Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

03 March 2009

Tes Sumatif

Tes semester yang dilaksanakan pada akhir semester lebih dikenal dengan tes sumatif. Akhir Desember dan awal Januari lalu adalah saat dilaksanakannya tes sumatif diberbagai sekolah sebelum penerimaan rapor semester ganjil. Dan sekitar bulan Mei atau Juni untuk semester genap. Materi pelajaran yang menjadi bahan tes sumatif adalah materi pelajaran sepanjang semester tersebut. Setiap siswa dengan kapasitasnya masing-masing pasti telah menyiapkan diri dalam menghadapi tes tersebut.
Diantara mereka ada yang susah payah mengatur jadwal belajarnya karena mungkin harus membagi waktu antara belajar dengan menjaga adiknya atau melakukan perkerjaan lainnya untuk membantu orangtua. Sebagian yang lain bahkan ikut belajar kelompok bersama teman-temannya dengan memanggil guru sebagai pendamping belajar atau pergi ke bimbingan tes yang menjamur sebagai bisnis menjanjikan. Sebagian yang lain lagi belajar dengan guru kelas atau wali kelasnya dirumah yang sering kita kenal dengan istilah les privat.
Selama menjadi guru di sekolah, penulis banyak mendengar, menerima aduan baik dari siswa, orangtua dan bahkan juga guru tentang soal tes yang bocor. Mereka menceritakan suatu perbuatan yang menurut kasanah dan norma sosial adalah bentuk perbuatan yang tidak seharusnya terjadi. Kebocoran suatu soal tes bukanlah suatu yang terjadi karena ketidak sengajaan, tetapi lebih kepada bentuk penyelewengan intelektual dari para pembimbing belajar atau siapa saja yang memiliki akses terhadap soal tes yang ingin diwariskan kepada para generasi penerusnya. Bila kebocoran ini dilakukan oleh siapa saja yang berstatus pembimbing siswa dalam belajar, guru les misalnya, maka degradasi moral ini didasari oleh semangat mengumpulkan rezeki untuk sekedar menghidupi diri sendiri atau sanak keluarganya. Dan juga untuk mengangkat nilai agar seolah-olah siswa yang mendapatkan soal yang bocor tersebut pandai. Mengenaskan! Tetapi inilah sepenggal cerita dari keponakan penulis...

Beni adalah siswa sekolah menengah di sebuah sekolah di negeri tercinta ini. Ia belajar menyesuaikan dengan irama belajar teman-temannya. Sejak menginjak bulan kedua ketika sekolah berlangsung, ia bergabung bersama teman-temannya yang berjumlah lima orang untuk belajar kelompok dengan salah satu gurunya. Ketika awal dimulainya les, ibunya mencoba menghubungi Bapak Guru untuk menanyakan fee yang harus dianggarkan pada akhir bulan nanti. Disela-sela diskusi dan nasehat agar putranya belajar lebih giat karena Bundanya mengeluarkan ’dana ekstra’ diluar uang bulanan rutin lainnya, Beni menyahutnya dengan rileks. ”kadang Pak Guru menyebutkan agar kita mengingat soal ini, nanti keluar di ulangan.” jelas Beni. ”jadi begitu?” Ayahnya kaget.
Selain Beni, Dita keponakan penulis yang lain, adalah sosok siswa yang berbeda. Paling tidak kapasitas mengingatnya sedikit jauh lebih banyak dan baik dari Beni. Dita adalah perkeja keras. Saat belajar, hampir titik dan koma yang terdapat di buku pegangan mampu diingatnya. Maka saat bunyi bel pertanda habis waktu dan ia merasa belum berhasil menemukan jawaban dalam tes, ia begitu gusar. Namun betapa ia kaget ketika satu teman kelasnya yang tergolong ’papan bawah’ berkomentar dengan pasang tampang bangga, ” Yes! Semua soal yang dipelajari semalam keluar! Gampang! ” dan selidik punya selidik teman itu adalah salah satu murid les dari oknum gurunya...
Dua fragmen diatas adalah kejadian nyata. Dan dengan itu penulis tidak bermaksud untuk mendiskreditkan profesi guru yang kebetulan di sandang oleh pembimbing dari siswa diatas, yang penulis kutip secara penuh sebagaimana ilustrasi di atas. Namun dengan kejadian yang telah dipertunjukkan oleh oknum tersebut penulis yang juga guru mencoba untuk berkaca di depan cermin.
Pertama, kalau penulis adalah guru yang memberikan bimbingan kepada siswa, apapun bentuk bimbingannya –privat ataupun kelompok- dengan cara memberikan latihan soal yang persis akan keluar dalam tes, maka pertanyaannya adalah; apakah penulis sudah berlaku adil pada siswa yang bersangkutan dan juga pada siswa yang lain? Apakah dengan cara tersebut maka tes dapat dikatakan valid dan reliabel? Apakah itu bukan tindakan kriminal? Lalu apakah esensi dari belajar?
Kedua, jika memang fee yang menjadikan tujuan mungkin akan normal saja jikalau jalan yang ditempuh adalah jalan profesional. Namun apakah jalan yang dititi oleh dua fragmen diatas adalah jalan wajar menurut norma sosial, norma agama? Seberapa besarkah uang yang mampu penulis kumpulkan untuk memenuhi hidup dan seberapa besar harga diri dan martabat yang telah penulis korbankan? Dapatkah uang tersebut terkumpul dalam bentuk harta bermerek , seperti Mercy atau Volvo? Jika tidak, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah jika kekayaanpun tak terkumpul, masihkah kita menggadaikan nama baik diri dengan memalsukan kata ’keberhasilan’?
Ketiga, bacalah luka yang dialami oleh Dita dan Beni dalam fragmen itu. Maukah kita merenungkannya akibat dari kedua anak tersebut karena ingatan tentang apa yang penulis lakukan? Ingatan yang mungkin akan menjadi abadi. Nama penulis diabadikan dalam sebuah kenangan yang paling pahit. Dan itulah kenangan yang akan membuat mereka mengingat sepanjang hidup tentang penulis? Nestapa...

Dengan mengambil tiga hikmah dari fragmen itu, penulis kembali mengetuk hati nurani kita kepada hakekat harkat dan martabat seseorang. Bahwa tidak dapat dipungkiri apa yang telah menjadi tekad pemerintah dalam menjadikan guru sebagai profesi adalah pintu gerbang bagi pengentasan martabat guru sebagai profesi. Namun demikian guru sebagai pribadi yang bermartabat dihadapan siswanya, hanya guru sendirilah yang wajib menjaganya.

(Sumber: Agus Listiyono dalam Harian PELITA, 11 Januari 2005)

1 comment:

Anonymous said...

bagus artikelnya pak...
karena sy punya pengalaman yang sama dengan Dita dan Beni...
Malah yg lebih parah dulu teman2 yg ikiut les/bimbel privat yg pd kenyataannya nilai mereka jeblok juga walopun soal pernah diberikan di les oleh guru tsb..
ujung2nya nilai di rapor nggak merah sesuai tes, malah bagus dgn dalih mereka anak bimbingan/les guru tersebut, jadi bs dibantu nilainya..
semoga hal ini bisa menjadi renungan bagi oknum guru yg bertindak tdk adil seperti tsb tersebut..