Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

06 April 2009

Menjadi Mantan

Menjadi mantan maksudnya adalah pernah menjadi sesuatu. Agar mempersempit masalah, saya akan memberikan contoh di lembaga pendidikan. Misalnya saja mantan kepala sekolah, artinya pernah menjadi kepala sekolah dan sekarang tidak lagi. Tidak peduli apakah sekarang saya yang mantan ini mendapat jabatan baru yang lebih tinggi atau sebaliknya, kembali menjadi guru.

Tulisan ini ingin melihat betapa seorang mantan itu memiliki implikasi dan sekaligus konsekuensi. Misalnya saja saya adalah mantan pegawai di lembaga B. Dan karena lembaga B adalah lembaga pendidikan ternama di kota Jakarta, maka sangat boleh jadi saya terdongkrak harkat dan martabatnya. Begitu juga ketika saya adalah mantan kepala atau wakil kepala sekolah dan sekarang kebetulan tidak lagi memiliki jabatan struktural apapun di lembaga saya, maka saya tetap harus jaga harkat dan martabat saya. Karena orang telah terlanjut melihat saya tidak saja pada saat saya berada pada posisi apa yang pernah saya pegang. TDan itu telah melekat dan menjadi barometer tentang saya. Oleh karenanya saya wajib memegang harkat dan martabat saya sebagai kepala sekolah.

Coba saja saya yang mantan ini tiba-tiba pada suatu hari bicara negatif tentang lembaga atau orang yang menggantikan saya. Pasti orang bukan melihat saya dari kaca mata positif tetapi justru melihatnya dari kaca mata negatif. "Lho, selama ini Pak Agus ngapain bercokol di lembaga Anu. Kok baru sekarang bicara. Baru insyaf atau punya agenda tersembunyi?" kurang lebih begitulah apa yang akan disampaikan orang tentang saya. "Mantan wakil kepala sekolah kok ngak ada bekasnya ya..."

Jadi, berat ya menjadi mantan?

Maka salutlah saya kepada para mantan yang tetap memiliki rasa kontribusi yang tidak diragukan. Menyampaikan sesuatu yang kurang yang terjadi di lingkungannya dengan bahasa yang santun. Tetap menjaga jalinan silaturahim. Tetap memberikan dukungan moril dalam bentuk motivasi untuk terus maju. Dan menurut saya, hal itulah yang dapat dirasakan dan dimaknai sebagai bagian dari menjaga martabat diri.

Jakarta, 6 April 2009.

3 comments:

Anonymous said...

Agus sahabat yang rajin menulis,
sungguh aku bangga punya teman maju seperti kamu. Kamu banyak menulis, memberi pada teman-teman lama. Aku pun pingin sepertimu, namun belum bisa. Aku sehari -hari disibukkan dengan menyiapkan ujian anak-anak dg membuat soal, ngelesi , menyiapkan try out dll. UASBN ini memang melelahkan dan membuat kita tidak bisa berkreasi. Adanya cuma tuntutan harus berhasil semua. Jika boleh memilih aku senang sekolah mengadakan ujian sendiri. Anak bisa mengembangkan pikirannya sendiri, lebih kreatif, dari pada UASBN dimana soal model hanya pilihan ganda.
Selamat buat kamu yang kreatif. aku pingin seperti kamu, tunggu!!

Wawan, Wonosobo

Unknown said...

Btw ini cuma bercanda loh, bagusan mana: mantan kyai atw mantan preman? he..he..
Salam paseduluran dari www.purworejo.asia

Winy said...

haha... jadi inget waktu dulu bikin spanduk, agus listiyono, mantan guru di *******, hehehe... bingung juga, emang penting ya... ternyata emang punya nilai jual. salam pak agus. itu tulisan di paling atas, aduh, bikin hati ngilu :D