Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

21 October 2011

Mendirikan Sekolah

Tulisan ini adalah paparan salah satu pengalaman saya di sekolah. Mungkin ada yang akan melihat berbeda terhadap apa yang saya paparkan. Saya pikir tidak mengapa. Namun yang terpenting dari apa yang saya sampaikan di artikel ini adalah sebuah fragmen, yang mungkin dapat membuat kita sedikit dapat melihat sebuah fakta menjadi lebih holistik. Lebih integral. Karena paparan saya adalah paparan dari sebuah sisi dari fakta yang ada. Semoga.

Beginilah awal mulanya: Datang kepada saya beberapa tahun lalu dua orang. Tujuan kedatangan mereka adalah ingin diskusi tentang pendirian sekolah. Sekolah yang ingin mereka bangun di wilayah Jakarta. Sekolah yang akan menggunakan dua bahasa pengantar, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Tentunya sekolah formal.


Pertemuan Pertama

Kedatangannya itu adalah kedatangannya untuk kali pertama. Dan saya menyambutnya sebagai teman yang memiliki semangat edukatif yang tinggi. Senang sekali mendengar apa yang mereka uraikan kepada saya. Walaupun saya sempat tergaket ketika salah seorang dari mereka menanyakan gaji saya sekarang sebagai pegawai di tempat sekarang. Dan sekaligus mengajak saya untuk bergabung dengan mereka sebagai bagian dari manajemen.

Bukan karena sombong atau jaga image, jika kala itu saya tidak langsung mengiyakan apa yang disampaikannya. Namun untuk pertemuan pertama dalam sebuah paket yang menurut saya besar, dan sekaligus juga saya belum jelas gambarnya, maka mengiyakan ajakannya masih merupakan sesuatu yang hampa. Untuk itu saya menjawabnya dengan mengambang; Nanti dululah Bu, kita diskusikan dulu apa yang sesungguhnya Ibu-Ibu mau. Saya akan bantu Ibu hingga gambar dari cita-cita Ibu telah jelas koordinatnya. Pasti itu. Begitulah tanggapan saya. Dari pertemuan inilah saya akhirnya tahu apa yang diharapkan dari saya oleh mereka. Diskusi pada pertemuan pertama itu berlanjut untuk diskusi berikutnya di pertemuan kedua.

Pertemuan Kedua

Saya merasakan pelaksanaan diskusi kami pada pertemuan kedua lebih serius. Diskusi pada pertemuan ini bermuara kepada langkah-langkah pendirian sebuah lembaga pendidikan formal. Didampingi seorang sekretaris yang membuat catatan hail diskusi selengkap-lengkapnya, saya mencoba memberikan penjelasan dan tahapannya, tentunya setahu saya dan sebagaimana apa yang pernah saya alami selama ini selaku praktisi di sekolah. Diskusi pada pertemuan ini berlangsung seusai saya pulang kerja hingga magrib usai. Seperti diskusi pada pertemuan sebelumnya, pertemuan ini berakhir kepada janjian untuk pelaksanaan diskusi berikutnya yang bertemakan tentang budget. Mereka meminta saya untuk membuat ilustrasi budget yang dibutuhkan untuk sebuah sekolah baru.

Sekali lagi, karena saya praktisi pendidikan, maka untuk perkara budget, sesungguhnya tidak terlalu menguasai. Alhamdulillah, kebisaan saya dalam perkara budget hanya standar saja. Ini pun karena selama ini saya diminta oleh teman-teman di Yayasan dimana sekolah tempat saya berada, untuk juga merumuskan budget sekolah menjelang tengah semester kedua berakhir. Dengan keterampilan seperti itulah saya membuatkan budget sekolah mereka.

Pertemuan Ketiga

Pertemuan ini berlangsung juga setelah beberapa waktu lamanya saya menantikan dan tidak kunjung mendapat undangan untuk datang. Seperti komitmen dari pertemuan sebelumnya, bahwa saya diminta membuat ilustrasi anggaran. Maka dalam diskusi kali ini yang menjadi fokus kita adalah anggaran. Mulai dari tanah untuk lokasi sekolah, tentu dengan pertimbangan daerah mana yang memungkinkan untuk pendirian sekolah serta luas yang dibutuhkan. Bangunan yang diperlukan dengan estimasi isinya. Juga personel yang harus ada pada tahun pertama sekolah tersebut ada selain pengelolanya sendiri.

Dengan melihat kebutuhan yang harus dikeluarkan, sebagaimana yang saya paparkan pada alenia di atas, maka keluarlah angka estimasi yang ternyata tidak murah. Sekedar untuk lokasi saja, jika harga tanahnya saja Rp 2,000,000 per meter, dan luas yang diinginkan lebih kurang 5 ribu meter persegi, maka untuk biaya tanah saja sudah harus mengeluarkan investasi sebesar Rp. 10,000,000,000! Ini tentu saja perlu mempertimbangkan apakah ada tanah seluas itu di wilayah Jakarta dan dengan harga yang semahal itu?

Sebagai pelengkap, saya juga perlu kemukakan kepada mereka tentang jumlah siswa masuk yang dapat ditampung pada setiap tahunnya. Estimasi siswa ini akan berkait langsung dengan pengembalian dana investasi awal yang relatif tidak sedikit plus biaya operasional pendidikan di bulan selanjutnya. Alhasil, saya menutup sesi diskusi kalai itu dengan kalimat: Jangan pernah mencari surplus dari sebuah pendirian sekolah dalam waktu singkat. Karena bukan tempat yang pas dan hanya akan membuat tidak bahagia. Tapi jika memang untuk investasi akhirat, mungkin pintu gerbang terbuka lebar.

Setelah diskusi pada pertemuan itu, saya tidak pernah lagi mendapat undangan untuk diskusi selanjutnya. Saya tidak tahu mengapa undangan diskusi berikut tidak sampai ke saya. Mungkin mereka sedang butuh waktu untuk membuat strategi, atau mungkin ada orang lain lagi yang lebih mampu memberikan bantuan kepadanya.

Dan saya sampai kini berprasangka bahwa pilihan kedua itu yang terjadi. Semoga.

Jakarta, 21 Oktober 2011.

20 October 2011

Mengerjakan Tugas = Belajar

Saya menemukan pemaknaan yang sederhana sekali dari kata belajar. Kesederhanaan itu tentunya saya temukan bukan dari presentasi dari sebuah penelitian yang dihasilkan oleh seorang akademisi. Tetapi justru dari cara pandang yang secara tidak saya sengaja terpotret dalam dialog informal saya dengan komunitas sekolah. Dialog berkenaan dengan aktivitas atau kegiatan yang dilaksanakan sekolah dalam kemasan even spesial.

Even Spesial

Kegiatan ini selalu menjadi bagian integral dalam kegiatan belajar efektif siswa di sekolah. Berlangsung hanya dalam durasi satu pekan, yang juga selalu terjadi di tengah-tengah semester. Dalam even spesial kali itu, kami mengambil tema besarnya sebagai pusat eksplorasi adalah makanan. Oleh karenanya kami memberikan judul kegiatan Pekan Makanan.

Karena spesial, maka dalam satu pekan tersebut, seluruh kegiatan belajar dintegrasikan dalam tema yang sama. Dan guru, jauh hari telah merancangnya. Misalnya di TK B, guru dan siswa telah melakukan perjalanan outing yang kami sebut sebagai field trip, ke sebuah usaha perkebunan yang ada di Parung, Jawa Barat. Di perkebunan itu siswa belajar tentang cara bertanam tanaman yang biasa mereka konsumsi sehari-hari, seperti tanaman kangkung, bayam, dan buah-buahan. Juga cara merawat tanaman, dan tentu saja bagaimana tanaman itu dapat menjadi makanan. Untuk itu, sebelum anak-anak meninggalkan perkebunan tersebut, makan siangnya mereka disuguhi makanan yang berasal dari kebun yang baru saja mereka kunjungi.

Di sekolah, dua pekan setelah field trip itu, ketika even spesial itu berlangsung, siswa kembali belajar tentang makanan yang merupakan hasil olahan dari tanaman. Termasuk kegiatan membuat display kelas dan juga mempertunjukkan hasil belajar tersebut dalam bentuk aksi panggung, yang kami sebut sebagai assembly.

Mengerjakan Tugas = Belajar

Nah pada saat beraktivitas belajar seperti itulah, saya bertanya kepada berbagai pihak yang ada di sekolah tentang tanggapannya terhadap apa yang dilakukannya di kelas atau di sekolah. Tujuan pertanyaan ini tidak lain adalah untuk menemukan apakah kegiatan yang dirancang tersebut cukup memberikan makna bagi mereka. Kepada siswa saya tanyakan bagaimana menurutnya kegiatan spesial yang mereka lakukan. Dengan spontan anak itu menjawab:
  • Asyik Pak. Senang. Kan ngak ada pekerjaan rumah. Belajarnya bermain terus. Coba even spesial terus. Kata siswa saya. Saya tercenung dengan jawaban itu. Ketika saya melihat di kelas, tampak guru memberikan intstruksi tentang apa, mengapa, dan bagaimana mereka harus membuat laporan apresiasi setelah bersama-sama nonton acara 'memasak' di tv yang merupakan hasil rekaman. Rupanya kegiatan ini menarik siswa. Dan memang, selama pekan itu, guru tidak memberikan pekerjaan rumah dari buku paket atau buku pegangangan siswa. Pekerjaan rumah di berikan dalam bentuk berdiskusi dengan orangtua tentang makanan favorit keluarga, membuat susunan menunya, dan mencoba membuatnya, serta menuliskan pengalaman tersebut.
  • Senang Pak Agus, soalnya ngak ada pelajaran. Jadi saya juga ngak repot. Jawab salah satu orangtua siswa atas pertanyaan yang sama.
Dengan dua jawaban tersebut, saya membuat asumsi bahwa yang dimaknai belajar oleh sebagian kita adalah kalau mengerjaan pekerjaan dari buku paket siswa saja. Semua aktivitas di luar itu, kita tidak memaknainya sebagai belajar. Jadi ketika anak membaca buku fiksi, menonton serial di televisi, main game di komputer, ngobrol on line dengan teman, adalah bentuk kegiatan yang bukan belajar. Pemberiartian seperti ini, bagi saya, menyedihkan. Karena arti belajar tersebut adalah arti yang amat sangat dangkal.

Dengan artikel singkat saya ini, saya bermaksud mengajak kita semua untuk berefleksi tentang keyakinan kita masing-masing terhadap apa dan bagaimana belajar itu semestinya dan seharusnya. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari pencapaian tujuan ikhtiar kita di sekolah menjadi salah alamat! Semoga. Amin.

Jakarta, 20 Oktober 2011.

14 October 2011

Satu Nusa Satu Bangsa

Pagi hari itu, saya kembali mendengar lagu nasional berjudul Satu Nusa Satu Bangsa, dari barisan siswa kelas dua di Sekolah Dasar. Lagu itu terasa menggugah rasa nasionalisme saya. Setidaknya karena lagu itu, saya menjadi teringat atau terkoneksi dengan kasus hangat hari ini, yaitu sebuah wilayah yang bernama Camar Bulan di Kalimantan Barat. Sebuah isu yang oleh Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, disebut sebagai: Kita tetap bersyukur, anggaplah isu-isu tersebut sebagai kado ulang tahun ke-66 Tentara Nasional Indonesia." Disaat rapat dengar pendapat dengan Komisi I di DPR, Jumat (14/10/2011). (ttp://nasional.kompas.com/read/2011/10/14/).

Apa Kaitan Camar Bulan dan Lagu Wajib itu?

Kaitan persisnya saya tidak paham dan pakar dalam hal ini. Namun sebagai guru di sekolah, saya hanya tergelitik dengan dua fakta yang ada pada diri saya pada saat itu. Fakta pertama adalah nyanyian lagu itu yang saya dengar dan saksikan langsung, yang ditampilkan oleh siswa SD sebagai salah satu penampilan mereka di pertunjukkan kelas, yang disaksikan seluruh warga sekolah plus orang tua siswa mereka.

Sedang fakta keduanya adalah sedang hebohnya kasus perbatasan, yang sesungguhnya bukan merupakan kasus kali pertama yang saya dengar atau saya baca di berita. Nah, dari dua fakta itulah saya merasakan betapa sesungguhnya kita semua harus terus menerus memupuk rasa nasionalisme, rasa bela negara. Dan itu hanya dapat kita bangun melalai pendidikan. Dan disinilah letak kaitan itu. Yaitu menjadi bagian dari tugas sayalah untuk menanamkan itu dalam dada siswa yang menjadi amanah saya.

Cinta Tanah Air?

Saya menjadi teringat salah satu dari episode John Pantau di sebuah acara televisi. Sebuah acara yang saya rasakan sebagai pencerah bagi paradoksal perilaku dan cara pikir kita. Dalam episod yang saya masih ingat, dan kebetulan pas dengan apa yang saya tulis dalam artikel ini adalah tentang nasionalisme terhadap cinta produk Indonesia.

Celekanya, John sedang berada di gedung parlemen di Senayan. Dalam tayangan yang saya sendiri lupa kapan disiarkannya itu, John menemui dua tokoh nasional yang menjadi anggota dewan. Kepada dua tokoh tersebut, ia bertanya tentang cinta tanah air. Dan pasti dijawab dengan lancar. Kalau harus diponten, mungkin semuanya akan mendapat nilai istimewa dari gurunya. Tapi giliran John meminta keduanya membuka sepatu, ikat pinggang, dan mengeluarkan dompetnya, baru kelihatan kalau apa yang diponten bagus tadi tidak klop dengan apa yang mereka miliki. Karena ternyata sepatu, dompet, dan ikat pinggang mereka bukan buatan asli Indonesia. Jadi cinta tanah air itu baru sampai pada tahap kata-kata dan belum mendaging dalam hidup. Itulah paradoksal.

Satu Nusa Satu Bangsa

Kembali ke lagu wajib yang dinyanyikan siswa itu, saya tergugah dan bersemangat kembali untuk membelajarkan lagu-lagu wajib nasional yang selama ini kurang berkumandang di atmosfer sekolah. Meski kadang terbersit ragu, apakah siswa dapat memahami apa makna di balik syair lagu-lagu itu? Seperti misalnya arti kosa kata nusa? Apa arti nusa di benak seorang siswa usia 7 atau 8 tahun?

Namun saya harus berani menepis rasa ragu itu dengan terus berkomitmen menyanyikan lagu wajib dengan siswa di sekolah. Dan tentang bagaimana nanti siswa saya menemukan makna di balik syair lagu-lagu yang kami hafalkan, saya percaya proses yang akan membawa mereka pada muara kefahaman. Bukankah anggota parlemen yang ditemui John Pantau di acaranya itu juga memberikan pemahaman kepada kita bahwa antara hafal dan paham juga masih perlu aplikasi dari sebuah makna yang telah dipahaminya?

Dari situlah optimisme saya selalu lahir. Dan tanpa menunggu lahirnya sebuah generasi yang mencintai tanah air, saya di rumahpun mengajak dan membawa tiga buah hati saya untuk terwujudnya sebuah anak bangsa yang cinta akan tanah tumpah darahnya. Dalam kondisi beruntung atau dalam situasi yang prihatin. Semoga.

Jakarta, 20 Oktober 2011.

12 October 2011

Teman Saya yang Guru, Golongan Ekonomi Lemah?

  • Sekarang golonganmu sudah 2 C Mas? Tanyaku di boncengan motor kepada teman saya yang mengendarai kendaraannya ketika kami melaju di jalan raya di desa Clapar, Bagelen, menuju kota Purworejo. Ini pertanyaan penasaran yang saya ajukan, yang mungkin kurang cocok dengan suasana hatinya pada saat itu. Tetapi dengan pertimbangan bahwa kami adalah sahabat lama yang boleh dibilang dekat, maka saya menganggapnya itu sebagai pertanyaan yang lumrah. Pertanyaan yang biasa.
  • Ya... golongan ekonomi lemah Gus. Jawab sahabat saya dengan nada bergurau tentunya. Saya di boncengan motornya tersenyum. Pintar juga kawan saya ini menemukan kosa kata untuk menggambarkan kondisinya. Dia begitu pas memilih kata yang cocok dengan kondisinya.
Golongan 2 B

Percakapan itu akhirnya membuka tabir bahwa ia sekarang ini baru berada pada posisi golongan 2 B, yang sedang diusulkan untuk meningkat ke golongan 2C. Golongan kepegawaiannya, tergolong sangat rendah bilamana dibandingkan dengan usianya yang telah 47 tahun. betapa tidak, ia lulus Sekolah Pendidikan Guru tahun 1985. Dan semenjak itu ia mengabdi sebagai guru sokwan di sekolah negeri yang dekat dengan tempat tinggalnya, namun baru diangkat sebagai PNS secara resmi pada tahun 2008!

Mengapa ia tidak melanjutkan kuliah sembari menunggu pengangkatan sebagai guru PNS? Jawabannya sederhana: tidak ada biaya. Untuk biaya hidup sepanjang waktu penantian itu saja penuh perjuangan dan pengorbanan. Apalagi dengan beban melanjutkan kuliah. Alhasil, Ijazah SPGnya, plus pengalaman mengajar selama ini, ia langsung masuk dalam golongan 2B dan tidak 2A. Dan itu, sangat ia syukuri.

SK dengan Salah Nama

Sesungguhnya, ia pernah sedikit beruntung saat tahun 1998, berarti sepuluh tahun sebelum SK PNSnya keluar secara resmi tahun 2008 lalu. Namun SK itu terdapat sedikit kesalahan pada namanya. Namanya di SK tahun 1998 itu tidak sama dengan nama yang menjadi identitasnya sebagai guru honor. Namun identitas lainnya sama persis dengan apa yang dimilikinya.

Dan atas saran teman, saudara, dan atasannya, ia mengembalikan SK itu kepada yang berwenang untuk dibuatkan perbaikan. Tapi apa hendak dikata, perbaikan SK yang dimaksudkan tidak pernah kunjung datang meski ia telah berulang kali menyampaikan pertanyaan. Dan gajinyapun tidak pernah keluar.

Hingga akhirnya berujung pula panantiannya untuk mendapatkan SK tahun 2008 itu. Maka sekali lagi, jawabannya atas pertanyaan saya sebagaimana saya kutip dalam awal artikel saya ini benar-benar memberikan gambaran yang jelas dan tegas.

Karena ketika saya berkunjung dan bertamu ke teman saya yang lain, yang terlebih dulu diangkat sebagai guru PNS, baik yang di Jawa atau yang di Sumatera, mereka sudah tidak lagi masuk dalam golongan ekonomi lemah sebagai apa yang dimaksud sahabat saya yang sore ini bersama saya akan berkunjung ke Purworejo untuk sebuah pertemuan temu kangen.

Sebersit tampak menyedihkan. Namun rasa syukur yang dipancarkan sepanjang pertemuan kami itu, justru membuahkan inspirasi tersendiri buat saya yang tinggal di Jakarta sebagai karyawan swasta.

Terima kasih sahabat.

Jakarta, 12 Oktober 2011.

10 October 2011

Berita Duka, Besan Mamak Saya Meninggal

Begitulah berita yang saya dapatkan siang itu, Minggu, 9 Oktober 2011. Berita penting dan sekaligus relatif genting itu datang dari adik saya yang berdomisili di Ciledug, Tangerang, menjelang pukul 14.00. Yaitu berita tentang duka cita.

Berita ini menjadi penting sekali bukan hanya karena yang meninggal memang besan dari Mamak saya, yang juga adalah Ayah Mertua dari adik kandung saya yang tinggal di kecamatan Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi DI Yogyakarta, karena terjatuh.

Tetapi pada saat berita itu, saya bersama dengan istri dan anak sedang duduk di teras kelurahan. Dimana ini jga merupakan suatu kebetulan, mengingat pada hari itu, sekitar pukul 08.00, Pak RT kami memberikan kabar agar warga dapat ikut antri untuk proses e-KTP dengan membawa foto kopi. Juga karena Mamak sedang tidak ada di rumahnya sendiri, tetapi sedang berkunjung di rumah saya di Jakarta. Dan yang lebih penting, Mamak berpikir harus pulang untuk segera bisa bertakziah ke Lendah mengingat jenazah besannya baru akan dikebumikan esok harinya. Yang berarti jika sore ini Mamak ikut Sumber Alam, maka esok hari masih mungkin untuk takziah. Itulah lebih kurangnya nilai penting dari sebuah kabar siang itu.

Sembari menunggu antrian yang kala itu belum jelas berakhirnya, saya bermohon kiranya urusan foto dan sidik jari dari proses e-KTP ini benar0benar memungkinkan untuk saya dan istri mengantar Mamak ke Lebak Bulus. Tentu harus sebelum pukul 17.00 benar-benar telah sampai di terminal antar kota antar provinsi itu.

Dan alhamdulillah, urusan e-KTP, yang di koran banyak dikeluhkan karena lamanya antri, tidak saya alami di siang itu. Ketika pukul 14.30 saya, istri, dan anak mendapat panggilan untuk ikut barisan antri di ruangan, maka pukul 15.00 semua urusan kami dengan pengambilan gambar dan data telah beres. Petugas mengingatkan kami bahwa KTP baru akan jadi sekitar awal Desember 2011. Dan kami pun segera meninggalkan halaman kelurahan.

Perjalanan selanjutnya adalah sesegera mungkin saya mengantar Mamak ke Lebak Bulus. Dan alhamdulillah lagi, bahwa Allah memudahkan perjalanan dan urusan kami pada hari itu. Dan esok paginya, pukul 05.00 dini hari, Mamak telah masuk rumahnya di Purworejo, untuk kemudian bersama tetangga serta adik-adik saya takziah ke besan.
Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Semoga almarhum besan Mamak saya diampuni dosa dan khilafnya selama mengarungi hidup di dunia, diberikanNya kemudahan urusan dan dilapangkan kuburnya, diberikan tempat yang layak di sisiNya, dan kepada yang ditinggalkan, semoga diberikanNya kekuatan dalam menerima cobaan ini. Amin.

Jakarta, 10 Oktober 2011.

18 August 2011

Kitalah Pemandu Masa Depan Mereka

Inilah tulisan ungkapan kegundahan seorang orangtua siswa dalam Kotak Surat di harian Kompas pada Jumat tanggal 12 Agustus 2011. Sebuah ungkapan kecewa atas kondisi dunai pendidikan yag kita jalani hingga searang ini, terutamanya berkenaan dengan pelaksanaan Ujian Nasional.

Sebuah cerita yang pasti akan mengundang berbagai tanggapan dari kita semua, sesama anak bangsa. Atau mungkin sesama orangtua siswa yang bersekolah di negeri tercinta ini untuk merajut masa depan yang lebih baik. Ini semua tergantung dari mana kita masing-masing berangkat dan mengambil pijakan pada saat berargumentasi.

Saya sendiri memahami sekali bagaimana pedih dan sakitnya ketika pendidikan tidak lagi berdiri kepada esensi yang seharusnya dipijak. Pendidikan sekarang ini hanya mengerucut kepada hasil UN saja. Dan bahkan nyaris tidak perduli dengan usaha atau ikhtiar yang dilakukannya untuk mencapai hasil itu. Ini pulalah yang saya tulis dalam artikel saya sebelumnya ( ... saya rilis di blog ini tanggal ...), berkenaan dengan pengalaman yang menimpa keponakan saya tentang nilai UN-nya yang tidak 'menjanjikan' untuk dapat berebut kursi di bangku sekolah negeri. Syukurnya, keponakan saya itu, dengan izin Allah, memperolehnya.

Dan dari apa yang Ibu Eka tulis dalam surat kabar itu, saya bermaksud mengingatkan kita semua terhadap komitmen kita dalam memandu dan menghantarkan anak kandung kita sendiri atau anak didik kita menuju sukses di masa yang akan datang. Masa dimana anak kita itu berada di usia seperti kita hari ini.

Satu; Komitmen untuk tidak mengejar pepesan kosong. Hal ini berbasis dengan apa yang menjadi keyakinan saya tentang tujuan pendidikan kita sendiri. Dimana dinyatakan bahwa tujuan pendidikan kita, yang termuat dalam UU No 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Bab II pasal 3, yang berbunyi: bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia...

Keyakinan bahwa pendidikan adalah bentuk pengembangan potensi peserta didik harus mengacu kepada apa yang kita yakini bersama bahwa peserta didik memiliki potensi kognitif, potensi psikomotorik, dan potensi afektif. Ketiga potensi ini menjadi holitisitas. Artinya, jika hanya hasil UN yang menjadi penting dalam mengukur keberhasilan anak kita, bukankah ini berarti kita sedang menimang-nimang pepesan kosong belaka? Karena UN hanya mengukur potensi kognitif atau potensi akademik belaka. Lalu dimana nilai psikomotorik dan potensi afektif. Apakah kita cukup percaya diri untuk meyakini bahwa hasil UN sama dengan akhlak mulia dari anak kita?

Dari titik inilah saya mengajak kita semua untuk yakin bahwa hasil UN hanyalah salah satu dari hasil pendidikan dari anak kita di sekolah. Dan pati bukan satu-satunya. Namun dengan semua ikhtiar kita agar anak kita mendapatkan hasil UN yang bagus dengan berbagai cara yang tiak terhormat seperti yang disebutkan oleh Ibu Eka dalam Surat Pembaca tersebut, adalah cermin dari keyakinan kita bahwa UN adalah segala-galanya.

Dua; Komitmen untuk percaya diri bahwa hasil UN yang baik sangat mungkin diikhtiarkan tanpa melibatkan ketidakjujuran dalam bentuk apapun. Komitmen ini harus mendarah daging terutama bagi orangtua siswa dan guru serta sekolah. Dengan komitmen ini, semua bujuk rayu dan rekayasa jahat seperti apapun pasti tertolak. Komitmen orangtua dan sekolah ini harus juga dialirkan kepada anak-anak sebagai peserta didik, sebagai pelakunya.

Mengapa saya begitu yakin dengan komitmen ini? Karena pemerintah akan mengeluarkan Kisi-Kisi atau SKL lebih kurang empat bulan sebelum Ujian Nasional berlangsung. Kisi-kisi dan Standar Kompetensi Lulusan ini adalah induk dari materi kognitif yang nantinya akan menjadi soal atau pertanyaan yang akan keluar dalam Ujian Nasional tersebut. Oleh karenanya, saya dapat katakan bahwa Kisi-Kisi atau SKL adalah peta sukses UN. Tentunya peta dengan koordinatnya yang lengkap. Dan bukan peta buta. Jika demikian, maka sungguh janggal jika kita masih juga mencari cara tidak terhormat untuk sebuah hasil UN yang memungkinkan kita bermartabat?

Tiga; Komitmen bahwa bentuk ikhtiar yang haram hanya melahirkan ketidakberkahan. Komitmen ini harus juga mendarah daging dalam darah kita. Adakah logika bahwa hasil sebuah usaha yang tidak jujur akan melahirkan sebuah ketenangan atau keberkahan atau kesehatan dimasa berikutnya sebagai implikasi? Tidak ada logika seperti itu. Oleh karenanya mari kita luruskan kembali komitmen kita untuk menuju kehidupan yang penuh berkah dimasa depan dengan berikhtiar sekuat tenaga pada hari ini. Tentu dengan selalu meminta bantuan dari Yang Maha Esa dalam bentuk permohonan dan doa. Semoga. Amin.

Jkt, 12-21 Agustus 2011/12-21 Ramadan 1432 H.

06 August 2011

Catatan Perjalanan, Kayuagung Juli 2011


Untuk kali ketiganya, saya berkunjung ke Kayuagung di Sumatera ini. Sebuah kunjungan yang bertepatan dengan kegiatan liburan sekolah tahun 2010/2011. Kunjungan ketiga ini berjarak lima tahun setelah kunjungan saya yang kedua di tahun 2006.

Sebuah kunjungan yang bertepatan dengan kegiatan Jambore Nasional di Teluk Gelam, OKI. Itulah yang mungkin membuat jalan-jalan di Kayu Agung ini tampak jauh lebih kelihatan semarak dari waktu biasanya. Selain tentunya jauh dalam kondisi mulus karena baru disiram hotmik lumayan tebal.

Namun tampaknya tidak saja karena adanya kegiatan Pramuka itu yang membuat wajah Kayuagung ini berbeda dari kunjungan saya sebelumnya. Saya meyakini, bahwa waktu yang lima tahun adalah waktu yang cukup panjang bagi masyarakat di sini untuk tumbuh. Itulah yang saya lihat dengan bertambah kokohnya bangunan pasar yang berada persis di samping hotel yang lima tahun lalu saya inapi. Juga jalan-jalan yang menjadi bertambah lebar serta kendaraan bermotor yang semakin semarak berlalu-lalang di jalanan.

Tapi apakah itu dapat menjadi indikator kemakmuran bagi penduduinya? Juga apakah jalan-jalan yang mulus dan relatif lega juga dapat menjadi indikator bagi kualitas pengelolanya? Sangat boleh jadi dapat. Karena kepemilikan kendaraan juga memberikan indikasi kemampuan daya beli.

Dan kualitas jalan raya juga adalah indikasi bagi pengelola pemerintahan ini. Meski untuk yang kedua ini kebetulan OKI khususnya dan Sumatera Selatan umumnya adalah tuan rumah bagi Jambore Nasional dan juga Sea Games di tahun 2011 ini. Dan dengan hajatan itu maka saya meyakini adanya tambahan 'uang saku' dan motivasi untuk menjadi berbeda?

Apapun itu, setidaknya saya mensyukuri atas kesempatan dan takdir-Nya, bahwa saya diperjalankan berkunjung ke sebuah tempat untuk berjumpa dan bersilaturahim dengan kawan dan sahabat di sini.

PlbJkt, Juli-Agustus 2011.

05 August 2011

Hasil UN yang Tidak Mengangkat Harkat dan Martabat

Saya merenungi keluh kesah keponakan saya yang tahun pelajaran 2011/2012 ini harus berebut masuk SMA Negeri. Meski alhamdulillah pada akhirnya ia masuk juga di sekolah yang menjadi keinginannya. Namun tetap bukan sekolah unggulan yang diimpikannya, seperti sebelum UN dilaksanakannya. Ini semua karena jumlah nilai Ujian Nasional yang didapatnya.

Keluh-kesahnya berawal dari jumlah nilai UNnya yang 'hanya' 31 dari empat mata pelajaran. Yang artinya dia memperoleh nilai rata-rata untuk tiap mata pelajarannya lebih dari 7,5. Dimana jumlah nilai itu adalah jumlah nilai yang meski 'bagus', tetapi relatif mepet, jika tidak mau dikatakan kurang untuk sebuah modal berebut masuk sekolah negeri. Ini karena jumlah nilai UN teman-temannya di kelas melebihinya. Tidak saja mereka yang pada semester-semester sebelumnya memang mengalahkannya di urutan satu atau dua di kelasnya. Tetapi juga hampir semua temannya yang berada jauh di bawah kompetensi akademiknya tiba-tiba secara sekonyong-konyong dan mengejutkan mendapatkan nilai UN yang sangat bagus.
Di atas apa yang diperolehnya.

Itulah awal keluhannya kepada saya saat saya mengunjunginya diakhir bulan Juni lalu. Dia sangat kawatir kalau-kalau dengan modal nilainya itu menjadikannya kesulitan mendapatkan bangku sekolah negeri, atau bahkan menutup pintu kemungkinan sekalipun. Meski tiga pilihan sekolah saat PPDB ditulisnya dengan sekolah-sekolah yang dengan passing grade relatif rendah.

  • Mengapa kawatir? Kata saya mencoba untuk berempati.
  • Karena, katanya, teman-temanku yang saat disekolah kompetensi akademiknya berada dibawahku tapi mendapat nilai UN yang melejit itu, tidak memilih di sekolah unggulan sesuai dengan nilai UN yang tinggi itu. Tetapi mereka juga memilih di sekolah dengan passing grade yang menjadi pilihanku. Artinya, mereka akan menyingkirkanku. Jelasnya.

Saya faham. Mengapa mereka yang mendapat nilai UN sangat bagus itu tidak masuk sekolah unggulan? Karena mereka faham akan kompetensi akdemiknya yang sesungguhnya. Karena apa yang dia dapat dalam angka UN yang sangat bagus itu sesungguhnya bukan cermin kompetensinya. Oleh karenanya, meski angka UN mereka tinggi, mereka tidak akan memilih sekolah unggulan dengan passing grade yang tinggi. Mereka menyadari kalau sampai masuk sekolah unggulan sesuai dengan nilai UNnya, pada enam bulan pertama masuk sekolah, mereka akan termehek-mehek, atau bahkan mungkin terseok-seok.

Pertanyaan berikutnya adalah; untuk apa mengejar untuk mendapatkan nilai UN yang tinggi tetapi tidak mengangkat harkat dan martabatnya?

Itulah kesimpulan saya terhadap apa yang menjadi keluhan keponakan saya karena mendapat nilai UN dibawah rata-rata sekolah. Sebuah hasil yang dicapainya dengan murni tanpa mau bersengkongkol dengan temannya dalam bentuk mengumpulkan uang agar mendapatkan SMS sebelum UN berlangsung.

Jkt, 15 Juni- 6 Agustus 2011

Catatan Perjalanan, Pantai Baron dan Kukup


Lama saya mendengar indah dan memesonanya pantai-pantai di wilayah Gunung Kidul ini. Terutama Baron dan Kukup. Terakhir, anak saya sendiri yang merekomendasikan agar pulang kampung berikut agar menyempatkan waktu dan tenaga untuk mampir dan mengunjunginya. Kami menyetujuinya karena kebetulan sekali kami akan ada acara keluarga di wilayah Prambanan, yang berdekatan dengan wilayah Piyungan. Pertigaan lampu merah terakhir dari kota Yogyakarta sebelum memasuki wilayah Patuk.

Maka Juli 2011 lalu saya dan keluarga baru benar-benar menjejakkan kaki di hamparan pasir putih yang diantaranya berkarang serta ditumbuhi rumput laut. Pagi hari karang-karang pantai yang ditumbuhi rumput laut itu digenangi oleh air laut yang pasang. Yang kemudian berangsur surut dan menampakkan batu karang mulai waktu dhuha hingga menjelang Ashar.


Setelah semua urusan kami dengan keluarga di Jakal beres sekitar pukul 13.00, saya sudah berada di RM Seger Waras yang berlokasi di Patuk. Kami berhenti kembali ketika berada di jalan Baron, setelah beberapa menit meninggalkan kota Wonosari, yaitu pada saat menemukan penginapan disisi kiri jalan yang kami lalui. Bermaksud untuk memesan kamar, namun harus kami tunda dahulu hingga kami sampai di Pantai Baron.

Dengan maksud untuk mencari penginapan yang masih tersedia kamar. Sekitar pukul 16.00, kami sampai di bibir pantai. Inilah saat kali pertama kami dapat merasakan deburan ombak Baron dan menghirup aroma teri setengah kering yang menyengat.
Setelah mencoba mencari kamar di penginapan Kampoeng Baron dan Baron Sari tidak kami dapatkan, saya langsung menuju Pantai Kukup yang berdampingan dengan Baron.

Tidak lebih sepuluh menit kami telah menemukan penginapan yang berupa vila dengan dua kamar tidur.
Malam itu, kami bermalam dalam sunyinya malam pantai Kukup dan dengan hanya ditemani deburan ombak yang tidak terlalu kami dengar, karena antara kami dengan bibir pantai dibatasi oleh bukit karst. Dari pengalaman ini, saya merekomendasikan bagi Anda yang bermaksud bermalam di pantai agar benar-benar bersiap diri untuk sunyi dan terasing dari pengunjung yang lain. Atau bahkan dari penjaga penginapan sekalipun, karena sebagain mereka telah meninggalkan kami sejak pukul 22.00. Ini sebuah pengalaman kedua setelah sebelumnya kami pernah menginap di pantai Glagah yang Ada di daerah Kulon Progo.

Esok hari, ketika ombak malam masih tersisa, kami telah berada di pantai. Tak lupa menyambangi menara pengawas yang berada di puncak karst yang menjorok ke laut lepas dan membentuk semacam pulau karang.
Kami meninggalkan pantai Kukup Dan Baron setelah terlebih dahulu menyambangi pantai Sepanjang dan Pantai Krakal yang berada di sebelah timur dari pantai Kukup.

Inilah pengalaman yang patut Anda rasakan sendiri. Merasakan indah dan pesonanya pantai karst yang berpasir putih.

Palembang-Jakarta, Juli-Agustus 2011.

03 August 2011

Pungutan di Sekolah

Menginjak pekan ke-4, tahun pelajaran 2011/2012 ini, berita tentang pungutan uang sekolah menguat. Terutama karena rencana dari kenaikan uang BOS untuk siswa SD dan SMP mulai tahun pelajaran ini. Dimana, dalam berita sebelumnya dirilis bahwa konsekuensi dari kenaikan dana BOS untuk SD dan SMP, maka tidak diperkenankannya sekolah melakukan pungutan kepada siswanya. (http//edukasi.kompas.com pada Kamis, 28 Juli 2011).

Namun pada berita yang terbit di Republika Online hari ini, Rabu, 3 Agustus 2011, dengan judul berita; Hati-hati, Kepala Sekolah dan Guru 'Doyan Pungutan Liar' Jadi Target KPK (http//republika.co.id/). Berita ini mengutip apa yang disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, M Jasin. Hal ini tentu merupakan sebuah ancaman serius bagi sekolah, tempat dimana harkat dan martabat bangsa di masa depan dipertaruhkan. Karena seriusnya ancaman tersebut, maka saya pun ikut meminta kepada sahabat dan teman saya yang kebetulan menjadi kepala sekolah, baik di sekolah negeri atau swasta yang menjadi penerima dana BOS, untuk benar-benar memperhaikan, menyimak, dan melaksanakan apa yang menjadi berita online hari ini tersebut. Caranya? Saya kirimkan berita itu kepada mereka semua via email.

Satahu saya dari cerita teman-teman saya tersebut, sebelum adanya berita ini pun, mereka sebenarnya telah menjadikan hal ini sebagai bagian inheren bagi melaksanakan amanah jabatan yang mereka sandang. Seperti pernah diceritakan kepada saya tentang pengalaman teman saya yang di panggil bagian pengawasan anggaran pemerintah terhadap LPJ BOS yang dia buat, yang secara random akan dipilih oleh instansi tersebut. Dan pilihan itu jatuh kepada teman saya yang menjadi kepala sekolah di DKI Jakarta.

Dari pengalaman tersebut, teman saya itu menjadi jauh lebih merakan bagaimana implementasi peraturan tertulis tentang pendayagunaan dana BOS dan sekaligus prakteknya. Karena pihak auditor banyak memberikan masukan terutama dalam kelengkapan administrasi. Dan sebagai Kepal Sekolah yang sebelumnya adalah guru, ini adalah bentuk edukasi konkrit tentang bagaimana standar akutansi. Sebuah ilmu yang sebelumnya tidak pernah ia jamah.

Pungutan?

Lalu bagaimana pula dengan pungutan? Sebagai praktisi di sekolah swasta, saya merasakan ketidaktahuan mengapa sekolah harus diberikan larangan memungut? Karena, mengaca dari sumber dana yang diperlukan oleh sekolah (swasta), bukankah seluruh beaya tersebut adalah hasil dari pungutan dari orangtua siswa? Tentunya pungutan yang telah terencana dalam bentuk biaya uang pangkal dan uang SPP tiap bulannya?

Namun menggaris bawahi dari judul berita dari Republika Online tersebut di atas, adalah pungutan-pungutan yang tidak masuk kategori yang telah saya sebutkan itu (?). Allahu a'lam. Saya tidak ingin berpanjang lebar tentang hal ini. Karena sesungguhnya, tanpa ancaman atau peringatan sekalipun, sesungguhnya kita semua menyadari bahwa pungutan semacam itu berada pada ranah yang tidak semestinya dilakukan. Semoga.

Jakarta, 3 Agustus 2011.

31 July 2011

Ramadhan, Waktunya 'Bercocok Tanam'

Dinas Pendidikan Dasar Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengimbau sekolah di daerah ini mengurangi kegiatan fisik guna menghindari penurunan stamina siswa selama Ramadhan. Hal itu dikatakan Kepala Seksi Pengolahan Data dan Informasi Bina Program Dinas Pendidikan Dasar Bantul, Juwahir, Sabtu (30/7/2011). Begitu berita yang saya baca di http://edukasi.kompas.com/read/2011/07/31.

Tentunya Pak Juwahir tidak sendirian di negeri ini. Sebelumnya terbit pula berita dari pemerintah daerah yang mengurangi jam kerja bagi karyawannya.

Adalah sebuah realita yang selalu hadir dikala Ramadhan tiba. Dan kenyataan itu tidak saja menjadi milik mereka yang berada di sekolah, nahkan di kantor-kantorpun demikian adanya. Adalah sebuah bentuk toleransi bagi mereka dan kita semua untuk lebih memanfaatkan waktu dalam menjalankan Ramadhan. Terutama dalam sisi kualitas. Oleh karenanya kebijakan itu dapat juga dimaknai sebagai bentuk dorongan bagi kita untuk menjadikan waktu sisa dalam melakukan kegiatan pemaknaan Ramadhan dalam sisi kualitas.

Sebuah kondisi dan situasi yang sangat kondusif bagi peningkatan warna serta kebermaknaan dalam meningkatkan keberagamaan. Baik bagi siswa dan guru di sekolah, mahasiswa dan dosennya di tempat kuliah, dan juga para pegawai dan birokrat di kantor serta para pedagang di pasar-pasar, dan juga para pengusahanya. Dan jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya Ramadhan ini kita sedang menanam masa depan bangsa yang lebih baik.

Jangan sampai waktu yang telah terkurangi keberadaan di kantor atau tempat kerja, namun tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya ketika sedang berada di luar jam dan tempat kerja. Misalnya justru menjadi semakin turunnya efektifitas dan etos kerja, karena puasa Ramadhan telah menjadikannya kurang energi saat melakukan amanah kerja. Inilah yang akan melahirkan penilaian kurang kepada mereka yang berpuasa Ramadhan.

Namun bagi yang berfalsafah hidup hanya pada muara untung-rugi, maka kenyataan ini akan menjadi kendala besar. Meski sebenarnya tetap saja selalu ada kompromi bagi kepentingan seperti itu tanpa mengorbankan sisi silaturahim dan toleransi. Seperti apa yang dilakukan kantor sahabat saya. Dimana jam masuk dimajukan satu jam lebih awal, sehingga jam kerja akan selesai juga lebih awal.

Semoga Ramadhan ini adalah Ramadhan dimana kita semua sedang melakukan cocok tanam. Dengan begitu maka selalu akan lahir harapan untuk memetik panen kelak di kemudian hari. Dengan konsep ini semoga saya dan Anda tidak akan menyia-nyiakan waktu yang ada sebagai ikhtiar bagi peningkatan kualitas cocok tanam. Tentu untuk tujuan akhir yang menguntungkan. Semoga. Amin.

Jakarta, 31 Juli 2011.

Catatan Perjalanan, Angklung Mang Udjo


Berkunjung ke saung angklung Mang Udjo, menjadi bagian utama bagi perjalanan kami ketika ke Bandung pada Juli tahun 2010 yang lalu. Dengan uang masuk lima puluh ribu rupiah, kami ikut sesi pertama pertunjukkan, yaitu jam 10.00 pagi. Pengalaman pertama bagi saya berkunjung dan ikut bermain angklung di Padasuka itu.

Seperti tampak pada gambar, adalah salah satu atraksi dari serangkaian pertunjukkan yang disajikan kepada pononton, yang terdiri dari pengunjung lokal, seperti saya, dan juga para pengunjung asing. Anak-anak adalah bagian dari pertunjukkan itu.

Pertunjukkan yang menampilkan beragam generasi dalam menguasai dan menikmati alat musik dari bambu itu, juga dalam berbagai ragam irama. Mereka semua memainkannya dengan penuh rasa dan bangga. Persis seperti kami yang menjadi penonton. Tidak lupa pula, sebelum acar selesai, kami semua diberikan alat musik bambu itu masing-masing satu buah. Menghafal nada masing-masing dan memainkannya pada saat tanda dari dirijen meminta nada kita untuk dimainkan.

Sebuah alat musik yang juga membuat para pelatih pentas kesenian dari TK dimana saya sekarang ikut serta memegang amanah, tertarik dan memesannya langsung dari Bandung untuk kemudian dimainkan oleh para siswa kelas TK B dalam dua lagu secara apik dan penuh gaung keindahan. Luar biasa.

Dari Tradisi ke Modernisasi

Alat musik tradisi ini secara jelas memberikan gambaran kepada kita tentang jati diri kita di era modern seperti sekarang ini. Musik tradisi yang membangkitkan rasa nasionalisme dan persatuan yang teramat sangat kental. Ia menjadi pengikat kebersamaan kita yang berbeda-beda, bersama semua kekayaan tradisi kita yang kita miliki. Seperti bagaimana rasanya pengalaman yang pernah menghampiri manakala sebuah kagiatan akbar di sekolah menampilkan anak-anak usia lima hingga enam tahun memainkan lagu Tanah Air dengan instrumental angklung.

Apakah itu yang dinamakan cinta tanah air? Mungkin itu kurang lebihnya. Perasaan untuk mensyukuri tentang bagaimana rasa senang dan bahagianya tinggal bersama di sebuah wilayah Indonesia.

Musik tradisi itu jugalah yang anak-anak dan generasi muda Indonesia bawa ke seluruh penjuru dunia untuk mengabarkan betapa harmoni dan indahnya sebuah negara yang bernama Indonesia dalam berbagai bentuk misi keseniannya.

Dari sini pula saya berasumsi bahwa penguasaan tradisi yang kita miliki adalah juga kapital dalam menapakkan diri pada jati diri dalam kehidupan modern seperti saat ini.

Jakarta-Bandung-Jakarta, Juli 2010- Juli 2011.

Catatan Perjalanan, Jakarta-Yogya-Jakarta



Mungkin inilah perjalanan paling menantang untuk saya yang telah relatif berumur ini. Dalam hal perjalanan ini yang saya maksudkan tidak hanya selalu saya sebagai individu, tetapi juga kendaraan yang saya pakai dan durasi yang kita alikasikan. Tiga hal pokok yang menjadi pemikiran dan akhirnya kenyataan pada perjalanan yang kami lakukan pada akhir Juni 2011 lalu. Dan sebagai orang ndeso, tiga hal itulah yang selalu menantang.


Berumur dan Durasi

Sebuah realita yang tidak dapat dipandang biasa saja atau sama saja. Maksud saya, ketika masih usia muda, melakukan perjalanan sejauh itu, saya lakukan dengan penuh semangat dan kecepatan penuh. Tak perduli jalanan yang penuh tambalan atau kendaraan yang telah berusia atau bahkan dengan durasi waktu yang tidak panjang sekalipun. Seingat  saya, saya pernah bersama satu anak dan ditemani adik, menmpuh perjalanan sejauh itu meski hanya libur di hari Senin atau hari Jumat saja. Dan anehnya tetap nikmat meski hari keempatnya, saya telah aktif berada di kantor.

Bagaimana dengan sekarang? Tidak jauh berbeda sebenarnya. Semangat untuk pulang kampung selalu saja menyala. Dengan apapun atau bagaimanapun. Namun penurunan daya tahan untuk terus 'menikmati' jalan, kadang saya sendiri merasakan untuk dipaksakan. Meski kesadaran untuk istirahat selalu menjadi menu. Tidur, misalnya. Jadi, ada perbedaan kan? Belum lagi jikalau jalanan yang tidak kondusif untuk sebuah perjalanan jauh serta kemacetan.

Satu hal yang menjadi catatan penting dalam setiap perjalanan, baik saat dulu atau sekarang, yaitu tidak grosa-grusu. Tidak biayaan. Tidak pecicilan. Tidak sembrono. Karena dalam setiap perjalanan itu, saya selalu menikmatinya tiap centinya. Tiap jengkalnya. Karena saya menyenangi proses selain tujuan. Jadi durasi waktu yang dialokasikan dalam perjalanan menjadi penting bagi saya.

Ideal bukan? Permasalahannya, durasi juga bergantung kepada waktu pakansi. Artinya seberapa lama kita memiliki hari bebas hingga kita dapat secara leluasa menggunakannya untuk sebuah perjalanan? Inilah yang juga membedakan saat saya banyak libur atau sedikit libur. Tapi inilah kenyataan yang ada, yang telah menjadi milik saya.

Jakarta-Yogya-Jakarta, Juli 2011.

Keterangan gambar: Salah satu sudut di Pantai Kukup, Wonosari, Yogyakarta.

Catatan Perjalanan, Ada Sandal...


Sekadar catatan perjalanan saya ketika saya diundang oleh kawan di Kayuagung, awal Juli 2011. Meski sesungguhnya kali itu adalah kali ketiga, saya berkunjung di kota ini.

Namun tampaknya, kunjungan ketiga itu memberikan kesan yang berbeda bagi saya. Mungkin karena kunjungan yang ketiga itu saya tidak 'dititipkan' di penginapan yang ada di kota itu, tapi bersama teman tinggal dan menginap di rumahnya. Ini yang membuat saya justru banyak melihat secara lebih dekat tentang beberapa hal yang akan menjadi catatan saya ini.

Seperti tampak pada gambar yang saya lampirkan di artikel ini, inilah masjid raya di kota Kayuagung. Sebuah masjid yang terawat baik, yang berada di tepian sungai Komering. Kebetulan saya berjamaah di sini bersama dengan beberapa orang yang berasal dari berbagai daerah. Antara lain dari Makassar, yang sempat saya ajak ngobrol seusai salat saat kami ada di pendopo tepian sungai.

Beberapa orang daerah tersebut berada di Kayuagung untuk menunaikan salat karena bertepatan yang bersangkutan sebagai anggota kontingen Pramuka yang kebetulan sedang mengikuti Jamnas. Jambore Nasional, yang tempat pelaksanaannya di Teluk Gelam, lebih kurang 20 km dari Kayuagung. Para anggota Pramuka itu mungkin sedang mencari udara yang berbeda di 'kota', yang kebetulan paling dekat adalah kota Kayuagung itu. 

Selain pertemuan saya dengan anggota Pramuka dari Makassar itu, saya sempat kaget saat pertama sekali memasuki masjid. Saat kumandang azan bergema melalui pengeras suara masjid. Yaitu saat baru saja saya berada di pintu masuk masjid. Karena di sebelah kanan dan kiri pintu masuk masjid, orang meletakkan sandalnya tanpa pembungkus atau dibungkus. Satu hal yang pasti tidak akan saya temui di tempat lain. Karena di tempat lain, selalu ada tulisan 'batas suci' di anak tangga paling bawah pintu masuk masjid. Selain sandal, saya juga melihat adanya tempat sampah kecil yang berdampingan dengan kotak amal. 

Apakah keberadaan sandal itu hanya terjadi di masjid yang saya kunjungi bersama teman dari Makassar itu? Pertanyaan inilah yang akhirnya terjawab oleh saya. Yaitu saat saya salat jamaah di masjid dekat rumah tinggal teman saya. Yaitu saat salat Magrib dan Isyak. Saya menemukan hal yang sama. Bahkan ada beberapa hal yang jauh lebih dari itu. Satu hal yang mungkin harus saya kemukakan kepada sahabat yang mengundang saya ke Kayuagung. 

Mungkinkah budaya seperti itu dapat menjadi koreksi di kelak kemudian hari? Pasti. Saya yakin sekali.

Kayuagung-Jakarta, Juli 2011.

Refleksi Lima Tahun, Agustus 2006-Juli 2011

Keistimewaan saya temukan pada Sabtu tanggal 30 Juli 2011, kemarin. Yang pertama adalah karena hari itu merupakan hari terakhir bagi kami menunaikan tugas setelah pelantikan pada tanggal 17 Agustus 2006, bersamaan, tentunya, dengan upacara bendera tujuhbelasan. Hari kemerdekaan RI. Lima tahun mengemban amanah bersama, tentu suatu hal yang membahagiakan bagi kami para 'pasukan sembilan'. Meski saya adalah bagian kecil dari gerbong tersebut, tetap saya ingin menjadikan hal itu sebagai sebuah kebahagiaan. Wa bil khusus bagi saya pribadi.

Yang kedua, karena hari itu juga saya menemukan bungkusan kado terletak di meja kerja saya. Kado itu langsung saya masukkan ke dalam barang pesanan istri, yang memang telah mewanti-wanti untuk membawa bungkusan yang terdapat di atas meja kerja saya. Jadi ketika menemukan ada bungkusan kado yang lain, saya menagnggapnya itu bagian dari pesanan istri. Jadilah saya langsung memasukkan bungkusan terpisah itu ke dalam plastik titipan istri tanpa terlebih dahulu membaca tulisan yang terdapat pada bungkus kado.

Baru setelah hari menjelang siang dan rapat terakhir kami akan dimulai, ada pesan yang sampai kepada saya agar membawa pulang kado tersebut. Disampaikan juga bahwa kado tersebut berasal dari partner saya yang selama lima (5) tahun ini menjadi teman kerja dan sahabat yang baik bagi saya.

Dan ketika rapat berlangsung, kami menyadari bahwa selama lima tahun ternyata tidak terlalu lama. Saya pribadi merasakan bahwa selama lima tahun itu banyak sekali momen yang tidak saya hadiri atau saksikan. Dan tahu-tahu waktu telah berjalan lima tahun. Waktu yang menjadi durasi bagi kami untuk mengabdi. Dan rapat pada hari itu adalah rapat penutup bagi durasi yang berjarak lima tahun tersebut.

Pernah dalam suatu saat di waktu itu saya menyesali kesanggupan saya untuk ikut serta dalam gerbong 'pasukan sembilan' itu. Karena setelah ikut serta, saya sadar bahwa keberadaan saya dalam gerbong tersebut tidak memberikan warna yang signifikan. Katidak bermaknaan itu mengingat momen yang ada, yang telah mereka disain untuk terjadi, saya berhalangan untuk dapat menghadirinya. Itulah penyesalan saya.

Tetapi, lima tahun telah berakhir pada rapat akhir yang terjadi pada siang itu. Dan saya selain berucap alhamdulillah atas kurang dan mungkin lebihnya, yang telah Allah karuniakan kepada kami, kepada saya. Juga mohon maaf dan ampun atas kekurangan, khilaf, dan kesalahan.

2006-2011.

29 July 2011

Jemuran Baju di Minggu Pagi

Sore ini, saya pulang kantor dan terhambat macet di seputar taman kota yang ada di pangkal jalan Thamrin, Jakarta. Namun bukan jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan yang menjadi perhatian saya kali itu, bukan sama sekali. Saya jauh lebih tertarik untuk memperhatikan bagaimana derasnya air memancar dari penyiram taman otomatis bergerak secara teratur ke arah kanan dan kiri dengan irama yang tetap. Dengannya, maka tanah yang ada pada lebih kurang radius empat (4) meter menjadi basah. Tampak sekali bahwa tanah basah itu telah membuat tanaman yang ada begitu hijau, sehat, dan segar. Menumbuhkan rasa sejuk ketika para penduduk kota, seperti saya, menatap dan berada di sekitar taman kota itu.

Keberadaan penyiram otomatis yang memancarkan air secara terus menerus dalam tempo yang relatif lama itu membangkitkan pengalaman buruk yang pernah saya alami beberapa tahun sebelumnya. Ketika saya ikut tinggal bersama keluarga Australia yang tinggal di kota Adelide, South Australia. Pengalaman buruk yang pada akhirnya menjadi kenangan lucu buat saya pribadi. Kelucuan itu justru lahir saat saya menghubungkannya dengan perilaku ndeso yang tetap menjadi trade mark saya.

Beginilah lebih kurangnya cerita saya itu:

Pagi hari, pada sebuah hari Minggu, seingat saya itu adalah hari Minggu yang ketiga setelah saya tinggal di rumah keluarga tersebut, saya bangun paling padi di rumah itu. Maklum, selain harus menunaikan solat, saya kebetulan kedingingan dengan suhu yang ada. Meski sepanjang tidur, kasur yang kebetulan ada penghangatnya selalu saya posisikan on. Tapi tetap saja kedinginan. Dan ini mungkin juga bagian dari ke-ndeso-an saya yang lain.

Karena sudah minggu ke tiga, pasti terbayang berapa stel pakaian yang mesti saya cuci. Meski saya berprinsip berpakaian tidak boros. Tapi tetap saja hari itu jadwal harus saya adalah mencuci. Dan karena siang keluarga itu akan mengajak saya jogging di sekitar rumah yang kebetulan tidak jauh dari pantai, maka pagi adalah waktu yang peling tepat bagi saya untuk mencuci.

Beruntung, sehari sebelumnya Ibu yang saya tinggali telah memberikan kursus singkat kepada saya tentang bagaimana mencuci pakaian dengan mesin cuci yang dimilikinya. Oleh karenanya, sembari saya mengingat-ingat instruksi yang telah diberikan kemarin, pagi itu saya masukkan seluruh pakaian kotor saya ke dalam mesin cuci. Semua lancar saya kerjakan. Pakaian saya jemur di halaman belakang rumah yang berupa taman rumput. Tentu dengan menggunakan hangar yang tersedia di jemuran.

Beres mencuci dan menjemur pakaian, saya kembali ke kamar yang persis ada di samping halaman dimana saya menjemur pakaian tadi. Saya membuka kembali buku catatan dan meneruskan membaca novel yang saya bawa dari Jakarta. Hingga saya dikagetkan oleh suara air yang memancar keras dari arah taman di belakang kamar saya. Saya beri tanda berhenti membaca pada halaman buku yang sedang saya baca dan menengok keluar rumah melalui jendela kamar.

Dan saya terkejut luar biasa. Rupanya di halaman taman rumah itu terdapat penyiram tanaman otomatis yang tiba-tiba memancarkan air secara deras dan kencang. Dan air itu antara lain menyiram seluruh pakaian yang baru saja saya jemur. Alamak... pikir saya.

Reflek, saya segera keluar kamar dan mencoba menyelamatkan jemuran saya. Namun apa hendak dikata, sebelum saya berhasil menyelamatkan jemuran saya dari semprotan otomatis tersebut, semprotan itu telah kembali mengarah pada pakaian. Alhasil, saya pun tersiram. Maka saat itu juga saya tertawa sendirian di halaman belakang rumah sembari meninggalkan jemuran yang telah basah kuyup lagi. Termasuk pakaian yang saya kenakan.

Saya segera beranjak masuk rumah sebelum penghuni rumah yang lain memergoki kekonyolan saya di Minggu pagi itu.

2011-2000-2011.


Cerita Teman Saya, yang Kepala Sekolah

Saya membaca berita http://megapolitan.kompas.com/read/2011/07/29/10311085/Kepala.SD.Bekukan.Komite.Sekolah hari ini, Jumat tanggal 29 Juli 2011. "Kegiatan belajar mengajar di SDN Bambu Apus 04 Pagi di Jalan Laksamana VIII, Perumahan Padepokan TMII, Kelurahan Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (28/7/2011), telah berjalan normal seperti biasa. Sebelumnya pada Rabu (27/7/2011), terjadi penyegelan yang dilakukan oleh wali murid. Aksi penyegelan ini terjadi karena adanya tuntutan para wali murid untuk mengganti Kepala Sekolah SDN Bambu Apus 04 Pagi..."
Berita itu masih berlanjut tentang dugaan korupsi yang dituduhkan oleh pihak orangtua siswa terhadap oknum kepala sekolah tersebut. Deg, saya jadi teringat dua teman baik saya yang menjadi guru dan kepala sekolah di sekolah negeri. Dua-duanya mejadi sahabat saya sejak masih di bangku Sekolah Pendidikan Guru. Keduanya juga adalah sosok guru yang pendidik. Setidaknya itulah keyakinan saya. Dan keyakinan itu juga memastikan (semoga Allah melindunginya dari perbuatan tercela. Amin), bahwa keduanya adalah sosok yang tidak korup.

Teman saya yang guru, sekarang sudah berada di golongan IV A. Mentok hingga ia berhasil membuat penelitian. Dengan golongannya itu, ia mendapat lebih dari dua kali untuk ikut serta menjadi peserta seleksi kepala sekolah yang diselenggarakan instansinya. Dua kali juga ia berada di urutan lima (5) besar kandidat di kecamatannya. Dari urutan itu, maka atasannya akan memberikan kesempatan untuk maju terlebih dahulu dan syukur-syukur nantinya terpilih sebagai kepala sekolah definitif. Namun dua kali juga ia menolak menjadi kepala sekolah. Penolakannya karena dirasakan dia tidak 'siap' sebagaimana isyarat yang diberikan oleh salah seorang selektor kepala sekolah.

Karena ia tidak akan 'siap', maka pengangkatan kepala sekolah jatuh kepada nama selain dia. Begitulah yang menjadi prinsip teman saya yang guru ini. Ia tidak akan 'siap' atau bahkan 'menyiapkan' sesuatu yang berada diluar kompetensi seorang kepala sekolah. Yang pada ujungnya, jabatan kepala sekolah itu tidak akan pernah menghampirinya.

Oleh karenanya, hingga detik ini, saat saya menulis artikel ini, ia tetaplah seorang guru. Meski golongan kepangkatannya, usianya, pendidikannya, kompetensinya, telah mencukupi untuk menjabata sebagai seorang kepala sekolah di sebuah sekolah negeri.

Teman saya yang lain adalah kepala sekolahdi tingkat sekolah dasar. Ia sekarang ini sedang sibuk luar biasa untuk berkompetisi menjadi pengawas pendidikan. Sebuah jabatan yang secara struktural lebih tinggi dari jabatanya sekarang ini.
  • Apa motivasi untuk menjadi pengawas sekolah? Bukankah pengawas sekolah tidak akan mengelola dana BOS atau dana APBN/D? Tanya saya suatu kali ketika kami berkumpul untuk saling berbagi cerita beberapa bulan yang telah lalu.
  • Disitulah nikmatnya Gus. Menjadi pengawas sekolah berarti adalah saya terbebas dari mempertanggungjawabkan dana yang memang sulit dipertanggungjawabkan. Jelasnya. Saya memang tidak berusaha untuk mengejar apa yang dia maksud dari kalimatnya tersebut. Namun teman lain yang berada di sebelah kami memberikan penjelasan betapa jabatan kepala sekolah juga menjadi 'mengerikan' bagi teman-teman saya itu.
Dari sinilah saya mencoba merefleksikan isi berita yang alinea pertamanya saya muat di awal tulisan saya ini. Yaitu cara pandang yang harus saya pegang pada saat membaca, melihat, mendengar berita atau kabar seperti itu dengan penuh kehati-hatian, cermat, holistik, dan sabar. Inilah prinsip saya. Prinsip ini penting buat saya sendiri karena saya tidak ingin menjadi bahan atau barang yang ringkih dan mudah terbakar. Mudah tersulut atau bahkan disulut.

Jakarta, 29 Juli 2011.

05 July 2011

Catatan Perjalanan

Sabtu, 2 Juli 2011, menjadi tanggal yang istimewa untuk adik saya. Karena pada tanggal itulah ia melangsungkan pernikahannya. Juga bagi kami sekeluarga, merasakan kebahagiaan itu. Karena pada hari itu kami semua berkumpul dari berbagai tempat dan dari berbagai generasi.

Saya sendiri, untuk menghadiri acara itu dengan serombongan keluarga besar. Yang selain bertujuan untuk menghadiri dan menyaksikan acara pernikahan juga untuk mengunjungi tempat yang saat itu kami anggap wajib kami kunjungi sebagai tempat rekreasi. Tentu tempat yang memiliki kedekatan dengan acara adik.

Perjalanan menuju lokasi dimana adik saya menikah, kami lalui dengan perjalanan lebih kurang 14 jam dari Jakarta, dimana kami tinggal. Menempuh jalur selatan Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Alhamdulillah, tidak ada kendala yang kami jalani. Semua berjalan lancar. Jalanan yang sebelumnya kami perkirakan akan bertemu kemacetan, mengingat cerita beberapa teman yang dua pekan sebelumnya melalui jalur itu, tidak kami temui. Pukul 10.00 kai telah melewati Nagrek yang relatif lancar. Demikian juga pada saat kami melalui Malangbong. Semua kendaraan berjalan dengan baik dan lancar. Memang ada sedikit kendala yang berupa jalan rusak di daerah Karang Pucung, Jawa Tengah, tetapi kai sama sekali tidak menemui kesulitan, selain memang mengurangi kenyamanan dalam perjalan. Selebihnya lancar. Selepas waktu Isyak, kami telah sampai rumah tujuan kami di perbatasan Jawa Tengah dan DIY.

Selama perjalan kami menghadiri acara pernikahan adik saya, sempat kami berkunjung ke tempat wisata yang ada di daerah Gunung Kidul. Yaitu, Pantai Baron, Pantai, Kukup, Pantai Sepanjang, dan Pantai Krakal. Sebuah lokasi pantai yang beda dari pantai yang ada wilayah selatan Jawa. Karena daerah ini adalah daerah karst. Maka disitulah kekhasan dari pantai-pantai yang ada di daerah Gunung Kidul. Keempat pantai itu, ditampah satu lagi pantai Drini, adalah pantai-pantai yang berada saling berdekatan, dengan satu pintu masuk. Jarak antara Pantai Baron di arah barat dengan Pantai Krakal di arah timur, lebih kurang 8 kilometer.

Ada banyak penginapan terdapat di Pantai Baron, Kukup, dan Krakal, jika suatu kali Anda menginginkan bermalam di daerah pantai itu. Sememtara kami sekeluarga memilih bermalam di Kukup, setelah wisma yang kami inginkan sebelumnya penuh. Sebuah wisma yang bernama Kampoeng Baron, yang berada di bukit, setelah pintu masuk atau gerbang pantai.

Perjalanan kami di Gunung Kidul meninggalkan kesan yang menyenangkan. Selain infrastruktur jalan yang mulus, juga menemukan keindahan alam khas pegunungan. Bahkan jika Anda menginginkan berkunjung ke sana, sempatkan untuk singgah di Patuk, lebih kurang 4 atau 5 kilometer dari perempatan lampu merah Piyungan, yang menjadi pintu masuk ke Gunung Kidul dari Yogyakarta, untuk melihat kota Yogyakarta dari atas bukit. Malam hari akan menjadi waktu yang sangat memesona. Karena lampu kota akan meninggalkan kesan indah.

Pulang ke Jakarta, kami singgah ke Goa Jatijajar yang berada di perbatasan Kabupaten Kebumen dan Banyumas. Ada makanan khas yang kami ingini di lokasi ini. Yaitu pecel dengan tambahan kecombrangnya. Juga minuman tradisi yang bernama wedang uwuh. Lima ribu rupiah satu gelasnya.

Hambatan perjalanan baru kami temui ketika kami keluar dari Kabupaten Cirebon dan masuk di daerah Indramayu hingga Simpang Jomin. Ini karena ada beberapa titik jalan yang sedang di perbaiki sehingga jalan satu jalur harus dibagi menjadi dua arah.

Namun, dalam seluruh perjalanan yang kami lakukan itu, kami nilai sebagai perjalanan yang menyenangkan. Sebuah pengalaman yang baik bagi keeratan diantara kami sekeluarga.

Jakarta, 5 Juli 2011.

05 June 2011

Kejujuran dalam Hasil UN, Refleksi untuk UN SMP 2011

Keteguhan kami untuk tetap dan terus memegang kejujuran dalam pelaksanaan UN selalu diuji ketika UN masih kami persiapkan, dilaksanakan, hingga hasilnya keluar. Keteguhan ini tidak saja karena kebetulan saja motto sekolah kami adalah; jujur dan terhormat, yang selalu kami dan anak didik kami ikrarkan setiap pagi hari sebelum pelajaran dimulai. Tetapi karena kami yakin, seyakin-yakinnya bahwa, dengan menjadikan standar kompetensi lulusan (SKL) atau kisi-kisi Ujian Nasional dari BNSP (Badan Nasional Standar Pendidikan), yang kami jadikan sebagai peta belajar peserta didik kami dan peta bekerja kami sebagai guru di sekolah, jauh hari sebelum UN itu berlangsung, pasti akan berhasil.

Maka dari yakin itulah kami bertanya; Jadi untuk apa lagi kami harus melakukan ketidakjujuran dalam menghantarkan anak didik kami untuk sukses lulus, bahkan dengan nilai optimal, bila dengan jujurpun kami yakin bisa dapatkan itu? Inilah salah satu filosofi dasar kami untuk menghantarkan generasi di sekolah kami sebagai generasi yang jujur dan terhormat.

Karena SKL atau kisi-kisi adalah panduan bagi peserta ujian untuk menguasai apa yang akan diujikan. Dengan logika inilah kami justru dapat dengan gamblang membuat target seberapa persen keberhasilan yang kami inginkan. Logika ini juga membelajarkan kepada kami bahwa hasil Ujian Nasional hanyalah implikasi atau akibat atau konsekuensi dari ikhtiar cerdas dan keras kami.

Ketidakjujuran dalam memperoleh hasil ujian sebaik apapun, bagi kami, akan menjerumuskan kami Kepada lenyapnya percayadiri untuk yakin dapat berhasil. Juga akan menghilangkan etos kerja yang unggul pada diri kami. Dua bentuk perilaku yang justru merupakan pintu gerbang keberhasilan hidup yang sesungguhnya bagi kami dimasa nanti. Masa ketika peserta didik kami adalah penentu kehidupan diri mereka masing-masing dan lingkungannya.

Dan manakala percaya diri serta komitmen kerja keras dan cerdas yang merupakan benih bagi lahirnya etos kerja, maka berarti jalan kebohongan, ketidakjujuran, kelicikan, atau bentuk kerja yang tidak luhur lainnya, hanya akan melahirkan pola kerja atau etos kerja bobrok di masa berikutnya. Ia tidak akan berujung kepada keberkahan. Ia selalu akan melahirkan kesengsaraan dan ketidakbermaknaan hidup. Karena hidup telah teraliri oleh darah ketidaktentraman sejak dimulainya.

Hasil UN

Apa yang saya sampaikan di atas tidak lain dari kenyataan yang harus kami alami. Dimana dihari terakhir palaksanaan UN SMP pada Kamis, 28 April 2011, satu dari siswa kami memberikan testimoni bahwa jawaban yang didapatnya dari SMS adalah benar.

Tantu kami tidak percaya atas apa yang disampaikannya. Mengingat Ada 5 jenis soal UN dalam setiap ruangan ujian. Dengan dua pengawas ujian dari sekolah luar. Sehingga bilapun mendapat SMS tentu mereka harus benar-benar dituntut kepintaran juga untuk menentukan apakah kunci dari SMS tersebut cocok dengan model soal yang menjadi miliknya? Selain itu kami juga telah bersepakat bersama seluruh komponen sekolah untuk berpegang teguh kepada kejujuran. Namun itulah cerita yang tidak dapat kami percayai. Setidaknya ketika hasil UN belum dapat membuktikannya.

Dan kayakinan itupun datang bersamaan ketika kami terima daftar nilai hasil UN Kamis, 2 Juni 2011. Meski saat itu nilai masih menjadi rahasia kami, kami dibuatnya kaget, tidak percaya, dan gemes. Bahwa SMS yang semula tidak kami yakini, sedikit banyak telah membuat kami geleng-geleng kepala.

Bagaimana mungkin siswa yang sehari-hari berada di bagian tengah ke bawah, dalam nilai UN menjadi paling atas? Lalu kami berpikir, bagaiamana jika anak-anak itu nanti dipanggil untuk naik ke panggung atas 'keberhasilannya' itu saat pelepasan siswa kelas IX? Apa yang akan menjadi reaksi dari masing-masing pihak yang hadir.

Dengan kenyataan itulah saya membuat refleksi ini; Dimanakah kejujuran itu terlihat dalam hasil nilai UN peserta didik kita? Atau; Harus bagaimanakah kami berjuang mempertahankan prinsip hidup jujur dan terhormat itu dikemudian hari? Dan tanpa harus mengeluh, saya meminta semua dari kami, untuk tidak meninggalkan khittah perjuangan luhur kami. Meski udara tetap dipenuhi polusi kebohongan!

Jakarta, 5 Juni 2011

02 June 2011

Curug Cibogo, Cibodas


Perjalanan waktu telah merubah akses jalan menuju Curug Cibogo dari pintu gerbang masuk di Taman Cibodas tertata relatif baik. Meski akses jalan itu bukan merupakan konstruksi baru. Namun cukup membuat pengunjung, termasuk saya saat itu, merasakan kenyamanan saat memasukinya dan mengambil gambar sebagai kenangan.

Itulah yang saya alami saat mengunjungi lokasi wisata di Taman Cibodas yang berjarak tempuh lebih kurang tiga setengah jam perjalan dari Jakarta melalui jalur jalan tol Jagorawi, Puncak, hingga masuk di wilayah taman. Tentu dalam keadaan jalur lalu lintas ramai lancar.

Cahaya matahari yang terang tidak terasa hangat atau bahkan menyengat disini. Karena udara yang sangat sejuk membuat hangatnya matahari seperti tidak sampai di Cibodas. Saya harus berjalan lebih kurang 20 menit saja dari pintu gerbang taman. Jalan santai. Berdekatan dengan curug, terdapat pula Taman Sakura. Taman yang terlihat sangat jelas begitu kita memasuki jalan setapak menuju curug.

Namun seperti tempat wisata lain di tanah aor tercinta ini, yaitu keberadaan tempat jajanan atau warung yang beridiri baik secara legal atau mungkin ilegal, yang tidak bersinergi dengan kecantikan taman dan pesona alam yang disuguhkan. Seperti tampak pada gambar tersebut. Dimana warung tenda biru yang membuat pesona keindahan langsung lenyap begitu mata menatapnya.

Mungkinkah hal seperti ini tidak terjadi di masa mendatang saat anak atau bahkan cucu kita menjadi penguasa menggantikan kita di negeri tercinta ini? Atau mungkin justru sebaliknya yang akan terjadi? Semua bergantung kepada sejauh mana komitmen kita untuk menjaga 'tata krama' sosial yang dalam ranah ketatapemerintahan dinamakan peraturan. Mungkinkah? Semoga selalu mungkin. Amin.

Jakarta, 3 Juni 2011

01 June 2011

Di Manakah Jujur Berada?


Dimanakah jujur itu berada dalam khasanah hidup kita sekarang ini? Apakah masih berada dalam hati kita masing-masing sehingga masing-masing kita tidak mampu untuk saling mengintip? Apakah berada dalam buku catatan kita masing-masing. Apakah ada di dalam nilai ujian kita sehingga darinya akan tercermin dengan jelas pada angka-angka nilai ujian tersebut? Atau adakah jujur itu hanya tersimpan dengan apik di halaman kamus besar kita? Dimana? Bukankah jujur itu berada dalam ranah operasional kehidupan kita yang bernama amal?

Ini harus saya tanyakan karena saya merasa frustasi ketika menjadikan dan meyakini bahwa jujur adalah modal utama untuk mencapai kehebatan paripurna di kehidupan kita ke depan. Tapi dalam kenyataan hidup, jujur menjadi barang yang asing. Dimanapun di ranah hidup kita, hidup Anda, dan pastinya hidup saya. Jujur menjadi sulit kita jumpai tanpa terkontaminasi ketidakjujuran. Ia seperti menjadi satu.

Seperti hari ini dan hari-hari sebelumnya, belum selesai saya membaca halaman pertama dalam surat kabar, saya seperti mencium gelagat tidak jujur. Demikian juga dalam halaman-halaman berikutnya. Jikalau berita dalam koran atau surat kabar tersebut mempu bersaksi secara ‘live’ di hadapan kita, pasti gelagat itu akan menjadi semakin mudah saya tangkap. Dan kita semua menjadi pasti untuk memberikan ponten kepada pelakuknya.

Bahkan bukan saja ketidakjujuran itu hanya merambah di ranah politik, namun juga telah menghunjam dengan sangat dalam dan membekas dalam ranah kehidupan sekolah. Seperti juga proses pelaksanaan yang menggunakan dana atau bahkan untuk penilaian sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas.

Pendek kata, jujur, menjadi barang yang sangat langka. Dan oleh karenanya, tidak perlu kita mengharap kebaikan bagi generasi penerus kita akan menjadi lebih baik, karena sekarang saja kita telah melihat betapa tidak jujur menjadi salah satu jalan atau indikator tersembunyi dari sebuah nilai di rapot dan atau ijazah keberhasilan anak-anak kita. Sikap seperti ini bukan berarti saya pesimis melihat masa depan, tapi inilah refleksi kengerian saya terhadap apa yang  dilakukan oleh sebagian dari kita. Betapa kita telah mengharapkan sesuatu yang baik dimasa depan namun kita upayakan hari ini dengan sesuatu usaha dan jalan yang tidak baik?

Sulit, karena ketikapun kita telah bertekad untuk melaksanakan proses jujur itu selama mempersiapkan anak-anak kita tumbuh, masih ada penetrasi ketidakjujuran itu dari pihak luar kita yang  juga, sangat sulit bagi kita memproteksinya. Apakah perlu di masa mendatang kita menyita seluruh seluler siswa menjelang dan hingga akhir pelaksanaan ujian nasional?

Tapi haruskah begitu protektifnya kita untuk supaya proses jujur itu dapat berlangsung dengan baik?

Jakarta, 30 Mei-1 Juni  2011.

Terserang Penyakit Berhenti Menulis


Saya beberapa waktu kemarin tiba-tiba merasa terserang penyakit berhenti menulis. Terutama sejak pertengan bula Mei hingga hari ini, Senin, 30 Mei 2011. Penyakit yang benar-benar menyerang jiwa dan raga saya dengan parah. Dengannya, saya dibuat tidak berkutik sama sekali. Jadilah selama waktu itu saya tidak membuat refleksi tertulis di ‘buku’ saya yang manapun. Buku harian, blog, catatan, dan juga halaman tercinta ini. Semua saya biarkan kosong. Tidak tercermin darinya suasana apa yang sedang saya rasakan.

Apakah karena tidak ada kejadian yang pantas saya buat tulisan selama waktu itu? Tidak juga. Ada. Bahkan terlalu banyak jika saya menyebutnya satu persatu. Baik yang berkait dengan apa yang ada dalam diri saya atau juga yang ada di luar diri saya.

Apakah malas yang menjadi virus dari penyakit berhenti menulis itu? Tidak juga. Saya dengan tekad bulat sudah menyingkirkan sejauh yang dapat saya lakukan keberadaan virus malas itu. Walau kadang memang masih datang menghampiri saya, tapi hasil terapi yang saya jalani telah mampu menyingkirkan dan mengkarantinakan virus malas itu.

Lalu apa penyebab terserangnya diri saya ini oleh penyakit berhenti menulis itu? Tidak lain adalah data yang dapat saya percayai bahwa saya menulis hanya menghasilkan bunyi sunyi, katarsis yang tanpa memberikan resonansi pada dunia di sekeliling saya. Data inilah yang meyakinkan pada diri saya untuk tidak perlu lagi menulis. Apapun bentuk tulisan itu.

Tapi hari ini, saya mencoba untuk berpikir yang berbeda. Saya harus membuang jauh motivasi menulis saya. Saya tidak memperdulikan apakah ada atau terjadinya resonansi di sekitar saya dengan tulisan saya itu? Saya mencoba untuk tidak merasa besar atau merasa penting. Tidak juga merasa pintar, merasa lihai, atau juga marasa diperlukan dengan atau dari tulisan saya itu. Saya harus merasa biasa saja.

Saya harus merasa cukup bila ketika berhasil menulis adalah berarti saya telah beroleh pikiran yang akan melahirkan kebugaran dalam ranah kejiwaan. Sehat jiwa inilah tujuan akhir yang harus saya gapai dari kegiatan yang selama ini saya lakuan.  Itulah tujuan baru dari kegiatan saya menulis ini. Bukan untuk yang lain.

Semoga bermanfaat.

Jakarta, 30 Mei - 1 Juni 2011