Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

18 July 2010

Membelajarkan Karakter Bangsa


Dalam rubrik Pelita Hati di harian Pelita terbitan hari Kamis, 15 Juli 2010, Pak Sulastomo menuliskan pengalamannya ngobrol dengan supir taksi di Singapura. Dalam obrolannya iotu diceritakan bagaimana sang supir taksi merasa kagum dan sekaligus bangga dengan tokoh negaranya Lew Kwan Yu, yang menurutnya sukses membuat Singapura sebagai negara yang sejahtera, Padahal negerinya, lanjut cerita supir taksi itu, sebelumnya adalah negara yang miskin. Supir taksi itu juga membandingkan negaranya dengan negara Pak Sulastomo, Indonesia. Yang menurutnya negara sangat kaya namun masyarakatnya masih banyak yang hidupnya belum sejahtera.

Dalam tulisan itu, Pak Sulastomo juga membandingkan bagaimana perbedaan perilaku orang Singapura yang tidak akan meludah di tempat sembarangan dengan bagaimana orang masih buang air sembarangan di jalam Tamrin di Jakarta.

Juga bagaimana bedanya bandara internasional yang ada di Indonesia dengan di Singapura. Dan dari perbandingan itu setidaknya kita dapat mengambil pelajaran apa sesungguhnya yang membuat kita berbeda. Meski perbedaan itu belum pada pokok persoalan atau esensi, namun setidaknya pengetahuan tentang perbedaan tersebut dapat menjadi pembanding atau mungkin juga sebagai benchmark bagi kita untuk lebih baik dan lebih maju.

Dan saya membayangkan jika setiap perbandingan pada setiap sisi kemajuan atau budaya suatu bangsa tersebut dapat kita sedikit aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang paling mungkin, suatu saat kita akan mencapai dan memperoleh apa yang negara lain sudah capai. Tapi, begitukah yang menjadi visi kita setiap kita berangkat atau berkesempatan untuk ke luar negeri?

Tentunya jika Anda adalah kepala keluarga, maka hal-hal baik akan menjadi agenda perubahan pada diri dan keluarga Anda. Jika kita kebetulan adalah Guru, Kepala Sekolah atau bahkan Menteri. Dan jika hal ini menjadi komitmen dari setiap kita, maka kita akan melihat betapa hebatnya negara kita di lima, sepuluh tahun ke depan. Luar biasa!

Namun mimpikah ini? Mungkin sekali. Karena sesungguhnya telah banyak dari sebagian pemimpin kita ini yang ketika sekolah dulu di negara-negara yang sangat maju. Dan pengalaman hidup di negara maju itu sesungguhnya cukup baginya untuk mencicipi budaya maju. Dan apa yang mereka telah berikan untuk kita? Mungkin juga saya yang salah menilai. Karena saya orang yang berada jauh dari lokasi para pemimpin itu berada sehingga budaya dan spiritnya tidak dapat saya rasakan.

Dan karena itulah saya yang menjadi guru di sekolah merasa bahwa mereka meminta adanya pembelajaran karakter bagi generasi bangsa, yang itu artinya sayalah pelaku yang diharapkan. Sedang dalam kehidupan sehari-hari kadang saya masih menerima cerita dari teman guru lain kalau ia menerima surat 'peringatan' dari anggota dewan hanya karena anak anggita dewan ini tidak diterima di sekolahnya. Atau juga cerita teman guru lainnya yang dimarahi oleh salah satu orangtua siswa ditelepon yang berbicara: "Ibu harus tahu, kalau saya anggota Dewan", saat anaknya punya masalah dengan anak lainnya di sekolah.

Meski kenyataan-kenyataan itu sangat tidak adil, saya tidak akan kecewa untuk menjadi guru yang harus memikul tugas melakukan pendidikan karakter pada generasi bangsa ini. Namun harus diakui bahwa siswa belajar berkarakter tidak saja dari apa yang ada di kelas. Tetapi juga dari apa yang ada dan hidup di masyarakatnya.

Jakarta, 18 Juli 2010.

No comments: