Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

08 August 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #27; Mengapa Kami Berbenah?

Mengapa kami begitu giat melakukan transformasi di sekolah kami yang swasta? Meski sekolah kami adalah sekolah swasta yang dari awal berdiri hingga dekade 2010 memiliki siswa yang selalu penuh di kelas-kelas kami yang ada. Meski beberapa hal yang memberikan indikasi sesuatu yang 'berubah' pada perjalanan siswa baru sejak dekade 2000-an. Indikasi tersebut antara lain adalah tentang pergeseran demografi, sosial, dan ekonomi terhadap generasi yang masuk sebagai siswa kami jika kami melihatnya di era kami sejak sekolah kami berdiri hingga dekade 2000-an tersebut. Meski hingga tahun 2010-an sekolah kami masih belum memperlihatkan data siswa yang mengalami penurunan.

Namun sejak tahun pelajaran 2011 hingga tahun ini, 2016, data mengenai jumlah siswa kami yang menurun tidak dapat dipungkiri. Hal inilah yang membuat kami semua berbenah diri. Mencari tahu mengapa kami kekurangan siswa untuk memenuhi bangku kelas yang ada di ruang kelas kami.

Dan karena penurunan jumlah siswa tersebut juga menjadikan penurunan kepada jumlah kelas yang ada di sekolah kami, maka sebagai jalan keluar untuk menjaga kelebihan tenaga pendidik, maka beberapa langkah telah kami jalani. Seperti misalnya, tidak merekrut guru baru sebagai pengganti guru kami yang memasuki pensiun. Atau juga memberikan penawaran kepada Bapak atau Ibu guru yang memilih untuk pensiun lebih awal.

Mengapa keterpenuhan bangku siswa di kelas menjadi tolok ukur bagi kami? Ini karena kami adalah sekolah swasta yang sebagian besar biaya operasionalnya bersumber dari peserta didik yang ada. Untuk itu, tidak bisa tidak maka keterpenuhan bangku siswa menjadi impian kami.

Mengapa ada perubahan latar belakang keluarga yang masuk di sekolah kami belakangan ini? Karena perkembangan keluarga mampu yang ada di sekitar sekolah kami memungkinkan anggota masyarakat tersebut memilih sekolah yang sesuai dengan harapan mereka yang tentunya telah berubah dengan generasi masyarakat sebelumnya. Dan ini juga berarti masyarakat telah memiliki benchmark bagi sekolah yang berkualitas.

Setidaknya dengan beberapa hal tersebut diatas, maka kami sepakat untuk melakukan transformasi diri. Bahwa tidak dapat dipungkiri, masa lalu dan apa yang sedang kami terima sekarang ini adalah cermin untuk kami melakukan pembenahan, perbaikan, pembelajaran, dan transformasi.

Harapan dari semua itu tidak lain adalah eksistensi kami untuk dimasa-masa mendatang. Eksistensi yang panjang. Tentunya jika kami berkomitmen menjadi motivasi untuk terus  berbenah, berubah dan bertransformasi. Dan kami meyakini bahwa keberhasilan hanya kami dapat jika kami benar-benar dapat menjadikan diri-diri kami sebagai pribadi yang berdaya saing. Karena dengan demikian kami akan menjadi sebuah lembaga yang berdaya saing.

Dan berbenah menuju lembaga yang memiliki daya saing tidak lain jika kami secara jujur menemukan koordinat persaingan yang sekarang ini sedang menjadi tolok ukur masyarakat. Dan kami menemukan hal itu, yaitu dengan menjadikan kami, guru, sebagai pribadi yang memang unggul. Tentunya, sekali lagi, dengan parameter yang diyakini masyarakat sekarang ini. Semoga.

Jakarta, 8 Agustus 2016.

06 August 2016

Menemukan Sekolah Baru

"Pak Agus apakah sudah dapat kabar kalau Alif dan Alfa sudah pindah ke Sekolah Baru?" Pertanyaan seorang teman guru di ruang kantin sekolah, ketika kami bertemu pada awal pekan kedua sekolah memasuki tahun pelajaran baru, 2016/2017. Kebetulan kami sedang memesan makan siang di kantin.

Perlu saya sampaikan juga bahwa Alif dan Alfa beberapa waktu yang lalu datang ke sekolah untuk berkunjung dan sekaligus janjian untuk bertemu teman-temannya. Itu kalau tidak salah masih dalam pekan kedua di 2016/2017. Pada saat itu ia menceritakan bahwa mereka berempat berada di satu sekolah. Dan itu memungkinkan lebih enak dibanding dengan beberapa temannya yang ketika masuk sebagai siswa baru di jenjang pendidikan SMA hanya sendirian yang berasal dari sekolah yang sama.

Maka pada pertemuan waktu itu, yang saya ingin ketahui dari anak-anak alumni sekolah kami adalah apa yang mereka rasakan dengan sekolah barunya. Selain untuk anak-anak membuat katarsis jika ada, juga sebagai koreksi dari kita yang telah mereka jalani selama menjadi siswa kami.

"Bagaimana dengan kabar kalian semua? Apakah sudah mulai tune in dengan sekolah dan lingkungan barunya?" Kata saya saat itu. Dan mereka secara bergantian memberikan jawaban dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi dengan kesan yang sama, yaitu bahagia dengan sekolah barunya, dengan seragam barunya, dan juga dengan teman-teman barunya. Hanya dengan beberapa guru yang mereka sampaikan catatan khusus sekali.

Lalu waktu itu saya mencoba ingin tahu lebih jauh mengapa kepada guru mereka memberikan catatan khusus. Saya ingin tahu hal itu, karena setidaknya pandangan mereka akan bisa memberikan kepada saya masukan harus berbuat seperti apa kedepannya. Dan diantara mereka memberikan pandagan sesuai apa yang mereka persepsikan. Seperti guru yang dandannya menor, tertib sekali sampai gerak saja ngak bisa, badannya bau rokok, bahasanya judes sekali, sudah terlalu tua, dan beberapa kalimat lain yang saya sendiri ssmpai lupa menceritakannya disini.
.
Pendek kata, yang dapat saya simpulkan dari apa yang mereka sampaikan tersebut adalah, adanya perbedaan antara budaya kami di sekolah ketika mereka semua manjadi siswa kami, dengan sekolah mereka yang baru, yang jumlah siswanya ada 34 sampai dengan 38 siswa dalam satu ruang kelas.

Dan kembali lagi dengan pertanyaan teman saya berkenaan apakah saya sudah tahu kalau Alif dan Alfa sudah pindah sekolah ke sekolah lainnya meski tahun pelajaran baru dua pekan berjalan? Rupanya itu semua antara lain yang menjadi alasan anak-anak alumni itu hanya memasuki sekolah yang menjadi 'pilihannya' selama 10 hari sekolah. Maka kabar bahwa Alif dan Alfa serta beberapa temannya pindah sekolah di awal tahun pelajaran baru segera kami jadikan bahan diskusi. Ini tidak lain karena kami ada di sekolah swasta. Setidaknya diskusi kami akan mengerucut untuk pengembangan budaya sekolah yang positif. Terutama bagi anak-anak yang mengawali masuk sekolah sebagai sekolah baru mereka!

Jakarta, 28 Juli- 6 Agustus 2016

05 August 2016

Gelombang Tsunami

"Kami masuk ketika sekolah akan kembali normal kurang dari dua hari Pak." Demikian seorang alumni datang kepada saya bercerita tentang sekolah barunya. Mereka berkunjung bersama-sama untuk saling bertukar kangen di halaman sekolah ketika jam bubaran sekolah.

"Jadi kami teman-teman yang masuk sekolah itu hanya H-1 pekan, menyebutnya sebagai gelombang tsunami Pak." Demikian lanjutnya. kebetulan kalimat tersebut disampaikan tidak dalam situasi yang ramai. Karena kami mengobrol agak terpisah dengan anak-anak yang lain yang benar-benar asyik dengan seragam barunya masing-masing.

Baik warna seragamnya yang menjadi berubah, juga adalah identitas yang ada di baju yang mereka kenakan. Bahkan beberapa anak perempuan juga berubah. Terutama bagi mereka yang kemudian mengenakan hijab dengan lebih rapi dan bagus. Alhamdulillah.

"Apa yang kamu maksudkan dengan gelombang tsunami? Memang ada pendaftaran siswa baru yang masuknya melalui gelombang tsunami?" tanya saya kepada anak tersebut.

"Iya... iya... Apa yang kamu maksud dengan gelombang tsunami itu?" Sambung teman yang ada disebelahnya. Ia ikut nimbrung terhadap apa yang sedang kami perbincangkan berkenaan dengan masuk sekolah di awal tahun pelajaran baru.

"Maksudnya kalau  teman-teman saya yang lain yang masuk sekolah tersebut melalui pendaftaran normal. Dan ketika mereka diterima maka mereka langsung melakukan penyelesaian administrasi. Juga yang diterimanya masuk dalam cadangan, maka ketika ada anak yang diterima tetapi tidak mengambil tanda terimanya, atau mengundurkan diri, maka mereka bisa masuk. Mereka-mereka ini masuk melalui gelombang pendaftaran peserta didik baru melalui jalur gelombang yang normal. Kalau saya tidak normal Pak." Jelasnya dengan runtut.

"Karena tidak normal itulah maka kamu masuk sekolah itu melalui gelombang tsunami?" Saya mencoba memperjelas apa yang menjadi penjelasannya.

"Iyalah Pak. Saya kan ketika ikut masuk dalam gelombang normal bersama teman-teman yang diterima dan cadangan itu, statusnya TIDAK DITERIMA. Makanya ayah dan ibu selalu bertanya kepada pihak sekolah agar tetap dapat diberikan kesempatan untuk dapat masuk. Maka ketika H-2 sekolah menelepon orangtua saya, orangtua saya langsung melakukan kelegkapan administrasinya."

Saya dan teman-teman anak itu hanya tersenyum atas penjelasannya berkenaan dengan masuknya dia di sekolah terkenal se-Indonesia itu melalui jalur gelombang tsunami...

Jakarta, 5 Agustus 2016

29 July 2016

Hadiah Sepatu untuk Teman

Saya mendapat kesempatan untuk mendengar cerita mengharukan sekaligus membanggakan dari peserta didik saya yang sekarang baru saja duduk di bangku kelas enam SD. Dan beruntung, cerita saya dapat dari anak-anak ketika kami berada di halaman sekolah menemani anak-anak yang belum di jemput oleh penjemputnya di waktu pulang sekolah.

"Pak Agus lihat enggak kalau sepatu Alif itu baru?" Kata seorang anak kepada saya. Kami berdiri di pinggir lapangan futsal sekitaran ber-empat. Saya dan tiga anak laki-laki kelas enam. Dua anak lainnya menyaksikan dengan sungguh-sungguh raut muka saya. Sementara anak-anak di lapangan tengah sibuk juga dengan bola yang menjadi rebutan mereka.

"Oh iya. Benar. Pak Agus liat sepatu baru yang sedang Alif pakai. Wah... keren sepatunya." Kata saya sebagai balasan dari pertanyaan itu setelah mengamati sepatu yang Alif sedang kenakan ketika yang bersangkutan sedang berada di dalam lapangan. Sepatunya warna hitam polos dengan logo merk berbentuk strip warna putih terang di bagian samping sepatu. Alif, si pemakai sepatu, asyik dengan bola yang menjadi pusat perhatiannya.

"Itu kami yang membelikan untuk dia Pak. Itu sepatu hadiah kami untuk ulang tahun Alif ketika kami duduk di kelas lima. Kami patungan beberapa anak, lalu Putri inisiatif untuk membelikannya. Oh iya Pak. Putri yang pertama kali mengusulkan kepada kami untuk membelikan sepatu sebagai hadiah ulang tahun Alif." Saya terhenyak dengan paparan cerita itu. Ini benar-benar menjadi momen bagi saya untuk mendengar testimoni sebauh kegiatan mulia yang anak-anak rancang dan sekaligus mereka jalankan!

"Mengapa kalian mempunyai ide keren seperti itu?" Tanya saya spontan. Saya masih berpikir tentang bagaimana anak-anak itu melahirkan perilaku mulia sebagaimana yang telah ada di lapangan operasional tersebut? Karena hal ini menjadi hal yang luar biasa mengena bagi pendidikan karakter anak-anak.

"Ya awalnya kami melihat Alif selalu mengenakan sepatu yang telah robek parah Pak. Terus ketika suatu kali kami tanya mengapa sepatu sobek masih di pakai? Dia ilang karena sepatunya enak dipakai. Sehingga sudah terlanjur pewe. Lalu Putri mengsulkan agar kami patungan untuk membelikannya sepatu. Nah pas ulang tahunnya menjadi waktu yang paling tepat untuk memberikan sepatu baru yang kami belikan. Dan alhamdulillah, Alif memakainya keesokan harinya. Kami semua senang." Cerita anak laki-laki tersebut.

Jakarta, 29 Juli 2016.

25 July 2016

Mudik 2016 #18; Dunia Serasa Sempit

Ketika kami menjalani perjalanan yang terasa berbeda di mudik Idul Fitri 2016 ini, karena beberapa diantara pemudik harus menjalani perjalanan mudiknya dengan menempuh perjalanan yang relatif sama tetapi dengan waktu tempuh yang benar-benar mencengangkan, tetapi tetap juga membekaskan pengalaman yang menarik untuk diceritakan kembali. Setidaknya ketika kami berbagi cerita mudik pada saat bertemu teman-teman di Jakarta dalam kondisi yang santai.


"Saya juga ikut terjebak macet di Exit Brebes." Kata teman saya ketika kami bersama-sama bertemu untuk kali pertama di bulan Syawal pada Sabtu, 23 Juli 2016 di wilayah Cipete, Calandak, Jakarta Selatan.

"Terus bagaimana kondisi yang dialami Mas?" Tanya saya. Sekaligus mengkonfirmasi bagaimana cerita asli dari pelaku utama yang masuk dalam macet Brebes di perjalanan mudik Idul Fitri tahun 2016 ini. Apakah juga seperti apa yang diceritakan orang.

"Alhamdulilllah, dalam kondisi yang demikian itu, kami sekeluarga diberikan kekuatan dan ketenangan. Bayangkan di dalam situasi Ramadhan. Dari atas terik matahari yang semakin terasa dan dapat menguras tenaga. Sementara dari bawah kendaraan, panas dari aspal yang memantul ke atas juga memberikan kontribusi ketidaknyamanan. Tapi kami teringat apa yang menjadi pesan Baginda Rasulullah. Yaitu berdzikir. Maka panas, haus, dan kapar tidak menjadi halangan utama bagi kami sekeluarga." Demikian teman kami menyampaikan pandangan matanya kepada kami. Dia berangkat dari Jakarta pada hari Ahad, 3 Juli 2016 untuk tujuan mudik di Nganjuk, Jawa Timur. Dan sampai Nganjuk pada Selasa, 5 Juli 2016 menjelang dini hari.

Apa yang disampaikannya dengan menunggu waktu hingga benar-benar melewati dan lolos dari jebakan macet di Brebes yang begitu lama serta membosankan, dilaluinya dengan melaksanakan puasa Ramadhan dan berdzikir. Sebuah hal yang dapat saya jadikan pelajaran.

"Kami juga mengalami hal yang sama. Hanya tujuan kami ke Solo. Dan sungguh menggembirakan ketika kami bertemu dalam lapangan parkir yang berdekatan ketika sam-sama istirahat di POM Bensin MURI di Tegal. Betapa lautan manusia tetap tidak dapat menghalangi kenyataan bahwa bumi sempit." Jelas teman saya lainnya. Saya menyimak semua apa yang menjadi cerita teman-teman itu. Hingga akhirnya giliran saya untuk memulai cerita.

Jakarta, 25 Juli 2016.

Mudik 2016 #17; Bertemu Teman Lama

Sebagaimana yang pernah pula saya buat catatan tentang mudik dan kegiatan temu kangen atau sering disebut juga reuni, maka kagiatan mudik saya pada 2016 antara lain adalah bertemu dengan teman lama, persisnya teman-teman yang dulu sama-sama belajar di bangku Sekolah Pendidikan Guru, SPG antara tahun 1981 hingga tahun 1984. Dan diantara teman lama itu, ada sekitar sepuluh orang diantara mereka yang memang saya rutin bertemu. Baik ketika ada kegiatan di Jakarta atau ketika saya pulang kampung dan bersama-sama makan siang di sebuah tempat yang kami sepakati. Tapi sebagian besarnya tidak berjumpa setelah kami berpisah sejak tahun 1984! 
Foto kenangan tahun 1984, yang menjadi panduan saya untuk mengingat teman lama.

Dan kepada mereka yang telah begitu lama itu, ada diantaranya yang menyangsikan ingatannya tentang sosok yang dulu dikenal, meski sebaik apapun. Termasuk dengan saya sendiri. Bayangan raut muka dan ukuran badan di tahun 1984 itu saja yang masih melekat. Dan ketika berjumpa, benar-benar total berbeda. Hanya suara dan gaya bicara saja yang meyakinkan kepada saya bahwa dia adalah orang yang dulu pernah bersama di bangku kelas!
Hampir semua kami berubah kecuali hanya 1 teman kami yang persis sama saat pertemuan 10 Juli 2016.

Jakarta, 25.07.2016.

21 July 2016

Mudik 2016 #16; Jangan Ajari Kami tentang Mudik

Ketika tol baru di Brebes di resmikan oleh Pesiden dan menjadi andalan bagi semua pemudik untuk mencobanya secara bersama-sama dalam waktu yang juga kebetulan sama di musik mudik Idul Fitri 2016 ini, maka kemacetan yang berkepanjangan dan menyisakan sebagiannya adalah cerita duka. Inilah yang antara lain menjadi bagian dari fenomena mudik. Dan fenomena ini, bagi saya pribadi, adalah bagian dari romantika perjalanan bersilaturahim.



Dan untuk hal yang demikian, maka jangan pernah para pengamat atau para orang pintar atau siapa saja yang ada di koran atau media tivi dan atau media lainnya untuk mengajari saya tentang mudik. Apa lagi pendapatnya hanya ingin agar kami tahun-tahun yang akan datang mengambil pelajaran  atas perjalanan mudik Idul Fitri tahun 2016 ini, untuk tidak mengambil waktu mudik diluar waktu puncak mudik atau bahkan agar tidak melakukan mudik sekalian.

Karena apa yang menjadi kata-kata mereka, pendapat mereka, saran mereka, tidak peduli pula kalau mereka sekarang sedang menjabat jabatan yang seharusnya menjadi penyedia sarana mudik bagi kami, tidak akan menjadi pertimbangan saya untuk melakukan mudik di Idul Fitri 2017 nanti. Sama sekali tidak.

Oleh karena itu, atas apa yang para ahli telah sampaikan kepada masyarakat pada saat wawancara atau talk show, biarkan saja itu menjadi pengisi waktu tayang televisi. Namun sungguh kami tidak membutuhkan insiatif mereka dalam perjalanan mudik kami.

Dan sekali lagi, perjalanan mudik yang kami lakukan secara swadaya ini tidak lain hanya membutuhkan peningkatan kualitas jalan yang akan menjadi rute perjalanan kami yang berkendaraan roda empat, dari para pemangku kepentingan dan para pengamat ketika dimintai pendapatnya. 

Jakarta, 21 Juli 2016.

19 July 2016

Mudik 2016 #15; Buka Tutup dan Contra Flow!

Sebagai sesama pemudik di Idul Fitri 2016 ini, saya ingin menyampaikan berbelasungkawa bagi pemudik yang telah kehilangan orang-orang tercintanya pada saat melakukan perjalanan mudiknya. Kepada yang ditinggalkan semoga selalu dilimpahi kesabaran dan ketabahan dari Allah Swt. Juga rasa bangga atas ketabahan dan daya tahan yang sungguh luar biasa, yang telah dibuktikan di sepanjang rute mudik atas perjalanan yang tidak sepenuhnya sesuai harapan. 

Meski pada akhirnya para pemangku kepentingan bersilang pendapat berkenaan dengan kemacetan tersebut, saya sebagai warga negara tidak membutuhkan sama sekali terhadap apa yang diomongkan. Bahkan saling melempar tanggungjawab, sebuah situasi yang seharusnya sekarang ini merekalah yang temukan solusinya.


Buka Tutup dan Contra Flow!

Maka ketika berita parahnya jalur yang berada di Brebes oleh kendaraan para pemudik, hingga hampir-hampir kondisi demikian melupakan dan menanggalkan perilaku gotong royong sebagai bagian dari revolusi mental, dengan berlaku kreatif yang pada ujungnya adalah kepada pengerukan keuntungan dari para pemudik yang terjepit. Para pemudik yang memang benar-benar tidak ada pilihan selain menerima dan membeli. Tidak ada belas dan kasihan kepada pemudik yang terlanjur terjebak.

Hal ini terlihat sekali bagaimana misalnya, nasi bungkus dengan lauk telor dihargai Rp 30,000 per bungkus, atau toilet dadakan dengan terpal biru ala kadarnya di sekitar jalur mudik, atau premiun 1 liter dengan kisaran harga dua puluh ribu hingga 90,000! Semua itu menjadi bentuk bagaimana para pemudik harus melakukan transaksi. Tidak peduli bahwa diantara pemudik itu adalah mereka yang mengendari kendaraan dengan patungan untuk menyewa mobil demi keperluan mudiknya. Semua ikhtiar itu tidak lain hanya untuk bergerak maju, berjuang untuk keluar dari Brebes!

Bersyukur, bahwa dalam kondisi demikian menjadi pelajaran bagi saya dan teman-teman yang lain untuk memilih rute perjalanan yang lebih kondusif. Maka pada situasi seperti inilah saya dengan penuh ketulusan menyampaikan penghargaan kepada petugas kepolisian di wilayah lain, yang telah bekerja begitu sungguh-sungguh, begitu cekatan, dalam memperlakukan pemudik yang lain, yaitu pemudik yang mendapatkan kesempatan merasai rekayasa lalu lintas yang selama ini kami alami ketika Sabtu dan Minggu kami menuju ke Puncak, Bogor.

Yaitu dengan model buka tutup dan bahkan contra flow. Sebuah rekayasa lalu lintas yang saya menilainya sebagai peningkatan kesungguhan dan kecerdasan mereka dalam melayani kami dalam situasi yang memang padat kendaraan. Karena kebijakan seperti ini, selama ini Pak Polisi menjalankannya jauh lokasi arus mudik, yaitu di daerah Puncak, Bogor.

Sebagaimana yang saya dapat rasakan ketika pada Kamis, 7.07.2016 pukul 09.00 di wilayah Ciawi menuju Banjar, Jawa Barat. Dan juga ketika kami berada di Kadipaten-Malangbong menuju Nagrek dan lanjut Cicalengka ketika jam telah menujukkan pukul 00.00 pada Kamis, 14.07.2016, arus lalu lintas tiba-tiba bergerak lancar. Dan saya melihat Bapak-Bapak Polisi begitu sigap dan trengginas mengaturnya meski dengan sepeda motor metik milik pribadi.

Hal yang jauh berbeda ketika kami melihat para pengatur lalu lintas tersebut berada di pos jaganya menunggui lampu lalu lintas yang tetap mengatur kami seperti biasanya, di waktu arus lalin normal, di dua perempatan lingkar luar di daerah Kebumen. Butuh waktu tidak kurang 60 menit untuk lolos dari daerah itu. Padahal akan berbeda jauh jika lampu lalin itu 'direkayasa' untuk kepentingan pemudik dengan berbagi dengan penduduk setempat. Hanya, usaha 'rekayasa' lalin memang membutuhkan usaha dan tingkat kepedulian yang jauh lebih tinggi dari yang menunggui lampu lalin.

Harapan saya sebagai pemudik, semoga musim mudik yang akan datang, kami tidak diuji lagi untuk sabar menanti kondisi parkir di jalanan, termasuk di jalan tol, karena jalanan padat oleh mereka yang mudik memang benar-benar DAPAT DIPREDIKSI. Sehingga memang dapat diantisipasi.

Jakarta, 19.07.2016.

15 July 2016

Mudik 2016 #14; Wisata

Mudik bagi saya dan keluarga adalah wisata. Apakah itu mengunjungi lokasi wisata yang ada di sekitar kampung halaman. Mencoba sesuatu yang ingin kami ketahui lebih jauh lagi. Atau seperti teman-teman pemudik yang lain, menyantap makanan yang memang unik yang ada di lokasi tujuan mudik. Begitulah kira-kira hal yang kami lakukan pada kegiatan udik tahun ini, 2016.
"Perjalanan' menuju Goa Japang yang berlokasi di daerah Gunung Merapi, Kaliurang, DI Yogyakarta

Dimana, tahun 2016 ini, saya harus mudik di dua lokasi yang berdekatan. Orangtua yang berdomisili di daerah Purworejo, Jawa Tengah sebagai lokasi pertama dan utama tujuan mudik saya. Dan juga di Sleman, DI Yogyakarta sebagai lokasi kedua saya, dimana disana tinggal anak dan cucu saya.
Menemani anak membuka dan memakan kenthos, yang ada pada tunas kelapa.
Dan dalam dua lokasi yang berbeda dan berdekatan itulah kami menikmati hari-hari mudik bersama keluarga besar yang ada, yang kebetulan sama-sama melakukan perjalanan mudik. Termasuk diantaranya menemukan menu kuliner baru, seperti Tengkleng Gajah, Angkringan Gajah, Sate Kelinci, atau Bacem Kepala Kambing.
Foto bersama Pak Haji Sukirman (Foto paling kiri), pencetus kuliner Bacem Kepala Kambing yang berlokasi di belakang Pasar Kolombo, Jalan Kaliurang Km 7, Sleman, DI Yogyakarta.
Jakarta, 15.07.2016

Mudik 2016 #13; Memantau Berita Mudik

Menjadi kebiasaan bagi saya untuk selalu 'nguping' dan kepo terhadap berita seputar perjalanan mudik di setiap tahunnya. Utamanya ketika saya juga benar-benar akan mudik. Seperti pada Idul Fitri 1437 H atau 2016 ini. 


Lewat Tweeter, saya akan me-refresh berita yang saya follow secara berkala. Ini tidak lain saya ingin melihat bagaimana teman-teman pemudik dalam melakukan perjalanan mudiknya. Baik waktu perjalanan atau juga rute perjalanan yang mereka pilih. Selain untuk melihat tren para pemudik, saya juga mengikuti berita mudik sebagai hal yang benar-benar membawa angin kegembiraan. Sakalipun misalnya saya tidak melakukan perjalanan mudik. Tetapi membaca berita, yang kebanyakannya adalah hanya melihat head line yang ada di layar Tweeter, cukup memberikan aura liburan Idul Fitri.


Selain Tweeter, untuk kebutuhan perjalanan yang memang saya akan jalani, tidak jarang membuka peta dan kembali mengira-ira rute jalan yang memungkinkan menjadi pilihan rute mudik. Daerah mana saja yang terdapat di peta tersebut yang akan kami lalui. Beruntung bahwa peta sekarang tidak saja tersedia di toko buku tertentu yang dibagikan secara gratis pada setiap tahunnya yang diterbitkan oleh stasiun radio swasta di Jakarta, tetapi juga melalui aplikasi yang ada di seluler.

Dan satu lagi media yang saya juga gemar menggunakannya. adalah SMS ke stasiun radio yang memang fokus kepada perkembangan kondisi jalan dari waktu ke waktu. Terimakasih. 

Jakarta, 15.07.2016.

Mudik 2016 #12; Trik tidak Terjebak pada Pilihan yang Sama

"Kalau menemukan jalan tikus (jalan alternatif maksudnya), jangan bilang-bilang ke orang lain. Kalau bilang-bilang nanti bukan jalan tikus lagi." Demikian suatu saat di obrolan saya dengan orangtua siswa saya di tahun 1986 di saat acara ulang tahun salah satu siswa saya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit di wilayah Bekasi. Padahal beliau tinggal di daerah Cinere. Karena jarak yang tidak pendek itulah maka saya bertanya bagaimana sehari-hari beliau pergi dan pulang kantor? Maka itulah jawaban yang bersangkutan pada waktu itu.

Selain itu, beliau juga menyampaikan pendapatnya kepada kami yang ikut serta dalam lingkaran obrolan tersebut bahwa; "Di Jakarta, jauh dekat itu relatif Pak Agus. Yang utama adalah tidak macet." Demikian antara lain yang masih terekam dalam ingatan saya hingga sekarang ini. 

Percakapan yang masih hangat dalam ingatan saya tersebut muncul kembali pada era mudik tahun ini, 2016. Seperti tahun-tahun sebelumnya, bahwa musim mudik memunculkan kemacetan di jalur yang dilalui pada jalur mudik yang sama dan waktu yang bersamaan. Perbedaannya dari tahun sebelumnya dengan tahun-tahun belakangan ini adalah tingkat kemacetan yang jauh lebih kompleks dan pastinya lebih panjang antriannya. Meski jalan terbangun dan telah dioperasikan sebagai sarana mudik. 

Lalu bagaimana saya menyiasati kondisi seperti itu yang berulang pada setiap tahunnya pada musim mudik Idul Fitri? Supaya saya tidak masuk dalam kelompok yang terjebak dalam pilihan rute jalan dan waktu yang sama? 

Sederhana saja. Pertama, Seperti pendapat orangtua siswa saya di tahun 1986 itu, bahwa saya membaca berita yang berkenaan dengan rute perjalanan mudik teman-teman serta berita tentang volume kendaraan yang ada. Pada hari ini, berita itu dapat saya akses jauh lebih up date dan jauh lebih lengkap
Berita tentang kemacetan di Republika.
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini berkat dari teknologi komunikasi. 

Kedua, Hasil dari apa yang dipercakapkan orang tersebut menjadi pegangan buat saya dalam diskusi dengan keluarga untuk berangkat kapan dan sekaligus mengemukakan rute jalan yang akan kami lalui. Ini penting supaya anggota keluarga saya bersiap secara lahir dan batin. Bahkan pilihan rute dan waktu berangkat pun, tidak jarang berubah, hanya untuk mengikuti arus kendaraan yang ada di berita. Sekali lagi, usaha ini tidak lain agar kami tidak terjebak pada pilihan rute jalan dan waktu mudik yang bersamaan dengan pemudik yang lain.

Ketiga, saya memilih apa yang kadang sebagian besar teman-teman pemudik tidak terpikir. Misalnya pengambilan rute mudik, yang kadang akan menempuh jalan lebih jauh dan berliku, yang pasti tidak semua orang akan malas melakukannya karena terpikir olehnya jauh. Tetapi saya memilih itu karena meski perjalanan akan jauh lebih jauh tetapi jauh lebih lancar. Sedang sebagian besar pemudik akan memilih rute jalan utama. Seperti jalur Pantura, Tol, atau Jalur selatan. Saya sering mengkombinasikan dengan perhitungan waktu sepi ketika masuk pada jalur kecil atau jalur alternatif.

Keempat, Beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang pilihan jalur mudik yang sebagiannya adalah jalur wisata atau jalur alternatif, adalah; "Apakah Pak Agus tidak khawatir ada apa-apa ketika berada pada jalur sepi di saat yang tidak banyak orang?" Saya menjawabnya dengan apa yang menjadi pemikiran saya. Yaitu saya tidak berpikir yang tidak sesuai dengan harapan saya terhadap jalur mudik yang akan saya pilih. Jadi saya selalu optimis bahwa jalur yang saya pilih adalah jalur mudik yang akan memberikan nuansa baru yang menyenangkan bagi perjalanan mudik kami.

Itulah yang menjadikan anggota keluarga saya tetap menikmati perjalanan mudik dengan kendaraan sendiri meski dimusim padat, di masa mudik Idul Fitri.

Jakarta, 15 Juli 2016.

30 June 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #26; SMS dan Surat Kaleng

"Menyampakan keberatan dan masukan untuk pengelola sekolah. Bahwa ada Kepala Sekolah yang terpilih, yang sebelumnya bukan sebagai Wakil Kepala Sekolah? Apakah ini yang namanya kaderasasi?" Demikian SMS yag diterima teman dari nomor yang selama ini tidak tercatat di seluler kami semua. Saya pribadi setelah mendapat forward dari teman yang mendapat SMS tersebut mencoba mengecek kepada teman yang lain tentang nomor asing tersebut. Tetapi semuanya tidak pernah mencatat dengan nomor yang ada. Akhirnya kami sepakat untuk tidak perlu menjadikan SMS tersebut sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Kaderisasi? Memang seharusnya demikian. Ketika seorang Kepala Sekolah karena suatu hal apa dan mengharuskannya untuk bertukar tempat atau mutasi atau bahkan pensiun, maka penggantinya yang paling dekat adalah salah satu dari wakilnya yang ada. Tetapi dalam kenyataannya tidak semua para wakil kepala sekolah, meski menduduki jabatannya tersebut lebih dari lima tahun, tidak semuanya memiliki kompetensi untuk memimpin sebuah sekolah.

Itu jugalah yang antara lain menjadi kendala bagi kami yang mengelola sekolah swasta. Pemilihan akhirnya kami buka untuk guru selain  yang mendapat tugas sebagai Kepala Sekolah. Ada yang masih posisi guru, bahkan guru muda dengan pengalaman bekerja pada posisi guru lebih kurangnya 10 tahun.

Maka ketika dalam panel diskusi yang kami gelar secara terbuka, termasuk diantaranya adalah memberikan kesempatan kepada semua Wakil Kepala Sekolah dan juga para guru-guru untuk mengajukan tulisan yang memberi isyarat untuk mau terlibat dalam audisi yang kami gelar.

Dan ketika audisi berakhir, kemudian kami harus mendiskusikan untuk mengumpulkan semua informasi yang ada guna mengambil kesimpulan, maka justru semua Wakil berguguran dikalahkan oleh seorang guru yang berkobar semangatnya, jelas strategi penerapannya, serta fokus kepada penanganan operasional sebuah sekolah.

"Kami menyayangkan atas terpilihnya si A karena sebelumnya si A bukankah adalah seorang Wakil Kepala Sekolah?" Demikian antara lain bunyi sebuah kalimat yang saya terima langsung dari pengirim via pos surat. Surat tanpa nama lengkap pengirim selain hanya mencantumkan inisial. Yang sekali lagi sulit bagi kami untuk dapat menemukan siapakah orang tersebut?

Dan sama penanganannya. Kami tidak terlalu  menjadikan SMS dan surat kaleng tersebut sebagai masukan berharga. Hasil rapat kami tetap pada keputusan awal kami untuk emilih mereka yang telah memberikan keyakinan kepada kami sebagai pengeliola tentang bagaimana melakukan pengelolaan sekolah swasta yang baik.

Mungkin orang dalam yang telah membuat surat kaleng dan mengirimkan SMS itu memiliki keyakinan akan efektivitas atas apa yang dimintanya, untuk kemudian kami terpengaruh sehingga keputusan yang kami ambil bisa fatal. Namun kami justru meyakinkan diri bahwa apa yang telah kami diskusikan dan kami simpulkan tersebut adalah suatu hal yang baik, Demikian.

Jakarta, 30 Juni 2016.

29 June 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #25; Pemimpin di Sekolah

Dalam sebuah perjalanan sekolah yang sedang giat melakukan pembelajaran diri secara internal, maka kepada kami disadarkan akan adanya sosok yang telah atau setidaknya sedang melakukan perjalanan dalam menginternalisasi semangat perubahan itu sendiri. Dan tokoh seperti ini menjadi keberuntungan buat kami ketika ada unit sekolah di bawah kami yang telah memilikinya. Namun bagaimana jika di unit sekolah ternyata tokoh itu justru tidak berada di jajaran pimpinan yang ada?

Terhadap yang telah ada, kami mensyukurinya. Kami mengajak yang bersangkutan untuk kembali menata dan kemudian membuat atau menyusun peta perjalanan menuju arah yang kita inginkan bersama sesuai dengan semangat lingkungan yang menuntut kami untuk melakukan pergerakan yang lebih cepat dan signifikan. Juga kami pastikan apa yang memang seharusnya kami jalani bersama-sama dengan guru. Termasuk di dalamnya mendiskusikan bagaimana jalan yang ingin kami lalui. 

Kami buat bersama-sama parameter impian yang sama-sama kami pahami bersama. Jika keberangkatan kami itu terasa berat dan menyesakkan hati, kami akan menemui teman-teman di luar sekolah, baik kami undang beliau untuk sharing dengan kami, atau kami sendiri yang melakukan kunjungan ke beliau dalam format benchmarking, sebagai cara atau wahana bagi kami untuk terus berjalan maju. Karena dengan dua kegiatan semacam itu akan memungkinkan bagi kami mengukur diri atas koordinat sosial yang ada. Dan pengetahuan kami terhadap pada posisi mana kami berada di koordinat sosial tersebut akan memberikan semangat baru.

Kami juga mendengarkan apa yang seharusnya ada di dalam sekolah. Dan pemimpin di unit sekolah kami akan benar-benar menjadi narasumber bagi kami dalam mengambil kesimpulan dan keputusan untuk sebuah keberhasilan. 

Lalu bagaimana dengan unit sekolah yang memang sosok yang dibutuhkan belum pada tataran tersebut? Tidak bisa tidak, kami harus terus bergerilya, serta memacu waktu untuk pencapaian tersebut.

Kami meminta masukan di lapangan akan seperti apakah langkah yang harus kami jalani. Bagaimana tahapan yang harus kami pilih. Apa yang sesungguhnya memang harus kami simpulkan.

Masukan-masukan tersebut kami perlukan untuk langkah berikut. Dan ketika langkah berikut telah kami pilih sebagai kesepakatan, maka itulah yang akan menjadi fokus dan komitmen kami hingga diujung perjalanan nanti kami harus berakhir. Semoga.

Setidaknya, bagi kami, sosok yang akan kami pilih sebagai pemimpin di sekolah adalah sosok yang mampu, atau setidaknya tokoh yang memiliki keinginan sangat kuat dalam menginternalisasikan visi kami dalam perjalanan membangun budaya di sekolah. Membangun visi tersebut ke dalam individunya, lingkungannya, terutama kepada seluruh guru-gurunya, yang pada akhirnya kepada seluruh masyarakat sekolahnya.

Jakarta, 29 Juni 2016.

Mudik 2016 #11; Persfektif Saya, Menikmati Perjalanan

Sering ketika kami sampai  di kampung halaman, dan ternyata saudara yang juga asal Jakarta telah terlebih dahulu sampai di kampung halaman, tidak jarang saya menerima pertanyaan yang saya sendiri menjadi orang yang lelet dalam mengendara, atau terlalu lama berada di jalanan. Tentunya ini dengan membandingkan waktu tempuh perjalanan saya dengan saudara lain yang dikenal dan diketahuinya.

"Jam berapa berangkat dari Jakarta Gus?" Begitu biasa kalimat tanya kepada saya ketika kami bertemu. Ini karena saya harus berangkat ke kampung H+1 dan kami bertemu dengan keluarga pada hari lebaran ke-3. 

Pertanyaan sederhana sebenarnya, tetapi pertanyaan ini berangkat dari mind set yang berbeda antara beliau dengan saya sendiri dalam memaknai perjalanan mudik. Dan karena berbeda sudut pandang tersebut, maka istri saya sendiri selalu menolak ketika kami diajak bersama di kendaraan beliau atau sebaliknya kalau beliau ingin bersama kami. Letak keberatan terlebih karena perjalanan bersama dia akan membutuhkan daya tahan kami dalam menahan buang air. Karena sepanjang perjalanan kami, beliau biasa akan berhenti untuk keperluan seperti itu dan lain-lain tidak lebih dari dua atau tiga kali. Mengingat prinsip perjalanannya adalah mengejar waktu secepatnya. Sedang perjalanan mudik saya, untuk keperluan istirahat dan keperluan lain-lainnya, tidak kurang dari lima atau enam kali. Dan waktu untuk itu paling cepat masing-masingnya adalah tiga puluh menit.

Menikmati?

Memang kata inilah yang menjadi visi perjalanan mudik saya. Apapun situasinya saya selalu menanamkan kepada anggota perjalanan saya untuk menikmatinya. Menikmati kebersamaan dalam kendaraan yang ada dalam suasana diskusi, tukar pikiran, atau bahkan sekedar mendengarkan cerita anak atau anggota perjalanan. Dan ini menjadi bagian momentum yang luar biasa buat kami.

Menikmati semua kondisi perjalanan yang ada apapun itu. Ketika rute yang kami ambil adalah pegunungan antara Pekalongan, Kajen, Kalibening, Karang Kobar, Banjarnegara, hingga tembus ke Wadas Lintang di perbatasan Wonosobo dengan Kebumen yang penuh selingan tanaman pertanian, maka kami akan selalu mengaguminya. Sesekali anak saya akan mengabadikan hijaunya daun tembakau atau teh atau kol dengan selulernya. Demikian juga ketika kami harus menjadi bagian dari mengantri ketika keluar dari tol Palimanan di tahun 2014 lalu pada pukul 10.00 dan baru masuk di gerbang tol Cikampek pada pukul 21.00.

"Apakah kamu tidak takut memilih jalur alternatif yang tidak biasa seperti itu? Nanti kalau ada apa-apa? Berapa lama kamu lewat jalur itu?" Kembali pertanyaan saudara saya dengan persfektif berpikir yang masih sama, pragmatis. Dan saya menjawabnya dengan kalem. Bahwa perjalanan mudik bagi saya adalah perjalanan wisata. Dengan begitu saya harus menikmati setiap ruas jalan yang menjadi pilihan saya. Dan saya selalu menginginkan situasi yang baik, menyenangkan, sekaligus mengesankan. Oleh karenanya, saya selalu berpikir baik dalam setiap perjalanan saya.  InsyaAllah.

Jakarta, 29 Juni 2016.

15 June 2016

Mudik 2016 #10: Rencana Bertemu Teman Sekolah

Memang hanya liburan di saat lebaran yang sulit untuk tidak menjadi magnet bagi saya dan teman-teman yang tumbuh dan besar di kampung halaman. Karena kerinduan akan masa lalu atas persahabatan kami itu menjadi daya tarik untuk juga bersama-sama memutuskan tempat dan hari bertemu ketika kami sedang mudik dan berada di kampung halaman. Dari beberapa hari yang tidak lama itu, kami menyisihkan waktu untuk bertemu melepas rindu dan sekaligus 'mengisi batere' buat kami untuk kembali segar dan bersemangat menuju ke depan.

"Jadi kapan enaknya kita bertemu teman-teman?" Demikian salah seorang dari kami yang ada di grup zaman sekolah, yag sekarang menjadi kepala sekolah di daerah Depok. 

"Menunggu longgarnya waktu saya usul Sabtu tanggal 9 atau Minggu tanggal 10. Kalau terlalu dekat Idul Fitri kita semua masih sibuk silaturahim dengan keluarga." Kata yang lain menimpali usulan teman yang pertama. 

"Jangan lupa ya kalau pertemuan nanti adalah pertemuan lintas angkatan. Jadi siapa saja boleh datang. Kalau ada yang belum kenal yang disitulah kita nambah kenalan." Kata yang lain lagi.

"Soalnya akan ada pada Idul Fitri hari ke tujuh akan ada pertemuan angkatan 84. Walaupun ini pertemuan tidak melarang angkatan berapa saja untuk ikut serta dalam pertemuan yang dapat terselenggarakan hanya satu tahun satu kali di saat Mudik Lebaran." Lanjutnya. Teman saya ini sekarang menjadi pengawas sekolah di daerah Purwokerto.

Pendek kata, percakapan dalam grup sekolah kami saat itu dipenuhi oleh pernyataan-pernyataan untuk menyepakati waktu bertemu. Sampai akhirnya ada seorang teman yang menjadi pengusaha di kota asal kami, menyediakan diri untuk memilihkan tempat yang luas dan nyaman untuk duduk berlama-lama, sekaligus mengorder makanan.

"Tapi saya memerlukan kepastian teman-teman untuk menentukan jumlah makanan yang diorder ya?" Katanya di akhir percakapan kami.

Jadi, mudik lebaran yang menjadi perjalanan luar kota yang dilakukan secara serentak, selain untuk ajang silaturahim keluarga besar masing-masing kami yang dari kampung halaman adalah juga ajang bagi temu kangen dengan teman-teman sekolah. Teman-teman diwaktu kami berusia muda dan tinggal di kota kabupaten yang kala itu masih sepi.

Jakarta, 15 Juni 2016.

08 June 2016

Mendadak Menyanyi!

Seperti tahun-tahun sebelumnya, pada akhir tahun pelajaran ini semua unit sekolah kami melakukan kegiatan kolosal. Yaitu Pentas Kesenian yang disingkat Pensi dengan format operet di KB/TK dan drama musik di tingkat SD dan SMP. Semua kegiatan dilaksanakan di gedung teater. Untuk operet di KB/TK di Gedung Pewayangan, Jakarta, Untuk SD dan SMP di Teater Besar Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Operet KB/TK sepenuhnya mengandalkan rekaman, meski demikian semua lagu pengiringnya adalah lagu yang diciptakan sesuai dengan teman operet yang dipentaskan. Sedang untuk pertujukan SD dan SMP sepenuhnya live. Tidak menggunakan rekaman, termasuk musik pengiringnya. Sementara untuk lagu-lagunya, jika di tingkat KB/TK guru yang menulis syairnya, maka di SD dan SMP syair ada yang ditulis oleh siswa. 

Dan hal yang unik lainnya adalah, seluruh siswa yang ada di unit sekolah yang ada menjadi pemain tidak ada kecuali. Semua berada di panggung dalam alur skenario yang telah dibuat oleh teman-teman guru yag tergabung dan Komite Pensi Sekolah.

Alhamdulillah pelaksanaan Pensi ini semuanya berjalan dengan lancar dan luar biasa hebat. Sebagaimana yang disampaikan oleh para orangtua siswa dan juga beberapa diantara ada eyang yang menyampaikannya kepada saya langsung ketika kami bertemu di pintu keluar gedung pertunjukan.

Selain sukses, saya juga membuat catatan istimewa kepada anak-anak yang ternyata dengan penuh rasa percaya diri melantunkan sekaligus mengumandangkan suara lantangnya di panggung dalam menyanyikan lagu. Ini hal yang membuat saya terkagum mengingat beberapa anak tersebut selama ini tidak pernah terlihat dan muncul untuk menyanyikan lagu. Baik di acara kelas atau acara sekolah selain Pensi. Kok bisa? Tetapi itulah kenyataanya. Dan mereka tidak sekedar melantunkan sebuah lagu tetapi juga menghayati sekaligus berakting di panggung yang seluas lapangan basket!

"Suara saya cempreng Pak" kata salah seorang diantara siswa itu ketika dirinya ditunjuk untuk menyanyikan lagu dalan sebuah scene pertunjukan kepada guru musik yang membimbingnya.

"Saya butuh suaramu yang warnanya sesuai dengan karakter drama kita. Dan di sekolah ini hanya kamu yang memiliki suara yang pas dengan karakter pemerannya." Kata gurunya memberikan keyakinan kepada siswa untuk tetap berlatih dan menghafal syair yang harus disenandungkan di atas panggung.

Dan bagaimana ketika anak itu benar-benar menyanyi? Saya harus keluar dari ruang kerja ketika suara khasnya itu melantun di hall sekolah ketika mereka semua melakukan latihan menjelang hari pertunjukan. Dan saya seperti menemukan jenis suara yang berbeda dan asing ketika beberapa mereka harus memerankan sebagai penyanyi...

Jakarta, 8 Juni 2016.

07 June 2016

Mudik #2016 #9; Berharap Infrastruktur Enak

Satu hal yang menjadi harapan baik bagi para pemudik dalam perjalanan mudiknya, utamanya pada saat libur lebaran,  adalah tersedianya infrastruktur jalan yang memadai. Buat saya memadai itu adalah enak di sepanjang perjalanan. Atau standarnya adalah tersedianya jalanan yang memang layak untuk dilalui dengan kecepatan kendaraan 60 kilo meter per jam. Jadi jalanan yang memang dibuat dengan rata dan tidak bergelombang karena hanya ditambal jika ada yang berlobang tanpa proses dikupas terlebihdahulu.

Pada perjalanan di malam hari, selain jalanan yang rata dan tidak ada jebakan lubang atau jebakan jalan tambalan, adalah adanya marka jalan yang memang masih menyala ketika sorot lampu kendaraan menerpanya. Juga bantuan spot light yang ada di pinggir jalan, utamanya ketika jalan berkelok. 

Jika itu telah tersedia, dan jalan yang saya harus tempuh terkendala kemacetan, semua itu menjadi kendala yang bukan dari kontribusi pemerintah. Itu karena boleh jadi volume kendaraan yang berlebih. Dan ini masih lumprah mengingat mudik di masa lebaran adalah bentuk reuni akbar. Baik dengan keluarga besar untuk tujuan berkumpul di kampung halaman, atau juga keinginan untuk bersilaturahim dengan masa lalu masing-masing. Apakah masa lalunya dengan teman sepermainan di kampung halaman, apakah dengan masa lalu bersama teman saat di bangku sekolah.

Dan karena ini sebagai harapan saya, yag adalah bagian dari masyarakat pengguna jalan, maka bukan menjadi tuntutan. Apalagi jika tempat yang harus saya lalui adalah pemerintah daerah yang para kepala daerahnya saya tidak berkontribusi untuk memilihnya. 

Namun demikian saya bersama keluarga ketika melalui jalan yang dalam kondisi terawat baik atau yang buruk sekalipun, pasti akan menyebut mereka itu dalam percakapan kami. Yang bagus akan kami sebut sebagai daerah yang para pemimpinnya dapat menjadi teladan bagi anak-anak kami. Demikian pula yang buruk, kami pun akan berdiskusi bersama agar model pemimpin yang ada di daerah tersebut jangan pernah menjadi teladan baik. Mereka adalah para pemimpin yang harus dihindari.

Inilah yang dalam tulisan saya sebelumnya saya sampaikan bahwa infrastruktur setiap daerah yang kami lalui dalam perjalanan pergi dan pulang ketika mudik adalah cermin bagi para pemimpin daerahnya...

Jakarta, 7 Juni 2016.

06 June 2016

Mudik 2016 #8; Strategi Mudik

Di parkir basement sebuah perkantoran, saya bertemu dengan teman lama di tempat kerja yang lama juga. Pertemuan yang sesungguhnya tidak terlalu saya rencanakan dari awal. Oleh karena itu saya justru sedikit kaget.

"Kapan mudik dan bagaimana?" Tanyanya kepada saya. Begitu dia keluar dari kendaraan dan memarkirkannya di dekat saya berdiri.

"Kalau saya pasti lebaran dulu di Jakarta. Karena keluarga istri semua berada di Jakarta. Kami biasanya akan bertemu beramai-ramai di rumah salah seorang dari kami. Jadi, berangkat mudik tahun ini saya  hari lebaran ke-2." Begitu jawaban saya.

"Bapak sendiri kapan berangkat ke kampung?" Saya balik bertanya kepada teman yang saat bersama-sama di kantor dulu adalah orang paling giat dan konsisten dalam menjalankan salah satu solat sunnah.
Adanya aplikasi ini memungkinkan kita mengetahui kondisi jalan di 'depan' kita. Sehingga memungkinkan kita untuk memilih jalur yang relatif lancar. Terimakasih RTTMC Hubrat.

"Sepertinya nanti awal-awal berangkatnya. Saya naik kereta. Kendaraan sudah saya kirim kemarin ke kampung. Jadi nanti naik umum berangkat dan pulangnya." Jelas teman saya itu.

"Strategi yang bagus sekali. Bebas terlibat macet saat berangkat dan pulang baliknya." kata saya. Meski dalam hati saya berguman bahwa akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk strategi seperti itu. Tetapi teman lama saya ini, belakangan sedang mendapat rezeki dari buah usahanya yang tekun dan konsisten.

Sedang jika ukuran itu harus saya gunakan, maka akan menjadi berat...

Jakarta, 6 Juni 2016.

03 June 2016

Mudik 2016 # 7: Memilih Rute dan Waktu Perjalanan

Menentukan waktu dan rute perjalanan menuju ke kampung halaman dan kembali lagi ke Jakarta di mudik lebaran tahun 2016 ini untuk, paling tidak, meminimalisir efek volume kendaraan di sepanjang jalur mudik, telah saya diskusikan dengan istri dan anak beberapa waktu lalu. Hal ini penting supaya ketika jalan yang kita pilih nanti menjadi bagian dari kenikmatan dari perjalanan mudik dan sekaligus wisata.

Selain itu karena kondisi kemacetan di sepanjang jalan yang kami lalui pada mudik lebaran tahun 2014 lumayan menguras tenaga. Meski pada saat itu saya mengawali perjalanan mudik lebaran saya pada H+1, tetapi padatnya kendaraan masih luar biasa. Sebagai gambaran saja, pada saat itu saya keluar dari Gerbang Tol Pejagan sekitar pukul 09.30an, dan baru sampai perempatan Buntu di Banyumas sudah pukul 18.00. Sebaliknya, ketika perjalanan kembali ke Jakarta, pada saat itu saya keluar di pintu tol Palimanan pukul 10.00 dan baru masuk gerbang tol Cikampek di pukul 21.00. Lalu apa yang saya alami dengan waktu yang selama itu? Tidak lain selain banyaknya kendaraan sehingga laju kendaraan rata-rata adalah 15 km/jam.

Pengalaman terjebak macet di mudik lebaran tahun 2014 itu, membuat saya dan keluarga memutuskan untuk tidak mudik di waktu lebaran tahun 2015. Kami memilih mudik dilibur akhir pekan atau juga liburan sekolah. Meski anak-anak sudah tidak ada lagi yang sekolah.

Kembali dengan mudik lebaran tahun ini, 2016, dengan melihat bagaimana jika terdapat libur panjang akhir pekan dan kondisi kemacetan di jalanan sepanjang rute Jakarta-kampung halaman, maka saya harus menghitung agar sepanjang perjalanan diberikan kelancaran. Hal ini tidak lain agar waktu yang tersedia bagi kami untuk melakukan perjalanan mudik tidak teralokasikan hanya untuk antri di sepanjang perjalanan tersebut. 

Jakarta, 3 Juni 2016.

Menemani 'Perubahan' Guru #24; Berubah itu Bertahap

Sekali lagi tentang perubahan yang harus dan mau tidak mau kami lakukan di sekolahan. Baik pada tataran sistem atau juga pada tataran operasional. Dan dalam pelaksanaannya maka ia berlaku rumus setapak demi setapak. Setidaknya itulah yang kami alami dalam perjalanan memberikan pelayanan kepada generasi penerus yang duduk di dalam kelas di sekolah kami. Semoga perjalanan ini terus diberikan dan dilimpahi kekuatan dan keberkahan Allah SWT. Amin.

Bertahap? Seperti beberapa kali kami sampaian kepada teman-teman berkenaan dengan pertunjukkan kelas, dalam bentuk Assembly, atau juga pertunjukkan sekolah dalam bentuk Pentas Kesenian, hal yang disampaikan yang menurut saya telah tuntas sehingga dikemudiannya hanya menemani perjalanan pelaksanaannya, namun dalam beberapa kali perjalanan itu terdapat deviasi atau setidaknya perbedaan persepsi antara apa yang saya sampaikan kepada mereka dengan apa yang mereka tangkap.

Perbedaan ini menipis dalam perjalanan waktunya, dan secara bertahap saya mengajak teman-teman berdiskusi berkenaan dengan standar yang disepakati. Dan alhamdulillah setelah beberapa kali pelaksanaan tersebut kami ulang dan ulang di tahun-tahun sesudahnya, persepsi dan anggapan antara saya yang mengajak dengan teman-teman di lapangan yang mengejawantahkan ajakan saya dalam bentuk program pelaksanaan kegiatan di kelasnya menjadi benar-benar sinkron dan klop. 

Kenyataan ini pararel dengan seorang yang mengemudikan kendaraan. Di awal kita bisa dan berani mengendarai kendaraan di jalanan umum, maka kekurangan yang nyata dari kita adalah kemampuan untuk melihat dan menjadikan perhatian apa yang terdapat di sekeliling kita selain memandang lurus ke depan. Namun selang beberapa waktu setelah jam terbang kita naik, maka hal yang sebelumnya tidak termonitor karena posisinya berada di sekeliling kita, menjadi terkontrol. Karena kita menjadi bertambah mampu  dalam mendistribusikan perhatian.

Atas keyakinan seperti inilah kami mengusahakan untuk terus menerus mendiskusikan apa yang telah kami jalani dalam program kegiatan sekolah hingga sampai kepada esensi dari kegiatan yang dimaksud. Diskusi tersebut menghasilkan penarikan hikmah dalam setiap program kegiatan yang telah berlangsung. Dan penarikan hikmah tersebut sma artinya dengan menemukan kebermaknaan. Semoga.

Jakarta, 3 Juni 2016.