Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

05 May 2013

UN 2013; Untuk apa Bocoran?

Senin tanggal 6 Mei hingga Rabu, 8 Mei 2013, yang adalah hari pelaksanaan Ujian Nasional. UN untuk tingkat Sekolah Dasar di Indonesia, akan menjadi babak terakhir bagi pelaksanaan Ujian Nasional, UN tahun 2013. Tshun dimana pelaksanaan UNnya tercatat dalam sejarah pendidikan kita, karena adanya carut marut dalam pelaksanaan UN tingkat SMA dan sederajat. Maka menjadi istimewa pelaksanaan tahun ini.

Selain karena ketidakserentakan pelaksanaan UN, pada tahun ini juga terdapat untuk kali pertama model soal yang dikerjakan anak-anak dalam standar satu ruangan ujian berbeda satu dengan lainnya. Ini karena pemerintah membuat 20 model soal. Sedang jumlah siswa maksimal dalam satu ruang ujian adalah 20 peserta ujian. Bahkan untuk alasan keamanan, soal-soal tersebut juga diberikan barcode. Istimewa bukan? 

Mengapa lahir ide seperti itu? TIdak lain adalah untuk keamanan soal dari kebocoran. Bocor? Betul kebocoran sering menjadi masalah dalam setiap pelaksanaan UN. Untuk itulah membuat model soal sebanyak peserta dalam satu ruangan tentu akan menyulitkan para kreator intelektual busuk. Alhasil? Teman-teman yang peduli pelaksanaan Ujian Nasional yang bersih dan jujur tetap mendapatkan lembaran kunci jawaban. Dan tidak tanggung-tanggung, kunci jawaban itu bukan untuk satu atau dua model soal yang tersedia. Tetapi untuk 20 model soal sekaligus! Dahsyat bukan?
Lembaran 'kunci' UN SMA, yang ditemukan pengawas UN dan di upload di FB.

Pintar tapi Tidak PD

Fenomena bocoran soal UN dalam bentuk kunci jawaban ini, menurut saya, karena bangsa kita sedang dilanda virus tidak percaya diri dan bodoh.

Tidak percaya diri? Karena jauh hari sebelum UN dilaksanakan, pemerintah dalam hal ini Kemdikbud, sudah mengeluarkan panduan Ujian Nasional secara lengkap. Disana ada Prosedur Operasional Standar atau POS, dan juga adalah kisi-kisi UN atau SKL, Standar Kelulusan. Di dalam SKL itulah kompetensi yang akan diujikan disebutkan. Artinya, kalau saja sekolah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan di tingkat kecamatan adati kabupaten/kodya memahami makna SKL, maka untuk apa khawatir dengan hasil UN? Bukankah dengan kisi-kisi atau SKL tersebut kita dapat menentukan akan mendapat angka berapa ketika UN dilaksanakan jika memang angka yang menjadi target kita?

Bagi saya, bila kita menjadi tidak percaya diri melaksanakan UN yang rambu-rambu soal yang akan keluar telah disampaikan dalam bentuk SKL sebagaimana yang saya sampaikan itu, maka itu karena kita tidak menjadikan SKL atau kisi-kisi sebagai panduan belajar. Sehingga kita gamang. Dalam kegamangan akan proses belajar efektif yang berlangsung  itulah, lahirlah rasa khawatir. Yaitu khawatir akan angka jelek yang akan diperoleh. Dan angka jelek dari hasil UN, akan mencoreng harga diri individu peserta UN, sekolah, atau bahkan pemerintah daerah (?).

Bagaimana juga dengan bodoh? Inilah dialog saya dengan seorang anak yang melaksanakan UN pada tahun 2009 yang lalu, setelah hari pertama UN berlangsung.;

"Bagaimana Mas, tadi terima SMS kunci jawaban?" 
"Terima Yah. Pagi-pagi sebelum UN berlangsung."
"Sekarang belajar apa kamu?"
"Mata Pelajaran yang akan diUNkan besoklah."
"Loh, buat apa harus buang waktu untuk buka buka, membaca, dan belajar? Bukankah besok pagi dapat SMS juga?"
"Jangan buang-buang waktumu."
"SMS hanya buat cadangan Yah. Kalau cocok baru diikutin. Kalau tidak yang jangan." 

Kalau benar bahwa setiap pagi sebelum pelaksanaan UN, para peserta akan menjadapatkan bocoran, maka pertanyaannya, buat apa belajar di hari atau malam sebelum pelaksanaan UN? Kalau boleh saya simpulkan, itulah yang namanya bodoh!

Jakarta, 5 Mei 2013.

No comments: