Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

15 April 2009

Sisi Lain, Kita dalam Facebook

Ya benar. Ini adalah sisi lain yang ada dalam facebook. Maksudnya mungkin adalah beberapa implikasi dari para pengguna jejaring sosial ini yang bisa jadi diluar kesadaran si pelaku. Maksudnya lagi, pengguna facebook itu kadang karena sedang asyiknya, sampai-sampai efek samping yang mungkin akan muncul tidak dia sendiri sadari.

Akibat paling sering dan maklumi adalah betapa orang ketika sedang OL menjadi lupa sekelilingnya. Kehilangan kesadaran terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya inilah yang oleh orang diistilahkan sebagai autis. Saya sendiri kurang setuju dengan istilah ini karena jika istilah ini yang kita gunakan saya merasa bahwa kita sedang merendahkan para penyandang autis. Dan saya mengusulkan dengan istilah lain yaitu egois! Bayangkan, di sekolah saat menonton anaknya yang sedang perform, saya melihat seorang bapak justru asyik pencet-pencet bb-nya. La anaknya yang sedang menyanyi dilihat juga tidak?

Perilaku menyimpang lainnya yang juga muncul adalah, ngomongin orang, yang juga sebagai teman di jejaringnya, dengan orang lain. Dan lebih ajaib lagi bahwa orang yang diajar 'ngrasani' tersebut kok ya nyambung dan manas-manasin! Saya sendiri jadi bingung, apakah orang yang sedang ngomongin orang lain ini 'mudeng' apa tidak kok sampai hati melakukan hal senonoh tersebut? Saya khawatir, jangan-jangan karena lagi keranjingan facebook maka ranah perilaku menjadi terjadi penyimpangan?

Terlebih lagi ada seseorang dengan bangganya menguraikan 'dosa' orang lain dalam facebook-nya. Dan yang justru sangat mengherankan buat saya adalah, irama bahasa yang digunakan seolah menyiratkan kebanggaan atas apa yang telah berhasil di kemukakan. Lalu saya mikir lagi, apakah karena dia selama ini tidak mungkin atau mungkin tidak berani menyampaikan secara langsung maka facebook dia gunakan sebagai sarananya? Saya jadi ingat dengan peribahasa Jawa: Ajining diri ono ing lathi (martabat atau harga diri seseorang tergantung dari lisannya).

Dan dari sedikit pengalaman ini, dunia facebook, telah menampilkan karakter lain dari sisi kita sebagai sahabat dalam dunia nyata dan sehari-hari. Facebook seolah telah menyulap sebagian dari kita yang berimajinasi menjadi seorang selebritis yang lupa diri dan berpikir pendek. Allahu'alam..

Tebet Jakarta Selatan, 15 April 2009.

14 April 2009

Bunga Anggrek Tiga Warna


Siang hari ini Selasa tanggal 14 April 2009 sepulang dari mengikuti seminar tentang Berinternet yang Aman yang disampaikan oleh Roy Suryo di Klub Kelapa Gading, yang diorganisir oleh pendekar dari Pengurus POMG SD Islam TUGASKU, saya mendapati satu pot bunga anggrek indah di meja tamu saya. Semula saya menduga bahwa bunga anggrek cantik ini mungkin salah alamat atau mungkin orang lain sedang menitipkan kepada saya atau menitip menyimpan di meja saya.

Sembari mempersilahkan tamu yang saya undang, tamu yang domisili di selatan Jakarta yang saya paksa mampir di kampus tercinta saya, saya mengambil gunting di laci meja saya yang memang tak pernah saya kunci. Saya menggunting ujung surat yang menempel di tangkai bunga anggrek jelita tersebut. Membacanya dan benar saja dugaan saya. Bunga anggrek tiga warna tersebut memang untuk saya!

Dikirim oleh Yayasan TUGASKU yang ditandatangani oleh Pendiri atau Pembina, Pengawas dan Ketua Pengurus Yayasan TUGASKU. Sebagai tanda dan sekaligus ucapan selamat kepada hari jadi saya. Yang dalam KTP dan seluruh dokumen yang saya punya, saya terlahir pada tanggal 10 April. Ini merupakan penghargaan buat saya. Sebelumnya, saya juga mendapat ucapan selamat ulang tahun dari mailing list www.purworejo-berirama@yahoogroups.com.

Namun demikian saya sedikit merasa tidak enak. Karena sebenarnya kelahiran saya di bumi Indonesia, tepatnya di kota Metro, Lampung Tengah, adalah pada tanggal 21 Agustus. (Saya mohon anda membaca juga tentang profile saya. Sehingga kerancuan tentang tanggal lahir saya dapat anda fahami)

Meski demikian, saya berterima kasih sekali kepada Ibu RZ Abidin, Ibu Almitra I Farid dan Bapak Reza Abidin yang telah menyampaikan bunga anggrek tiga warna atas hari ulang tahun saya. Terima kasih atas perhatiannya kepada saya. Semoga Allah mengabulkan doa yang telah Ibu-Ibu dan Bapak panjatkan untuk saya. Amien.

Jakarta Barat, 14 April 2009.

13 April 2009

Bird View

Saya bertanya kepada orang seberang, tentang bagaimana Polisi menguraikan kemacetan di negaranya sono. Dia cerita kalau Polisi menggunakan heli dan berputar-putar di persimpangan yang terkunci dan terlanjur macet. Sang Pilot akan memberikan kabar kepada teman yang ada di bawah, jalan mana yang dapat menjadi pembuangan atus kendaraan. Karena teman di bawah sangat boleh jadi tidak mengetahui arus lalu linta yang masih kosong dan yang sudah macet secara menyeluruh di sebuah wilayah. Sedang teman yang ada di atas jelas sekali melihat kemungkinan-kemungkinan sebagai alternatif melancarkan arus lalu lintas.

Nah oleh karenanya, cara atau paradigma tersebut banyak disebut sebagai cara berpikir holistik atau bird view. Mungkin masih ada nama lain yang saya tidak tahu. Lawan dari prinsip berpikir tersebut adalah kaca mata kuda. Dimana kita akan menjadi cepat memberikan kesimpulan terhadap satu permasalahan yang kebetulan hadir di hadapan kita meski tahap eksplorasi informasi belum kita lakukan. Sehingga jika terdapat satu opini yang menyertai masalah tersebut, maka serta merta kita membuat kesimpulan. Dalam sebuah Editorialnya, Media Indonesia menyebutkan fenomena ini dengan istilah cara berpikir pendek. Edotorial ini dibuat untuk menyikapi pola kerja KPU yang mudah berubah beberapa waktu lalu.

Bagaimana di Sekolah?

Misalnya saja ketika kami di sekolah menerima beberapa informasi yang berkenaan dengan kinerja siswa kita dibandingkan dengan siswa yang belajar di sekolah lain. Setting dari obyek yang dibedakan tersebut adalah tempat belajar tambahan yang sekarang marak dengan sebutan bimbingan belajar. Nah, informasi yang sampai kepada kita adalah betapa siswa kita yang ikut dalam bimbingan belajar tersebut berada dalam tempat yang ada di bagian bawah. Oleh karenanya kita mendapati masukan bahwa sekolah kita kurang baik?

11 April 2009

Pemenang dan Pekalah


Tulisan ini berkait langsung dengan Pemilu 9 April 2009 yang baru saja barakhir. Ya, terutama tentang bagaimana calon legeslator DPR dan DPRD yang nama atau fotonya terdapat pada lembar surat suara. Hari ini, atau bahkan ada yang pada tanggal 9 April 2009 sore hari, mereka yang tidak atau menurut perkiraan sementara mereka tidak bakal lolos menjadi shok atau bahkan sudah ada yang meninggal dunia. Seperti yang menimpa salah satu caleg di Bali. Juga caleg yang ada di Cirebon yang harus mendatangi 'orang pintar' karena bernasib hampir sama dengan caleg yang telah mendahuluinya yang ada di Bali tersebut.

Fenomena ini menurut saya terjadi karena paradigma berpikir kita, yang merupakan hasil atau produk pendidikan kita selama ini, hanya menyiapkan diri untuk siap menang dan tidak atau setidaknya kurang menyiapkan diri bagaimana kalau kalah.

Indikator dari fenomena itu antara lain adalah sebagai berikut: Caleg tidak memperduliakan kendaraan apa yang akan dijadikan sebagai pengantarnya menuju gedung terhormat. Dengan demikian maka mereka beranggapan apa saja kendaraannya sangat boleh jadi 'memungkinkan' baginya untuk menuju sebagai aleg. Ketidak matangan dalam memilih kendaraan (partai politik) tersebut memang banyak penyebabnya. Mungkin karena dia tergesa-gesa dalam menentukan kendaraan karena terjepit oleh tenggat waktu, juga bisa karena memang itulah kendaraan yang sesuai dengan kapasitas si caleg sendiri. Jadi ada faktor internal dan eksternal.

Caleg model seperti ini, ditambah optimesme tanpa perhitungan atau kalkulasi menang-kalah yang terlanjur telah menggunung merupakan bahan dasar bagi tumbuh suburnya sikap hanya siap menang dan tidak siap kalah. Ketika modal telah keluar dan ketika saat perhitungan surat suara berakhir dan mengetahui bahwa TPS yang ada dimana dia ikut menyumbangkan suaranya tidak sesuai dengan hitungannya, ia akan menjadi drop dan bahkan bisa linglung.

Bagaimana siap untuk menjadi pekalah, ini kan TPS dimana dia tinggal bersama tetangga. Dan dengan ikhtiar yang dia telah lakukan selama sebelum hari pencontrengan, daftar nama tetangga yang 'diduga' akan memberikan suara kepadanya telah dihitung tetapi ketika surat suara selesai dibuka dan mendapati suara untuknya jauuuuuuh dari apa yang telah didaftar?

Apa kontribusi Pendidikan?

Kontribusi terbesarnya adalah menyiapkan generasi sebagai individu yang sadar sepenuhnya sebagai makhluk dalam konteks
sosial. Artinya, pembelajaran dengan metodologi pengembangan keterampilan sosial sangat memiliki peran dalam menyadarkan bahwa kehidupan sosial itu menuntut kita menjadi bagian yang ada di dalamnya. Kita tidak harus selalu di atas atau di tengah atau di bawah. Kita akan dinamis dalam konstelasi tersebut. Pertanyaannya adalah: apakah metodologi ini yang banyak digunakan di masyarakat persekolahan kita? Bagaimana siswa belajar menjadi yang di atas, di tengan atau di bawah jika yang kita gunakan hamoir selalu ceramah?

Saya akan memberikan satu contoh misalnya saja ketika siswa bermain berkelompok bersama kelasnya. Maka diawal akan didahului aturan main, cara main dan komitmen. Saat bermain, akan melakukannya dengan penuh sportifitas. Dan ketika berakhir akan mengapresiasi kepada teman secara positif baik yang menang kepada yang kalah atau yang kalah kepada yang menang.

Ini adalah catatan kecil dari saya tentang fenomena caleg yang hanya siap menang dan tidak siap kalah.

Jakarta Selatan, 11 April 2009.

06 April 2009

Menjadi Mantan

Menjadi mantan maksudnya adalah pernah menjadi sesuatu. Agar mempersempit masalah, saya akan memberikan contoh di lembaga pendidikan. Misalnya saja mantan kepala sekolah, artinya pernah menjadi kepala sekolah dan sekarang tidak lagi. Tidak peduli apakah sekarang saya yang mantan ini mendapat jabatan baru yang lebih tinggi atau sebaliknya, kembali menjadi guru.

Tulisan ini ingin melihat betapa seorang mantan itu memiliki implikasi dan sekaligus konsekuensi. Misalnya saja saya adalah mantan pegawai di lembaga B. Dan karena lembaga B adalah lembaga pendidikan ternama di kota Jakarta, maka sangat boleh jadi saya terdongkrak harkat dan martabatnya. Begitu juga ketika saya adalah mantan kepala atau wakil kepala sekolah dan sekarang kebetulan tidak lagi memiliki jabatan struktural apapun di lembaga saya, maka saya tetap harus jaga harkat dan martabat saya. Karena orang telah terlanjut melihat saya tidak saja pada saat saya berada pada posisi apa yang pernah saya pegang. TDan itu telah melekat dan menjadi barometer tentang saya. Oleh karenanya saya wajib memegang harkat dan martabat saya sebagai kepala sekolah.

Coba saja saya yang mantan ini tiba-tiba pada suatu hari bicara negatif tentang lembaga atau orang yang menggantikan saya. Pasti orang bukan melihat saya dari kaca mata positif tetapi justru melihatnya dari kaca mata negatif. "Lho, selama ini Pak Agus ngapain bercokol di lembaga Anu. Kok baru sekarang bicara. Baru insyaf atau punya agenda tersembunyi?" kurang lebih begitulah apa yang akan disampaikan orang tentang saya. "Mantan wakil kepala sekolah kok ngak ada bekasnya ya..."

Jadi, berat ya menjadi mantan?

Maka salutlah saya kepada para mantan yang tetap memiliki rasa kontribusi yang tidak diragukan. Menyampaikan sesuatu yang kurang yang terjadi di lingkungannya dengan bahasa yang santun. Tetap menjaga jalinan silaturahim. Tetap memberikan dukungan moril dalam bentuk motivasi untuk terus maju. Dan menurut saya, hal itulah yang dapat dirasakan dan dimaknai sebagai bagian dari menjaga martabat diri.

Jakarta, 6 April 2009.

31 March 2009

Takut Dicontek

Nah ini penyakit yang sering nyerang bagi siapa saja, bisa juga sebuah sekolah, yang menganggap diri telah maju atau minimal lebih maju dari yang lain. Karena telah merasa memperoleh kemajuan tersebut, maka takut sekali kemajuan yang telah dipunyai dengan penuh pengorbanan dan investasi yang mungkin tidak terhitung sedikit, menjadikan dirinya takut disamai atau takut kemajuannya dicontek sekolah lain. Model sepertin memang tetap sah-sah saja. Apalagi sebagai sekolag atau lembaga swasta, yang segala daya dan upayanya akan memiliki akibat lurus bagi masa depannya.

Bagaimana cara menyimpannya?

Ada yang menyimpan rapat-rapat apa yang telah dimilikinya dan ditutup secermat mungkin dan mengontrol amat lekat arus data dan informasi yang dianggapnya sebagai 'pembeda' yang masuk dalam kategori kemajuan.Ada juga yang menyimpan kemajuan tersebut hanya pada satu orang. Sehingga tidak semua guru atau karyawan apalagi tamu serta pengunjung mampu dan diberikan akses. Pendek kata kemajuan yang telah diperoleh menjadi rahasia bagi sebuah keberhasilannya. Oleh karenanya kepada seluruh komunitas sekolah dimintanya untuk menyimpan apa yang menjadi resep keberhasilan sekolah tersebut.

Beberapa tahun yang telah lalu saya berkesempatan untuk memperdebatkan apakah para tamu kunjungan dari sekolah lain diijinkan mengambil foto, meminta dokumen dalam bentuk foto copy dan bentuk lainnya. Seusai perdebatan, kami memutuskan bahwa apapun yang diminta tamu yang mengunjungi sekolah kita akan kita berikan dalam batas kewajaran.

Mengapa? Karena yang mereka minta adalah sekedar dokumen. Yang dapat digandakan dan dibagikan kepada pihak lain sebagai hasil studi banding. Tetapi ruh dokumen dari dokumen tersebut tidak akan mungkin ditransfer dalam konstelasi yang berbeda. Karena untuk melakukan hal itu dibutuhkan 'cita rasa' yang sama.

Dan ruh itu ada dalam proses ketika dokumen tersebut diproduksi. Dan kualitas ruh tersebut hanya lahir dari orang-orang yang bekerja penuh dedikasi serta integritas.
Dengan argumentasi seperti ini, maka saya tidak pernah mempunyai rasa takut untuk dicontek.

Alasan pertama; karena saya sendiri (dan mungkin juga lembaga dimana saya bernaung) tidak memiliki sesuatu yang mungkin dapat dicontek.dAlasan kedua; contek dan foto copilah apa yang mungkin kami punya. Karena toh tahun atau mungkin juga bulan depan kami akan berkumpul kembali untuk merumuskan apa yang kami inginkan terjadi di tahun taubulan berikutnya.

Pulomas, 31 Maret 2009.

26 March 2009

Menjadi Tukang Ketik


Inilah pekerjaan yang saya lakukan dalam setiap perumusan program sekolah untuk masa tahun pelajaran berikutnya. Tapi tidak hanya saya sendiri yang menjadi tukang ketik tersebut. Mengingat ada beberapa bidang dalam program sekolah tersebut, maka konsekuensinya juga ada lebih dari satu tukang ketik.

Seperti dalam dua kali pelaksanaan 'workshop' guru di TUGASKU yang telah lalu. Dimana guru dalam setiap unitnya kita bagi menjadi dua kelompok. Yaitu kelompok yang akan menyusun Standar Kompetensi Siswa dan kelompok yang akan menyusun Standar Kompetensi Guru. Dimana dalam setiap kelompok tersebut dibekali sumber yang berbeda. Untuk kelompok siswa dibekali SKL dan Standar Isi dari BNSP. Sedang kelompok Guru dibelkali Standar Kompetensi Guru dari Depdiknas. Sekaligus dengan sumber yang berbeda, serta tentunya, tukang ketik sebagai pendamping masing-masing kelompok yang berbeda pula.

Apa hasilnya? Dalam dua pertemuan terdahulu kita telah menghasilkan dua produk berharga hasil dari kompilasi pendapat para dewan guru yang terkumpul sebagai dokumentasi hasil workshop. Yaitu SKS dan SKG. Hasil ini kami kembangkan sebagai lanjutannya, yaitu KTSP dan Sistem Penilaian Kinerja atau SPK.

Dalam KTSP, selain SKS yang telah kita hasilkan, kita juga akan menjadikan dokumen KTSP sebelumnya dan silabus guru sebagai bahan revisi. Sedang SPK akan mengacu kepada SKG yang ada selain juga akan merevisi SPK sebelumnya. Dan dua hal ini berhasil kami lakukan dalam workshop guru pada Jumat, 27 Maret 2009.

Kami berharap semoga apa yang telah dihasilkan teman-teman dalam workshop tersebut dapat menjadi peta perjalanan kita dalam proses pertumbuhan. Dan saya sangat bahagia ketika berperan sebagai tukang ketik bagi teman-teman dalam usaha pendokumenasian mimpi teman-teman semua.

Cipete, 26-27 Maret 2009 (17.00).

19 March 2009

Persahabatan

Kami pernah selama tiga tahun penuh bersama sebagai sahabat ketika usia kami 16-18/19 tahun. Ketika kami berada di bangku sekolah menengah. Ada diantara kami yang sejak kelas 1 hingga kelas 3nya selalu bersama dalam satu kelas. Namun banyak kegiatan yang kami lakukan bersama. hingga menginap bersama. Terutama saat kami menginjak di bangku kelas tiga. Dimana kami sama-sama mempersiapkan ujian. Terutama di rumah kawan kami yang hidup sendiri di Kalimiru karena orangtuanya berada di Lahat (?). 
 
Namun untuk terus memelihara persahatan kami, selain ber sms atau email, kami menyempatkan diri untuk saling mengunjungi saat kami bisa pulang kampung. Dan Idul Fitri adalah waktu paling tepat bagi kami untuk menjalin silaturahim.
Foto ini diambil saat liburan Idul Fitri 2008 yang lalu. Kami sempatkan untuk berkumpul. meski dalam kondisi kelelahan. Dari kiri ke kanan: Sutomo, teman kami yang setia dengan tanah kelahirannya. Ia menjadi Guru dan bertugas dan tinggal di Cangkrep Kidol; Saya; Pujiono, sahabat kami yang merantau paling jauh. Ia sekarang di Bengkulu; Heri Pranoto, mengajar di Bayan dan sekaligus sebagai reporter media TV. Nah beliau adalah orang yang paling lelah malam itu. Mengingat saat lebaran adalah saat paling 'banyak berita'. Makanya kawan kami Pujiono yang bertugas menunggu dan membawa beliau sepulang dari 'lahan bertia' di Kebumen; dan yang paling kanan Suryono, mengajar dan tinggal di Bayan.

18 March 2009

Mengajar Kelas I SD

Inilah pengalaman yang sebelumnya tidak terbayangkan. Tidak terbayangkan karena saya sendiri adalah guru muda yang baru lulus dari Sekolah Pendidikan Guru pada Juni 1984 dan penawaran itu saya terima pada Juni 1986. Sehingga kalaupun saya diberikan kepercayaan mengajar dan menjadi guru kelas satu tentu itu diluar apa yang saya harapkan. Seperti sejak Desember 1985, ketika awal saya diterima menjadi bagian di sekolah yang menjadi universitas guru bagi saya secara aplikatif tersebut, untuk membantu dan mendampingi mengajar di kelas dua. Dan mendapat tugas di tingkat kelas ini maka saya merasa melakukan proses belajar dengan wajar.

Namun mulai Juli 1986 almarhum Bapak Setiono selaku Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Masjid Al Ikhlas dan Bapak M. Mudjib selaku kepala sekolah pada saat itu memberikan amanah agar saya mengajar dan menjadi guru kelas di kelas satu.

Apa yang menjadikan saya begitu berat untuk memegang amanah tersebut? Tidak lain karena mengajar di kelas satu adalah suatu yang menurut saya pribadi menjadi spesial. Mengingat usia saya yang masih muda sementara kelas awal di SD tersebut terdiri dari anak-anak yang butuh perhatian dan keahlian serta keterampilan yang jauh lebih baik. Sedang yang saya punya?

Ketika keberatan dan kondisi saya sampaikan kepada kepala sekolah, justru kepala sekolah memberikan dorongan dan meminta saya untuk mencoba. Kalau bukan Pak Agus, untuk saat ini, kita belum ada guru yang cocok untuk menjadi guru kelas satu. Demikian jelas kepala sekolah.

Meski semua doa telah saya panjatkan untuk kekuatan agar saya benar-benar mampu mengajar di kelas satu, tak pelak lagi tekanan berat tetap menjadi beban yang tidak mudah saya hilangkan. Hari-hari pada awal tahun pelajaran menjadi guru kelas satu merupakan masa yang menurut saya waktu berjalan begitu lambat..

Pagi hari begitu azan Subuh berkumandang rasa berat itu bergelayut di hati dan pikiran saya. Tak jarang saya berguman mengapa justru saat dari sore hingga pagi waktu berjalan begitu cepat? Dan tak jarang saya menitikkan air mata merasakan beratnya tekanan itu. Dan sepanjang perjalanan di bus kota dari Minangkabau di Manggarai hingga Cipete, tidak henti-hentinya saya memvisualisasikan pembelajaran yang akan saya lakukan di dalam kelas nanti.

Yaitu bagaimana dan apa yang saya harus lakukan saat sampai di sekolah dan memasuki ruang kelas, ketika bertemu siswa saya yang diantar oleh orangtuanya atau oleh susternya, apa yang akan saya lakukan saat jam pelajaran pertama berlangsung, bagaimana jika siswa saya masih ada yang belum berani ditinggal pergi oleh orangtuanya sehingga siswa tersebut harus ditunggui ayah atau ibunya dengan duduk disampingnya di dalam kelas, atau bagaimana saya harus bersikap jika ada beberapa orangtua siswa yang terutama ibu-ibu mendampingi putra atau outrinya dengan menonton di jendela sekolah yang pada masa itu tidak menggunakan AC, dan semua hal hingga siswa pulang dan kelas berakhir?

Dan tidak jarang ketika pikiran masih membebani saya untuk melangkah menju sekolah, jarak saya dengan kelas saya menjadi dekat sekali. Yang bararti saya harus siap lahir dan batin, yang berarti juga bahwa memvisualisasi tidak mungkin lagi saya lanjutkan.

Pada masa-masa ini, waktu berakhirnya kelas menjadi waktu atau masa yang benar-benar saya nikmati sebagai waktu bebas tiada beban sama sekali. Dan saya akan mengisinya dengan penuh gembira seperti saya bercengkerama dengan sesama teman. Tidak jarang pula saya sempatkan untuk berkunjung atau mampir ke tempat kontrakan teman sebelum saya berniat pulang ke Pasar Rumput.

Ya, seperti apa yang telah saya kemukakan sebelumnya, bahwa modal lagu dan bercerita, saya merasakan pertolongan yang luar biasa. Dengan bercerita, saya menyampaikan keinginan kepada siswa saya untuk dan harus seperti apa. Sedang dengan lagu, saya juga jadikan selingan dan pelajaran kebersamaan.

Tahap pertama saat membelajarkan sebuah lagu adalah mengenalkan irama dan nada lagu tersebut tentunya dengan saya memberikan contoh secara berulang-ulang, sebelum siswa saya akan mengikuti saya bait demi bait dari lagu tersebut. Dan tahap akhirnya adalah kita menghafakan syairnya. Dan ketika syair telah dihafalkan oleh sebagian siswa, saya mengajak siswa untuk keluar kelas dan pindah ke aula masjid yang ada di dalam kompleks sekolah. Dan untuk mengurangi kejenuhan, saya akan membagi siswa dan siswi untuk menyanyikan bagian syair lagu secara bergantian dan seterusnya. Ini semua saya lakukan sebagai ikhtiar agar siswa tidak bosan karena dalam setiap tahap selalu ada yang berbeda sehingga mereka merasakan selalu ada tantangan.

Setelah bulan pertama terlewati, catur wulan pertama juga berhasil saya lalui, tantangan demi tantangan menjadi telah biasa bagi saya. Meski demikian diluar jam mengajar saya sempatkan untuk melihat kelas teman yang bisa menjadi inspirasi bagi saya dalam mengajar.

Itulah bagian hidup yang tidak akan mungkin saya sendiri lupakan. Bagian yang menjadi pondasi bagi kehidupan saya di hari berikutnya…

Slipi, 15 Maret 2009.

(Tulisan ini nyambung juga ke: Berawal dari Kelas,Undangan Reuni dan Ponten)

Polusi

Cerita ini berasal dari salah seorang dari calon orangtua murid yang berkeinginan mendaftarkan putrinya. Selama ini putrinya bersekolah di kelas tiga salah satu sekolah dasar swasta yang tergolong favorit di kawasan paling elit di bilangan Jakarta Selatan.

Katika saya tanya mengapa ibu memindahkan putrinya dari sekolah yang tergolong bagus? Ibu menceritakannya bahwa keputusan pindah sekolah bukan hanya menjadi keputusannya saja, tetapi juga menjaii keputusan anaknya sendiri. Mengapa putrinya juga turut andil dalam pengambilan keputusan pindah sekolah? Hal ini tidak lain karena menurut sang putri, ia tidak merasa nyaman lagi untuk pergi ke sekolah guna menuntut ilmu.

Ketidaknyamanan tersebut berawal dari jawaban sebuah soal yang diberikan putrinya dalam suatu tes atau yang mereka sering sebut ulangan harian. Jawaban putri salah menurut bu guru, padahal menurut sang putri, dan juga menurut dirinya serta akal sehat memang benar. Ulangan dalam topik polusi tersebut, guru menemukan jawaban putrinya, sampah untuk pertanyaan; Apakah penyebab polusi udara?

Menurut sang putri jawaban sampah untuk soal penyebab polusi adalah benar. Hal ini didasari kenyataan bahwa tumpukan sampah dipojok jalan dekat rumahnya sering menyebarkan bau tak sedap ketika ia melewatinya. Bau tak sedap tersebutlah yang dimaksud sebagai polusi udara.

Keesokan harinya Ibu tersebut mencoba memberanikan diri untuk mengkonfirmasikan jawaban yang disalahkan guru padahal menurut putrinya benar. Namun alangkah kecewanya sang ibu dengan jawaban guru. Jawaban putrinya salah. Karena ketika latihan, guru telah menjelaskan pada siswa bahwa penyebab polusi udara adalah debu. Jika jawabannya sampah, maka salah. Tidak sesuai dengan apa yang telah dilatihkan dalam latihan soal tempo hari. Luar biasa.

Jadi ibu positif memindahkan putrinya di sekolah ini? Ibu itupun mantap menjawabnya. Padahal ia itu tahu bahwa sekolah saya adalah bukan sekolah yang memiliki prestasi segudang sebagaimana yang dimiliki sekolah-sekolah lain seperti juara nilai ujian akhir sekolah/nasional. Di tingkat kebupaten sekalipun!

Renungan Kita

Sebagai orang yang berprofesi sebagai guru, kasus yang dialami oleh seorang siswa tersebut, sudah seharusnyalah menjadi pelajaran bagi kita untuk melihat apa yang telah kita lakukan di dalam kelas. Karena hanya dengan cara inilah kita akan menjadi baik hari demi hari. Pernahkah kita mengalami hal demikian?

Sesungguhnya semua jawaban siswa yang berasal dari proses berpikirnya adalah benar. Hal ini jika kita mau bersabar untuk mendengarkan alasan yang akan dia kemukakan. Artinya jika menemukan jawaban yang berbeda dengan apa yang telah kita ajarkan dan berbeda dari buku yang menjadi pegangan siswa, jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan. Tetapi cobalah mengajukan pertanyaan untuk menggali mengapa dia menjawabnya demikian. Dengan cara demikian maka si anak tetap merasa dihargai atas jawaban yang diberikan dan guru juga tidak salah dalam mengambil keputusan.

Jawaban yang guru sampaikan sebagaimana cerita di atas sesungguhnya telah membuat akan didiknya menjadi putus asa karena sama sekali tidak mendapatkan penghargaan sebagaimana yang diharapkan. Bukankah sampah organik dalam jumlah tertentu yang membusuk memang membuat polusi udara?

Slipi, 7 September 2003

11 March 2009

Berawal Dari Kelas



Ketika membalik-balik album, harap maklum bahwa era 90-an, dimana saya mengajar di kelas satu SD di SD Islam Al Ikhlas Cipete kamera digital masih menjadi milik segelintir orang Indonesia, itupun kalau teknologi telah ada. Namun yang jelas, pada era tersebut dokumentasi gambar baru dalam bentuk foto cetak. Dan salah satunya adalah apa yang termuat dalam gambar saya ini bersama siswa saya. Mungkin itu sekita tahun 90-an.


Tetapi dari album foto inilah saya memiliki kenangan masa muda dulu, meski sekarang juga masih tetap muda, dimana siswa saya ngeriung di dekat meja gurunya. Waktu itu tentunya saya belum belajar banyak tentang bagaimana membelajarkan siswa dengan lebih dahsyat. Lihat saja bagaimana saya mendesain kelas saya. Semua masih tampak sederhana. Tetapi yakin bahwa ada diantara siswa saya itu, saat itu memiliki impian yang jauh dari sederhana apa yang terlihat dalam foto.

Saya masih teringat kali pertama mengajar di bulan pertama di kelas satu SD dimana saya harus membantu mengambilkan dan membukakan buku pelajaran siswa sebelum melakukan pembelajaranm, dari tas mereka masing-masing. Itu berarti, jika ada 40 siswa saya di dalam kelas, maka saya harus berkeliling menghampiri setiap mereka, membuka tas mereka, mengambilkan buku yang sesuai dengan pelajaran yang akan kita pelajari, membukakan pad halaman dimana siswa saya harus menulis. Beban? Itulah yang ajaib. Lelah sudah pasti. Namun semua tetap saya jalani hingga saya mendapat hitungan mengajar selama 8 tahun (dihitung mulai dari tahun pelajaran 1985/1986 hingga 1993/1994) hanya di kelas satu. Setiap akhir tahun pelajaran saya bermohon kpada kepala sekolah untuk mengajar di kela berikutnya atau kelas tiga. Kepala sekolah mengizinkan, namun masalahnya tidak ada atau belum ada yang berani atau mau mengajar di kelas satu. Sampai akhirnya saya benar-benar ngambek untuk naik kelas, hingga kepala sekolah tidak dapat menolak lagi.
Dua hal yang menjadi modal saya untuk mengajar di kelas satu. Ini sesuai dengan apa yang dipesankan oleh Bapak Guru saya ketika kami masih duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru di Purworejo. Yang pertama, kata guru saya, adalah menyanyi. Jadi kita harus menguasai minimal 10 lagu siswa. Dan tentunya lagu-lagu yang syairnya untuk anak dan positif bagi anak. Yang kedua adalah mendongeng atau bercerita. Nah, lanjut guru saya, bagaimana kalian bisa bercerita di depan siswa kalian jika kalian sendiri adalah para guru yang tidak suka membaca cerita?

10 March 2009

Efektifkah Sekolah Saya?

Jumat lalu, kami di sekolah seperti biasa berkumpul bersama, untuk bersama-sama membicangkan tentang perjalanan kita sebagai anggota atau komunitas sekolah yang sama-sama kita cintai. Ini kami lakukan setiap ba'da Jumat. Jika semua teman kompak maka jam tepatnya kita akan memulai acara pada pukul 13.30.

Sebagai acara rutin kita, yang kita sebut sebagai professional development bagi seluruh anggota pendidik di sekolah, maka agendanya adalah dialog sekitar bagaimana kita masing-masing dapat berkontribusi secara lebih maksimal dan tumbuh terus menerus. Selain itu ada juga kesempatan teman untuk menyampaikan presentasi atau memberikan suatu sebagai pembuka kita berdialog. Atau kadang juga kita meminta orang lain untuk memandu kita dalam berdiskusi. Dan kebetulan ba'da Jumat tanggal 6 Maret 2009 lalu kita bersama-sama membahas tentang diri kita sendiri berdasarkan cermin yang telah kita siapkan.

Ya, cermin itulah yang bernama Sekolah Efektif. Berupa rubrik kuesioner yang terdiri dari sembilan komponen. Yang setiap komponennya masing-masing memiliki indikator rubrik yang kita harus memilihnya atau menentukan pada posisi mana kita berada saat ini. Kita dalam kelompok akan berdiskusi dalam penentuan posisi yang kita pilih. Memang ada sedikit banyak yang harus kita pertahankan masing-masingnya dalam penentuan posisi yang telah berhasil kita raih.

Dan itulah kesempatan berharga yang dapat kami lakukan bersama. Apa yang dapat kita peroleh dari cermin itu? Saya pribadi melihatnya sebagai introspeksi. Dalam sebuah peristiwa yang bernama tumbuh, bercermin sama artinya dengan membuka kembali peta perjalanan kita ketika kita ada dipertengahan jalan.

Apa yang akhirnya kita lihat? Ada kekurangan yang harus menjadi perhatian kita bersama untuk kemudian kita analisa dimana perhatian itu harus kita tumpahkan. Ada kecukupan dimana kita juga masih harus memberikan pemikiran yang tidak kurang. Dan tentunya ada juga bagian atau komponen kita yang telah berkinerja baik, dimana kta juga harus melihatnya secara hati-hati agar supaya kita semua tetap menjadikannya sebagai bagian dari proses pembelajaran yang tiada ujung.

Ba'da Jumat lalu itu menjadi saksi bagi kami didalam melihat siapakah sebenarnya kami berdasarkan cermin sembilan sekolah efektif tersebut. Kami bangga tidak saja kepada hasil dari rubrik kuesioner yang telah kami rekap. Tetapi kami jauh lebih bangga pada proses yangkta alami ketika kami semua bersama-sama meghadapkan diri pada cermin yang ada...

Pulomas, 6 Maret 2009

05 March 2009

Pasar Murah



Kami, komunitas dari Sekolah Islam Tugasku bersaa OSIS SMP menyelenggarakan Pasar Murah di sekolah pada Sabtu, 21 Februari 2009. Menyenangkan sekali melihat antusiasme warga sekitar sekolah berbelanja sembako dan berbagai kebutuhan lain dengan harga yang sangat miring.

Karena miringnya harga, ada diantara pembeli yang mengkhawatirkan kualitas barang yang dijual. Seperti komentar Pak Ali, penjual rokok di dekat sekolah; Saya pikir mie instan kedaluwarsa. Kok harganya miring banget? Setelah saya cek tanggal kedaluwarsanya ternyata barang baru. Ya jadi saya minta teman untuk belanjain lagi...

Namun bagi kami sendiri ini adalah kegiatan yang malah menjadi wahana untuk saling mengakrabkan satu dan yang lainnya dari kami sesama komunitas TUGAKU. Kami kompak dalam melayani para pembeli yang tiada hentinya. Barang yang kami jual adalah barang sumbangan dari para orangtua siswa kami.

Bersama ini, kami mengucapkan terima kasih atas kontribusi, donasi dan dkungan dari semua pihak atas kegiatan amal itu.

03 March 2009

Model Belajar Nadia dan Diana

Sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan BELAJAR? Berikut ini adalah anekdot-anekdot yang dirinya kita dapat memaknai apa yang dimaksud dengan Belajar itu. Anekdot pertama adalah saat orangtua meminta anaknya untuk belajar di meja belajar, padahal si anak sedang asyik membaca buku cerita fiksi (novel anak). Si anak dengan sopan menjawab seruan orangtuanya dengan kata: ngak ada pekerjaan rumah (pr) Bunda. Orangtua tetap meminta si anak untuk duduk di meja belajar dan berujar: Nadia, kan dapat mengulang pelajaran kemarin untuk persiapan hari besok. Siapa tahu besok ada ulangan mendadak?

Keesokan harinya di sekolah guru tidak memberikan ulangan atau pertanyaan atau meminta siswa untuk membuat laporan apapun. Nadia tentu kecewa karena pelajaran yang telah disiapkan semalam tidak diulas di sekolah. Guru di sekolah melanjutkan materi pelajaran berikutnya. Padahal semalam ia harus meninggalkan bacaan fiksi yang lagi seru-serunya. Kembali di rumah Nadia protes sama Bundanya. Ia ngambek dengan langsung membuka buku fiksinya yang ia telantarkan gara-gara kemarin diminta Bundanya untuk mengulang pelajaran agar siap kalau esok gurunya mengadakan ulangan mendadak.

Jadi apakah yang dimaksud dengan belajar bagi Nadia? Bagaimana pula arti belajar dalam anekdot yang berikut ini? Saat pelajaran Sains, Diana, salah satu dari siswa SD masuk dalam kelompok untuk menerima tugas dari gurunya. Diana dan kawan-kawannya dengan pengawasan guru men-sweeping binatang yang ada di dalam lingkaran, yang terbuat dari tali rafia. Nama-nama binatang itu harus dicatat. Di dalam kelas dengan dipandu Bu Guru, siswa mendiskusikan arti komunitas dan habitat.

Pekerjaan rumah yang diberikan guru berupa tugas agar setiap siswa mencatat binatang-binatang yang ada di halaman rumah masing-masing atau lokasi lain yang berdekatan dengan rumahnya. Catatan tersebut akhirnya didiskusikan bersama di kelas pada pekan berikutnya. Hasil diskusi tersebut dibuat dalam bentuk laporan narasi tentang habitat, lalu dipajang di dinding pajangan di sekolah.

Jika kita adalah Nadia atau Diana, pola belajar yang manakah yang menjadi pilihan kita masing-masing? Apakah pola Nadia atau pola belajar Diana? Pola belajar manakah yang benar-benar hidup di masyarakat kita?

Dalam setiap pertemuan dengan pihak orangtua, saya selalu mengkomunikasikan mengenai belajar, proses pembelajaran, dan hasil-hasil belajar. Termasuk juga keunikan yang dimiliki siswa. Di sekolah, beberapa program kita coba lakukan seperti pajangan kelas, pertunjukkan kelas secara reguler dan event spesial, kita laksanakan secara reguler. Semua orangtua setuju. Karena itu merupakan cara Belajar yang relatif memberdayakan siswa.
Tetapi nilai anak saya harus baik juga pak. Begitu komentar salah satu orangtua. OK, kata saya. Nilai (angka) rapot siswa juga baik. Dan pada saat Pekan Kebudayaan Internasional, dimana setiap kelas memilih satu negara untuk menjadi tema yang akan dieksplorasi selama satu pekan secara terus menerus, siswa dan seluruh komunitas sekolah menikmatinya. Kegiatan pembelajaran berupa menggambar peta, cerita tentang negara-raja-pemerintahan-penduduknya-pertaniannya. Mengeksplorasi pariwisatanya, makanan khas, budaya, menginterview nara sumber, membuat laporan dan juga membuat cindera mata. Di akhir pecan sebagai puncak dari tema, siswa mempertontonkan perayaan sonkran yang dirayakan raja bersama rakyatnya di hadapan komunitas sekolah. Sesudah itu siswa, dengan membawa pasportnya masing-masing, berkeliling ke ‘negara-negara tetangga’ untuk tour.

Ketika usai saya tanya pada komunitas sekolah tentang Pekan Budaya. Inilah Jawaban mereka: Siswa: senang pak, selama pekan budaya ngak ada pelajaran! Kita main terus. Guru: Wah pak, kalau pelajaran tidk ada target kurikulum dan tidak ada ulangannya, kita jadi bisa kreatif ya pak . Orangtua: anak saya tiba-tiba tidak susah bangun pagi, rupanya kalau tidak ada pelajaran mereka jadi senang ke sekolah.

Pak Agus, saya sekarang sadar sebenar-benarnya betapa model pembelajaran seperti Pekan Budaya Internasional kemarin efektif buat anak saya. Mereka dalam satu pekan itu ternyata menyerap informasi tentang tempat wisata, nama raja, khas-khas yang ada, wilayah selatan yang Muslim dan utara yang Budha. Kenaikan kelas ini ia pingin sekali diajak mengunjungi pengembangan pertanian dan pemukiman Muslim di Thailand! Begitu komentar salah satu dari orangtua siswa terhadap hasil belajar yang diperoleh sang anak.

Tujuan Pendidikan Kita
Betulah panjang cerita tentang apa sesungguhnya yang mnjadi esensi dari kegiatan belajar yang hidup di masyarakat dan sekolah kita. Berikut ini adalah konsep pemerintah yang termuat dalam undang-undang No 20 Th 2003 tentang Sisdiknas berkenaan dengan tujuan pembelajaran. Dalam Bab II, Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sedang tentang Proses Pembelajaran, inilah panduan yang terdapat dalam Kurikulum 2004 atau KBK (maaf, kita hanya menguji-cobakan saja).
Siswa Ingat Kegiatan Belajar
10 % Baca
20 % Dengar
30 % Lihat
50 % Lihat dan dengar
70 % Laporkan
90 % Lakukan dan laporkan

Melihat itu, maka apakah yang harus kita lakukan dalam mencermati masalah belajar siswa kita? Pertama, ubahlah cara pandang kita mengenai belajar. Dalam kenyataan sekarang ini terdapat empat mitos dalam belajar. Empat mitos belajar itu mengatakan bahwa; sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar; kecerdasan bersifat tetap; pengajaran menghasilkan pembelajaran; kita semua belajar dengan gaya yang sama. (Jeanette Vos,2000).

Kedua, jadikan kegiatan membaca sebagai keterampilan hidup menuju pembelajar sepanjang hayat. Menjadi tugas kita untuk menjadikan seluruh komunitas sekolah sebagai warga belajar yang suka baca. Sejak dini siswa dapat kita berdayakan tidak saja bisa membaca tetapi menjadi suka. Peringkat suka membaca itu sendiri memiliki makna baginya (konsep AMBAK/apa manfaat bagiku).

Ketiga, berdayakan cakrawala berpikir anak melalui mengambilan hikmah dari suatu peristiwa/kejadian. Dalam setiap akhir pelajaran, guru harus membuat konklusi bersama siswanya mengenai apa yang telah mereka capai. Juga apa implikasinya dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Keempat, berdayakan kompetensi non-akademik. Hasil belajar tidak saja domain kognitif yang terukur secara akademis. Hasil belajar lebih luas dari itu. Hasil belajar akademis adalah salah satu dari hasil belajar. Dan bukan satu-satunya. Berdayakan semua komunitas sekolah mengenai konsep belajar seperti itu melalui berbagai cara dan secara reguler.

(Sumber: Agus Listiyono dalam Harian PELITA, 28 Maret 2006)

Tes Sumatif

Tes semester yang dilaksanakan pada akhir semester lebih dikenal dengan tes sumatif. Akhir Desember dan awal Januari lalu adalah saat dilaksanakannya tes sumatif diberbagai sekolah sebelum penerimaan rapor semester ganjil. Dan sekitar bulan Mei atau Juni untuk semester genap. Materi pelajaran yang menjadi bahan tes sumatif adalah materi pelajaran sepanjang semester tersebut. Setiap siswa dengan kapasitasnya masing-masing pasti telah menyiapkan diri dalam menghadapi tes tersebut.
Diantara mereka ada yang susah payah mengatur jadwal belajarnya karena mungkin harus membagi waktu antara belajar dengan menjaga adiknya atau melakukan perkerjaan lainnya untuk membantu orangtua. Sebagian yang lain bahkan ikut belajar kelompok bersama teman-temannya dengan memanggil guru sebagai pendamping belajar atau pergi ke bimbingan tes yang menjamur sebagai bisnis menjanjikan. Sebagian yang lain lagi belajar dengan guru kelas atau wali kelasnya dirumah yang sering kita kenal dengan istilah les privat.
Selama menjadi guru di sekolah, penulis banyak mendengar, menerima aduan baik dari siswa, orangtua dan bahkan juga guru tentang soal tes yang bocor. Mereka menceritakan suatu perbuatan yang menurut kasanah dan norma sosial adalah bentuk perbuatan yang tidak seharusnya terjadi. Kebocoran suatu soal tes bukanlah suatu yang terjadi karena ketidak sengajaan, tetapi lebih kepada bentuk penyelewengan intelektual dari para pembimbing belajar atau siapa saja yang memiliki akses terhadap soal tes yang ingin diwariskan kepada para generasi penerusnya. Bila kebocoran ini dilakukan oleh siapa saja yang berstatus pembimbing siswa dalam belajar, guru les misalnya, maka degradasi moral ini didasari oleh semangat mengumpulkan rezeki untuk sekedar menghidupi diri sendiri atau sanak keluarganya. Dan juga untuk mengangkat nilai agar seolah-olah siswa yang mendapatkan soal yang bocor tersebut pandai. Mengenaskan! Tetapi inilah sepenggal cerita dari keponakan penulis...

Beni adalah siswa sekolah menengah di sebuah sekolah di negeri tercinta ini. Ia belajar menyesuaikan dengan irama belajar teman-temannya. Sejak menginjak bulan kedua ketika sekolah berlangsung, ia bergabung bersama teman-temannya yang berjumlah lima orang untuk belajar kelompok dengan salah satu gurunya. Ketika awal dimulainya les, ibunya mencoba menghubungi Bapak Guru untuk menanyakan fee yang harus dianggarkan pada akhir bulan nanti. Disela-sela diskusi dan nasehat agar putranya belajar lebih giat karena Bundanya mengeluarkan ’dana ekstra’ diluar uang bulanan rutin lainnya, Beni menyahutnya dengan rileks. ”kadang Pak Guru menyebutkan agar kita mengingat soal ini, nanti keluar di ulangan.” jelas Beni. ”jadi begitu?” Ayahnya kaget.
Selain Beni, Dita keponakan penulis yang lain, adalah sosok siswa yang berbeda. Paling tidak kapasitas mengingatnya sedikit jauh lebih banyak dan baik dari Beni. Dita adalah perkeja keras. Saat belajar, hampir titik dan koma yang terdapat di buku pegangan mampu diingatnya. Maka saat bunyi bel pertanda habis waktu dan ia merasa belum berhasil menemukan jawaban dalam tes, ia begitu gusar. Namun betapa ia kaget ketika satu teman kelasnya yang tergolong ’papan bawah’ berkomentar dengan pasang tampang bangga, ” Yes! Semua soal yang dipelajari semalam keluar! Gampang! ” dan selidik punya selidik teman itu adalah salah satu murid les dari oknum gurunya...
Dua fragmen diatas adalah kejadian nyata. Dan dengan itu penulis tidak bermaksud untuk mendiskreditkan profesi guru yang kebetulan di sandang oleh pembimbing dari siswa diatas, yang penulis kutip secara penuh sebagaimana ilustrasi di atas. Namun dengan kejadian yang telah dipertunjukkan oleh oknum tersebut penulis yang juga guru mencoba untuk berkaca di depan cermin.
Pertama, kalau penulis adalah guru yang memberikan bimbingan kepada siswa, apapun bentuk bimbingannya –privat ataupun kelompok- dengan cara memberikan latihan soal yang persis akan keluar dalam tes, maka pertanyaannya adalah; apakah penulis sudah berlaku adil pada siswa yang bersangkutan dan juga pada siswa yang lain? Apakah dengan cara tersebut maka tes dapat dikatakan valid dan reliabel? Apakah itu bukan tindakan kriminal? Lalu apakah esensi dari belajar?
Kedua, jika memang fee yang menjadikan tujuan mungkin akan normal saja jikalau jalan yang ditempuh adalah jalan profesional. Namun apakah jalan yang dititi oleh dua fragmen diatas adalah jalan wajar menurut norma sosial, norma agama? Seberapa besarkah uang yang mampu penulis kumpulkan untuk memenuhi hidup dan seberapa besar harga diri dan martabat yang telah penulis korbankan? Dapatkah uang tersebut terkumpul dalam bentuk harta bermerek , seperti Mercy atau Volvo? Jika tidak, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah jika kekayaanpun tak terkumpul, masihkah kita menggadaikan nama baik diri dengan memalsukan kata ’keberhasilan’?
Ketiga, bacalah luka yang dialami oleh Dita dan Beni dalam fragmen itu. Maukah kita merenungkannya akibat dari kedua anak tersebut karena ingatan tentang apa yang penulis lakukan? Ingatan yang mungkin akan menjadi abadi. Nama penulis diabadikan dalam sebuah kenangan yang paling pahit. Dan itulah kenangan yang akan membuat mereka mengingat sepanjang hidup tentang penulis? Nestapa...

Dengan mengambil tiga hikmah dari fragmen itu, penulis kembali mengetuk hati nurani kita kepada hakekat harkat dan martabat seseorang. Bahwa tidak dapat dipungkiri apa yang telah menjadi tekad pemerintah dalam menjadikan guru sebagai profesi adalah pintu gerbang bagi pengentasan martabat guru sebagai profesi. Namun demikian guru sebagai pribadi yang bermartabat dihadapan siswanya, hanya guru sendirilah yang wajib menjaganya.

(Sumber: Agus Listiyono dalam Harian PELITA, 11 Januari 2005)

Peta Purworejo

Pagi ini saya menerima kiriman pos dari teman saya yang sejak berteman di SPG Bruderan tetap tinggal di Grantung, Purworejo. Isinya tidak lain adalah peta kebupaten dimana saya remaja di Purworejo. Peta ini menjadi impian saya untuk memilikinya setelah akhir Desember 2008 lalu saya berkesempatan memberikan pelatihan di Sekolah Islam Terpadu Ulil Albab yang berlokasi di Andong, Kutoarjo, Purworejo. Dimana di sekolah ini saya melihat sebuah peta kabupaten Purworejo.

Maka sepulang dari Purworejo, saya mengirim sms kepada segenap teman yang berdomisili di Purworejo untuk mencarikan peta itu. Dan Alhamdulillah, teman saya yang di Grantung (Fotonya ada di bawah halaman ini), yang bernama Heri Pranoto, mengirimkan untuk saya. Wah Luar biasa senang sekali saya.

Mengapa begitu bahagianya saya mendapat peta itu? Tidak lain karena saya menyukai napak tilas ketika menelusuri kembali nama-nama tempat atau desa atau jalan atau lokasi dimana saat remaja dulu saya berkelana, termasuk menjadi pengamen untuk menambah uang transpor.

Oleh karenanya, melalui tulisan ini, saya bermaksud menyampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada saudara dan teman saya Heri Pranoto di Grantung, Purworejo. Semoga ini menjadi amal kebaikan baginya. Amien. Saya memiliki kenangan khusus kepada kawan saya ini. Yaitu ketika kami, saya dan dia, ditambah teman satu lagi yang bernama Wawan Saroyo, satu kamar tidur saat kami menjalani magang di sebuah sekolah dasar negeri di desa Gebang kecamatan Gebang. dan dalam pergaulan selama satu bulan tersebut, saya mendapatkan makna persahabatan hingga kini.

Heri Pranoto menjadi guru di sebuah SDN yang berada di kecamatan Bayan bersama mantan ketua OSIS SPG Bruderan tahun 1984 yang bernama Astuti. Selain profesinya itu, ia juga adalah koresponden Global tv untuk wilayah Kebumen. Sedang teman saya yang satu lagi, Wawan Saroyo, menjadi guru SD Pius di Wonosobo. Saya sendiri, memegang amanah sebagai wakil yayasan untuk mengelola Sekolah Islam TUGASKU di Pulomas, Jakarta Timur.

02 March 2009

Undangan Reuni

Pada sebuah akhir pakan, Sabtu tanggal 28 Februari 2009, saya menerima telepon dari seorang yang ketika saya jawab salamnya, ia bernama Callista. Ya saya mengenal sekali nama itu. Ia adalah siswi saya ketika masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar pada tahun 1987. Dan ia sendiri mengingat kelasnya, karena selain menyebutkan nama ia juga menambahkan: dulu di kelas I C waktu Bapak mengajar kami. Dan setelah 22 tahun berlalu, ia kini adalah seorang Dokter gigi yang buka praktek di daerah Puri Mutiara Cipete Jakarta Selatan.

Lalu apa kepentingannya menelepon saya setelah sekian puluh tahun berlalu? Kami mengundang Bapak untuk acara reuni pekan depan di Sekolah. Kita kangen untuk kumpul. Kami mengundang semua guru-guru kami yang dulu mengajar kami. Apakah Bapak bias datang? Katanya. Dan tanpa berpikir panjang lagi saya menjawab bisa. Kalau siswa saja kangen dengan para gurunya, mosok kami tidak kangen dengan siswanya?

Lalu apa yang terbayang dipikiran saya setelah undangan reuni dari siswa saya sekian puluh tahun lalu itu? Selain kerinduan untuk bercengkerama. Saya antusias sekali untuk melihat sebarapa sukses dan hebatnya para siswa ini. Bahkan, saya sendiri ingin sekali memohon maaf atas kelemahan, kekhilafan, kekurangan yang ada pada diri saya ketika dulu mengajari mereka. Itu harus saya sadari karena saat mengajar mereka usia saya masih muda, atau mungkin juga kendali amarah saya masih tipis ketika mendapat mereka tidak sesuai dengan apa yang menjadi ekspetasi saya. Ya, saya ingin diberikan waktu untuk bicara dihadapan mereka, sekaligus mengungkapkan permohonan maaf atas kekurangan yang telah mereka terima dari saya.

Namun apa yang nanti bakal terjadi? Apakah harapan saya untuk dapat berbicara kepada mereka semua terwujud atau akan seperti apa pertemuan itu nantinya? Saya masih belum tahu persis. Namun saya masih bertekad untuk menyampaikan kegembiraan atas undangan mereka dan yang paling penting lagi, mohon maaf. Semoga reuni nanti menjadi awal bagi kami merajut silaturahim dalam konstelasi yang berbeda.

Benar saja, saat pertemuan itupun tiba. Ahad, 8 Maret 2009 di SD Islam Al Ikhlas, Cipete III, Cilandak Jakarta Selatan. Saya datang tepat ketika acara rehat makan dan Shalat. Ya saya terlambat. Tapi saya sangat gembira. Saya memberikan salam kepada mereka dengan, tentunya, membaca nama mereka. Deikian jga dengan mereka. Waktu yang panjang telah merubah beberapa bagian dari diri kita.

Ini adalah reuni khusus buat mereka yang lulus dari SD Islam Al Ikhlas tahun 1993, Dan Callista adalah satu dari 80-an alumni yang datang. Luar biasa!

SPG 1984















Saya yakin diantara anda akan bingung untuk menemukan yang mana foto saya. Itulah waktu. 25 tahun cukup bagi waktu merubah sesuatu. Meski pelan tapi pasti. Dan itu terjadi tidak hanya pada saya. Tetapi juga pada teman saya yang pada Mei tahun 1984, setelah ujian sekolah berakhir, kita wisata bersama, mengambil gambar bersama, sebagaimana yang terlihat di atas.

Foto ini diambil ketika kami berada di depan air terjun Curukmuncar. yang berlokasi di desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, kabupaten Purworejo. Saat itu perjalanan kami tempuh dengan naik angkot dari Panthok, Purworejo menuju Somongari dengan melawati desa Cangkrep, desa Kemanukan dan sampailah Somongari.

Foto ini juga sebagai saksi kali terakhir kita bersama setelah 3 tahun menempuh pendidikan di Purworejo. Kami berpisah untuk merajut perjalanan berikut masing-masing dengan harapan masing-masing. Pertemuan berikut yang lebih kolosal terjadi di almamater kami di SPG di Purworejo saat reuni dan silaturahim pada Senin, 7 Oktober 2008. Bertepatan dengan saat libur Idul Fitri. Alhamdulillah, saya bersyukur bahwa semua teman yang dapat dan menyempatkan hadir dalam reuni itu memiliki semangat dan kerinduan yang sama.


Setidaknya kita dapat saling ber-sms atau berkirim email untuk sekedar bertanya berita atau berkirim dokumen yang berkenaan dengan profesi kita sebagai guru.

13 February 2009

Dialog Utara-Selatan

Dalam dunia modern seperti sekarang ini, komunikasi menjadi bagian paling utama saat membangun keberhasilan sebuah lembaga. Termasuk di dalamnya lembaga pendidikan. Goleman menguraikan bahwa kemampuan membangun komunikasi dengan pihak luar sehingga menjadi jalinan yang sinergi adalah tingkatan terakhir dalam sebuah kecerdasan emosional. Dan tingkat terakhir ini berawal dari tingkat yang paling endah. Yaitu mengenali diri.

Prinsip inilah yang mungkin menjadi pemicu bagi kegiatan dialog antara guru dengan manajemen yang memiliki alur bebas, tema bebas, seperti forum katarsis yang pernah saya alami di beberapa lembaga pendidikan swasta. Dialog yang kemudian kita namakan sebagai dialog utara-selatan, meniru apa yang pernah dilakukan oleh Presiden ke-2 kita, Bapak Soeharto. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah yang lebih pas, ngobrol ngalor-ngidol. Sebuah ungkapan yang menurut saya jauh lebih sarat makna.

Munculnya kegiatan ini, yang melibatkan antara lain manajemen di tingkat lembaga dengan para guru diilhami dengan keingintahuan pihak manajemen lembaga terhadap apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Kita sebagai manajemen lembaga kadang melihat bahwa semua kegiatan dan program telah berjalan dengan baik, lancar dan sesuai dengan ekspektasi. Ketika ini telah berlangsung dalam kurun waktu tertentu, tentu kita yang menjadi bagian dari organisasi tersebut sedikit merasakan bahwa kegiatan atau program sekolah itu sudah berlangsung berulang seperti rutinitas. Sekalipun dalam setiap program yang berulang tersebut
selalu saja terjadi pengembangan bentuk dan kualitas karena penampungan ide-ide baru dari seluruh pelaksana di lapangan oleh guru yang kreatif. Tetapi cita rasa perulangan akan terus selalu dirasakan. Maka untuk memahami getaran cita rasa itulah, diperlukan sebuah dialog atau diskusi bebas.

Sebuah dialog yang pada akhirnya menjadi jembatan introspeksi tentang langkah yang telah dilalui dan kemungkinannya untuk membuat lejitan baru. Bisa pula sebagai penyamaan persepsi tentang semua hal yang menjadi fokus pembicaraan sehingga nantinya timbul komitmen baru. Bisa juga menjadi evaluasi bagi lembaga untuk menuju yang lebih baik lagi. Pertanyaannya adalah, apakah selama sekian lama tidak terjadi adanya dialog atau diskusi antara pihak manajemen dengan guru sehingga kita membutuhkan forum yang sedemikian khusus? Saya meyakini bahwa siapapun anda, khususnya sebagai manajemen di sebuah lembaga, pasti akan selalu membangun forum komunikasi. Baik itu dalam rapat kerja, rapat guru jika di sekolah, atau sekedar diskusi ringan ketika anda menyelesaikan sholat berjamaah di musholla. Tetapi karena dialog atau diskusi yang anda buat atau yang terjadi tersebut dari jawalnya tidak didesain dalam kerangka tertentu, maka akan selalu berbeda dengan forum yang saya sebut sebagai dialog utara-selatan.

Contoh konkrit misalnya, sebuah lembaga yang kesulitan untuk menemukan figur kepala sekolah. Hal ini dimungkinkan karena di sekolah tersebut selama sejarahnya, yang menjadi kepala sekolah adalah mereka yang pensiun dari lembaga pemerintah. Ketika kepala sekolah tersebut harus benar-benar istirahat karena kemampuan fisiknya yang berkurang, akan ada pengganti yang juga pensiun dari lembaga pemerintah yang lain. Demikian terus menerus. Ini memang beralasan, karena yang pensiun tersebut selalu mereka yang memiliki reputasi sebagai pejabat di lembaganya dulu. Minimal sebagai Pengawas Sekolah. Bahkan ada yang mantan Kepala Dinas.

Nah, ketika lembaga merubah paradigma, ini juga karena desakan perkembangan daya saing, maka pengurus lembaga tersebut menginginkan sesuatu yang berbeda. Maka forum penemuan pemimpin tersebut dilakukan dalam bentuk dialog. Dan peserta dialog adalah mereka yang direkomendasikan oleh kepala sekolah yang menjabat. Atau bisa juga guru yang ingin ikut serta meski tidak direkomendasikan kepala sekolahnya. Dan ketika dialog tersebut berlangsung, saya menawarkan diri agar untuk sementara kepala sekolah tidak ikut hadir di dalamnya. Ini karena forumnya telah diakadkan untuk menemukan figur kepala sekolah dari dalam lembaga itu sendiri.

Memang kadang terjadi pembicaraan tentang seputar reputasi kepala sekolah selama ini. Ini jika
reputasi tersebut benar-benar telah mencapai pada tahapan kronis. Tetapi guru yang memiliki visi ke depan dan berfikiran sebagai bagian dari sistem, akan selalu membawa arus dialog kepada bagaimana kita bergerak ke depan dari sekarang ini. Ia akan mengajak kita semua untuk memikirkan siapa kita, dimana kita, akan kemana kita, dan bagaimana kita seharusnya.

Mereka akan menyampaikan itu semua dalam kerangka berfikir yang jujur dan matang. Tidak dibalut dengan gaya bahasa yang kita merasakan dibuat-buat atau sebagai acting. Meski ia belum tahu apa solusi atau juga alternatif yang dapat kita tempuh, tetapi setidaknya kita tahu siapa diri kita, dan harus bagaimana kita selanjutnya.

Dengan demikian, bagi saya, dialog seperti ini benar-benar telah membuka ruang-ruang yang pada saat komunikasi sehari-hari tampak baik-baik saja. Sehingga dengan ini pula maka kita dapat memahami secara lebih jujur dan lebih akurat tentang apa yang terdapat di dalam atau bahkan dasar sebuah kolam. Sehingga jika pemilihan pemimpin yang menjadi tujuan dari dilakukannya dialog tersebut, atau mungkin pengembangan sekolah yang lebih baik lagi, kita dapat mendapatkan gambaran yang relatif lebih pasti.

Hanya harus pula kita sadari bahwa, apa yang kita lakukan dalam dialog tersebut adalah capital pertama. Sehingga masih diperlukan perenungan dan data tambahan untuk tahapan berikut sampai pada pengambilan sebuah keputusan. Tetapi saya ingin menyampaikan bahwa sebuah dialog terbuka dengan forum yang khusus sebagaimana yang telah saya kemukakan di atas adalah sebuah kesempatan bagi kita untuk mengetahui siapa sesungguhnya kita, merefleksi diri di hadapan sebuah cermin, dan melihat masa depan yang lebih baik lagi.

(Sumber: Harian Pelita, 5 Juni 2007)

04 February 2009

Ponten

Ketika pada masa awal menjadi guru, banyak pengalaman yang saya alami berkenaan dengan kompetensi, pola komunikasi dan sosial saya. Terutama dengan dan bersama siswa saya di dalam kelas di sekolah. Tentunya yangberkenaan dengan kekurangan saya sebagai guru yang mencari jati diri dalam menuju profesinalisme. Tidak luput juga dengan apa yang menjadi judul tulsan saya ini. Ponten.

Ini adalah kosa kata Bahasa Indonesia yang baru buat saya, yang lahir dan besar hingga lulus sekolah pendidikan guru atau SPG di desa dan ibu kota kabupaten dengan penggunaan bahasa komunikasi sehari-hari masih menggunakan bahasa daerah. Maka saat menjadi guru saya belum mengenal ponten. Sekalipun saya melahap habis novel Edy D Iskandar, Teguh Esa, Darto Singo, Motinggo Busye, atau novelis lainnya, tetapi tetap saja belum pernah bertemu dengan kosa kata satu ini.

Peristiwanya ketka ada salah satu dari siswa saya bertanya tentang hasil ulangannya apakah saya sebagai gurunya telah memberikan ponten? Saya dengan yakin tentu menjawab sudah. Lalu mengapa Bapak belum juga membagi kertas ulangan kami? Lajut siswa tersebut menuntut. Saya berjanji untuk membaginya esok hari bersama-sama dengan ulangan lainnya yang masih ada pada saya. 

Benar saja. Esok harinya, siswa tersebut menghampiri saya ketika saya bersama teman guru lain sedang mengenakan sepatu ketika kami selesai menunaikan Shalat Dzuhur. Katanya sudah diponten, kok belum juga dikembalikan? Belum dibagikan kepada kami? Tuntut siswa saya lagi. Tentu tuntutan yang sangat masuk di akal. Karena memang hari ini saya berjanji untuk mengembalikan dan membagikan hasil ulangan mereka. Dan tentunya saya tetap mengatakan akan dibagi. Hingga siswa saya itu pun berlalu meninggalkan saya dengan penuh heran. Betapa tidak. Saya katakan ulangan mereka sudah selesai saya periksa dan saya beri ponten, tetapi saya belum juga mengembalikan atau membagikan ulangan tersebut. Lalu apa maksud saya? Begitu tentu pikir siswa saya.

Teman yang disamping bertanya kepada saya. Bapak tahu ngak apa maksud dia? Katanya. Saya tahu. Jawab saya yakin. Bapak tahu apa artinya ponten? Lanjut teman saya lagi. Tidak. Apa yang dimaksud dengan ponten? Tanya saya balik. Ponten itu nilai. Diponten itu dinilai. Jadi siswa Bapak tadi minta ulangan mereka kalau Bapak sendiri telah selesai memeriksa dan memberi ponten segera diberikan kepada mereka!
Deg! Saya langsung menyadari dan memahami apa yang diminta siswa saya sejak kemarin. Dan tanpa membuang waktu lagi saya segera menuju ruang kelas dan memberikan kertas ulangan siswa yang telah saya ponten kepada seluruh siswa yang kebetulan belum pulang.

Sikap Terbuka

Apa yang pernah saya alami tersebut adalah proses penundaan kemajuan yang secara sadar atau tidak saya telah lakukan untuk diri saya sendiri. Karena sejak awal siswa saya mengatakan ponten dan saya sendiri tidak terlalu memahami apa yang dikatakan dan dimaksudkan, saya tidak segera melakukan konfirmasi atau secara berterus terang bertanya balik apa yang dia maksud dengan kosa kata itu. Saya memilih untuk berdiam dan berusaha memecahkan persoalan tersebut tanpa ada proses keterlibatan pihak lain, yang mungkin akan memberikan jalan keluar. 

Mungkin saya waktu itu sangat percaya diri untuk mampu memahami sepenuhnya apa yang siswa saya, yang masih berusia 6-7 tahun, itu katakana atau maksudkan. Namun itu semua diluar kenyataan yang ada. Saya tetap tidak mampu memahami apa yang dimaksud siswa saya. Hingga pihak ketiga memberikan pertolongan kepada saya. Sekarang saya menyadari. Bahwa ini semua karena saya tidak cukup memiliki sikap terbuka atau sikap berterus terang.

Sikap dimana saya harus mengakui bahwa apa yang mereka maksud atau katakana, saya belum mampu memahaminya. Atau keberanian saya untuk mengatakan bahwa saya belum faham. Sikap tidak terbuka itu yang menyebabkan ilmu saya tentang ponten harus memakan waktu lebih dari satu hari. Sebuah jangka waktu yang tidak efektif bagi sebuah proses pembelajaran.

Sikap tidak terbuka itu terlahir karena saya melihat bahwa siswa saya bukan sumber belajar saya. Bahwa saya secara keilmuan berada pada tataran strata yang lebih tinggi. Belenggu inilah yang memicu perlambatan proses belajar saya. 

Sekarang, saya melihat peristiwa dua puluh tahun lalu itu sebagai mutiara yang berkilau. Yang mampu memberikan cermin untuk saya sendiri. Sebuah cermin untuk jujur pada diri sendiri dan terbuka mengatakannya kepada pihak yang belum mampu saya fahami. 

Semoga ini menjadi bekal belajar saya berikutnya. Tidak saja yang berkenaan dengan ponten, tetapi tentang berbagai hal yang mungkin jauh lebih luas dan kompleks!