Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

14 May 2013

Pelajaran dari Pak Supir!

Sore itu, bersama istri saya mendapatkan taksi yang melintas di Cipete Raya. Hujan rintik-rintik. Hingga sebelum taksi kami dapatkan, kami berteduh di bawah pohon rindang yang tumbuh di depan restoran Sunda. Beberapa taksi berlalu tanpa mengindahkan kami. Mungkin karena itulah, maka kami diberikan kesempatan untuk belajar dengan seorang supir yang begitu tulus mencari uang, rizki, dan bukan mencari kerja. Begitu ia sendiri mengistilahkan. Istilah yang ia kemukakan ketika melintas di jalan layang non tol Antasari menuju Blok M.

Tentang Penumpang

Pertama kali Pak Supir taksi yang saya tumpangi tersebut bercerita tentang penumpang. Berbagai dan beragam penumpang. Dengan segala ulah dan tingkahnya. Bahkan tentang bagaimna penumpang yang paling seronoknya. 

"Mungkin mereka angap saya bongkotan kayu kali ya. Bukan manusia yang bisa dengar dan lihat." Begitu antara lain keluhnya ketika ada penumpang yang seronok sehingga seolah tidak melihatnya sebagai manusia selayaknya penumpangnya itu.

Dan pada saat menyusuri jalan yang lumayan lenggang itulah ia sampaikan betapa herannya terhadap model kehidupan yang benar-benar beda. 

"Saya pikir anak itu tidak punya malu lagi pada saat meminta saya mengantarnya pulang setelah selesai acara di suatu lokasi. Kenapa? Karena ia berpakaian begitu rupa. Ternyata ia masih punya malu. Karena ia harus menunggu di dalam taksi sampai pembantunya datang membawakan celana panjang!" Lanjutnya.

Ceritanya tentang penumpang itu ia sampaikan setelah saat kami masuk taksinya mencium bau ayam goreng dari restoran fast food.

Tentang Keluarganya

Tentu tidak lupa juga ia bercerita tentang anak-anak dan istrinya. Bagaimana ia harus berangkat pada pukul 02.00 dini hari ketika beberapa orang tetangganya masih nongkrong di ujung gang. Dan harus pulang ketika ia telah menempuh jarak lebih kurang 300 kilometer pada hari itu. Tentunya dengan mendapatkan uang yang menjadi bagiannya, yang akhirnya ia akan setorkan kepada istrinya.

"Saya harus tahu bagaimana uang yang saya berikan tersebut di belanjakan. Bukan untuk diminta kembali kalau ada sisanya Pak. Tetapi kalau kurang maka esok harinya saya harus bersiap untuk mendapatkan lebih. Dan kalau uang belanja itu lebih, itu juga akan saya minta untuk mereka. Tidak ada uang saya saya selipkan di dompet atau saya titipkan di warung." Begitu visinya tentang uang yang ia belanjakan kepada keperluan keluarganya.

"Begitu juga dengan anak-anak saya. Yang pertama baru saja selesai dan wisuda sarjana. Dan saya memintanya untuk melanjutkan kuliah di pasca sarjana. Saya tidak punya uang lebih Pak. Tetapi saya harus mengupayakan agar anak-anak dan keluarga terpenuhi untuk kepeluannya. Sepanjang anak-anak giat belajar, saya akan rela membanting tulang untuk kebaikan mereka!"

Dari apa yang disampaikannya sepanjang perjalanan yang kurang dari 60 menit itu, kami menikmatinya. Sebuah presentasi pembangun jiwa dari seorang pelaku kehidupan. Semoga.

Jakarta, 13-14 Mei 2013.

No comments: