Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

15 July 2010

Konsepsi Orangtua Siswa dari Uang Sekolah

Beberapa waktu yang lalu ketika anak sulung saya masuk SMA sesuai pilihannya sendiri, saya dihadapkan pembayaran uang sekolah yang terdiri dari Uang Pangkal dan Uang Kegiatan satu tahun serta uang SPP bulan Juli, yang totalnya lebih kurang tiga belas juta. Bagi saya, uang sebesar itu adalah besar. Tapi untuk mewujudkan cita-cita anak saya, maka dengan sepenuh hati kami lunasi uang masuk tersebut.


Pernah saya mencoba untuk meminta pembayaran secara cicilan, tapi pihak sekolah menolaknya. Belakangan saya baru tahu kalau cicil atau lunas dapat dilakukan oleh orang tua yang lain, yang menurut ukuran saya sendiri justru lebih mampu membayar tunai dibanding dengan saya. Karena kebetulan orang tersebut anaknya satu SMP dengan anak saya.


Kejadian itu berlangsung bulan April 2005. Dan sekarang saya kembali mengenangnya. Bukan pada pada masalah betapa lugunya saya untuk menutup mata akan kekurangan dan menganggapnya sebagai orang mampu, tetapi lebih karena sekarang sayalah orang di sekolah yang berkewajiban untuk menagih uang sekolah dari siswa kami. Dan pekerjaan inilah yang menyebabkan saya justru berpikir melompat pada pengalaman sendiri untuk memaksakan diri guna membayar uang sekolah anak.


Dan kenangan lainnya adalah pada tulisan saya sendiri di Kompas yang berjudul Masih ada Kekerasan di Sekolah. Dalam tulisan itu saya bertutur tentang pengalaman saya yang lain. Yaitu saat saya masih duduk di bangku kelas tiga SPG di Purworejo. Di mana ada waktu-waktu tertentu tiap-tiap kelas kami akan di datangi manajemen sekolah untuk mengumumkan siapa yang pada waktu itu masih memiliki tunggakan. Dan ketika giliran itu datang di kelas saya, maka dipanggillah salah satu teman saya yang belum membayar uang sekolah sekian bulan. Kami, yang sebagiannya adalah dari keluarga miskin atau setengah miskin terdiam.


Lalu guru musik yang kebetulan sedang mengajar dikelas berkomentar; "Datangi Bapak itu dan jelaskan mengapa kamu belum membayar. Kalau memang sawah dan ladang hanya ditumbuhi belukar, apa kamu bisa membayar dengan lungko (bongkahan tanah kering)?." Guru itu berkata datar saja. Namun kami seisi kelas merasakan udara di kelas yang sejuk kembali.


Bagaimana dengan kewajiban saya untuk selalu memeriksa uang sekolah yang dalam setiap bulannya masih ada sepuluh atau tiga puluh orantua siswa yang terlambat membayar? Inilah yang hingga kini membuat saya untuk selalu dan terus menimbang rasa. Ada harapan yang saya impikan. Yaitu bahwa seluruh orangtua siswa membayarkan uang sekolah putra-putrinya paling lambat pada tanggal 10 setiap bulannya sebagaimana yang kami tulis dalam kartu pembayaran uang sekolah. Atau setidaknya agar semua orangtua siswa yang baik-baik saja kondisinya menjadikan uang sekolah putra-putrinya sebagai prioritas dibandingkan minum kopi di mal. Tetapi, fakta selalu menunjukkan kepada saya bahwa ada beberapa orangtua siswa yang masih belum membayarkan uang sekolah putra-putrinya tepat waktu.


Pernah suatu waktu saya berpikir positif dan sama sekali tidak melakukan komunikasi dengan pihak orangtua siswa kami untuk waktu yang cukup lama. Beberapa catatan yang ada saya coba untuk membiarkannya. Tapi akibatnya, kami kehabisan uang tunai guna memberikan THR. Dan akibat berikutnya adalah saya dipanggil pihak yayasan untuk memberikan penjelasan mengenai itu semua. Lalu apa yang saya lakukan selanjutnya? Melakukan komunikasi dengan pihak-pihak tersebut.


Setelah sekian lama saya melakukan komunikasi, muncul konsepsi saya terhadap jenis orangtua di sekolah. Tentunya yang berkenaan dengan biaya pendidikan di sekolah. Dan saya selalu berharap mudah-mudahan biaya itu tetap menjadi prioritas bagi jalan putra-putri kita menuju anak tangga sukses! Saya khawatir dengan sebagian kita yang menomor duakan biaya tersebut di bandingkan, misalnya, duduk minum kopi yang satu cangkirnya lima puluh ribu rupiah. Atau mungkin kepentingan lainnya yang secara umum tidak jauh lebih penting dari pada biaya pendidikan.


Konsepsi ini mungkin lahir karena saya adalah pekerja di sekolah, atau mungkin juga karena sekolah saya adalah sekolah swasta yang operasionalisasinya bertumpu 100% pada biaya uang sekolah dari siswa?

Saya pun juga teringat betapa pertanyaan yang berkenaan dengan piutang uang sekolah selalu menjadi pertanyaan rutin anggota Pembina Yayasan dimana saya juga mengabdikan diri secara suka rela di sebuah yayasan di Jakarta Selatan. Dan ketika informasi tersebut kami coba untuk dieksplorasi kepada pihak pelaksana atau manajemen sekolah, jawabannya juga beragam. Ada yang karena memang orangtua itu tiba-tiba mendapat musibah, ada yang sedang bersiap berpisah rumah tangga, ada yang terkena PHK, atau ada masalah sejenis lainnya yang membuat mereka menemui kesulitan finansial.

Tapi kadang masih saya dengar kalau keterlambatan pembayaran uang sekolah karena salah satu pihak orangtua menggunakannya untuk kepentingan lain terlebih dahulu., seperti membayar arisan atau mencicil berlian. Meski pihak lain dari pasangan orangtua tersebut telah menyerahkannya untuk dibayarkan sebagai biaya pendidikan.

Dan sebagai bagian dari manajemen di sekolah, saya tidak mengeluhkan akan adanya situasi semacam itu. Semua peristiwa dan fakta itu justru menjadikan saya paham terhadap berbagai ragam konsepsi orangtua siswa dari uang sekolah putra-putrinya di sekolah yang menjadi pilihannya.

Jakarta, 15-17 Juli 2010.

No comments: