantin yang diinginkan serta model pengelolaannya.

Lalu apa implikasi jika.saya mengajak teman untuk mengadopsi model kantin seperti itu?  Tidak lain adalah mengalokasikan area sekolah yang lumayan luas guna digunakan sebagai area kantin. Karena kantin dengan model seperti itu harus mampu menampung siswa yang jam makan siangnya bersamaan. Memang masih dimungkinkan anak-anak menuliskan pesanan makanan saat istirahat pagi. Dan pesanan tersebut dapat dikirim oleh petugas kantin sebelum istirahat siang. Model pesanan ini akan mengurangi kunjungan siswa ke kantin, yang berarti mengurangi beban kepadatan kantin disaat istirahat makan siang.

Mungkinkah? Semoga.

Jakarta, 10 Mei 2015.

07 May 2015

UN 2015 #2; Ujian Paling Lebay

Ujian Nasional untuk tingkat SMA dan sederajat telah berlalu,  sementara Ujian Nasional untuk tingkat SMP dan sederajat hari ini, 7 Mei 2015 adalah hari terakhir pelaksanaan ujian. Sedang untuk tingkat Sekolah Dasar dan sederajat yang bernama Ujian Sekolah/Madrasah Berstandar Daerah baru akan berjalan nanti mulai hari Senin, 18 Mei 2015.  Pelaksanaan ujian SD di wilayah DKI Jakarta akan bersambung ke US atau Ujian Sekolah untuk mata pelajaran yang tidak diujikan di USB/MD.

Yang Lebay

Ini meminjam istilah gaul anak sekarang. Lebay karena, untuk ujian tingkat SMA dan SMP sederajat, pelaksanaan Ujian Nasional normal saja pelaksanaan. Paling tidak dalam segi pengawasan. Dimana hanya pada saat pelaksanaan Ujian Nasional saja pengawas ujiannya silang. Satu sekolah akan kedatangan dua pengawas ujian untuk satu ruang ujian yang berasal dari luar sekolah. Sementara ketika Ujian Sekolah, yaitu ujian yang diselenggarakan oleh sekolah, maka tidak ada pengawas ujian dari sekolah lain. Semua berlangsung secara internal sekolah.

Lalu bagaimana dengan pelaksanaan ujian di tingkat Sekolah Dasar di Daerah Jakarta? Inilah yang lebay. Model silang pengawas untuk tingkat SD berlangsung tidak saja di saat pelaksanaan Ujian Sekolah/Madrasah Bersrtandar Daerah saja, tetapi [ada saat try out atau TO, sekolah sudah diwajibkan untuk melakukan pengawasan silang.

Saya, ketika membuat catatan ini, tidak memahami apa motivasi dibalik pelaksanaan USB/MD dengan model yang demikian. Tetapi sebagai guru saya ingin menyampaikan bahwa apa yang telah dilakukan itu sesungguhnya karena kita sedang terjangkit penyakit 'seolah-olah'. Karena dengan maksud ujian adalah tahapan akhir anak bersekolah maka ujian harus dibuat angker. Meski baru ada di tingkat SD. 

Seolah-oleh SD adalah jenjang pendidikan yang menjadi kawah candradimuka...

Jakarta, 7 Mei 2015

UN 2015 #1; Terlambat Masuk Ujian

Apa yang dapat kita katakan sebagai guru di sekolah ketika melihat peserta didik kita yang datang terlambat ke sekolah pada saat UN ketika teman-temannya sedang menuliskan nama dan nomor ujian di kertas jawaban ujian? Tentu beragam. Ada yang sabar, ada yang langsung memberondong dengan pertanyaan dan pernyataan yang miring dan pasti ada nada kesal. Dan itu semua, dalam situasi senyap sebagaimana saat pelaksanaan UN menjadi wajar. Paling tidak ini tanggapan saya terhadap realitas seperti itu. 

Prioritas

Paling tidak itulah yang menjadi kenyataan pada hari-hari UN yag berlangsung di sekolah di Indonesia sejak April lalu dan Mei sekarang ini. Sekolah dan orangtua sibuk bukan main dalam menyelenggarakan hajat besar pendidikan Indonesia, termasuk juga anak-anak yang akan menjalaninya. Dan itulah maka setia sekolah, setiap orangtua, dan peserta didiknya menjadikan hajat UN sebagai bagian prioritas dalam kalender kegiatan mereka. 

Apa bentuk prioritas tersebut? Tidak lain adalah menyediakan budget, waktu, perhatian, dan ikhtiar. Meski Pak Menteri mengingatkan bahwa hasil UN bukan menjadi prasyarat kelulusan seorang peserta didik. Namun UN tetap menjadi prioritas.

Sekolah akan mengerahkan daya upayanya untuk mempersiapkan peserta didiknya berhasil dalam UN dengan hasil yang baik-baiknya. Maka di tahun terakhir anak-anak di jenjang sekolah masing-masing akan sibuk mengatur jadwal bimbingan. Pun lembaga bimbingan belajar. Ada berbagai program untuk mempersiapkan diri lolos dan lulus UN dengan angka bagus di lembaga-lembaga semacam itu.

Orangtua dan anak juga setali tiga uang. Semua sepakat memaknai UN sebagai pintu gerbang sejarah perjalanan. Dan tidak heran jika daya dan dana tercurah kepada anak yang duduk di kelas terakhir di jenjang pendidikan mereka.

Saya sendiri di hari terakhir menjelang UN, wanti-wanti agar anak-anak mengatur dengan cermat irama hidup di saat menjelang UN ini. Jaga makanan, jaga pola istirahat, dan tentunya mengatur jadwal belajar. Ini tidak lain agar ketika hari H pelaksanaan UN anak pada kondisi sehat dan penuh konsentrasi.

Bagaimana dengan anak yang terlambat datang di ruang UN? Tidak lain karena masih ada beberapa orangtua yang kurang terlibat dalam mengatur irama anak. Ini karena dari kasus yang ada di sekolah saya, keterlambatan mereka lebih disebabkan oleh faktor terlambat berangkat dari rumah ke sekolah. Meski ada bumbu macet di jalan atau argumentasi yang lain.

Bagaimana jika anak yang terlambat adalah anak yang kalau dalam kurva normal kemampuan akademik di kelas berada di awal kurva? Kompetensi yang telah berhasil ia himpun di minggu, hari, atau bahkan jam sebelumnya pasti akan terhambat ketika ia harus tidak nyaman ketika pengawas UN memberinya lembar soal dan jawaban. Sementara teman di kelasnya sudah mulai mengerjakan soal-soal? Allahu a'lam bi shawab.

Jakarta, 7 Mei 2015.

06 May 2015

Sebelum Hari H pun, Sudah Tahu Hasilnya

"Saya benar-benar sudah dapat memprediksi bagaimana hasil dari pelaksanaan kegiatan itu sebelum kegiatan itu sendiri berjalan dan berakhir. Bahkan, sejak pembuatan rencana kegiatan di dalam Raker sekalipun, sudah tergambar hasil kegiatan itu akan seperti apa." Begitu komentar teman saya yang kepala sekolah tersebut dalam sebuah diskusi tentang paradigma transformasi pendidikan di lembaga sekolah.

Diskusi dilakukan oleh para manajemen pendidikan di sekolah-sekolah swasta yang sama-sama kami kenal sebelumnya. Diskusi yang dilakukan secara informal sesama kami. Saling curah gagasan yang kami miliki dan melihatnya dari persfektif kami, yang semoga berbeda. Karena kami memang menginginkan sebuah solusi bagi sekolah-sekolah kami yang menunjukkan trend penurunan jumlah siswa di dalam kelas. Itulah sehingga keluar dialog antara saya dengan salah satu Kepala Sekolah yang sedang dirundung galau.

"Dari mana Ibu dapat mengetahui hasil atau memprediksinya, bahkan sejak kegiatan itu masih berupa rencana?" Tanya saya ingin tahu. Bukankah rencana dibuat tidak untuk menghasilkan hasil kegiatan yang biasa-biasa saja?

"Dari semangat panitia ketika menuangkan gagasannya di dalam rencana kerjanya Pak." Jelas teman saya penuh keyakinan. Lalu dia menjelaskan bahwa setiap kepanitiaan yang dibuat di sekolahnya, hampir selalu membuat model kegiatan yang sama sebagaimana kegiatan yang telah berlangsung tahun lalu. Yang berbeda dari kegiatan tahun lalu hanyalah kepada lokasi kegiatan, waktu kegiatan, dan pastinya biaya kegiatan yang setiap tahun akan selalu naik dan membesar.

"Kalau demikian adanya, mengapa Ibu tidak mengajak mereka membuat kegiatan dengan format yang berbeda?" Tanya saya kepada Ibu Kepala Sekolah tersebut. Ingin tahu sejauh mana ia telah mengajak teman-temannya untuk berjalan menuju tangga transformasi.

"Tidak lagi mengajak Pak. Saya harus memerintahkan agar setiap kegiatan benar-benar berbeda antara kegiatan tahun sekarang dengan tahun lalu. Dan karena masih menggunakan semangat 'kenapa susah-susah', maka perintah saya itu saya monitor saya tungguin dan monitor." Jelas Ibu Kepala Sekolah. Saya tentunya salut dengan modelnya itu. Jarang sekali ada pimpinan sekolah yang detil sebagaimana yang Ibu itu lakukan.

Usaha itu ia lakukan karena melihat betapa lemahnya daya tanggap teman-temannya terhadap arus perubahan di luar lembaganya. Dan karena itulah beberapa guru yang tidak atau sulit untuk melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang telah terjadi sebelumnya, ia harus menggunakan pola memandu sebagaimana yang dia lakukan. 

Saya bangga mendapatkan cerita heroik sebagaimana yang ia telah lakukan itu. Sungguh pelajaran berharga untuk saya. 

Jakarta, 6 Mei 2015.

05 May 2015

'Kenapa' Susah-Susah?

Ada penyakit di sebagian teman-teman guru yang untuk memudahkannya saya menamakannya sebagai penyakit 'kenapa susah-susah? Unik ya namanya? Ini untuk memudahkan saja. Jadi nama penyakit yang saya sebut tersebut sama dengan kata atau kalimat yang sering diucapkan oleh mereka yang mengidap penyakit tersebut. Jadi karena penyakitnya adalah 'kenapa' susah-susah? Karena memang kalimat itulah yang sering terlontar oleh si penderita. 

Penderita mengatakan ini sejak membuka rapat pertemuan pertama panitia kegiatan di sekolah, yaitu ketika pembahasan tentang mata kegiatan yang akan dilakukan.  Biasanya ini pada saat panitia membahas proposal kegiatan. Beberapa teman guru yang mempunya idialisme bagus tentunya akan tidak bisa tinggal diam, dalam arti hanya menerima proposal tahun lalu dengan hanya merubah lokasi kegiatannya. Kalimat  'kenapa susah-susah? Keluar begitu seorang ketua panitia menerima masukan dari peserta rapat.

Masukan itu tidak bisa dibilang jelek sebenarnya, tetapi memang membutuhkan ikhtiar berbeda dari panitia. Karena memang model kegiatannya akan berubah dari kegiatan tahun sebelumnya. Dan sebenarnya juga akan menjadi bagus ketika panitia mau sedikit berusaha bereksplorasi dan tidak berkutat kepada rutinitas.

Tetapi hanya dengan sebab ketidakinginan mencoba sesuatu yang berbeda, maka kontribusi bagus dalam perencanaan kegiatan yang berbeda dari apa yang selama ini dijalani. Anehnya, pengusul yang kemudian ditolak usulannya itu redup begitu saja tanpa mendapat topangan dari teman-teman lain yang sebenarnya juga menginginkan sesuatu yang berbeda.

Maka penyakit yang saya sebut sebagai penyakit 'kenapa susah-susah? itu tidak sekedar diidap oleh mereka yang berkutat kepada rutinitas kegiatan sebagaimana yang sudah-sudah saja, tetapi sudah menjadi bagian hidup dan budaya komunitas itu.

Dan perlu diingat bahwa penyakit 'kenapa susah-susah? akan menjadi semakin akut. Ia tidak akan sembuh meski pada akhirnya masyarakat tidak lagi menginginkan kegiatan yang sama seperti itu-itu saja di lembaga tersebut. Dan keakutan dari penyakit 'kenapa susah-susah? benar-benar akan merusak radar kepekaan dari komunitas di lembaga tersebut lenyap dan binasa.

Penyakit yang meski enteng disebutkan, tetapi berdampak membinasakan...

Jakarta, 30 April- 5 Mei 2015.

Melihat Anak SD Sempoyongan

Pagi ini, ketika jam masih juga belum menunjukkan pukul 06.00 pagi, saya sudah ada di jalan inspeksi Kali Ciliwung yang dekat dengan stasiun kereta api. Saya sengaja berdiri di sisi jalan untuk mencegat kendaraan yang bisa ditumpangi. Membelakangi deretan sepeda motor yang tertata rapi. 

Hari ini hari Selasa, hari kedua Ujian Nasional tingkat SMP untuk mata pelajaran Matematika. Saya harus segera sampai kantor. Namun karena situasi separuh jalanan yang sudah saya lalui tadi tidak begitu lancar, alhasil menjelang 15 menit ke pukul 06.00 saya masih harus menempuh separuh perjalanan berikutnya. 

Tapi saya bersyukur pagi itu berdiri di sisi jalan tersebut. Karena tidak berapa lama setelah saya berada di  sisi jalan yang tidak terlalu ramai lalu lalang kendaraan itu melintas bocah kecil dengan seragam merah putih. Kalau saya taksir mungkin duduk di kelas 2 atau 3 SD. Yang pagi itu menenteng tas sekolah di punggungnya, dengan kedua tangannya sibuk dengan tempe goreng yang dia konsumsi sembari jalan.

Dan ketika jarang tidak kurang 20 meter sebelum anak yang jalan kaki itu melewati dimana saya berada, nampak sepeda motor, bajaj, dan mobil yang akan mendahuluinya direpotkanya. Ini tidak lain karena dia berjalan tidak persis di pinggir jalan, justru pada detik dimana saya melihatnya, ia nampak sempoyongan mengarah ke tengah  jalanan. Tidak ayal lagi kendaraan tersebut berbarengan membunyikan klakson.

"Awas mobil!" Teriak saya kepada anak kecil yang tetap asyik mengunyah tempe goreng tepung tanpa sedikitpun ada rasa kaget atas suara saya yang sedikit melengking di pagi itu.

"Minggir kamu. Mobil ada di belakangmu!" Begitu kalimat yang keluar dari seorang laki-laki paruh baya yang selama saya berada di sisi jalan tersebut sedang mengelap motornya di pinggir jalan tidak jauh dari saya. Laki-laki itu sedikit berlari untuk meraih lengan si anak yang tetap tanpa ekspresi meski telah dikagetkan oleh bunyi klakson. Tetap mengunyah potongan tempe yang dibawanya.

"Biasa Pak, habis ngelem." Kata laki-laki paruh baya itu memberikan keterangan kepada saya yang tetap belum mendapat kendaraan yang saya tunggu.

"Dia dan semua keluarganya pada demen ngelem." Lanjutnya pria itu.

"Turunan emaknya juga."

Atas informasi tersebut, saya bengong. Hidup di zaman seperti yang saya alami pagi ini, luar biasa menegangkan...

Jakarta, 5.05.15

29 April 2015

Lagi, Terlambat Kerja #2

"Pak Agus apakah pernah menjadi pegawai yang juga punya masalah dengan datang terlambat ke kantor? Kok kalau bicara terlambat selalu dengan sudut yang berbeda?" Tanya teman saya suatu kali ketika kami berjumpa dalam rehat diskusi. Nah, kebetulan dalam diskusi tersebut perbincangan melebar hingga ke keterlambatan teman ke kantor.

"Kalau pertanyaannya seperti itu, pasti pernah sekali." Jawaban saya ringan dan lepas. Karena memang seperti itu kenyataan yang pernah saya hadapi. Dan kalau bicara datang ke sekolah terlambat, terakhir kali saya alami karena saya baru saja sampai Lebak Bulus sekitar pukul 05.45 sekembali dari Jawa Tengah. Maka jam itu telah membuat saya terjebak oleh kondisi jalan yang luar biasa ramai. 

"Artinya pernah ya Pak? Alasan apa yang Bapak berikan ketika Bapak harus terlambat sampai di kantor?" Desak teman saya. Ia sepertinya sedang ingin mengetahui sejarah kehadiran saya di kantor. Mungkin untuk mencari pembenaran.

"Kebetulan belum pernah sekalipun atasan saya bertanya tentang keterlambatan yang pernah saya alami. Saya tidak faham mengapa hingga sampai disitu? Mungkin karena keterlambatan saya tidak berpola?" jelas saya kepadanya. Meski begitu sesungguhnya ketika saya datang terlambat, selalu ada rasa tidak nyaman. Ini ketika saya mulai masuk gerbang sekolah dan disambut oleh Satpam sekolah, di lokasi parkir pun saya akan bertemu dengan orang atau karyawan lain yang kebetulan ruang istirahatnya berlokasi dekat tempat parkir, juga ketika saya harus masuk ke ruang guru yang jarang sekali kosong.

Jadi, meski tidak ada yang bertanya kepada saya mengapa saya datang terlambat, selalu ada rasa bersalah. Atau setidaknya tidak mungkin saya tidak merasakan apa-apa. Sebagaimana kalau saya datang lebih awal dari jam kantor?

"Kalau boleh tahu, apa yang menyebabkan Bapak pernah terlambat kantor?" Kejar teman saya. Saya merasa bahwa dia sedang mencari bench marking untuk keterlambatan masuk kerja. 

"Berbagai rupa Pak. Tapi lebih sering karena saya terlambat mengawali hari kerja. Sejak bangun tidur, subuh, beres-beres, keluar rumah, hingga menempuh perjalanan." Jawab saya lugas. Karena memang seperti itulah yang saya alami. 

"Karena hampir selalu saya tahu kalau saya akan datang terlambat kantor ketika saya keluar rumah Pak." Jelas saya lagi lebih detil.

Jakarta, 29 April 2015.

Ada Bangkai di Loteng Kantor

Beberapa hari belakangan ini, kesibukan saya di kantor bertambah satu hal. Yaitu dengan masalah tikus yang ternyata berkeliaran di batang-batang besi yang ada di kantin sekolah kami yang ada di lantai dua. Dan memang hanya di lantai dua sekolah saja tikus-tikus mungil itu berkeliaran. Kadang keberadaan mereka saya dengar dari pergerakan mereka di loteng ruangan kerja saya. 

Dan masalah ini segera saya selesaikan dengan berbagai cara bersama teman-teman pramubakti sekolah. Yaitu memangkas seluruh ranting pohon flamboyan dan pohon johar yang menjuntai hingga ke atap ruang kantin, menutup serapat mungkin saluran out door AC, dan yang paling terakhir adalah memberikan umpan yang telah diberikan bubuk racun. Namun permasalahan berikutnya adalah aroma bau yang menyengat ketika pagi hari kami baru saja membuka ruang kantor atau kelas. 

Lalu apa Masalahnya?

Inilah yang menjadi konsen saya atas masalah yang saya hadapi. Yaitu pramubakti yang terlalu pintar beralasan untuk ikut terlibat dalam pemangkasan ranting pohon yang sudah terlanjur menjadi jembatan hewan yang kehadirannya tidak diundang tersebut. "Kita harus mengirim surat izin ke kantor kelurahan dulu Pak sebelum menebang pohon itu. Karena pohon-pohon itu tumbuh di areal umum?" Saya tidak mengiyakan apa yang menjadi usulan dan pendapatnya itu. Juga tidak mengatakan tidak. Saya hanya diam.

Beberapa menit setelah usulan dari pramubakti itu, saya langsung meminta bantuan orang lain untuk langsung mengekskusi pekerjaan. Dan saat itu juga saya ditemani dua orang pramubakti dari bagian sipil memangkas semua ranting yang telah menjuntai di atap super deck kantin sekolah.

Kelakuan saya ini sekaligus ingin menepis bahwa untuk melakukan perkerjaan tidak perlu banyak berbantah. Bukankah ranting-ranting itu jelas tampak dengan mata telanjang kita? Mengapa untuk mengerjakan harus banyak analisa?

Jakarta, 29 April 2015.

Lagi, Terlambat Kerja

Catatan saya hari ini masih tentang terlambat kerja. Ini sepertinya banyak yang mengalami. Sebagai bagian dari komunitas lembaga pendidikan formal, terlambat kerja sama artinya dengan terlambat absen, dan bisa juga meski tidak terlambat absen di kala masuk kantor tetapi terlambat mengajar di dalam kelas. Jadi inilah yang menjadi runyam jika Bapak atau Ibu guru terlambat. Karena bisa jadi terlambat absen sesuai jam kantornya tetapi juga bisa terlambat mengajar di kelasnya.

Tentunya ada seribu satu argumentasi mengapa bisa sampai terlambat. Mulai dari kondisi fisik yang memang kurang sehat ketika bangun sehingga mengakibatkan terlambat masuk kamar mandi sebagaimana hari-hari sebelumnya, kondisi jalanan yang lumayan sekali macet, mengantar anggota keluarga ke dokter di pagi hari yang sakit, atau ban kendaraan yang terperangkap ranjau paku. Dan siapa saja di kantor, pasti tahu apakah argumentasi yang sahih atau yang bukan alias karena malas. Salah satu indikator dari kesahihan dari argumentasi tersebut adalah intensitas keterlambatan si teman tersebut.

Terlambat sebagai Kepribadian

Mohon maaf, saya sendiri, dari pergaulan dan interaksi dengan beberapa teman di sekolahan selama ini, menemukan indikasi yang super aneh mengenai fenomena perilaku teman yang terlambat. Maksudnya yang sering terlambat. Indikasi ini saya dapatkan ketika teman-teman tersebut selalu memberikan stetmen atas pernyataan atau pendapat orang atau bahkan peringatan atasannya atas keterlambatan. 

Seperti apa stetmen teman-teman itu? Misalnya; "Orang kerja yang dilihat datangnya saja. Pulangnya tidak pernah menjadi pertimbangan." Pernyataan ini mungkin sekali benar. Yang kemudian menjadi masalah kalau Kepala Sekolah melihat jam pulangnya yang hampir selalu pukul 20.00, ternyata teman-teman itu mulai bermain tenis meja di koridor sekolah sejak pukul 17.00. Menjadi rancu bukan? Atau pernyataan lain, yang kalau pernyataan itu dirunut  dan dikejar maka sesungguhnya rapuh juga. 

Ketika saya bertemu dengan teman yang bekerja di sekolah lain, yang kebetulan juga memiliki masalah sama dengan guru yang suka terlambat, saya justru menyarankan agar tahun berikutnya memarkirkan saja guru tersebut. Tidak tahu sebagai apa nantinya si guru itu akan dialih tugaskan. Mungkin sebagai guru mata pelajaran atau posisi lain. Karena jika masalah terlambat saja masih menjadi masalah, maka sebagai Kepala Sekolah akan selalu mendapat limpahan masalah dari guru yeng bersangkutan. Mengapa? Karena peserta didik di kelas dimana gurunya yang sering terlambat akan mengadukan masalahnya kepada orangtua di rumah. Dan boleh jadi kepada Kepala Sekolahlah orangtua mengadu.

Dari isi inilah saya menyarankan akar kita jangan mau terus menerus 'membantu' guru dengan kepintaran yang masih sulit untuk datang tepat waktu baik di sekolah atau di kelas ketika jam mengajarnya berlangsung. Setidaknya itulah pendapat saya.

Jakarta, 29 April 2015.

28 April 2015

Angkatan Touwtrekken

"Pak Agus mau tanya, kalian ini kelas IX untuk angkatan berapa ya? Apa nama anggakatan kamu?" Begitu pertanyaan saya kepada dua orang siswa kelas IX siang itu ketika kami bertemu di koridor sekolah. Pertanyaan saya ini untuk memastikan angkatan yang setelah saya hitung dengan melihat tahun pelajaran adalah angkatan ke-10. Namun karena ragu, saya menanyakannya kepada yang bersangkutan.

"Kami angkatan kesepuluh Pak. Nama angkatan kami adalah touwtrekken. Touwtrekken itu Bahasa Belanda Pak. Artinya adalah tarik tabang." Demikian jelas seorang anak didik kami yang termasuk anak dengan keseriuasan akademik tinggi di sekolah. Bukti dari keseriusannya itu adalah masuk sekolah pilhan tanpa harus memperebutkan kursinya melalui tes masuk  siswa baru.

"Lalu apa makna tarik tambang yang kalian sandang sebagai nama angkatan kalian? Apakah itu tidak sederhana untuk kalian?"  Tanya saya lebih lanjut ingin tahu. Saya tentunya penasaran sekali bahwa tarik tambang dapat menjadi nama angkatan. Sementara nama-nama angkatan yang lain akan lebih filosofis? Padahal bukankah masing-masing angkatan itu ingin merasa angkatannya paling menarik dan kreatif?

"Ini karena saat guru mengadakan lomba tarik tambang di sebuah acara di sekolah, kelas sembilan mengambil peran sebagai kandidat yang justru bergurau. Kami berpura-pura menarik dengan kekuatan tangan yang luar biasa. Dan kepura-puraan kami itu mejadi bumerang untuk kami semua. Guru memberikan konsekuensi kepada kami untuk tidak menjadi bagian dari permainan. Dari peristiwa itulah kami menjadikan tarik tambang sebagai ikon angkatan. Kami abadikan untuk mengingatkan kami semua agar tidak pernah berpura-pura tetapi sebaliknya, harus mengambil peran yang serius. Itulah mengapa kami sebagai angkatan touwtrekken." Jelas anak itu kepada saya. 

Apa yang dia ceritakan kepada saya, pernah pula saya dengar dari laporan guru di SMP akan peristiwa itu. Peristiwa yang sungguh membuat teman-teman guru kecewa berat akan ulah peserta didiknya yang duduk di kelas terakhir. 

Dan sekarang, sepertinya teman-teman guru telah berubah sikap atas apa yang dilakukan anak-anak tersebut. Ini tidak lain karena perilaku mereka yang telah melahirkan  kekecewaan para gurunya, mereka abadikan sebagai simbol kelas untuk mengambil peran yang positif. Saya juga termasuk bagian dari guru yang berbalik menjadi bahagia.

Jakarta, 28 April 2015.

Melaksakan Kegiatan yang Memberi Makna

"Apakah rencana yang disusun untuk sepanjang tahun pelajaran ini dilaksanakan Pak Agus?" Tanya teman kepada saya ketika diskusi sedang berlangsung. Pertanyaan yang normal saja sebenarnya. Tetapi berat sekali untuk saya ketika harus menjawabnya.

"Dilaksanakan semuanya Pak. Tidak ada kegiatan yang telah direncanakan kemudian tidak terjadi di lapangan." Jawab saya penuh percaya diri. Karena memang demikianlah kenyataannya. Bukankah saya hadir untuk memberikan sedikit kata pengantar di beberapa acara yang dilaksanakan tersebut?

"Tetapi bagaimana bisa bahwa kegiatan yang telah dilaksanakan dan tidak memberikan implikasi kepada daya saing diri atau sekolah? Mungkin ada yang punya pandangan berbeda dari saya?" Teman saya menyampaikan keheranannya atas fakta yang ada. Mengapa kerja sudah dilakukan tetapi seperti tidak memberikan bekas? Memang tidak mudah juga untuk dapat memberikan kesimpulan. Tetapi memang seperti itulah setidaknya yang terjadi.

Saya coba untuk melihat dengan kacamata yang berbeda. Ini saya lakukan mengingat apa yang sudah dilakukan, beberapakalinya saya bersinggungan dengan situasinya. Dan dari sisi ini kita baru mendapat gambaran nyata bahwa dialektika pelaksanaan kerja sudah berlangsung namun tidak berimplikasi kepada daya saing diri atau sekolah.

Pertama; Bahwa kegiatan yang telah direncanakan hanya menjadi perhatian dari bagian yang telah diberikan tanggungjawab. Tidak ada kesempatan semua warga sekolah untuk mengetahui sejauh mana kegiatan sedang dipersiapkan dan bagaimana pelaksanaannya nanti. Tidak ada forum untuk semua teman berkontribusi ide terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan. Ketiadaan kesempatan ini berimplikasi kepada kualitas kegiatan itu sendiri, dan juga rasa memiliki akan kegiatan yang dimaksud. Padahal, menurut saya, kesempatan untuk membuka kesempatan kepada semua teman dalam memberikan kontribusi atas kegiatan yang akan dilaksanakan adalah universitas kehidupan. Masing-masing teman dapat memberikan masukan dan pendapat, berdialog, hingga berdebat guna menemukan formulasi kegiatan yang pas.

Kenyataan ini akan mengasingkan semua warga sekolah kepada kegiatan-kegiatan yang berlangsung di sekolahnya kecuali kepada mereka yang telah diberikan tanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan.

Kedua; Kenyataan tersebut di atas akan melahirkan sikap tidak terlibat dari orang-orang atau teman-teman yang ada di dalam sekolah, yang nota bene adalah warga sekolah. Rasa ketidakterlibatan ini berlanjut akan lahirnya sikap tidak terbuka untuk sama-sama memberi dan menerima masukan sebagai bagian inheren dari mendewasakan diri atau meningkatkan daya saing diri. 

Setidaknya dua hal itulah yang menjadi kendala bagi diskusi kami guna menemukan langkah untuk bergerak maju dari apa yang telah kami capai selama ini. Bahwa tidak ada keinginan yang kuat dalam mencari solusi agar semua kegiatan yang dilaksanakan memberikan makna bagi setia[p individu yang terlibat di dalamnya. Allahu a'lam bi shawab.

Jakarta, 28 April 2015.

Impian Setiap Orangtua

Ada yang menari di tahun pelajaran ini dari salah satu peserta didik saya di sekolah. Tidak lain adalah anak yang begitu berbeda dengan yang lain. Dan perbedaannya tidak sekedar lain, tetapi menonjol. Setidaknya inilah yang saya dapatkan dari pertemuan saya setiap hari dengan anak-anak yang masih duduk di bangku SMP. Sebut saja namanya, Andi. Masih duduk di bangku kelas VIII. Dari keluarga mapan.

Setiap pagi, ketika saya bertemu dia di halaman sekolah saat menyambut kedatangannya, sering sekali ear phone  nempel di salah satu telinganya. Sedang yang sebelah dia biarkan terjuntai di bajunya. Entah musik apa yang dia dengarkan. Namun yang jelas, kebiasaan seperti ini adalah kebiasaan rata-rata anak-anak zaman sekarang. Seperti juga yang dilakukan oleh teman-temannya yang lain.

Namun dia akan menjadi sangat berbeda ketika berada di musholah. Yaitu ketika waktu Dhuha dan Dzuhur. 

Itu karena ia akan menambah rokaat dengan tidak merasa ketergantungan dengan teman sebelahnya. Ia menambah rokaat sunnahnya ketika teman-teman yang lain sebelum melaksanaan sholat Dzuhur dan sesudahnya, atau juga sesudah pelaksanaan sholat Dhuha.

"Menyejukkan melihat ia menambah rokaat." Kata saya suatu hari kepada Kepala Sekolah yang setia memandu dan menemani anak-anak melaksanakan ibadah.

"Alhamdulillah Pak. Dia sejak kelas VII berbeda." Jelas Kepala Sekolah.

"Pasti menjadi impian bagi semua kita Pak. Semoga istiqomah." Lanjut saya.

Jakarta, 28.04.2015

Sisi Lain Pertunjukkan Sekolah

Saya harus detil dan cermat dalam melaksanakan pembagian tugas dengan kolega dalam mengawasi siswa kami di kelas 1 SD. Ini karena pada hari tersebut akan ada kegiatan yang sedikit akan menguras tenaga siswa dan juga kami. Sesungguhnya sejak latihan dua pekan lalu, sebelum kegiatan ini berlangsung hari ini. Kegiatan yang harus menuntut kemampuan anak di panggung sekolah. Ya. Kegiatan yang saya maksudkan adalah School Show.

Lalu apa yang membuat kegiatan tersebut menjadi catatan saya? Tidak lain adalah bagaimana kami harus super sibuk dengan siswa-siswa kami untuk menjaga dan mengarahkan mereka semua sehingga kegiatan dapat berjalan bagus, dan siswa juga dapat terkontrol dengan baik. Itulah yang menjadi bagian penting dari tugas kami sebagai guru selain membelajarkan anak-anak.

Kesibukan tersebut juga harus memperhitungkan jadwal yang anak-anak harus lakukan seperti break. Juga bagi kami adalah keberadaan mereka untuk tetap dalam pengawasan sehingga seluruh kegiatan telah kami buat alur waktunya. Tentu ini setelah kami diskusi dengan kolega kami yang berada dalam pararel kelas yang sama.

Lalu bagaimaa dengan waktu untuk kami break?  Karena ini adalah kegiatan yang tidak berlangsung setiap hari, setidaknya dalam satu tahun satu kali kegiatan Pertunjukkan Sekolah tersebut, maka jadwal kami menjadi nomor dua. 

Misalnya, ketika anak-anak dapat didalam pengawasan satu guru, maka pada saat itu pula kami akan bergantian untuk menyelesaikan tugas-tugas kami, seperti makan dan menjalankan ibadah sholat. 

Setidaknya itulah yang saya dapat dari kegiatan sekolah yang melibatkan tidak hanya anak-anak yang sudah mencapai tahapan rileks ketika berada di atas panggung pertunjukkan saja, tetapi juga bagi semua siswa yang ada di dalam kelas  tidak terkecuali.

Dan sisi lain inilah yang membuat saya belajar sesuatu untuk mempraktekkan bagaimana kami berkomitmen dalam pembagian waktu dan kegiatan yang harus dijalani. Ini sisi lain yang tidak akan pernah saya dapatkan ketika masih duduk di bangku kuliah sekalipun.

Jakarta, 17-28 April 2015.

16 April 2015

"Saya Pernah Diposisi Seperti Ibu"

"Jangan pernah memandang saya rendah Bu. Saya pernah berada di posisi Ibu sebagai Kepala Sekolah." Begitu kata-kata seorang guru kepada saya ketika saya harus berhadapan dengannya setelah berburu keberadaan mereka di sekolah yang sulit dilacak. Dengan bantuan wakil saya untuk terus memantau melalui SMS dan telepon, tidak terkecuali telepon rumahnya, terlacak keberadaannya hingga akhirnya dia dapat hadir di ruangan saya dengan seorang wakil yang menemani saya sekaligus sebagai saksi.

"Saya paham sekali siapa Bapak. Pendidikan Bapak bagus. Sudah magister. Pengalaman Bapak juga bagus. Menjadi inspirator di pelatihan-pelatihan, bahkan level Nasional. Indonesia. Bapak juga pernah menduduki jabatan yang sekarang ini sedang saya duduki. Maka dengan begitu hebatnya Bapak, saya merasa sangat tidak terhormat untuk memanggil Bapak di ruangan ini guna menyampaikan Surat Teguran karena ketidakhadiran dengan tanpa berita apapun kepada kami, keterlambatan masuk sekolah dan juga keterlambatan masuk kelas untuk mengajar? Maafkan saya Pak. Terlalu sulit buat saya dan teman-teman Bapak di sekolah ini untuk menemuan figur baik dari Bapak." Kata-kata saya meluncur begitu deras. Satu hal yang saya sendiri hampir tidak sadar. Ini karena dorongan amarah dan tersinggung saya yang teranjur mengatasnamakan lembaga yang sekarang sedang diamanahkan kepada saya.

Sungguh sebuah paradogsal yang mengguncangkan jiwa saya sebagai guru, yang sejak awal hingga sekarang berada di sebuah lembaga pendidikan formal swasta. Sebuah paradigma yang sungguh tidak masuk di akal sehat saya. Yang sulit saya dapat terima bahwa pernyataan seperti itu lahir dari seorang yang pernah menisbatkan diri sebagai inspirator di kancah pelatihan. 

Sebuah status yang justru bertolak belakang dengan realitas hidup di sekolah dan di mata peserta didik, juga teman-teman kolega yang menyaksikannya dalam menapaki hari-hari sebagai guru? Lalu apalagi yang dapat saya lakukan untuk membela teman yang satu ini dari masa depan yang diinginkannya jika memang faktanya berkata seperti itu? Itulah yang membuat saya begitu lancar dan mudahnya saat menemukan kata dan kalimat untuk segera saya sampaikan kepadanya.

"Bagaimana menurut Pak Agus apa yang sudah saya lakukan tersebut? Apakah merupakan sebuah ketidakhormatan saya kepada senior saya?" Kata Ibu Kepala Sekolah tersebut kepada saya seusai menuturkan apa yang telah dilakukannya pagi harinya.

"Bagus. Sebagai pemegang amanah Kepala sebuah lembaga, maka apa yang telah ibu lakukan adalah bagian dari menegakkan norma. Ibu telah melakukan sesuatu yang baik bagi masa depan lembaga." Kata saya yang masih syok mendengar kisahnya. 

"Saya memohon, semoga Ibu selalu diberikan Allah Swt kekuatan untuk memegang amanah yang sedang Ibu pegang." Kata saya menutup perbincangan di telepon.

Jakarta, 16 April 2015.