Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

05 September 2010

Saya Sekarang kan Lebih Baik

Bapak tidak melihat perbandingan saya sekarang dengan saya dulu. Sekarang saya kan lebih baik!

Pernyataannya bahwa ia telah berubah dan kenyataannya memang benar sekali. Sangat mungkin bahwa berbedanya waktu dulu dan kini membuat orang atau kita berubah atau merubah diri menjadi labih baik. Kebenaran ini tidak saja menjadi ukuran saya sendiri yang kebetulan adalah teman sejawatnya, tetapi teman yang lainpun memiliki penilaian yang sama. Dan sesungguhnya perubahan ini tidak hanya menjadi miliknya seorang. Karena semua kita sesungguhnya juga merubah diri sesuai tuntutan lingkungan sekitar kita.

Namun jika perubahan tersebut menjadi hujjah kita untuk memberikan argumentasi tentang perubahan yang dituntutkan kepada kita karena hanya melihat bahwa dalam diri kita masih butuh banyak yang dirubah, menjadi perkara yang berbeda. Perkara yang tidak lagi sederhana. Karena pembelaan itu, yaitu dengan ungkapan bahwa; saya sekarang sudah jauh berbeda dengan saya yang dulu, jelas sekali memiliki logika penolakan atau pengingkaran. Logika perbantahan. Suatu cara untuk mempertahankan diri atas kenyataan bahwa dalam diri kita masih ada bagian yang membutuhkan perbaikan.

Maka kalau yang dimintakan adalah perubahan, maka sesungguhnya argumen kita tersebut adalah penolakan atas ajakan untuk lebih berubah. Dan hal itu menunjukkan adanya perbedaan dalam cara melihat atau cara memandang. Dalam diri kita melihat bahwa apa yang menjadi fakta dalam diri kita telah cukup mampu berkontribusi sesuai dengan apa yang diekspektasikan lembaga, jika kita menjadi bagian dari lembaga. Sementara lembaga melihat bahwa apa yang kita telah tunjukkan atau kontribusikan masih membutuhkan akselerasi lebih cepat, lebih baik, atau bahkan lebih banyak. Perbedaan persepsi inilah yang kemudian memunculkan lahirnya deviasi atas harapan dan kenyataan.

Maka lahirlah pertanyaan berikut; ekspektasi siapakah yang dapat menjadi pegangan kita bersama? Kita secara pribadi atau lembaga?
Inilah pendapat saya. Pertama; Untuk menjawab pertanyaan ini, secara sederhana, saya memetaforakan problema ini dengan kita mengunjungi rumah orang lain. Bertamu. Ketika akan bertamu ke rumah orang lain, ini karena kita adalah pekerja di lembaga milik orang lain, maka akan ada konsepsi tata krama sebagai berikut: Mengacu kepada aturan agama. Yaitu ketuk tiga kali dan jangan sekali-kali berusaha mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam rumah dengan cara mengintip. Maka jika telah diketuk tiga kali namun tuan rumah, jika ada di dalam rumah, belum juga membukakan pintu, maka kita harus meninggalkan rumah tersebut.

Apa artinya? Artinya bahwa kalau kita sebagai tamu, maka posisi tawar kita adalah sub-ordinat. Ini berbeda posisi dengan atau jika kita adalah si tuan rumah. Hal yang sama juga linier jika kita adalah seorang karyawan di sebuah lembaga yang memberikan kita kerja, maka kita adalah bagian dari lembaga tersebut. Maka norma siapakah yang harus menjadi standar kerja?

Kedua; Berpikirlah bahwa kebaikan juga merupakan investasi. Yaitu bahwa sikap, perilaku, etos kerja, cara pandang dan keseluruhan dari tingkah laku kita yang baik harus kita pandang sebagai investasi penting bagi kita di kehidupan berikutnya. Dengan demikian maka jika lembaga menuntut kita dengan ekspektasi tinggi, tentu akan berimplikasi pada kita dimasa berikut.

Hal inilah yang banyak dialami oleh orang-orang sukses. Bahwa setiap kesuksesan yang telah mereka nikmati sekarang ini adalah buah dari tekanan, ekspektasi, dan mungkin dorongan dari luar dirinya diakulturasikan dengan kecerdasan mereka dalam meramu kenyataan itu dengan refleksi diri sehingga melahirkan kepribadian yang lebih integral, lebih unggul, dan lebih sukses. Setidaknya inilah yang saya fahami dari testimoni yang mereka inspirasikan untuk kita.

Ketiga; Jangan pelit untuk berbuat baik atau berubah menjadi baik. Janganlah kita menjadi pribadi yang menghitung-hitung ketika kita akan berbuat baik. Atau mengkalkulasi untung atau rugi kalau kita berubah dari kurang menjadi positif. Jika kita masih memiliki pemikiran seperti itu, maka sesungguhnya perasaan sombong sedang merajai hidup kita. Maka enyahkan perasaan itu dan kubur dalam-dalam. Atau kita akan tetap terpuruk di mata orang lain dan di ranah sosial.

Semoga saya dan Anda semua menjadi pribadi yang mudah berubah. Tentu berubah sesuai dengan tuntutan kebaikan dalam rangka menuju insan mulia. Dan mungkin Ramadhan 1431 H ini adalah momentum yang sangat baik. Amin.

Jakarta, 5-6 September 2010

04 September 2010

Pembelajaran Karakter Berbasis Aspek Kognitif Taksonomi Bloom

Tahapan pembelajaran yang saya maksudkan di sini adalah tahapan lanjutan setelah kami mampu menentukan apa saja karakter yang kami inginkan. Selaiun karakternya, kami juga telah membuat rambu-rambu pada setiap karakter dalam bentuk deskripsi dari setiap karakter tersebut, indikator keberhasilannya, serta sedikit ide tentang bagaimana strategi pembelajaran yang dapat digunakan sebagai generator idenya.

Tahapan proses perumusan dan penentuan karakter siswa, yang kemudian kami pilih 10 karakter siswa, sudah saya tulis dan jelaskan pada tulisan sebelumnya, yang juga saya muat dalam blog ini. Oleh karenanya, maka tulisan saya ini adalah upaya penjelasan tentang bagaimana kami membumikan konsep sepuluh (10) karakter siswa tersebut dalam bentuk proses belajar mengajar sehari-hari di dalam kelas oleh seluruh guru kami.

Taksonomi Bloom

Benjamin S. Bloom, memilah hasil pendidikan dalam tiga (3) domain utama taksonominya. Taksonomi inilah yang kemudian menjadi panduan di dunia pendidikan kita. Ketiga domain itu adalah domain kognitif atau domain pengetahuan. Domain efektif atau domain sikap dan domain psikomotorik. Dalam bahasan ini, saya hanya akan mengemukakan domain kognitif sebagai sandaran dalam pembelajaran karakter yang telah kami lakukan di sekolah kami.


Pada domain kognitif, Bloom membaginya secara bertahap dalam enam (6) aspek berpikir. Keenam aspek itu adalah:
1. Aspek mengingat atau remembering,
2. Aspek memahami atau understanding,
3. Aspek aplikasi atau applying,
4. Aspek analisa atau analysing,
5. Aspek evaluasi atau evaluating, dan
6. Aspek mencipta atau creating.

Keenam aspek kognitif tersebut, sebagaimana yang ditulis oleh Michael Pohl (2000. Hawker Brownlow Education), adalah hasil revisi dari Lorin Anderson. "During the 1990s, Lorin Anderson ( a former student of Benjamin Bloom) led a team of kognitive psychologists in revisiting the taxonomy with the view to examining the relevance of the taxonomy as we enter the twenty-first century. (Halaman 7).

Kami menjadikan domain kognitif itu sebagai proses dari pembelajaran karakter sekolah kami. Sebagaimana urutannya, maka proses mengingat, memahami dan aplikasi adalah satu bagian integral dalam pembelajaran itu. Ketiga aspek kognitif ini oleh Hellen McGrath dan Toni Noble dalam Different Kids Same Classroom (Longman Cheshire. 1994. Halaman 93) sebagai lower-order thinking. Sementara tiga (3) aspek selanjutnya, yaitu aspek analisa, aspek evaluasi, dan aspek mencipta ada dalam higher order thinking atau lebih dan kurangnya dapat dikatakan sebagai proses berpikir kritis.

Pembelajaran Karakter

Lalu bagaimana dengan pembelajaran karakter itu di dalam kelas? Sebagaimana dikemukakan dalam domain kognitif Bloom, maka tahapan paling awalnya adalah aspek mengingat. Oleh karenanya proses mengingat ini harus menjadi fondasi bagi pembelajaran pada aspek berikutnya. Misalnya, guru kami membuat senam karakter siswa. Dimana senam itu selalu dilakukian oleh guru dan siswa secara bersama-sama setiap pagi sebelum pembelajaran normal berlangsung. Dengan demikian, maka setiap kami selalu akan ingat diluar kepala tentang sepuluh (10) karakter yang kami punya.

Bagaimana dengan aspek memahami dan aplikasi? Kami selalu mengajak diskusi kepada siswa berkenaan dengan 10 karakter itu. Membuat ilustrasi penerapan pada setiap karakter pada setiap kesempatan di rumah atau di sekolah. Atau merefleksikan apa yang telah kami lakukan dalam kerangka 10 karakter yang ada. Pada proses ini, kami sedang belajar memahami setiap karakter yang kami punya sekaligus bentuk aplikasinya. Bahkan sering juga masuk dalam aspek analisa.

Dan untuk memperkaya serta mensetarakan apa yang guru atau kelas punya dan telah lakukan, kami secara khusus membuat forum diskusi yang berguna untuk sharing pengetahuan dan pengalaman. Karena kami selalu meyakini bahwa, tidak ada tumbuh tanpa sebuah proses. Selian itu juga kami yakin bahwa kejujuran dalam proses untuk tumbuh, adalah miodal paling utama bagi kami untuk menjadi bangga.

Bangga pada sepuluh (10) karakter siswa kami. Bangga kepada orisinalitas kami. Dan juga bangga kepada proses tumbuhnya kami. Inilah salah satu sumber kebahagiaan kami dalam mengejawantahkan amanah sebagai pendidik di sekolah.

Jakarta, 5 September 2010.

02 September 2010

Sekolah Favorit, Cerita Rina dan Ibunya

Malam itu seperti juga malam-malam sebelumnya, Rina, kelas 4 SD sibuk mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah hingga pukul sembilan malam lewat. Padahal sebagaian anak yang lain yang seusia dia telah terlelap. Rina sendiri tampak sekali kalau sedang menahan kantuk. Namun karena tugas rutinnya sebagai siswa di sekolah favorit, yaitu mengerjakan PR, belum selesai, maka ditahannya rasa kantuk itu sekuat tenaga.
Sementara itu duduk di sebelah dia adalah ibunya yang baru sampai rumah saat magrib tiba. Selain menahan penat oleh kerjaan di kantor, Ibunya juga terlihat menahan kantuk. Dan untuk mempercepat penyelesaian PR itu, kadang ibu membantunya dalam menemukan jawaban dari soal-soal foto kopian dari bu guru.
Dan selain memberikan bantuan-bantuan yang dibutuhkannya, ibunya juga mengeluh tak henti-hentinya. Ibunya mengeluhkan adanya PR yang lebih dari satu mata pelajaran yang menurutnya melampai batas. Namun anehnya ibunya sendiri yang memilihkan sekolah bagi Rina. Kata ibunya, sekolahnya sekarang adalah sekolah terbaik diwilayahnya. Dan untuk itu ibunya harus melakukan ini dan itu agar dirinya diterima serta tetap eksis menjadi siswa disekolah itu. Aneh, pikir Rina sambil menuliskan jawaban ibunya di kertas PR.

Tapi yang menurut Rina lebih aneh lagi, hingga ia sekarang menjadi siswa kelas 4, yang artinya telah 4 tahun ibunya memberikan komentar buruk atas pekerjaan rumahnya yang selalu bertumpuk, ibunya tidak pernah baik secara sendiri atau secara bersama dengan orangtua murid lainnya yang ada di komite sekolah untuk menyampaikan hal yang menurut ibunya buruk tersebut agar menjadi perhatian bagi sekolah dalam memperbaiki koordinasi antar guru Sehingga tidak setiap guru mata pelajaran berlomba memberikan pekerjaan rumah pada siswanya.

Oleh karena itu, masih menurut Rina, wajar saja bila keluhan yang dialaminya belum akan segera berakhir. Bahkan mungkin akan terus menjadi trend bagi semua guru di sekolah favoritnya itu. Dan artinya, ia dan semua temannya yang masih memiliki les sesudah pulang sekolah akan selalu terlambat memejamkan mata setiap malamnya.

Cepat Rina. Tulis, jawabannya dua pangkat dua ditambah 3 ditambah lima.” Kata ibunya. “Cepat! Itu yang namanya faktorisasi prima!”

Rina menuliskan apa yang diucapkan ibunya. Namun karena kantuk, ia keliru tempat dimana ia seharusnya menuliskan jawabannya tersebut. Maka dihapusnya dan ditulisnya ulang di tempat yang seharusnya. Waktu sekian detik terbuang, dan ia menjadi tambah kantuk. Sedang kepala ibunya sebentar-sebentar terangguk-angguk antara sadar dan tidak. Dan ketika Rina menunggu jawaban pada nomor soal berikut, ia harus menyadarkannya. “Nomor tiga puluh tujuh Mam?” Ibunya tersentak melihat lembar kertas Rina.
Begitulah gambaran paradigma belajar pada sebuah sekolah favorit yang hidup di masyarakat kita. Yaitu sekolah yang banyak memberikan pekerjaan rumah. Tekanan akademik yang tinggi kepada anak, baik yang datang dari pihak sekolah atau dari pihak rumah. Koordinasi yang kadang masih sering kurang antar personal dalam satu lembaga. Kesiapan siswa untuk mendapatkan 'angka kredit' menjadi harga mati bagi mereka yang mengejar sukses akademik.
Cerita tentang Rina dan sekolahnya serta Rina dan Ibunya, adalah secuil ilustrasi masyarakat kita tentang bagaimana mereka memandang sekolah sebagai wahana menempa potensi anak. Yang sering hanya dilihat dari kaca mata akademik semata. Tanpa melihatnya jauh lebih dari itu.
Cerita Rina, sekolahnya, dan Ibunya, adalah gambaran paradigma berpikir yang keliru tentang apa itu hasil pendidikan. Namun semoga gambaran itu saat sekarang ini hanyalah minoritas belaka. Semoga.
Jakarta, 2 September 2010.

31 August 2010

Belajar tentang Moral atau Karakter


Dapatkah kita memperoleh hasil yang relatif berarti tentang pembelajaran moral atau belajar karakter dari sebuah interaksi pendidikan di sekolah kita dewasa ini? Dimana kita ketahui bersama bahwa, hasil belajar siswa selain Ujian Nasional masih belum mendapat tempat. Baik secara ranking prestasi sekolah atau juga di sebagian mata masyarakat kita sendiri?

Apakah kita cukup memiliki parameter untuk mengukur keberhasilan dari hasil belajar moral atau karakter, sebagaimana kita telah memiliki dan meyakini alat ukur  untuk keberhasilan akademik mereka seperti UN? Atau mungkinkah kita tidak begitu perduli dengan kompetensi perilaku atau moral atau karakter siswa kita, karena terlanjur berkeyakinan bahwa  hasil belajar akedemik seperti UN adalah satu-satunya hasil belajar yang akan dicapai oleh sistem pendidikan nasional kita?

Rasulullah SAW pernah menuturkan dalam haditsnya bahwa; Aku diutus ke dunia ini untuk memperbaikin akhlak. Ungkapan ini mengandung arti bahwa misi utama bagi sebuah proses pendidikan adalah lahirnya sebuah akhlak, perilaku atau karakter. Tentunya akhlak baik atau perilaku luhur atau karakter mulia. Disini kita juga dapat menilik bagaimana sebuah generasi yang hidup bersama Nabi Muhammad SAW sukses mengawal kemakmuran dunia hingga beberapa generasi sesudahnya. Sebuah konsep dan aplikasi pendidikan yang secara riil dan nyata ada dalam sejarah manusia.

Dalam rumusan lain, Nel Nodding, seorang guru besar Emeritus di Universitas Stanford mengemukakan: the main of education should be to produce competent, caring, loving, and lovable people (Alfie Kohn, 2000:115).

Lalu apakah dewasa ini di dalam kelas-kelas di sekolah kita putra-putri kita belajar secara mendalam dan aplikasi tentang apa, bagaimana, seperti apa ranah moral itu harus menjadi milik mereka selain juga belajar dan mengejar SKL akademik yang akan diujikan pada  Ujian Nasional?

Saya mencoba untuk memberikan gambaran yang sangat dekat dan nyata tentang bagaimana kita bermoral dan berkarakter  terhadap sampah. Yaitu kenyataan tentang seberapa besarnya kita bermoral adalah dengan melihatnya bagaimana seseorang tersebut memberlakukan sisa atau limbah hidupnya yang berupa sampah? Marilah kita mencoba untuk memperhatian apa dan bagaimana orang di jalanan. 

Masih terdapat beberapa orang yang membuang limbah bungkus permen, puntung rokok, bungkus makanan kecil, plastik bekas botol air mineral, kartu bukti pembayaran jalan tol, atau segala rupa. Dan itu tidak saja dilakukan oleh mereka yang berjalan kaki atau menumpang bus umum, tetapi juga mereka yang mengendari kendaraan pribadi. Inilah yang dimaksud dengan NIMBY atau not in my back yard.

Kenyataan ini terjadi nyaris setiap hari dan tanpa melihat di jalanan mana mereka berada. Ada dimana-mana dan dilakukan oleh status mana saja. Inilah hasil belajar kita tentang moral atau karakter. Dan moralitas terhadap sampah sebagaimana saya kemukakan tersebut, adalah bagian kecil dari seluruh aktivitas hidup kita sebagai manusia.

Dan melihat kenyataan seperti ini, maka terbetik pertanyaan; akan dari manakah belajar bermoral baik dan berkarakter mulia hendak kita lakukan? Jawaban pastinya adalah dari diri kita sendiri, dari mulai hal yang paling mungkin kita lakukan dan harus mulai saat ini juga.

Jakarta, 31 Agustus 2010. 

28 August 2010

Tentang 10 Karakter Siswa Sekolah Kami

Kaget. Inilah perasaan yang muncul dalam benak kami warga Sekolah Islam Tugasku. Perasaan kaget ini lahir ketika melihat ternyata ada sekolah selain kami yang pengembangkan karakter yang sama di sekolahnya. Dan kagetnya lagi, kami menemukannya di brosur sekolahnya untuk Penerimaan Siswa Baru.

Dalam rapat, kami diskusikan apa yang akan dan sebaiknya kami lakukan dengan hal ini? Maka kami mengambil jalan mengalah. Sebuah jalan yang mungkin akan menjadikan kami lebih terhormat. Yaitu jalan dimana kami akan memberikan ilustrasi dan testimoni terhadap sepuluh (10) karakter siswa yang kami pilih dan kami kembangkan untuk karakter siswa.

Sepuluh (10) karakter siswa itu adalah:
1. Tanggung jawab (responsibility),
2. Disiplin (discipline),
3. Jujur (honest),
4. Percaya diri (confidence),
5. Mandiri (independence),
6. Kerja sama (cooperation),
7. Peduli (compassion),
8. Sopan (courtesy),
9. Hormat (respect),
10. Sabar (patience).

Dengan testimoni yang kami up load di media seperti blog atau web sekolah, kami berharap khalayak dapat mengetahui bagaimana kami dapat menceritakan kembali tentang karakter yang kami bangun dan kami punyai, bagaimana kami sepanjang hari pekan dan bulan memompakan semangat untuk berkarakter mulia dan yang tidak kalah penting adalah bagaimana proses karakter siswa yang sepuluh (10) itu kami miliki.

Proses:

Berawal pada sekitar pertengahan tahun pelajaran 2005/2006 kami mencoba menggali tentang mimpi kami terhadap siswa yang kami inginkan. Kalau siswa pintar, seperti apakah pintarnya itu? Kalau menjadi penyeru, maka penyeru yang seperti apakah mereka? Apakah yang akan mereka serukan untuk lingkungan sekelilingnya? Kalau dapat dipercaya, maka seperti apakah karakter yang dapat dipercaya itu yang harus ada pada diri siswa kami itu? Dan kalau mereka adalah sosok yang amanah, maka seperti apakah amanah yang dimaksud tersebut?

Maka dalam sebuah Professional Development pekanan yang ada di sekolah kami, semua dari maki menuliskan mimpi kami masing-masing. Dan ketika mimpi-mimpi tersebut kami coba elaborasikan dengan mimpi kawan, menjadi semakin kayalah mimpi kami tentang hasil belajar tersebut.

Sebelum sesi ditutup, kami menyepakati untuk membuat sebuah komite yang mewakili kami semua dalam  wadah yang kami namakan sebagai Komite Karakter. Komite ini merepresentasikan kebaradaan kami yang ada di Kelompok Bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar dan SMP. Juga manajemen sekolah. Komite inilah yang mematangkan hasil mimpi teman semua.  Dan setiap hari PD, Komite ini akan selalu mempresentasikan hasil kerjanya untuk kemudian menjadi bahan diskusi. 

Semua dari kami yang terlibat dalam kelahiran 10 karakter siswa yang kami miliki akan mampu mendeskripsikan apa yang saya sampaikan. Ini tidak lain karena kami semua berada di dalam proses kelahiran karakter siswa yang kami miliki. 

Lalu apakah selesai disini proses kelahiran karakter siswa kami? Untuk melahirkan 10 karakter siswa sebagaimana yang kami sebutkan di atas memang ya. Tetapi tahapan penerapan di dalam kelas, menjadi pekerjaan rumah kami bersama. Hingga awal tahun pelajaran 2006/2007 kami para guru menemukan gerakan tari atau senam untuk mengingat 10 karakter yang kami telah miliki itu.

Cukupkah sampai disini penerapan karakter siswa kami, yaitu setelah kami semua pendidik yang ada telah mampu menghafal karakter siswa yang kami punyai? Ternyata tidak, dan inilah yang kami akhirnya alami bersama sebagai proses mengajarkan, refleksi, dan penemuan langkah berikutnya.

Itulah yang akhirnya kami dapatkan. Yaitu bagaimana taksonomi Bloom membantu kami membelajarkan karakter siswa di sekolah kami.

Jakarta, 31 Agustus 2010.

08 August 2010

Tidak Berwacana

Catatan ini tidak untuk mengajak pembaca semua menjauhi atau bahkan meninggalkan budaya berwacana yang hidup subur di negeri tercinta ini. Karena saya yakin jikapun itu saya lakukan, ikhtiar seperti itu tidak akan menjadi bagian penting. Apalagi dilakukan oleh saya, Agus Listiyono. Bukan kapasitas saya untuk melakukan hal seperti itu.

Namun bagi saya sendiri, usaha untuk tidak berwacana adalah ikhtiar sadar yang harus saya tumbuh kembangkan dan hidupkan sepanjang waktu. Dan inilah pandangan saya itu:

Ketika kali pertama saya mendapat berita dan permohonan untuk memberikan ‘pembekalan’ kepada guru di sebuah lembaga di sebuah kota, saya merasa tersanjung. Bukan karena saya menjadi merasa besar, justru sebaliknya, ketersanjungan itu membuat saya takut. Takut tidak ada sesuatu yang dapat saya berikan atau bagikan kepada para teman guru yang ada di lembaga tersebut yang layak disebut sebagai bahan ‘pembekalan’.


Saya tercenung dan berusaha mengkalkulasi jumlah seberapa banyak hal baik yang mungkin dapat menjadi bagian yang baik juga untuk orang lain bila hal itu saya bagikan. Ini terjadi setelah pembicaraan telepon dari pihak lembaga yang membutuhkan bantuan saya itu selesai. Usaha itu sulit. Karena begitu sulitnya menemukan sisi yang dapat saya bagikan, lahir pertanyaan dalam diri saya: Jadi, setelah sekian lama saya mengajar dan berdiri menjadi 'manajer' di kelas atau bahkan 'manajer' di sekolah, tidak banyak bagian yang dapat saya bagikan untuk orang lain? Pertanyaan itu membuat saya malu hati. Merasa kalau diri saya begitu lambat melakukan proses belajar.

Alhamdulillah, Allah Maha Pemurah, membukakan pintu ide kapada saya, dengan berpandukan kepada kisi-kisi kebutuhan lembaga yang dikirim via faksimili, saya mencoba membuat apa yang saya miliki itu dalam bentuk sesi-sesi pertemuan pelatihan. Dua belas jumlah sesi yang ada. Yang kemudian saya saya coba rangkai sebagai bentuk lesson plan pelatihan saya sepanjang tiga hari. Sekali lagi, karena tidak banyak yang saya miliki, dan dibagi dalam banyak sesi, maka dapat dipastikan gambaran betapa tipisnya sesi-sesi yang berhasil saya rumuskan itu.

Satu prinsif dasar saya dalam membuat dan menyusun rencana tersebut. Yaitu semuanya harus telah menjadi bagian hidup dalam diri saya. Baik dalam hal belajar mengajar atau juga dalam hal manajemen sekolah. Hal ini menjadi panduan bagi saya, karena saya ingin menyampaikan testimoni dan bukan laporan pandangan mata. Saya memposisikan diri sebagai pelaku yang menceritakan kembali apa yang saya dengar, lihat, dan lakukan. Saya berusaha bukan sebagai komentator.


Dan dalam sesi-sesi yang terlaksana itu, banyak hal tak terduga menjadi bahasan hangat dalam diskusi dan dialog serta berbagi. Dan syukur saya berikutnya adalah, karena berbekal dari apa yang telah berlangsung dalam hisup saya sebelumnya, maka pertanyaan, diskusi, dialog dan berbagi pengalaman itu saya ambil sebagai bagian berikut dalam belajar saya, dan saya tambahkan sekelumit memori dalam bentuk penjelasan dari sisi yang berbeda. Semua berjalan sesuai dengan apa yang diperkirakan.

Tidak Berwacana

Pengalaman itu, membuat keyakinan pada diri saya bahwa, menyampaikan pengalaman dari sisi pelaku dalam sebuah pemberian 'pembekalan' lebih membuat audien dalam pelatihan menjadi hidup dalam alam yang nyata. Dan itu lebih memberikan gambaran utuh yang jauh dari verbalisme.
Dan karena permintaan pula, saya pun pernah menyampaikan apa yang baru saya lihat dan dengar tapi belum pernah satu kali pun saya mengalaminya sendiri. Meski saya mengupayakan materi ‘pembekalan’ itu sekonkrit dan senyata mungkin, tetap ada rasa mengawang dalam kalimat dan bahasa yang keluar dari kerongkongan saya. Saya menjadi malu karenanya.

Hal itu pula yang membuat saya di waktu belakangan ini menghemat apa yang saya sampaikan. Baik ketika sahabat saya datang mengunjungi saya di sekolah, baik saat pertemuan dengan para orangtua siswa, atau baik pada saat saya menuangkan apa yang sedang bergejolak dalam alam pikiran saya dalam bentuk artikel. Semuanya saya usahakan untuk menakarnya secara seimbang. Takut bila apa yang saya sampaikan adalah sesuatu yang masih dalam tataran wacana.

Takut jika wacana bagus yang saya kumandangkan akan mendorong teman dari luar kota mengunjungi sekolah saya untuk melihat bukti nyatanya. Lalu teman itu bertanya kepada saya: Yang Pak Agus sampaikan saat pelatihan tempo hari itu seperti apa ya Pak? Lalu karena saya baru berwacana, maka saya menjawab: Maaf Saudara, yang saya sampaikan waktu itu adalah wacana saya. Bagaimana pula jika yang bertanya seperti itu kepada saya adalah malaikat Allah?

Jakarta, 8 Agustus 2010

Mengapa Saya Belajar?

Pertanyaan ini selalu datang dalam diri saya. Dan ketika ia datang, selalu saya mencoba untuk mencari jawabannya. Dan jawaban itu justru muncul dan lahir bukan pada saat saya sedang ingin menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru pada saat tersudut o;eh suatu kenyataan atau fakta hidup yang ketika saya mencoba untuk menelusurinya, aliran itu berhulu kepada pertanyaan tersebut.

Misalnya saat saya terlalu lama melalaikan Sang Maha Esa. Selain kebodohan saya karena ketidak pekaan saya dengan apa yang ada di sekeliling saya sendiri. Juga tidak memaksimalkan fungsi mata, telinga, kepintaran dan ujungnya pada ketumpulan pikir dan hati, akhirnya saya bertemu dengan apa yang disampaikan Al Quran tentang orang yang menolak sebuah ajakan: Dan apabila dikatakan kepada mereka, Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul: Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek moyang kami (mengerjakannya). Apakah (mereka) mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk. (QS, 5:104).

Dan seperti orang bijak, maka belajar dan perubahan haruslah mulai dari saya sendiri; mulai dari yang paling mungkin dan paling bisa serta paling mudah; dan mulai saat kesadaran itu lahir.

Motivasi lain yang memungkinkan hati saya menjadi lebih bergembira lagi adalah apa yang disampaikan oleh Musa Al Asy’ari RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku diutus oleh Allah Azza wa Jalla untuk menyampaikannya adalah seperti hujan yang turun ke bumi. (1).Ada tanah subur yg langsung menyerap air itu, lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yg rimbun. (2) Ada tanah keras yg menahan air, sehingga dgnnya Allah memberi manfaat kpd manusia, dimana mereka dpt minum, mnenyiram tanaman, dan beternak dgn air tersebut. (3) Ada pula hujan yg jatuh di tanah tandus yg tdk dpt menahan air dan tidkbisa menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan org yg memahami dan mempelajari Allah Azza wa Jalla serta mengambil manfaat darinya melalui apa yg Allah utus kpdku. Kemudian ia memahmi dan mengajarkannya. Juga perumpamaan org yg tdk berkeinginan utk mempelajari agama Allah dan tdk menerima petunjuk-Nya yg aku diutus karenanya. (HR Muslim 7/63) - M Nashiruddin Al Albani. 2006. Ringkasan Sahih Muslim. Azzam: 246-247.

Itulah antara lain yang selalu memberikan dorongan kepada diri saya untuk terus melakukan pembenahan. Saya meyaini sekali bahwa keberuntungan hanya lahir manakala kita hari ini menjadi berkorelasi lebih (lebih besar, lebih banyak, lebih baik, lebih mulia) dari hari sebelumnya. Dan untuk sebuah korelasi itu kita dapatkan bilamana kita berikhtiar secara keras, cerdas, tuntas dan holistik.

Saya harus menyediakan diri sebagai lahan yang subur. Dan oleh karenanya saya merelakan semua informsi yang ada menjadi bahan bagi saya untuk menumbuhkan diri. Lalu dari sana saya mencoba memilah dan memilih informasi tersebut dalam aspek analisa di tataran ranah kognitif.
Selain apa yang ada dalam diri saya sendiri yang medorong saya harus belajar, saya juga menjadi iri hati saat melihat kenalan, teman, saudara, yang saat bertemu untuk sekian lama telah merubah koordinat martabatnya. Dan itu semua mustahil tanpa ikhtiar keras mereka dalam melakukan belajar.

Dan semakin menuju ke hilir, semakin yakin bahwa, hanya belajarlah yang memungkinkan kita menjadi dewasa melihat hidup dan yang memberi hidup. Yaitu Yang Maha Hidup. Dewasa dalam arti saleh secara sosial dengan fondasi transendental yang disebut; dua kalimat tayibah.

Jakarta, 8 Agustus 2010.

03 August 2010

Tetapi


Di tahun 1996, saat kali pertama saya harus membuat rapot komentar di setiap Triwulan, saya mendapat masukan dari Kepala Sekolah untuk mengedit penggunaan kata tetapi. Misalnya ketika saya menuliskan kemajuan siswa saya terhadap penguasaan materi pelajaran tertentu, lalu di tengah kalimat itu ada kata tetapi yang disambung persyaratan yang masih harus dipenuhi si anak agar mencapai hasil belajar lebih maksimal lagi.


"Pak Agus tidak perlu menggunakan kata tetapi. Karena kata itu menjadi bermaksud melemahkan apa yang Pak Agus sampaikan di depan. Sampaikan saja bahwa nilai baik sudah berapa yang telah dicapai dan mungkin masih ada yang perlu dicapai lagi tanpa menggunakan kata tetapi." Kata Kepala Sekolah saya. Dan tak lupa Ibu Kepala Sekolah itu memberikan beberapa lembar foto copian contoh-contoh komentar yang baik sebagai panduan ketika kita, guru, sedang merumuskan komentar di rapot.


Lain pengalaman saya ketika menulis rapot, yaitu saat saya memberikan masukan kepada teman kantor ketika diskusi sedang berlangsung. Masukan itu saya sampaikan sesuai dengan apa yang disampaikannya kepada saya untuk memberikan kemungkinan solusi atau alternatif penyelesaian dari masalah yang sedang dihadapinya. Dan masukan itu tak satupun dapat melegagannya karena selalu saja ia menyetujui analisa saya, untuk kemudian mengatakan tetapi.


Dan pada ujungnya, saya paham bahwa, kata tetapi-nya itu sekadar untuk membela diri. Karena untuk apa ia membuka masalahnya dihadapan saya dan meminta saya untuk turut serta menjadi bagian dengan cara memberikan masukan pemecahan dan ketika usulan saya lempar selalu kata tetapi yang keluar dari setiap argumentasinya? "Saya setuju dengan masukan Bapak. Masukan itu bagus sekali. Tetapi sulit rasanya jika sayalah orang yang harus pertama kali yang memulai?"


Dalam situasi yang berbeda, saya juga menemukan kata tetapi. "Benar Pak apa yang Bapak sampaikan kepada saya sebagai teguran itu. Tetapi Bapak harus tahu kalau saya sebenarnya baru saja keluar kelas Pak?". Kalamat ini sebagai argumentasinya ketika saya sampaikan bahwa kelasnya kosong sehingga tidak ada yang mengawasi siswa di dalam kelas. Padahal semestinya kelas itu masuk dalam mata pelajaran yang menjadi tanggungjawabnya.


Atau kata sepadan ini: "Memang hal itu saya akui Pak. Tetapi ini adalah kali yang pertama saya melakukannya." Atau hal yang paling keseharian: " Benar saya sudah berusaha dengan sekuat tenaga Pak untuk datang tidak terlambat. Tetapi di tengah jalan tadi ban motor saya kempes." Atau yang lain lagi: "Terima kasih Pak masukannya. Tetapi Bapak juga harus memahami saya."


Mungkinkah kita tidak meggunakan lagi kata tetapi ketika berargumentasi? Menurut saya bisa dan harus. Mengapa? Karena salah satu sisi buruknya dari kata tetapi dalam perilaku hidup kita adalah sikap untuk melakukan pembelaan diri atau defensif. Dan perilaku ini merupakan hambatan pada diri kita untuk tumbuh menjadi lebih baik, lebih besar, lebih tinggi, serta lebih bermakna.


Jakarta, 3 Agustus 2010.

“Repot Pak!”

Repot Pak. Begitu siswa saya menjawab dan berargumentasi untuk menggulung bagian bawah celana panjangnya saat akan mengambil air wudhu sebelum shalat jamaah di masjid sekolah kami. Saya persis ada di belakang anak-anak itu untuk segera mengambil antrian di depan kran air, melihat dan memberikan koreksi tentang cara berwudhu kepada anak-anak.

Dari aktivitas ini, saya masih menemukan bebrapa siswa yang kurang pas dalam cara berwudunya. Sebagian mereka masih memiliki prinsip asal. Yaitu asal sudah ‘wudhu’. Sikap yang mungkin juga sudah berubah menjadi rutinitas. Hingga melupakan esensi dari kegiatan utama dan mulia dalam rangkaian mengagungkan Allah.

Komentar dari salah satu siswa itu keluar saat ia kedapatan oleh saya hanya menarik celana panjangnya dengan tidak sempurna, dan mengarahkannya telapak hingga mata kakinya di bawah guyuran air kran yang setengah deras. Cara demikian membuat wudhunya tidak sempurna. Dan juga membuat ujung celana panjangnya basah kuyup. Saya mencoba memintanya mengulang dengan terlebih dahulu menggulung celana panjangnya. Dan dengan sedikit malas-malasan ia menolak dengan argumentasi "repot". Jawaban itu membuat saya sedikit 'berusaha' dengan anak tersebut.

Saya minta ia dan beberapa temannya untuk berhenti sejenak. Pertama yang saya minta kepada mereka adalah menggulung bagian bawah celana panjangnya dengan sempurna hingga di tengah betis masing-masing. Tentu menggulungnya dengan sedikit membungkuk dan melipat ujung celana panjang itu ke atas. Bukan sekadar menarik di bagian paha tanpa menundukkan bahu sedikitpun. Cara menggulung yang sederhana ini untuk memastikan bahwa membasahi kaki hingga mata kaki dengan air wudhu dapat dengan pasti dilakukannya.

Dan ternyata tidak semua dari mereka dapat melakukan hal tersebut dengan cekatan dan sempurna. Saya sedikit kaget dengan kenyataan itu. Inilah generasi penerus saya. Saya coba memberikan contoh menggulung celana 'yang baik'.

Dan untuk memberikan motivasi kepada mereka tentang bagaimana murahnya Allah kepada kita, saya coba membacakan hadis Rasulullah SAW; Dari Umar r.a. ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang dari kamu yang berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian ia mengucapkan: Asyhadu anla illaha illAllah wahdahu lasyarikalah. Wa Asyhadu anna Muhammadan ’abduhu wa rasuluhu; kecuali dibukakan baginya pintu surga yang delapan. Ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia mau.” (HR Muslim & Tarmidzi, di ambil dari Buku Terjemah Bulughul Maram. Al Hafid Ibnu Hajar As Qalani. Bandung. Halaman 27))

Saya berharap dengan apa yang saya sampaikan itu siswa menjadi lebih terdorong untuk berusaha lebih baik setiap hari. Maka dengan motivasi hadis tersebut, saya bermaksud merubah visi mereka dalam hal mengambil air wudhu. Karena saya yakin, bahwa hanya dengan bervisilah akan lahir sikap sungguh-sungguh dalam memperjuangkan sesuatunya. Jangan sampai penyakit ‘repot’ sebagaimana yang terjangkit pada diri mereka menyebar ke bagian dan sendi kehidupan lainnya. Amin.

Jakarta, 3 Agustus 2010.

01 August 2010

Merealisasikan Konsep, Butuh Kesabaran dan Ketabahan


Pada tahun 2005 yang lalu, saya mendapatkan riskyi berupa kesempatan untuk membantu sebuah lembaga pendidikan yang berbasis pesantren di sebuah provinsi di Sulawesi. Sebuah lembaga yang didirikan dengan semangat penuh untuk berkontribusi kepada masyarakat yang tinggal di daerah asal pendirinya. Dengan melihat visinya, saya menyimpulkan bahwa ikhtiar pendirian lembaga pendidikan ini adalah bagaimana sang pendiri berusaha memberikan imbas sosial atau kermanfaatan horisontal yang luhur kepada masyarakat serumpunnya. Sebuah semangat yang harus menjadi bagain dari kita semua.


Saya bukan orang pertama yang diajaknya ikut terlibat dalam pengembangan lembaga ini. Ada beberapa pihak yang menjadi patron lembaga ini sebelumnya, yang boleh dikatakan lembaga pengembangan papan atas dengan sokongan langsung dari Universitas ternama di Jawa. Namun sebagai orang yang diberikan amanah untuk ikut berkontribusi, saya mencobanya.


Kedatangan saya yang pertama adalah memberikan semangat tambahan kepada seluruh stake holder pesantren tanpa terkecuali. Dan selama waktu yang tersedia itu, saya berusaha menyerap dan mencecap manis, pahit, getir, mimpi, semangat, dan gairah yang ada dan hidup di dalam komunitas itu. Dua kali saya masuk ke dalam kelas untuk mengajarkan cerita selain pelatihan dan bermain bersama. Tentunya ditonton oleh beberapa guru yang ada di situ.


Alhamdulillah, atas izin-Nya, kedatangan saya ini seolah memberikan harapan besar kepada semangat baru bagi perubahan dan pengembangan etos kerja. Pada tahapan berikut, lahan pinggir sungai yang semula kurang menjadi perhatian, dengan semangat dan cara pandang baru menjadi lahan yang memberikan kelimpahan sumber makanan yang tiada habisnya. Ada bawang merah, cabai, terong, bayam, kangkung, singkong, kacang tanah, ubi, yang semua adalah bahan makanan bagi penghuni pesantren tanpa terkecuali.


Lalu enam bulan berikutnya, saya kembali ke lokasi yang sama guna membangun diskusi dan mengelaborasikan ke dalam sebuah konsep. Dengan semangat ini, diharapkan akan melahirkan sebuah komunitas kebersamaan. Kebersamaan dalam membangun visi dan misi serta tujuan perjuangan, kebersamaan dalam berkomitmen kepada apa yang telah dirumuskan dalam visi, misi dan tujuannya, dan kebersamaan dalam mengikhtiarkan apa yang telah disebutkan itu. Dalam tiga tahap (konsep, komitmen, dan pelaksanaan) tersebut bila dapat dijalani dengan baik, kami berpikir hal ini akan menjadi modal bagi pengembangan pesantren pada tahun berikutnya. Yaitu dengan melakukan monitoring dan evaluasi untuk kemudian membuat rumusan baru yang mungkin akan lebih menantang, lebih tajam, lebih inheren, dan lebih prosfektif. Ini adalah visi kedatangan saya pada kali kedua.


Alhamdulillah, sekali lagi atas izin Allah seru sekalian alam, setelah membagi seluruh komponen yang ada dalam komisi-komisi yang kami perlukan dalam penyusunan konsep sebuah lembaga yang transparan dan egaliter, dengan terlebih dahulu menyepakati aturan, goal, dan strategi pencapaiannya dari masing-masing komisi, tahapan ini kelar dengan sangat baik. Konsep berhasil kami rumuskan dan kami tetapkan bersama.


Ada tentang target kompetensi siswa, kompetensi guru, serta keseluruhan dari apa yang menjadi komponen yang harus ada di sebuah sekolah yang baik, terumuskan dengan rapi dalam satu dokumen sekolah. Tentunya tidak ketinggalan menentukan siapa yang harus memegang amanah tertinggi dari apa yang telah berhasil dirumuskan tersebut. Sepekan saya bersama seluruh komponen lembaga itu dengan terus menerus berdiskusi dan berdialog hingga sebuah kesimpulan lahir.


Apa yang menjadi pengalaman saya itu, sebuah pengalaman yang sering menyentak kesadaran saya sendiri hingga sekarang ini. Bahwa kesadaran untuk tumbuh dan berkembang adalah milik kita bersama. Tidak ada satupun komponen yang ada di lembaga tersebut yang tidak berkeinginan untuk tumbuh dan berkembang. Semua ingin, namun dalam skala, koordinat, dan cara melihat yang berbeda.


Dan oleh karenanya menyatukan komponen yang ada untuk bersama-sama membuat rumusan komitmen atas visi, misi, dan tujuan bersama, menjadi bagian yang penuh gairah. Namun harus diwaspadai bahwa memandu pertumbuhan dan pengembangan dalam sebuah lembaga jauh lebih sulit dan penuh kesabaran dan ketabahan.


Dan selain membutuhkan sikap visioner dari kita, saya justru menduga bahwa kesabaran dan ketabahan adalah satu unsur yang jauh lebih dituntut dari dalam diri kita. Dan dua hal inilah yang sering menjadi pintu masuk keputusasaan. Bagaimana dengan Anda?


Jakarta, 1 Agustus 2010.

26 July 2010

Komitmen pada Tujuan


Saya memaknainya sebagai sikap atau perilaku untuk berbuat dan berlaku selalu konsisten dan persisten dalam memegang teguh sebuah garis perjuangan. Dan jika komitmen itu menyangkut diri saya sendiri untuk menunaikan tugas yang menjadi amanah, maka perilaku konsisten dan persisten itu akan menjadi garis perjuangan saya dalam setiap ikhtiar dalam menunaikan amanah yang diberikan. Dan masalah komitmen inilah yang sedang menjadi masalah dalam idiologi perjuangan saya dalam mengemban amanah. Berat sekali. Dan karenanya, saya bermohon kepada Allah untuk petunjuk pada jalan keluar yang bermartabat.

Saya membayangkan jikalau kita ada dalam sebuah wadah, dimana wadah tersebut adalah bagian dari wadah yang lebih besar, dan karena besarnya wadah tersebut maka disepakatilah adanya standarisasi kode etika, maka seluruh isi dari wadah-wadah kecil yang antara lain ada saya didalamnya harus tunduk dan menjadikan standar etika sebagai panduan berperilaku soleh. Baik soleh dunia maupun soleh akherat.

Namun masih pantaskan saya ikut terlibat dan menjadi bagian dari individu dalam wadah yang kecil itu bilamana anggota wadah kecil itu tidak menjadikan panduan etika yang disepakati menjadi panduan dalam berperilaku dan berjuang dalam menunaikan amanah? Dan disinilah saya sedang berjuang untuk menemukan solusi dari perkara yang saya hadapi.

Anehnya, individu yang tidak patuh etika masih juga memberikan justifikasi atas pejuang lainnya yang sama-sama memberikan pencerahan kepada anggota masyarakat lainnya. Dan justifikasi ini bukan pada sisi positif yang berupa dukungan, tetapi justru kebalikannya, merugikan dan menjurus pada mendiskreditkan. Pada titik inilah, kadar komitmen diuji. Di Uji untuk tetap dalam wadah yang sama atau membelot keluar dari wadah?

Keluar dari wadah adalah solusi yang baik dalam tataran sosial. Namun dalam tataran individu, saya sedang benar-benar bermohon kepada Allah atas solusi yang terbaik. Karena hanya Allah-lah Maha dari semua yang Maha di alam semesta ini. Ia-lah seru sekalian alam. Maha mengatahui dari apa yang kita semua tidak mampu ketahui. Yang memasukkan malam ke dalam siang, dan memasukkan siang ke dalam malam.

Dan hingga titik yang saya sedang tunggu itu ada, maka melihat kedalam diri sendiri untuk merenungi kadar komitmen pada tujuan yang sebelumnya berkobar itu, adalah sebuah koreksi total kepada penemuan Ridho Allah.

Dan untuk tidak terlalu lama lagi, saya harus memiliki garis pemisah antara membela wadah yang telah ditumbuhi cendawan atau pada tujuan awal yang akan membawa keberkahan dan ridho Allah. Dan hanya kepada yang Maha saya kembali bermohon untuk meneguhkan komitmen saya kepada menuju keberkahan-Nya. Semoga. Amin.

Jakarta, 26 Juli 2010.

25 July 2010

Batu Akik, Refleksi Keindahan


Apa yang dapat saya tulis dalam artikel tentang batu akik? Saya coba merenungkan. Tidak ada. Kecuali tentang bagaimana saya menjadi senang dengan batu alam ini.

Karena tentang batu ini, meski saya mulai menyukainya sejak bekerja di Bintaro Tangerang, Banten tahun 1997-an, namun pengetahuan tentangnya tidak beranjak menjadi lebih baik meski satu senti meter sekalipun.

Saya merasakan adanya hambatan untuk berkenalan dengan makhluk Allah ini. Dan pada tahun 2010 ini, keinginan untuk berkenalan lebih dalam dan akrab saya sedang coba jalani. Tapi jangan tanyakan kepada saya bagaimana saya cintanya pada batu ini.

Maka dari sisi kecintaan itulah saya mencoba membuat refleksi ini. Juga dari sisi ini pulalah saya berusaha untuk berkenalan dan bersahabat lebih akrab lagi. Tentu melalui apa yang telah dimiliki oleh teman dan sahabat yang ada disekitar saya. Tak lupa juga dari informasi yang tersebar di dunia maya. Semua saya kunyah dan dan telan sebagai bagian dari tahapan saya belajar.

Batu sebagai Pengikat Kenangan

Inilah yang sering menjadi motivasi saya mengapa saya harus membeli batu ketika menemukan pedagang menjajakan batu akik. Maka tidak terlalu salah jika batu yang saya beli ditempat itu adalah pengikat kenangan saya terhadap lokasi yang pernah saya nikmati. Keindahan, keramahan, keakraban lokasi tersebut sangat jelas tergambar dalam bentuk kenangan yang telah mampu saya ikat dalam bongkahan mungil batu. Bahkan sekali waktu, bukan dari penjaja batu itu saya dapat, tetapi juga di trotoar jalan yang saya lalui.

Jangan anggap saya membelinya dalam jumlah dan ukuran yang besar. Karena semua anggapan itu keliru. Karena atas dasar kemampuan, maka saya memperolehnya dalam ukuran yang mungil. Tapi dari yang mungil inilah saya mencoba memaknainya lebih besar.

Mungkin ada lima atau enam buah dari batu yang saya punya, yang boleh dikatakan sebagai mahal. Ini pun bukan karena jenis dan kualitas dari batu tersebut. Tetapi justru dari mana dan bagaimana batu itu saya dapat. Meski untuk memperolehnya, saya telah diberikan subsidi yang luar biasa besar. Subsidi dalam bentuk kesempatan saya mengunjungi festival itu di Hundorf, SA, tahun 1999 yang lalu.

Purnabakti

Batu juga menjadi bagian penting bagi saya untuk menjadi target yang harus saya kuasai. Entah akan seperti apa nantinya pengetahuan saya tentang batui. Namun tekad itu menjadi semakin kokoh manakala melihat dan mengingat bagaimana kawan dan sahabat saya yang menjadi kebingungan ketika masa purnabakti datang.

Oleh karenanya, batu mungkin akan menjadi salah satu bagian yang nantinya menjadi sahabat saya agar saya tidak menyalahkan siapa dan apa saja yang ada di sekitar saya pada masa purnabakti itu. Semoga. Amin.

Jakarta, 25 Juli 2010

21 July 2010

Refleksi; PPDB SMA Negeri Jakarta 2010

Inilah kisah tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tingkat SMA Negeri dan sederajat di provinsi DKI Jakarta 2010. Sebuah kisah tentang reputasi pejabat di dunia pendidikan yang mengurusi sekolah setingkat SMA di wilayah DKI Jakarta 2010. Sebuah kisah yang bagi kami, calon orangtua peserta didik baru tahun pelajaran 2010/2011 yang mendaftarkan putra-putrinya melalui jalur on line, sangat menyebalkan!

Dan selain menyebalkan, proses PPDB SMA Negeri yang semula dimulai pada tanggal 1-3 Juli 2010 tersebut memunculkan tanda tanya sangat besar. Tanda tanya yang lahir dari sangka buruk kita terhadap ketidakberesan proses tersebut.

Dalam Editorialnya, Koran Tempo mengatakan bahwa kerusakan server sebagai penyebab utama dari amburadulnya penyelenggaraan PPDB SMA Negeri DKI Jakarta tahun 2010, seperti yang dikemukakan oleh Kepala Dinas Pendidikan Tinggi DKI Jakarta, Pak Taufik Yudi, disinyalir hanya sebagai usaha dalam menutupi masalah keamburadulan tersebut. Dimungkinkan adanya masalah yang lebih besar dari apa yang disampaikan kepada kalayak tersebut. Masalah apa yang dimaksud? "Tapi alasan ini layak disangsikan karena sebenarnya tak butuh waktu lama untuk mengatasi masalah kelebihan beban. Menambah bendwidth, misalnya, hanya membutuhkan waktu beberapa jam. Problem trafific data yang terlalu padat juga tak sulit diatasi."(Tempo, Selasa, 6 Juli 2010).

Saya, sebagai bagian dari masyarakat yang berkepentingan langsung dengan PPDB SMA Negeri DKI Jakarta tahun ini sehubungan salah satu anak saya yang akan masuk kelas X, berkenaan dengan karut marut ini berpendapat sebagai berikut: Pertama; Tidak visioner. Kedua; Tidak prediktif. Ketiga; Tidak komunikatif. Dalam konteks ini, saya mengesampingkan adanya beberapa bagian masyarakat yang mencium bau di sekitar 'penghematan anggaran'.

Tidak Visioner

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa alasan dropnya situs PPDB tahun ini antara lain adalah karena kerusakan server. Mengingat dalam waktu yang bersamaan situs tersebut akan diakses oleh ribuan masyarakat secara bersamaan. Logika saya, bukankah kenyataan itu adalah sesuatu yang memang seharusnya terjadi? Apakah panitia tidak sampai pada pemikiran bahwa akan banyak orang yang berkepentigan situs ini? Dan kalau sampai pada pemikiran itu, bukankah memang seharusnya kapasitas tersebut perlu menjadi pertimbangan uatamanya selain faktor yang lain?

Pada sisi ini, para pemangku yang berkepentingan dengan PPDB DKI Jakarta mestinya sampai pada kesimpulan seberapa besar dan seperti apa situs dan server tersebut harus didisain. Inilah yang saya anggap tidak visioner. Tidak mampu melihat akan seperti apa yang bakalan terjadi. Karena para pemangku itu pasti sudah mendapat seberapa banyak lulusan SMP di DKI Jakarta atau juga luar wilayah Jakarta yang berpotenti akan mendaftarkan diri untuk masuk ke sekolah jenjang SMA Negeri di Jakarta secara on line(?).

Tapi benarkah pada sisi ini para pemangku tersebut tidak sampai akalnya sehingga membuat keputusan yang mengakibatkan bahwa situs PPDB tersebut gagal diakses sepanjang tanggal 1-5 Juli 2010 tersebut? Yang tahu pasti duduk persoalannya hanyalah para pemangku inti PPDB SMA Negeri Jakarta tahun ini dan Tuhan Yang Maha Esa.


Tidak Prediktif

Dan karena bekerja dengan tidak bervisi, maka implikasi logisnya tidak berpikir prediktif. Tidak berpikir apa yang akan terjadi. Tidak mencoba memprediksi secara operasional terhadap strategi dan piranti teknologi yang telah dipilihnya. Dan langkah penting dari konsep berpikir prediktif ini adalah bersimulasi. Pernahkan uji coba internal dilakukan?

Kedua kali saya ingin bertanya: Benarkah pada sisi ini para pemangku tersebut tidak sampai akalnya sehingga membuat keputusan yang mengakibatkan bahwa situs PPDB tersebut gagal diakses sepanjang tanggal 1-5 Juli 2010 tersebut? Yang tahu pasti duduk persoalannya hanyalah para pemangku inti PPDB SMA Negeri Jakarta tahun ini dan Tuhan Yang Maha Esa.


Tidak Komunikatif

Saya tidak tahu, pada karut marut pelaksanaan PPDB SMA Negeri DKI Jakarta tahun ini siapakah yang menjadi korban atau yang dikorbankan. Korbannya pasti masyarakat yang mendaftarkan diri. Karena mereka harus dengan sengaja meluangkan waktu. dan iatu harus terjadi lebih dari satu hari.

Saya yakin, bahwa para panitia di sekolah juga akan mengaku sebagai korban. Tetapi dengan logika saya yang standar ini, saya berpendapat bahwa bukankah mereka menjadi sebuah sistem yang bernama PPDB SMA Negeri DKI Jakarta yang memang melayani masyarakat yang menginginkan masuk melalui jalur On Line?

Dan ketika mereka adalah satu tubuh, tampak sekali kebingungan ketika kita bertanya sesuatu atas ketidakberesan tersebut di panitia tingkat sekolah. Mereka selalu menjawab bahwa server rusak. Sempat satu dari kami nyeletuk; Server belinya harus pesan? Ini memang logika kami masyarakat yang berlatarbelakang beragam dan awan tentang IT.

Dan untuk ketiga kalinya saya bertanya: Benarkah pada sisi ini para pemangku tersebut tidak sampai akalnya sehingga membuat keputusan yang mengakibatkan bahwa situs PPDB tersebut gagal diakses sepanjang tanggal 1-5 Juli 2010 tersebut? Yang tahu pasti duduk persoalannya hanyalah para pemangku inti PPDB SMA Negeri Jakarta tahun ini dan Tuhan Yang Maha Esa.

Kami bersyukur bahwa akhirnya panitia memiliki keputusan baik dan bijaksana untuk keluar dari kemelut server rusak itu. Yaitu mengulang secara keseluruhan proses PPDB itu dari awal. Dan untuk itulah saya salut bahwa ahirnya PPDB ini masih menggunakan IT sebagai strateginya. Dan itu transparansi yang saya dan kami inginkan. Karena saya tidak tertarik untuk menggunakan cara selain egaliter dalam mengantarkan putra-putri saya hidup di negeri tercinta ini dengan dasar JUJUR!

Jakarta, 5-21 Juli 2010.

20 July 2010

Don't Jugde Book by It's Cover


Jangan terlalu mudah memberikan penilaian terhadap sesuatu. Mungkin itulah penjelasan dari judul saya ini. Karena penilaian yang terlalu dini tanpa terlebih dahulu kita memahami esensinya, merupakan tindakan kontra produktif. Selain penilaian kita yang tidak menyentuh kebenaran yang ada dalam benak kita, juga justru akan menambah ketidakbaikan bagi reputasi kita sendiri. Atau bahkan akan merusak reputasi kita.

Dalam hal tidak atau jangan terburu-buru ini, saya teringat sebuah konsep merespon situasi, termasuk di dalamnya juga menilai, yang kami adopsi menjadi strategi pemecahan masalah, yang kami muat dalam Buku Pegangan Guru sekolah kami. Konsep itu adalah Stop, Look, Listen and Respond. Dengan memuat empat tahapan atau empat langkah saat kita menghadapi situasi yang membutuhkan respon adalah agar kami semua dapat terpandu untuk menjadi hati-hati ketika menghadapi situasi yang membutuhkan respon. Jangan sampai respon dan penilaian yang kita berikan justru bersifat responsif dan tidak efektif.

Oleh karenanya kita perlu berhenti sejenak untuk mengajukan pertanyaan sebagai pendalaman dalam melakukan pengumpulan informasi, menganalisanya, dan secara jernih membuat alternatif-alternatif solusi atau kesimpulan.

Namun sering kita terlanjur melihat apa yang muncul di permukaan sebagai suatu sumbernya. Padahal tidak mungkin setiap yang muncul dipermukaan dapat secara jitu memberikan gambaran mengenai sebab dan sumbernya. Dan karena tidak selalu tepat, maka penilaian kita menjadi terpuruk. Dari sinilah lahir cara melihat sesuatu secara bijak. Cara bijak adalah jalan bagi penilai yang bijaksana. Untuk mencapai pada tataran 'cara bijak' inilah, menurut saya, diperlukan satu, dua atau mungkin tiga tahap pendalaman infomasi sebelum respon atau nilai diputuskan.
Sebagai contoh adalah peristiwa yang sering saya alami pada saat berkendara. Mungkin karena kendaraan saya yang bongsor, sehingga menutupi pandangan kendaran yang lebih kecil yang berada di belakang saya persis. Pengendara menjadi tertutup dan terhalang sehingga tidak memungkinkan baginya melihat apa yang berada di depan kendaraan yang sedang saya kendarai sehingga sedikit menghambat lajunya kendaraan saya. Kelambatan inilah akhirnya yang membuat pengendara di belakag saya ini menyalakan lampu dan bahkan klakson berkali-kali.

Kenyataan ini tentu tidak membuat saya menjadi panik, tetapi bila kondisi telah jalan telah memungkinkan, maka laju kendaraan saya akan kembali normal. Atau bisa juga saya memberikan peluang kepada pengendara di belakang untuk segera mendahului. Saya tentu tidak tahu setelah dia mampu mendahului saya sehingga tahu juga apa yang menjadi penghalang laju kendaraan saya kemudian pengendara itu menjadi faham tentang kondisi laju kendaraan saya atau tidak. Tetapi itulah yang terjadi pada diri saya sendiri saat peristiwa semacam itu ada pada diri saya sendiri.

Dan pada saat seperti itu, saya akan menjadi malu. Malu kepada tindakan saya yang telah meminta agar kendaraan yang ada di depan melaju sesuai apa yang saya inginkan. Malu karena saya telah salah menduga bahwa kendaraan di depan saya dikendarai oleh orang yang baru bisa bekendara. Dan seterusnya.

Dari peristiwa seperti itulah, saya belajar bagaimana untuk mampu menahan diri menjatuhkan penilaian terhadap apapun yang informasinya masih tunggal. Saya belajar untuk bersabar dan belajar untuk melakukan elaborasi informasi, yang dari padanya saya akan diberikan kemampuan untuk melihat sebuah perkara secara lebih jelas, terang dan holistik.


Jakarta, 18-21 Juli 2010

18 July 2010

Rumah Tawon


Saya menemukan rumah tawon yang diletakan di halaman belakang sekolah kami. Rumah tawon itu menarik perhatian saya bukan karena besarnya saja, tetapi karena ini kali kedua di wilayah sekolah kami ada tawon yag berani membuat sarang hingga lebih kurang sebesar buah durian Petruk. Durian kas yang selalu saya temukan sekitar bulan Agustus di Pasar Baledono, Purworejo.

Rumah tawon ini sudah ditinggalkan seluruh penghuninya. Dan seoertinya mereka telah pergi jauh hari sebelum para tukang cat harus menggusurnya di saat liburan akhir tahun pelajaran 2009/2010 yang lalu. Di temukan persis di atap menara Masjid sekolah kami yang menjulang tinggi di belakang sekolah.

Rumah tawon yang pertama dulu kami temukan juga di daerah belakang sekolah. direrimbunan pohon. Dan karena masih berpenghuni lengkap, saat itu kami memutuskan untuk mengusir para penghuni secara keseluruhan menjelang malam datang. Hal ini harus kami lalukan katena wilayah dimana para tawon ini bersarang berada dalam jangkauan kita. Dan karena mengusirnya dengan cara membakar, maka kita tidak dapat memberikan contoh rumah tawon itu. Berbeda dengan rumah tawon kedua yang ada dalam gambar di samping. Rumah tawon ini sekarang posisinya ada di ruang kerja saya.

Bahkan pada awal tahun pelajaran lalu, rumah tawon ini sempat saya pertunjukkan kepada guru dan siswa. Di SMP dan TK saya jadikan rumah tawon ini sebagai salah satu bahan diskusi dan cerita. Inilah komentar Bu Kiki yang mengajar di Kelompok Bermain di dinding FB saya: Heheee...like it so much Pak Agus...krn sarang lebah n critanya pak agus,slh satu mrdku lgsg duduk rapi n meninggalkan ibunya heheheheheh. Makasih pak Agus for ur story today:)

Terima kasih juga Bapak dan Ibu.

Jakarta, 18 Juli 2010.


Membelajarkan Karakter Bangsa


Dalam rubrik Pelita Hati di harian Pelita terbitan hari Kamis, 15 Juli 2010, Pak Sulastomo menuliskan pengalamannya ngobrol dengan supir taksi di Singapura. Dalam obrolannya iotu diceritakan bagaimana sang supir taksi merasa kagum dan sekaligus bangga dengan tokoh negaranya Lew Kwan Yu, yang menurutnya sukses membuat Singapura sebagai negara yang sejahtera, Padahal negerinya, lanjut cerita supir taksi itu, sebelumnya adalah negara yang miskin. Supir taksi itu juga membandingkan negaranya dengan negara Pak Sulastomo, Indonesia. Yang menurutnya negara sangat kaya namun masyarakatnya masih banyak yang hidupnya belum sejahtera.

Dalam tulisan itu, Pak Sulastomo juga membandingkan bagaimana perbedaan perilaku orang Singapura yang tidak akan meludah di tempat sembarangan dengan bagaimana orang masih buang air sembarangan di jalam Tamrin di Jakarta.

Juga bagaimana bedanya bandara internasional yang ada di Indonesia dengan di Singapura. Dan dari perbandingan itu setidaknya kita dapat mengambil pelajaran apa sesungguhnya yang membuat kita berbeda. Meski perbedaan itu belum pada pokok persoalan atau esensi, namun setidaknya pengetahuan tentang perbedaan tersebut dapat menjadi pembanding atau mungkin juga sebagai benchmark bagi kita untuk lebih baik dan lebih maju.

Dan saya membayangkan jika setiap perbandingan pada setiap sisi kemajuan atau budaya suatu bangsa tersebut dapat kita sedikit aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang paling mungkin, suatu saat kita akan mencapai dan memperoleh apa yang negara lain sudah capai. Tapi, begitukah yang menjadi visi kita setiap kita berangkat atau berkesempatan untuk ke luar negeri?

Tentunya jika Anda adalah kepala keluarga, maka hal-hal baik akan menjadi agenda perubahan pada diri dan keluarga Anda. Jika kita kebetulan adalah Guru, Kepala Sekolah atau bahkan Menteri. Dan jika hal ini menjadi komitmen dari setiap kita, maka kita akan melihat betapa hebatnya negara kita di lima, sepuluh tahun ke depan. Luar biasa!

Namun mimpikah ini? Mungkin sekali. Karena sesungguhnya telah banyak dari sebagian pemimpin kita ini yang ketika sekolah dulu di negara-negara yang sangat maju. Dan pengalaman hidup di negara maju itu sesungguhnya cukup baginya untuk mencicipi budaya maju. Dan apa yang mereka telah berikan untuk kita? Mungkin juga saya yang salah menilai. Karena saya orang yang berada jauh dari lokasi para pemimpin itu berada sehingga budaya dan spiritnya tidak dapat saya rasakan.

Dan karena itulah saya yang menjadi guru di sekolah merasa bahwa mereka meminta adanya pembelajaran karakter bagi generasi bangsa, yang itu artinya sayalah pelaku yang diharapkan. Sedang dalam kehidupan sehari-hari kadang saya masih menerima cerita dari teman guru lain kalau ia menerima surat 'peringatan' dari anggota dewan hanya karena anak anggita dewan ini tidak diterima di sekolahnya. Atau juga cerita teman guru lainnya yang dimarahi oleh salah satu orangtua siswa ditelepon yang berbicara: "Ibu harus tahu, kalau saya anggota Dewan", saat anaknya punya masalah dengan anak lainnya di sekolah.

Meski kenyataan-kenyataan itu sangat tidak adil, saya tidak akan kecewa untuk menjadi guru yang harus memikul tugas melakukan pendidikan karakter pada generasi bangsa ini. Namun harus diakui bahwa siswa belajar berkarakter tidak saja dari apa yang ada di kelas. Tetapi juga dari apa yang ada dan hidup di masyarakatnya.

Jakarta, 18 Juli 2010.

17 July 2010

Rasa Memiliki Sekolah


Tiba-tiba saya mendapatkan ide ketika saya sedang mengatakan kepada teman bahwa; Kita harus mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah ini. Kalimat ini perlu saya sampaikan untuk memberikan penegasan bahwa amanah menjadi guru tidak saja amanah untuk berdiri dan melakukan pengajaran di dalam kelas. Tetapi jauh lebih mulia dari hanya sekedar mengajar.

Mengapa lebih mulia dari sekedar mengajar? Karena amanah itu meliputi keseluruhan aktivitas guru dan siswa baik saat di dalam kelas, di dalam sekolah, bahkan tidak jarang saat mereka bercengkerama di SMS, Facebook atau Twitter. Bashkan juga tidak hanya terbatas di kelas mana kita mengajar, karena kita bagian dari sebuah sekolah, kita juga berkewajiban untuk aruh-aruh bila terdapat ketidakberesan yang sesungguhnya sudah melewati lokasi kelas kita.

Dalam benak saya, kalimat ini memiliki pengertian agar kita selalu menjadi bagian dan stake holder dari sekolah ini.
Pengertian ini akan membawa implikasi agar kita memiliki tanggung jawab sepenuh hati sepanjang keberadaan amanah pada dirinya. Tuntutan yang sedemikian besarnya inilah yang, menurut saya, membuat profesi ini sangat mulia. Dan apabila dalam mengejawantahkan amanah ini dilandasi oleh dua kalimat sayahadah, maka kemuliaan itu tidak saja hanya untuk dunia tetapi juga di akherat.

Rasa memiliki yang saya uraikan tersebut adalah harapan positif dan ideal yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah kita. Namun dalam bagian lain, saya juga berpikir makna rasa memiliki yang mungkin jangan sampai terjadi di wilayah kita. Karena perilaku yang lahir dalam pengertian ini sungguh merusak jiwa kita untuk tumbuh secara baik.

Perilaku negatif dari rasa memiliki sekolah, adalah perilaku tidak disiplin. Yaitu datang hampir selalu terlambat. Baik datang ke sekolah atau juga datang untuk mengajar di kelas. Karena seringnya datang terlambat, atau mungkin juga terlambat saat mengumpulkan RPP ke Kepala Sekolah, draft soal evaluasi yang harus dikoreksi terlebih dahulu oleh Kepala Sekolah, maka perilaku itu tidak hanya miliki Kepala Sekolah sebagai pemegang otoritas tertinggi di sekolah, tetapi juga sudah menyebar ke seluruh guru yang ada di lembaga itu. Dan kenyataan itu telah meruntuhkan harga diri kita yang menjadi pelakunya di hadapan komunitas yang ada.

Perilaku ini lahir sedikit banyak karena pengaruh percaya dirinya yang terlalu berlebihan, sehingga merasa dirinyalah pemilik sekolah, tanpa mau memperdulikan bagaimana persepsi orang atau anggota komunitas dimana ia berada. Guru atau karyawan seperti inilah yang terlampau tinggi 'rasa memiliki'nya terhadap lembaga dimana ia belerja.

Bagaimana nasib guru atau karyawan model ini? Di sekolah atau lembaga yang baik, yaitu lembaga yang memuliakan kemuliaan lembaganya, akan menjadi hal ini sebagai proses pemelajaran bagi yang bersangkutan atau anggota komunitas lainnya. Caranya? Salah satunya dengan menjadikan kasus seperti itu sebagai problem based learning.

Seperti juga ketika memelajarkan siswa di kelas, kegiatan problem based learning itu juga dirancang tujuannya, strateginya, serta tenggat waktunya. Juga jangan lupa, ada evaluasinya. Dan dari evaluasi itu nantinya ada nilai tertentu yang menjadi target lulus dan tidaknya.

Lalu apa sesungguhnya esensi dari 'rasa memiliki' dalam konotasi ini? Esensinya adalah perilaku tidak tahu diri, angkuh, sok, dan (meminjam istilahnya komedian Tukul Arwana), sangat katro!

Jakarta, 17-18 Juli 2010

15 July 2010

Konsepsi Orangtua Siswa dari Uang Sekolah

Beberapa waktu yang lalu ketika anak sulung saya masuk SMA sesuai pilihannya sendiri, saya dihadapkan pembayaran uang sekolah yang terdiri dari Uang Pangkal dan Uang Kegiatan satu tahun serta uang SPP bulan Juli, yang totalnya lebih kurang tiga belas juta. Bagi saya, uang sebesar itu adalah besar. Tapi untuk mewujudkan cita-cita anak saya, maka dengan sepenuh hati kami lunasi uang masuk tersebut.


Pernah saya mencoba untuk meminta pembayaran secara cicilan, tapi pihak sekolah menolaknya. Belakangan saya baru tahu kalau cicil atau lunas dapat dilakukan oleh orang tua yang lain, yang menurut ukuran saya sendiri justru lebih mampu membayar tunai dibanding dengan saya. Karena kebetulan orang tersebut anaknya satu SMP dengan anak saya.


Kejadian itu berlangsung bulan April 2005. Dan sekarang saya kembali mengenangnya. Bukan pada pada masalah betapa lugunya saya untuk menutup mata akan kekurangan dan menganggapnya sebagai orang mampu, tetapi lebih karena sekarang sayalah orang di sekolah yang berkewajiban untuk menagih uang sekolah dari siswa kami. Dan pekerjaan inilah yang menyebabkan saya justru berpikir melompat pada pengalaman sendiri untuk memaksakan diri guna membayar uang sekolah anak.


Dan kenangan lainnya adalah pada tulisan saya sendiri di Kompas yang berjudul Masih ada Kekerasan di Sekolah. Dalam tulisan itu saya bertutur tentang pengalaman saya yang lain. Yaitu saat saya masih duduk di bangku kelas tiga SPG di Purworejo. Di mana ada waktu-waktu tertentu tiap-tiap kelas kami akan di datangi manajemen sekolah untuk mengumumkan siapa yang pada waktu itu masih memiliki tunggakan. Dan ketika giliran itu datang di kelas saya, maka dipanggillah salah satu teman saya yang belum membayar uang sekolah sekian bulan. Kami, yang sebagiannya adalah dari keluarga miskin atau setengah miskin terdiam.


Lalu guru musik yang kebetulan sedang mengajar dikelas berkomentar; "Datangi Bapak itu dan jelaskan mengapa kamu belum membayar. Kalau memang sawah dan ladang hanya ditumbuhi belukar, apa kamu bisa membayar dengan lungko (bongkahan tanah kering)?." Guru itu berkata datar saja. Namun kami seisi kelas merasakan udara di kelas yang sejuk kembali.


Bagaimana dengan kewajiban saya untuk selalu memeriksa uang sekolah yang dalam setiap bulannya masih ada sepuluh atau tiga puluh orantua siswa yang terlambat membayar? Inilah yang hingga kini membuat saya untuk selalu dan terus menimbang rasa. Ada harapan yang saya impikan. Yaitu bahwa seluruh orangtua siswa membayarkan uang sekolah putra-putrinya paling lambat pada tanggal 10 setiap bulannya sebagaimana yang kami tulis dalam kartu pembayaran uang sekolah. Atau setidaknya agar semua orangtua siswa yang baik-baik saja kondisinya menjadikan uang sekolah putra-putrinya sebagai prioritas dibandingkan minum kopi di mal. Tetapi, fakta selalu menunjukkan kepada saya bahwa ada beberapa orangtua siswa yang masih belum membayarkan uang sekolah putra-putrinya tepat waktu.


Pernah suatu waktu saya berpikir positif dan sama sekali tidak melakukan komunikasi dengan pihak orangtua siswa kami untuk waktu yang cukup lama. Beberapa catatan yang ada saya coba untuk membiarkannya. Tapi akibatnya, kami kehabisan uang tunai guna memberikan THR. Dan akibat berikutnya adalah saya dipanggil pihak yayasan untuk memberikan penjelasan mengenai itu semua. Lalu apa yang saya lakukan selanjutnya? Melakukan komunikasi dengan pihak-pihak tersebut.


Setelah sekian lama saya melakukan komunikasi, muncul konsepsi saya terhadap jenis orangtua di sekolah. Tentunya yang berkenaan dengan biaya pendidikan di sekolah. Dan saya selalu berharap mudah-mudahan biaya itu tetap menjadi prioritas bagi jalan putra-putri kita menuju anak tangga sukses! Saya khawatir dengan sebagian kita yang menomor duakan biaya tersebut di bandingkan, misalnya, duduk minum kopi yang satu cangkirnya lima puluh ribu rupiah. Atau mungkin kepentingan lainnya yang secara umum tidak jauh lebih penting dari pada biaya pendidikan.


Konsepsi ini mungkin lahir karena saya adalah pekerja di sekolah, atau mungkin juga karena sekolah saya adalah sekolah swasta yang operasionalisasinya bertumpu 100% pada biaya uang sekolah dari siswa?

Saya pun juga teringat betapa pertanyaan yang berkenaan dengan piutang uang sekolah selalu menjadi pertanyaan rutin anggota Pembina Yayasan dimana saya juga mengabdikan diri secara suka rela di sebuah yayasan di Jakarta Selatan. Dan ketika informasi tersebut kami coba untuk dieksplorasi kepada pihak pelaksana atau manajemen sekolah, jawabannya juga beragam. Ada yang karena memang orangtua itu tiba-tiba mendapat musibah, ada yang sedang bersiap berpisah rumah tangga, ada yang terkena PHK, atau ada masalah sejenis lainnya yang membuat mereka menemui kesulitan finansial.

Tapi kadang masih saya dengar kalau keterlambatan pembayaran uang sekolah karena salah satu pihak orangtua menggunakannya untuk kepentingan lain terlebih dahulu., seperti membayar arisan atau mencicil berlian. Meski pihak lain dari pasangan orangtua tersebut telah menyerahkannya untuk dibayarkan sebagai biaya pendidikan.

Dan sebagai bagian dari manajemen di sekolah, saya tidak mengeluhkan akan adanya situasi semacam itu. Semua peristiwa dan fakta itu justru menjadikan saya paham terhadap berbagai ragam konsepsi orangtua siswa dari uang sekolah putra-putrinya di sekolah yang menjadi pilihannya.

Jakarta, 15-17 Juli 2010.

10 July 2010

Pasukan 703

Pasukan 703 (baca: pasukan tujuh kosong tiga). Adalah istilah yang pertama sekali saya dengar dari kawan saya di Yayasan. Entah dari mana kawan saya ini mendapat inspirasi istilah ini. Mungkin dari temannya juga, saya kurang begitu paham. Namun yang jelas istilah tujuh kosong tiga itu membuat saya saat itu terperanggah. Karena istilah itu begitu semitri dan sebangun dengan apa yang dimetaporakan dalam dunia nyatanya.

Ini adalah sindiran bagi mereka yang menjadi pegawai, yang rajin menempelkan jari tangannya di mesin absensi, saat sampai dan kemudian pulang kantor, namun diantara waktu itu kurang efektif keberadaannya di ruang kerjanya.

Tujuh kosong tiga artinya, adalah masuk pukul 7 pagi dan sepanjang hari hanya chatting, browsing, blogging atau bahkan gosip, dan pulang kerja tepat pukul tiga. Chatting, browsing, blogging atau gosip yang dimaksud adalah kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan amanah yang harus dijalankannya sepanjang waktu di kantor tersebut. Dan kalau ada kegiatan yang lebih berharga dari itu ya membaca koran.Tapi mungkin di bererapa tempat bukan tujuh kosong tiga tetapi mungkin tujuh kosong empat, atau delapan kosong lima. Namun inti dan esensinya sama persis.

Pegawai dengan mentalitas seperti ini akan berteriak banyak kerjaan ketika ada situasi yang menuntutnya untuk sedikit bekerja. Bahkan jika kelebihan waktu pulang, tidak jarang mereka akan menuliskan waktu kelebihan itu dalam buku agendanya atau dalam permohonan lembur.

Jadi apakah makna kosong disini berarti pegawai itu sama sekali tidak mengerjakan apa-apa sepanjang keberadaannya di kantor? Tidak juga. Pasti ada juga yang dikerjakannya sepanjang pukul tujuh hingga pukul tiga sore itu. Namun pasti juga tidak selevel antara apa yang mereka lakukan sebagai unjuk kerjanya dengan tuntutan yang selalu mereka kumandangkan. Model pegawai seperti ini terlanjur menjadikan kegiatan-kegiatan seperti yang saya sebutkan di atas sebagai kegiatan kantornya.

Namun saat wisata ke Solo-Yogyakarta tanggal 24-27 Juni 2010 lalu, ada sahabat lama saya yang mengeluhkan jam kerjanya. Ia merasakan sengatan apa yang saya kutip dari teman saya itu. Dan dirinya menyebutkan bahwa dirinya masuk pasukan tujuh satu kosong. Maksudnya? Masuk kerja di sekolah sebagai guru pada pukul tujuh, lalu mengajar sebanyak 12 jam mata pelajaran setiap pekannya dan pulang sekolah atau mengajar pukul sepuluh.
"Lo, kok bisa seperti itu?" tanya saya kepada kawan lama saya itu.
" Ya memang begitu aslinya Pak." Jelasnya.

Bukankah itu enak? Gaji terjamin dengan model pintar goblok pendapatan sama? Sahabat saya mengiyakan. Namun tidak sepenuhnya sependapat. Ia takut situasi ini menjadi budaya yang akan menggerogoti vitalitas jiwanya untuk terus tumbuh.

Hari itu ia masih memiliki kesadaran untuk terus tumbuh. Pikir saya. Namun pelan tapi pasti, bila dia tidak segera melakukan serangkaian deklarasi atas pola tujuh satu kosongnya, ia akan menjadi teman yang berjiwa stagnan. Tidak memiliki vitalitas untuk tumbuh.

Bagaimana dengan Kita sendiri?

Jakarta, 28 Juni-10 Juli 2010.