Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

20 October 2014

Tidak Mengeluh

"Apa yang akan saya samaikan ini bukan karena saya mengeluh ya. Jujur, saya sesungguhnya sedang buntu akal karena apa yang saya sedag jalani sekarang ini. Apa kata atau kalimat, atau malah jalan yang terbaik." Kata teman saya suatu kali ketika kami bertem untuk sekedar saling membagi dan melepas pengalaman masing-masing kami yang dulu pernah terikat dalam satu kepentingan yang sama karena berada di tempat kerja yang saya, yang sekarang harus berpisah dan berbeda kantor karena kepentingan masa depan yang kami tempuh.

Teman saya bercerita itu didengar oleh kita semua yang dapat hadir di sebuah lokasi di Jakarta yang kalau sore kita harus berjibaku untuk sampai ke lokasi. Tetapi karena ikatan pertemanan kami yang pernah sekantor itu begitu erat, barangkali, maka kami dari lokasi kantor masing-masing berupaya untuk dapat sampai di lokasi yang disepakati.

Ada teman yang harus berangkat dari Cikreteg, Bogor seusai jam kantor, sementara kami yang lain, beruntung tidak datang terlalu jauh. Tetapi tetap saja membutuhkan waktu tempuh yang tidak terlalu jauh berbeda dengan teman yang dari Bogor.

"Ya tidak perlu mengatakan bahwa apa yang kita alami sebagai pengalaman itu adalah masuk dalam ranah mengeluh. Mungkin berbagi. Karena pengalaman Anda bisa jadi akan menjadi pelajaran bagi saya. Juga apa yang saya alami sangat boleh jadi dapat enjadi cermin Anda semua. Jadi kita berada di sini berbagi cerita karena sudah sekian lama kita tidak saling bercengkerama." Begitu saya mencoba untuk dapat membuka kebekuan.

Dan berlangsunglah apa yang menjadi pengalaman kami masing-masing untuk dituang ke meja makan yang ada di restoran itu. Masing-masing kami tentunya akan mengambil bagian-bagian cerita yang memungkinkan dapat menjadi cermin buat kami di masa depan. Dan itu bebas-bebas saja. Mengalir seperti aliran sungai di pegunungan yang mengalir lancar denga air yang bening gemericik.

"Memang baru kali pertama hal ini saya dapat. Dan sama sekali tidak berharap akan ada lagi berkutnya sepanjang sya mendapat amanah sebagai Kepala Sekolah." Lanjut teman saya itu. Tidak terlalu terbuka apa yang disampaikannya. Tetapi sebagai pendahulunya, saya segera paham akan apa yang sedang dialaminya. Ini karena saya pernah bersentuhan dengan hal yang sama kala sebagai mengeban posisi yang dia miliki sekarang ini.

Pertama, yaitu dengan seorang kandidat dari Depok yang super. Latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang aduhai. Yang memiliki ketertarikan terhadap apa yang sedang kami butuhkan kalai itu. Namun karena ada ketentuan yang harus ditanggalkan, itulah yang menjadikannya mundur dan melapaskan diri untuk tidak turut serta sebagai bagian dari kami.

Kedua, adalah apa yag saya dapat cerita dari sakah seorang prosfective parent, yang secara kebetulan saya mengenalnya dengan sangat baik sebelumnya. "Bagaimana ya Pak Agus sebaiknya?" Begitu ia menyampaikan pertanyaan kepada saya. Pertanyaan yang sangat tidak mudah untuk saya berikan jawaban sebagai jalan keluarnya.

Dan sungguh. Antara lain karena itulah saya berkomitmen untuk segera kembali ke habitat saya yang homogen dikemudian hari. Pikir saya kali itu, yaitu dengan memutasikan diri. Alhamdulillah cita-cita itu dikabulkan oleh yang di atas. Jadilah saya bermigrasi. Lalu bagaimana dengan teman yang sedang bercerita di hadapan saya itu? 

Tidak etis bila saya harus menyampaikan apa yang pernah saya alami tersebut dihadapan teman-teman yang lain. Tetapi, ketika dalam suatu kesempatan berikutnya, saya menyampaikan apa yang pernah saya lakukan tersebut kepadanya. Pilihan apa yag akan diambilnya? Itu menjadi keputusannya. Saya tentunya berharap, yang terbaik.

Jakarta, 20.10.20 (14).

No comments: