Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

03 August 2010

“Repot Pak!”

Repot Pak. Begitu siswa saya menjawab dan berargumentasi untuk menggulung bagian bawah celana panjangnya saat akan mengambil air wudhu sebelum shalat jamaah di masjid sekolah kami. Saya persis ada di belakang anak-anak itu untuk segera mengambil antrian di depan kran air, melihat dan memberikan koreksi tentang cara berwudhu kepada anak-anak.

Dari aktivitas ini, saya masih menemukan bebrapa siswa yang kurang pas dalam cara berwudunya. Sebagian mereka masih memiliki prinsip asal. Yaitu asal sudah ‘wudhu’. Sikap yang mungkin juga sudah berubah menjadi rutinitas. Hingga melupakan esensi dari kegiatan utama dan mulia dalam rangkaian mengagungkan Allah.

Komentar dari salah satu siswa itu keluar saat ia kedapatan oleh saya hanya menarik celana panjangnya dengan tidak sempurna, dan mengarahkannya telapak hingga mata kakinya di bawah guyuran air kran yang setengah deras. Cara demikian membuat wudhunya tidak sempurna. Dan juga membuat ujung celana panjangnya basah kuyup. Saya mencoba memintanya mengulang dengan terlebih dahulu menggulung celana panjangnya. Dan dengan sedikit malas-malasan ia menolak dengan argumentasi "repot". Jawaban itu membuat saya sedikit 'berusaha' dengan anak tersebut.

Saya minta ia dan beberapa temannya untuk berhenti sejenak. Pertama yang saya minta kepada mereka adalah menggulung bagian bawah celana panjangnya dengan sempurna hingga di tengah betis masing-masing. Tentu menggulungnya dengan sedikit membungkuk dan melipat ujung celana panjang itu ke atas. Bukan sekadar menarik di bagian paha tanpa menundukkan bahu sedikitpun. Cara menggulung yang sederhana ini untuk memastikan bahwa membasahi kaki hingga mata kaki dengan air wudhu dapat dengan pasti dilakukannya.

Dan ternyata tidak semua dari mereka dapat melakukan hal tersebut dengan cekatan dan sempurna. Saya sedikit kaget dengan kenyataan itu. Inilah generasi penerus saya. Saya coba memberikan contoh menggulung celana 'yang baik'.

Dan untuk memberikan motivasi kepada mereka tentang bagaimana murahnya Allah kepada kita, saya coba membacakan hadis Rasulullah SAW; Dari Umar r.a. ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang dari kamu yang berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian ia mengucapkan: Asyhadu anla illaha illAllah wahdahu lasyarikalah. Wa Asyhadu anna Muhammadan ’abduhu wa rasuluhu; kecuali dibukakan baginya pintu surga yang delapan. Ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia mau.” (HR Muslim & Tarmidzi, di ambil dari Buku Terjemah Bulughul Maram. Al Hafid Ibnu Hajar As Qalani. Bandung. Halaman 27))

Saya berharap dengan apa yang saya sampaikan itu siswa menjadi lebih terdorong untuk berusaha lebih baik setiap hari. Maka dengan motivasi hadis tersebut, saya bermaksud merubah visi mereka dalam hal mengambil air wudhu. Karena saya yakin, bahwa hanya dengan bervisilah akan lahir sikap sungguh-sungguh dalam memperjuangkan sesuatunya. Jangan sampai penyakit ‘repot’ sebagaimana yang terjangkit pada diri mereka menyebar ke bagian dan sendi kehidupan lainnya. Amin.

Jakarta, 3 Agustus 2010.

3 comments:

Anonymous said...

Ida Dahlia Luther: semua anak sama pk, anak saya kl makan masih terus harus di ingatkan utk berdoa dahulu...kadang laparnya itu mengalahkan Tuhannya....hehehe.......makanya kita sebagai org tua dan guru jgn sampai lelah mengingati atau membimbing mereka....makanya ada yg bilang pahala menjadi guru itu besar.

Anonymous said...

Kemala El Dilasto Hayati: bapak seorang pendidik yg patut saya tiru..makasih pak udh berbagi crt jazakumulloh khairon kasir...

Anonymous said...

Tri Abriyanti Ya.. itulah kenyataannya Pak Agus, walaupun mereka sudah besar2 tapi masih harus selalu diingatkan tentang rukun wudhu yang baik dan benar.. sama seperti halnya dengan rukun sholat mereka.. Semoga niat sholat mereka dapat mengubah kata " Repot Pak " menjadi " Oke Pak "