Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

06 September 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #31; Harus Berkoordinat

Ini adalah hasil diskusi saya dengan beberapa teman yang menjabat sebagai pemimpin di unit sekolahnya masing-masing. Ada yang sudah menjabat sebagai Kepala Sekolah dan wakil lebih dari lima tahun, ada yang baru menjabat sebagai Kepala Sekolah, ada pula yang baru menjabat jabatannya beberapa bulan. Karena baru diangkat pada awal Juli 2016 lalu. Maka pada saat pertemuan dengan mereka beberapa waktu lalu, saya berkesempatan melakukan dialog dengan mereka secara terbuka dan menyenangkan. Paling tidak buat saya sendiri yang telah lama tidak berkecimpung dengan kepemimpinan di sekolah secara struktural. 

"Pak Agus, ada diantara kami yang hari ini masih sering tersengal-sengal napasnya ketika dapat tamu." kata salah satu teman di tengah-tengah waktu diskusi sedang berlangsung. Lalu kami semua berpaling kepadanya untuk mendapatkan rangkaian cerita yang sedikit utuh.

"Terutama ketika tamunya adalah teman sendiri yang menjadi seniornya di sekolah, yang menjadi bagian dari tanggungjawabnya." Lanjut teman itu dengan nada yang serius. Lalu kami sembari tersenyum-senyum ketika ungkapannya selesai dan saling pandang. Mimik tersebut seolah memberikan isyarat kepada saya bahwa beberapa teman masih menyimpan rasa sungkan ketika menunaikan tugasnya di lapangan. Dan rasa sungkan ini yang membuat teman itu harus mengatur nafas ketika menghadapi seniornya.

"Saya faham. Karena memang begitu lumrahnya. Namun jangan terlalu lama di atur oleh perasaan yang bernama sungkan. Jadi cara yang paling pas dalam menghadapinya adalah melawan perasaan itu sendiri. Tidak ada cara lain yang paling mujarab untuk menghilangkannya."  Kata saya memberikan pendapat dalam diskusi itu. Semua mencoba mencerna apa yang saya maksudkan. Saya juga menyadari bahwa pengalaman saya sendiri sangat mungkin tidak cocok menjadi jalan keluar dari teman tersebut. Namun saya ingin memberikan pemahaman bahwa sebagai pemimpin, meski perlu waktu, dan meski hanya sebagai pemimpin di unit sekolah, harus memberikan sinyal berkenaan dengan koordinat sikapnya kepada teman-teman yang dipimpinnya. Dan melawan sungkan, menurut saya adalah bagian penting dalam memberikan sinyal kepada 'masyarakat' yang dipimpinnya, adalah bentuk dari sinyal berkenaan dengan koordinat yang saya maksudkan.

Misalnya dalam hal masukan yang datang dari teman-teman senior terhadap sebuah keputusan yang sudah menjadi kesepakatan dan sudah juga tersosialisasikan dalam bentuk surat, maka masukan tentunya tetap diterima, namun tidak untuk mengubah keputusan yang sudah diambil. Maka ini juga akan menjadi bagian dari refleksi dari koordinat kepribadian sebagai pemimpin. 

Jakarta, 5-6.09.2016.

05 September 2016

Pergi ke Semarang #2; Lawang Sewu

Site-plan pembangunan jaringan kereta api yang dibuat di Belanda.
Di ambil dari diorama yang terpajang di salah satu ruangan Museum Lawang Sewu
Tidak banyak yang saya ketahui berkenaan dengan destinasi di Semarang, khususnya juga tentang Lawang Sewu. Sebuah bangunan yang dahulunya menjadi lokasi dimana para penguasa Belanda 'membangun' jaringan kereta api untuk kebutuhan transportasi. Dan meski beberapa kali saya melintas di depan gedung tersebut, baru Sabtu, 27 Agustus 2016 malam lalu saya berkesempatan masuk dan berkunjung di lokasi.
Tokoh-tokoh yang berada di balik pembangunan kereta api di 'Hindia Belanda'.
Ada terpampang beberapa rencana pembangunan jaringan kereta api yang dibuat Belanda saat itu. Baik jaringan yang direncanakan dibangun di Pulau Jawa, Madura, Sumatera, Sulawesi, juga para tokoh yang menaungi perencanaannya itu.

Tampak salah satu sisi Lawang Sewu dari halaman bagian dalam gedung di waktu malam.
Berkunjung ke Lawang Sewu yang pada awalnya adalah sebuah gedung instansi pemerintahan Belanda di Semarang, maka sekaligus juga melihat keterpaduan pembanguan sebuah kota pantai yang berada di dataran rendah, dengan udara yang terik. 

Jakarta, 5 September 2016.

29 August 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #29; Resign

Setiap di akhir tahun pelajaran, di sekolah selalu ada sahabat, teman, atau bahkan juga guru saya sendiri, yang mengajukan surat pengunduran diri sebagai guru atau karyawan per tahun pelajaran baru nanti, yang akan mulai di bulan Juli setiap tahunnya. Kenyataan ini memang tidak bisa dicegah mengingat, sebagai lembaga pendidikan formal swasta, teman-teman dimungkinkan untuk mengundurkan diri.

Dan buat saya, apa yang menjadi penyebab teman kerja itu mengundurkan diri yang layak kami dengar. Ada yang mengundurkan diri karena memang di tahun pelajaran baru nanti ia akan mendapat amanah yang lebih besar, yang tentunya kesempatan yang lebih banyak juga, di lembaga  lain. Dan ini yang membuat kami bangga. Karena ia telah bersama kami dalam bertumbuh. Dan kepadanya kami akan sampaikan harapan kami, agar ia tetap mendapatkan kebaikan. 

Ada pula karena alasan keluarga, sehingga teman itu harus mengundurkan diri. Karena selama ini harus meninggalkan anak-anak mereka yang masih relatif kecil untuk diajak prihatin dengan eyang-nya atau hanya dengan asisten rumah tangganya yang telah menginjak usia lanjut. Dan ini tentunya alasan yang paling rasional mereka ambil mengingat ia sendiri tidak terlalu memungkinkan untuk maksimal sebagai profesional di kantornya atau juga menjaga balitanya di rumah. Atau ada pula yang harus mengundurkan diri dengan alasan yang bukan seperti apa yang tertera di atas tersebut. Alasan pribadi.

"Jadi apakah masih memungkinkan bila Bapak mempertimbangkan saya untuk mutasi di bagian lain agar saya tidak dalam satu bagian kerja dengan pasangan Pak?" Demikian pernah dia menyampaikan hal seperti itu kepada atasannya. Namun Pak atasan sepertinya memiliki alasan yang berbeda mengapa dia tidak bisa menerima permohonan karyawannya. Alhasil, hingga akhirnya datang surat pengunduran diri yang disampaikan ke lembaga karena keinginan untuk tidak dalam satu bagan dengan istri tidak dapat diterima oleh ketua lembaga.

"Apakah ada alasan yang bisa saya tahu mengapa teman itu harus tidak memperoleh persetujuan untuk pindah di bagian lain Pak." Demikian saya mencoba menemukan apa yang menjadi dasar pertimbangan teman itu harus tidak berada di bagian lain setelah mereka melangsungkan pernikahan. Tentunya adalah selain alasan yang pernah disampaikan bahwa itu adalah amanat peraturan lembaga. 

Dalam catatan ini saya sedikit akan menuliskan mengapa teman saya tersebut tidak memberikan sinyal hijau atas permohonan pendidiknya yang mengajukan agar dapat berpindah ke bagian lain. Dan meski telah berkembang rumor yang tidak enak, maka teman saya menceritakan kepada saya duduk dari permohonan yang tidak disetujui itu.

"Jadi begini Gus, lambaga memahami sekali akan kepentingannya, selain kepentingan the couple tersebut. Dan karenanya lembaga memberikan jalan tengah yang baik. Mereka tetap tidak dalam satu bagian dan juga  tetap berada dalam lembaga. Namun entah bagaimana mereka datang kepada kami dan mengajukan proposal yang hanya memihak kepada mereka berdua. Kami jelaskan, tetapi justru mereka memilih untuk resign." 

Cerita teman itu sekaligus menambah data buat saya berkenaan degan 'perubahan' yang ada di sekolah. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya teman yang mengundurkan diri dari lembaga berarti juga akan meninggalkan lowongan kerja. Dan ketika ada pendidik yang baru, yang datang sebagai pengganti, maka pada sisi ini kita sedang dalam dua mata yang saling memungkinkan. Itu karena pengganti akan lebih baik dari yang resign, atau kebalikannya...

Jakarta, 19-29.08.2016.

Pergi ke Semarang

Penampakan Semarang dari Google map.
Bukan berlibur sesungguhnya yang sedang kami lakukan, saya dan teman-teman, ketika kami berangkat ke Semarang. Ini karena; kami hanya melakukannya dalam waktu yang singkat, yaitu hanya satu malam. Maka sesungguhnya kami sedang menjalani ketidakrutinan. Itulah yang kami lakukan ketika tujuannya adalah Semarang. Dengan waktu tempuh 45 menit via udara atau 6 jam bila moda kereta api sebagai pilihannya.

Melihat jejak Sam Poo Kong
Peta jaringan Kereta Api zaman Belanda di Lawangsewu.


Ya memang itulah yang kami jalani selama lebih kurang 30 jam berada di kota semarang. Sampai pukul 09.00 setelah harus menunggu di ruang tunggu terminal 2F tidak kurang 40 menit dari jadwal yang semestinya. Dan harus kembali dengan Argo Muria esok harinya tepat pukul 16.00.
Manikmati Bendungan Jatibarang dan Goa Kreo
Kebersamaan. Inilah yang kami dapatkan dalam perjalanan singkat kami ke Semarang. Bersama di ruang tunggu, bersama menunggu makanan yang dipesan datang tersaji, bersama dalam kendaraan yang kami sewa yag ketika pulang ternyata tidak banyak tempat untuk kami bisa duduk dengan nyaman mengingat kami harus berbagi dengan kardus oleh-oleh.
Semarang Timur dari atas menara Masjid Agung Jawa Tengah.

Jakarta, 29 Agustus 2016.

12 August 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #30; Bolehkah Mulai Besok Saya Datang Pukul 08.00?

Dalam suasana pengembangan sekolah yang membutuhkan beberapa posisi yang harus bertukar, berubah, atau rotasi, maka ada beberapa teman yang semula ada di bagian manajemen harus kembali ke staf pendidik, atau demikian pula ada pula yang sebelumnya sebagai full time pendidik kemudian kami berikan tugas tambahan sebagai manajemen. Ada pula yang hanya bergeser menempati unit kerja yang berbeda meski jabatan teman itu tetap sama, yaitu sebagai Kepala Sekolah. Ini semua kami butuhkan setelah perjalanan waktu memberikan kepada kami umpan balik untuk melakukan sesuatu yang berbeda atas nama pengembangan lembaga sekolah kami.

Dan tujuan pengembangan bagi sekolah kami, yang adalah merupakan lembaga pendidikan formal swasta, tidak lain adalah sebagai upaya agar kami dapat terus memberikan kontribusi terbaik bagi generasi bangsa. Dengan cita-cita ini, maka kami dimungkinkan untuk terus berkembang secara berkelanjutan. Dan itu semua kami yakini berawal dari mengembangkan guru dan pendidik kami secara optimal.

Namun dalam salah satu usaha yang kami terus lakukan itu, ada salah seorang teman yang ketika harus berpindah dari satu unit kerja ke unit kerja yang lain, meski tetap dalam strata manajemen, menyampaikan kepada saya sebuah permohonan, dalam sebuah forum resmi manajemen. Dimana di forum tersebut hadir penentu kebijakan yang ada di lembaga kami.

"Pak Agus, kalau begitu, mulai besok senin saya boleh datang ke sekolah jam 08.00? Kan saya sudah tidak berhadapan langsung dengan siswa?" Demikian permohonannya. Saya, dan saya meyakini yang ada di forum itu, terkaget dengan kalimat yang disampaikan oleh salah satu dari manajer kami itu. Dan karena kalimat yang disampaikan langsung ditujukan kepada saya, maka saya mencoba sigap mencari kalimat jawaban yang intinya adalah TIDAK.

"Tidak bisa Ibu. Kalau  itu yang Ibu lakukan, maka kesaktian Ibu sebagai manajemen di lembaga ini akan langsung lenyap." Kata saya memberikan jawaban awal. Saya melihat perubahan situasi dalam forum tersebut. Termasuk melihat kepada raut muka Ibu tersebut dan juga kepada wajah wakil saya yang sehari-hari selalu siap dan sedia menjadi tangan kanan lembaga.

Nampaknya yang berkembang kemudian adalah sulitnya sebagian orang yang ada di dalam forum itu menerjemahkan apa yang saya maksudkan dengan sakti. Beberapa teman sulit memaknai secara hakiki apa yang saya maksudkan. Selain tentunya kalimat pertamanya; tidak bisa.

Maka saya sampaikan dalam forum bahwa, sebagai manajemen, hal utama yag harus menjadi pegangan kita adalah teladan. Dan hal krusial yang nantinya menjadi patokan adalah jadwal kerja kita. Maka kalau manajemen datangnya sering terlambat menuju ke kantor, jangan pernah berharap jika menyampaikan sesuatu kepada stafnya akan benar-benar akan dijalankan. Itulah yang saya maksudkan dengan sakti. begitu sederhana. 

Jakarta, 12.08.2016.

09 August 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #28; Dimana Harga Diri Saya Pak?

Rotasi guru dalam proses untuk mencapai kebaikan individu dan juga lembaga secara keseluruhan, menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Biasa jadi kegiatan pergeseran atau sering disebut sebagai mutasi tersebut karena kita ingin memberikan kesempatan kepada individu yang bagus untuk berkembang lebih baik lagi, ada pula kalanya kita 'menyimpan' individu yang memang sering kita menerima masukan baik dari teman yang ada pada posisi horisontal atau juga yang berada di vertikal. Bahkan tidak jarang, bagi kami yang bergerak di dunia pendidikan formal, sekolah, masukan paling gencar adalah dari pihak orangtua siswa.

Khusus untuk mutasi individu, hal ini dilakukan antara lain kerena atau atas dasar dari masukan orangtua, dan itulah yang menjadi catatan saya kali ini. Ini karena telah berulang kali kami mencoba menetralkan masalah yang tumbuh dan berkembang berkenaan dengan perilaku dan kesungguhan dari teman kami di dalam menangani peserta didiknya di dalam kelas, juga tidak jarang kami harus mencoba secara persuasif memberikan masukan kepada individu dimaksud atas masukan yang kami terima, yang jika kami amati sumber masalahnya ada karena tidak totalnya teman kami tersebut dalam mengemban amanah keguruannya di hadapan peserta didiknya.

Diantara hal yang menjadi ketidaktotalan dalam merealisasikan amanah keguruan tersebut adalah membawa masalah kehidupan pribadinya ke dalam ranah profesi yang diembannya. Hal ini menjadikan kerancuan pikir yang pada ujungnya berdampak kepada situasi batin yang sering melahirkan amarah yang tidak pada tempatnya. Atau juga pada ranah semangat dirinya dalam mengemban tugas. Terlalu terbawa suasana hati yang malas. Ujungnya adalah pekerjaan yang dijalaninya dilakukan tidak dalam kecermatan dan ketelitian. Juga pada akhirnya pengembangan diri menjadi hal yang tidak masuk dalam skala prioritasnya.

Dengan hal-hal yang demikian itu, maka kunjungan dari pihak orangtua atau juga melalui pesan di seluler datang kepada Kepala Sekolah untuk mempertimbangkan masukannya sebagai bagian dari pengambilan keputusan. Maka tahapan-tahapan pembinaan dicoba untuk disampaikan dengan tata kerama yang se-santun-santunnya. Termasuk di dalamnya adalah pilihan kata yang akan disampaikan.

Namun jika pun apa yang telah diupayakan sebagai bahan perbaikan individu juga telah berlangsung dan proses perbaikan memang tidak tampak secara signifikan, maka standar lembaga akan menjadi indikasi bagi Kepala Sekolah untuk menemukan solusi atas semua itu. Maka kepada individu tersebut bisa jadi masuk dalam proses mutasi. Dan karena posisi  guru hanya ada pada posisi guru utama, guru pendamping, dan guru spesialis, maka pada posisi-posisi yang ada itulah kami menentukan dimana paling pas kepada individu yang kami maksudkan.

Lalu ketika posisi telah diputuskan oleh Kepala Sekolah bersama kami sebagai bagian dari strategi sukses pada tataran lembaga, maka menjelang liburan yang lalu ada pesan seluler yang masuk di Kepala Sekolah bahwa salah satu individu yang terdampak mutasi menyatakan kalau dirinya tidak mendapat penghargaan yang selayaknya dari lembaga.

"Dimana harga diri saya Pak?" Demikian lebih kurangnya apa yang kami baca di layar seluler kami. Dan kalimat ini membuat kami termenung, mengapa individu kadang merasa dirinya begitu layak mendapat penghormatan sementara kinerja riilnya begitu tidak dijadikannya pertimbangan untuk menakar harga dirinya?

Maka inilah yang menjadi agenda professional development di lembaga kami untuk mengawali tahun pelajaran baru dalam langkah kami melakukan pengembangan diri dan pengembangan lembaga, sebagaimana semangat kami untuk melakukan transformasi...

Jakarta, 8-9.08.2016

08 August 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #27; Mengapa Kami Berbenah?

Mengapa kami begitu giat melakukan transformasi di sekolah kami yang swasta? Meski sekolah kami adalah sekolah swasta yang dari awal berdiri hingga dekade 2010 memiliki siswa yang selalu penuh di kelas-kelas kami yang ada. Meski beberapa hal yang memberikan indikasi sesuatu yang 'berubah' pada perjalanan siswa baru sejak dekade 2000-an. Indikasi tersebut antara lain adalah tentang pergeseran demografi, sosial, dan ekonomi terhadap generasi yang masuk sebagai siswa kami jika kami melihatnya di era kami sejak sekolah kami berdiri hingga dekade 2000-an tersebut. Meski hingga tahun 2010-an sekolah kami masih belum memperlihatkan data siswa yang mengalami penurunan.

Namun sejak tahun pelajaran 2011 hingga tahun ini, 2016, data mengenai jumlah siswa kami yang menurun tidak dapat dipungkiri. Hal inilah yang membuat kami semua berbenah diri. Mencari tahu mengapa kami kekurangan siswa untuk memenuhi bangku kelas yang ada di ruang kelas kami.

Dan karena penurunan jumlah siswa tersebut juga menjadikan penurunan kepada jumlah kelas yang ada di sekolah kami, maka sebagai jalan keluar untuk menjaga kelebihan tenaga pendidik, maka beberapa langkah telah kami jalani. Seperti misalnya, tidak merekrut guru baru sebagai pengganti guru kami yang memasuki pensiun. Atau juga memberikan penawaran kepada Bapak atau Ibu guru yang memilih untuk pensiun lebih awal.

Mengapa keterpenuhan bangku siswa di kelas menjadi tolok ukur bagi kami? Ini karena kami adalah sekolah swasta yang sebagian besar biaya operasionalnya bersumber dari peserta didik yang ada. Untuk itu, tidak bisa tidak maka keterpenuhan bangku siswa menjadi impian kami.

Mengapa ada perubahan latar belakang keluarga yang masuk di sekolah kami belakangan ini? Karena perkembangan keluarga mampu yang ada di sekitar sekolah kami memungkinkan anggota masyarakat tersebut memilih sekolah yang sesuai dengan harapan mereka yang tentunya telah berubah dengan generasi masyarakat sebelumnya. Dan ini juga berarti masyarakat telah memiliki benchmark bagi sekolah yang berkualitas.

Setidaknya dengan beberapa hal tersebut diatas, maka kami sepakat untuk melakukan transformasi diri. Bahwa tidak dapat dipungkiri, masa lalu dan apa yang sedang kami terima sekarang ini adalah cermin untuk kami melakukan pembenahan, perbaikan, pembelajaran, dan transformasi.

Harapan dari semua itu tidak lain adalah eksistensi kami untuk dimasa-masa mendatang. Eksistensi yang panjang. Tentunya jika kami berkomitmen menjadi motivasi untuk terus  berbenah, berubah dan bertransformasi. Dan kami meyakini bahwa keberhasilan hanya kami dapat jika kami benar-benar dapat menjadikan diri-diri kami sebagai pribadi yang berdaya saing. Karena dengan demikian kami akan menjadi sebuah lembaga yang berdaya saing.

Dan berbenah menuju lembaga yang memiliki daya saing tidak lain jika kami secara jujur menemukan koordinat persaingan yang sekarang ini sedang menjadi tolok ukur masyarakat. Dan kami menemukan hal itu, yaitu dengan menjadikan kami, guru, sebagai pribadi yang memang unggul. Tentunya, sekali lagi, dengan parameter yang diyakini masyarakat sekarang ini. Semoga.

Jakarta, 8 Agustus 2016.

06 August 2016

Menemukan Sekolah Baru

"Pak Agus apakah sudah dapat kabar kalau Alif dan Alfa sudah pindah ke Sekolah Baru?" Pertanyaan seorang teman guru di ruang kantin sekolah, ketika kami bertemu pada awal pekan kedua sekolah memasuki tahun pelajaran baru, 2016/2017. Kebetulan kami sedang memesan makan siang di kantin.

Perlu saya sampaikan juga bahwa Alif dan Alfa beberapa waktu yang lalu datang ke sekolah untuk berkunjung dan sekaligus janjian untuk bertemu teman-temannya. Itu kalau tidak salah masih dalam pekan kedua di 2016/2017. Pada saat itu ia menceritakan bahwa mereka berempat berada di satu sekolah. Dan itu memungkinkan lebih enak dibanding dengan beberapa temannya yang ketika masuk sebagai siswa baru di jenjang pendidikan SMA hanya sendirian yang berasal dari sekolah yang sama.

Maka pada pertemuan waktu itu, yang saya ingin ketahui dari anak-anak alumni sekolah kami adalah apa yang mereka rasakan dengan sekolah barunya. Selain untuk anak-anak membuat katarsis jika ada, juga sebagai koreksi dari kita yang telah mereka jalani selama menjadi siswa kami.

"Bagaimana dengan kabar kalian semua? Apakah sudah mulai tune in dengan sekolah dan lingkungan barunya?" Kata saya saat itu. Dan mereka secara bergantian memberikan jawaban dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi dengan kesan yang sama, yaitu bahagia dengan sekolah barunya, dengan seragam barunya, dan juga dengan teman-teman barunya. Hanya dengan beberapa guru yang mereka sampaikan catatan khusus sekali.

Lalu waktu itu saya mencoba ingin tahu lebih jauh mengapa kepada guru mereka memberikan catatan khusus. Saya ingin tahu hal itu, karena setidaknya pandangan mereka akan bisa memberikan kepada saya masukan harus berbuat seperti apa kedepannya. Dan diantara mereka memberikan pandagan sesuai apa yang mereka persepsikan. Seperti guru yang dandannya menor, tertib sekali sampai gerak saja ngak bisa, badannya bau rokok, bahasanya judes sekali, sudah terlalu tua, dan beberapa kalimat lain yang saya sendiri ssmpai lupa menceritakannya disini.
.
Pendek kata, yang dapat saya simpulkan dari apa yang mereka sampaikan tersebut adalah, adanya perbedaan antara budaya kami di sekolah ketika mereka semua manjadi siswa kami, dengan sekolah mereka yang baru, yang jumlah siswanya ada 34 sampai dengan 38 siswa dalam satu ruang kelas.

Dan kembali lagi dengan pertanyaan teman saya berkenaan apakah saya sudah tahu kalau Alif dan Alfa sudah pindah sekolah ke sekolah lainnya meski tahun pelajaran baru dua pekan berjalan? Rupanya itu semua antara lain yang menjadi alasan anak-anak alumni itu hanya memasuki sekolah yang menjadi 'pilihannya' selama 10 hari sekolah. Maka kabar bahwa Alif dan Alfa serta beberapa temannya pindah sekolah di awal tahun pelajaran baru segera kami jadikan bahan diskusi. Ini tidak lain karena kami ada di sekolah swasta. Setidaknya diskusi kami akan mengerucut untuk pengembangan budaya sekolah yang positif. Terutama bagi anak-anak yang mengawali masuk sekolah sebagai sekolah baru mereka!

Jakarta, 28 Juli- 6 Agustus 2016

05 August 2016

Gelombang Tsunami

"Kami masuk ketika sekolah akan kembali normal kurang dari dua hari Pak." Demikian seorang alumni datang kepada saya bercerita tentang sekolah barunya. Mereka berkunjung bersama-sama untuk saling bertukar kangen di halaman sekolah ketika jam bubaran sekolah.

"Jadi kami teman-teman yang masuk sekolah itu hanya H-1 pekan, menyebutnya sebagai gelombang tsunami Pak." Demikian lanjutnya. kebetulan kalimat tersebut disampaikan tidak dalam situasi yang ramai. Karena kami mengobrol agak terpisah dengan anak-anak yang lain yang benar-benar asyik dengan seragam barunya masing-masing.

Baik warna seragamnya yang menjadi berubah, juga adalah identitas yang ada di baju yang mereka kenakan. Bahkan beberapa anak perempuan juga berubah. Terutama bagi mereka yang kemudian mengenakan hijab dengan lebih rapi dan bagus. Alhamdulillah.

"Apa yang kamu maksudkan dengan gelombang tsunami? Memang ada pendaftaran siswa baru yang masuknya melalui gelombang tsunami?" tanya saya kepada anak tersebut.

"Iya... iya... Apa yang kamu maksud dengan gelombang tsunami itu?" Sambung teman yang ada disebelahnya. Ia ikut nimbrung terhadap apa yang sedang kami perbincangkan berkenaan dengan masuk sekolah di awal tahun pelajaran baru.

"Maksudnya kalau  teman-teman saya yang lain yang masuk sekolah tersebut melalui pendaftaran normal. Dan ketika mereka diterima maka mereka langsung melakukan penyelesaian administrasi. Juga yang diterimanya masuk dalam cadangan, maka ketika ada anak yang diterima tetapi tidak mengambil tanda terimanya, atau mengundurkan diri, maka mereka bisa masuk. Mereka-mereka ini masuk melalui gelombang pendaftaran peserta didik baru melalui jalur gelombang yang normal. Kalau saya tidak normal Pak." Jelasnya dengan runtut.

"Karena tidak normal itulah maka kamu masuk sekolah itu melalui gelombang tsunami?" Saya mencoba memperjelas apa yang menjadi penjelasannya.

"Iyalah Pak. Saya kan ketika ikut masuk dalam gelombang normal bersama teman-teman yang diterima dan cadangan itu, statusnya TIDAK DITERIMA. Makanya ayah dan ibu selalu bertanya kepada pihak sekolah agar tetap dapat diberikan kesempatan untuk dapat masuk. Maka ketika H-2 sekolah menelepon orangtua saya, orangtua saya langsung melakukan kelegkapan administrasinya."

Saya dan teman-teman anak itu hanya tersenyum atas penjelasannya berkenaan dengan masuknya dia di sekolah terkenal se-Indonesia itu melalui jalur gelombang tsunami...

Jakarta, 5 Agustus 2016

29 July 2016

Hadiah Sepatu untuk Teman

Saya mendapat kesempatan untuk mendengar cerita mengharukan sekaligus membanggakan dari peserta didik saya yang sekarang baru saja duduk di bangku kelas enam SD. Dan beruntung, cerita saya dapat dari anak-anak ketika kami berada di halaman sekolah menemani anak-anak yang belum di jemput oleh penjemputnya di waktu pulang sekolah.

"Pak Agus lihat enggak kalau sepatu Alif itu baru?" Kata seorang anak kepada saya. Kami berdiri di pinggir lapangan futsal sekitaran ber-empat. Saya dan tiga anak laki-laki kelas enam. Dua anak lainnya menyaksikan dengan sungguh-sungguh raut muka saya. Sementara anak-anak di lapangan tengah sibuk juga dengan bola yang menjadi rebutan mereka.

"Oh iya. Benar. Pak Agus liat sepatu baru yang sedang Alif pakai. Wah... keren sepatunya." Kata saya sebagai balasan dari pertanyaan itu setelah mengamati sepatu yang Alif sedang kenakan ketika yang bersangkutan sedang berada di dalam lapangan. Sepatunya warna hitam polos dengan logo merk berbentuk strip warna putih terang di bagian samping sepatu. Alif, si pemakai sepatu, asyik dengan bola yang menjadi pusat perhatiannya.

"Itu kami yang membelikan untuk dia Pak. Itu sepatu hadiah kami untuk ulang tahun Alif ketika kami duduk di kelas lima. Kami patungan beberapa anak, lalu Putri inisiatif untuk membelikannya. Oh iya Pak. Putri yang pertama kali mengusulkan kepada kami untuk membelikan sepatu sebagai hadiah ulang tahun Alif." Saya terhenyak dengan paparan cerita itu. Ini benar-benar menjadi momen bagi saya untuk mendengar testimoni sebauh kegiatan mulia yang anak-anak rancang dan sekaligus mereka jalankan!

"Mengapa kalian mempunyai ide keren seperti itu?" Tanya saya spontan. Saya masih berpikir tentang bagaimana anak-anak itu melahirkan perilaku mulia sebagaimana yang telah ada di lapangan operasional tersebut? Karena hal ini menjadi hal yang luar biasa mengena bagi pendidikan karakter anak-anak.

"Ya awalnya kami melihat Alif selalu mengenakan sepatu yang telah robek parah Pak. Terus ketika suatu kali kami tanya mengapa sepatu sobek masih di pakai? Dia ilang karena sepatunya enak dipakai. Sehingga sudah terlanjur pewe. Lalu Putri mengsulkan agar kami patungan untuk membelikannya sepatu. Nah pas ulang tahunnya menjadi waktu yang paling tepat untuk memberikan sepatu baru yang kami belikan. Dan alhamdulillah, Alif memakainya keesokan harinya. Kami semua senang." Cerita anak laki-laki tersebut.

Jakarta, 29 Juli 2016.

25 July 2016

Mudik 2016 #18; Dunia Serasa Sempit

Ketika kami menjalani perjalanan yang terasa berbeda di mudik Idul Fitri 2016 ini, karena beberapa diantara pemudik harus menjalani perjalanan mudiknya dengan menempuh perjalanan yang relatif sama tetapi dengan waktu tempuh yang benar-benar mencengangkan, tetapi tetap juga membekaskan pengalaman yang menarik untuk diceritakan kembali. Setidaknya ketika kami berbagi cerita mudik pada saat bertemu teman-teman di Jakarta dalam kondisi yang santai.


"Saya juga ikut terjebak macet di Exit Brebes." Kata teman saya ketika kami bersama-sama bertemu untuk kali pertama di bulan Syawal pada Sabtu, 23 Juli 2016 di wilayah Cipete, Calandak, Jakarta Selatan.

"Terus bagaimana kondisi yang dialami Mas?" Tanya saya. Sekaligus mengkonfirmasi bagaimana cerita asli dari pelaku utama yang masuk dalam macet Brebes di perjalanan mudik Idul Fitri tahun 2016 ini. Apakah juga seperti apa yang diceritakan orang.

"Alhamdulilllah, dalam kondisi yang demikian itu, kami sekeluarga diberikan kekuatan dan ketenangan. Bayangkan di dalam situasi Ramadhan. Dari atas terik matahari yang semakin terasa dan dapat menguras tenaga. Sementara dari bawah kendaraan, panas dari aspal yang memantul ke atas juga memberikan kontribusi ketidaknyamanan. Tapi kami teringat apa yang menjadi pesan Baginda Rasulullah. Yaitu berdzikir. Maka panas, haus, dan kapar tidak menjadi halangan utama bagi kami sekeluarga." Demikian teman kami menyampaikan pandangan matanya kepada kami. Dia berangkat dari Jakarta pada hari Ahad, 3 Juli 2016 untuk tujuan mudik di Nganjuk, Jawa Timur. Dan sampai Nganjuk pada Selasa, 5 Juli 2016 menjelang dini hari.

Apa yang disampaikannya dengan menunggu waktu hingga benar-benar melewati dan lolos dari jebakan macet di Brebes yang begitu lama serta membosankan, dilaluinya dengan melaksanakan puasa Ramadhan dan berdzikir. Sebuah hal yang dapat saya jadikan pelajaran.

"Kami juga mengalami hal yang sama. Hanya tujuan kami ke Solo. Dan sungguh menggembirakan ketika kami bertemu dalam lapangan parkir yang berdekatan ketika sam-sama istirahat di POM Bensin MURI di Tegal. Betapa lautan manusia tetap tidak dapat menghalangi kenyataan bahwa bumi sempit." Jelas teman saya lainnya. Saya menyimak semua apa yang menjadi cerita teman-teman itu. Hingga akhirnya giliran saya untuk memulai cerita.

Jakarta, 25 Juli 2016.

Mudik 2016 #17; Bertemu Teman Lama

Sebagaimana yang pernah pula saya buat catatan tentang mudik dan kegiatan temu kangen atau sering disebut juga reuni, maka kagiatan mudik saya pada 2016 antara lain adalah bertemu dengan teman lama, persisnya teman-teman yang dulu sama-sama belajar di bangku Sekolah Pendidikan Guru, SPG antara tahun 1981 hingga tahun 1984. Dan diantara teman lama itu, ada sekitar sepuluh orang diantara mereka yang memang saya rutin bertemu. Baik ketika ada kegiatan di Jakarta atau ketika saya pulang kampung dan bersama-sama makan siang di sebuah tempat yang kami sepakati. Tapi sebagian besarnya tidak berjumpa setelah kami berpisah sejak tahun 1984! 
Foto kenangan tahun 1984, yang menjadi panduan saya untuk mengingat teman lama.

Dan kepada mereka yang telah begitu lama itu, ada diantaranya yang menyangsikan ingatannya tentang sosok yang dulu dikenal, meski sebaik apapun. Termasuk dengan saya sendiri. Bayangan raut muka dan ukuran badan di tahun 1984 itu saja yang masih melekat. Dan ketika berjumpa, benar-benar total berbeda. Hanya suara dan gaya bicara saja yang meyakinkan kepada saya bahwa dia adalah orang yang dulu pernah bersama di bangku kelas!
Hampir semua kami berubah kecuali hanya 1 teman kami yang persis sama saat pertemuan 10 Juli 2016.

Jakarta, 25.07.2016.

21 July 2016

Mudik 2016 #16; Jangan Ajari Kami tentang Mudik

Ketika tol baru di Brebes di resmikan oleh Pesiden dan menjadi andalan bagi semua pemudik untuk mencobanya secara bersama-sama dalam waktu yang juga kebetulan sama di musik mudik Idul Fitri 2016 ini, maka kemacetan yang berkepanjangan dan menyisakan sebagiannya adalah cerita duka. Inilah yang antara lain menjadi bagian dari fenomena mudik. Dan fenomena ini, bagi saya pribadi, adalah bagian dari romantika perjalanan bersilaturahim.



Dan untuk hal yang demikian, maka jangan pernah para pengamat atau para orang pintar atau siapa saja yang ada di koran atau media tivi dan atau media lainnya untuk mengajari saya tentang mudik. Apa lagi pendapatnya hanya ingin agar kami tahun-tahun yang akan datang mengambil pelajaran  atas perjalanan mudik Idul Fitri tahun 2016 ini, untuk tidak mengambil waktu mudik diluar waktu puncak mudik atau bahkan agar tidak melakukan mudik sekalian.

Karena apa yang menjadi kata-kata mereka, pendapat mereka, saran mereka, tidak peduli pula kalau mereka sekarang sedang menjabat jabatan yang seharusnya menjadi penyedia sarana mudik bagi kami, tidak akan menjadi pertimbangan saya untuk melakukan mudik di Idul Fitri 2017 nanti. Sama sekali tidak.

Oleh karena itu, atas apa yang para ahli telah sampaikan kepada masyarakat pada saat wawancara atau talk show, biarkan saja itu menjadi pengisi waktu tayang televisi. Namun sungguh kami tidak membutuhkan insiatif mereka dalam perjalanan mudik kami.

Dan sekali lagi, perjalanan mudik yang kami lakukan secara swadaya ini tidak lain hanya membutuhkan peningkatan kualitas jalan yang akan menjadi rute perjalanan kami yang berkendaraan roda empat, dari para pemangku kepentingan dan para pengamat ketika dimintai pendapatnya. 

Jakarta, 21 Juli 2016.

19 July 2016

Mudik 2016 #15; Buka Tutup dan Contra Flow!

Sebagai sesama pemudik di Idul Fitri 2016 ini, saya ingin menyampaikan berbelasungkawa bagi pemudik yang telah kehilangan orang-orang tercintanya pada saat melakukan perjalanan mudiknya. Kepada yang ditinggalkan semoga selalu dilimpahi kesabaran dan ketabahan dari Allah Swt. Juga rasa bangga atas ketabahan dan daya tahan yang sungguh luar biasa, yang telah dibuktikan di sepanjang rute mudik atas perjalanan yang tidak sepenuhnya sesuai harapan. 

Meski pada akhirnya para pemangku kepentingan bersilang pendapat berkenaan dengan kemacetan tersebut, saya sebagai warga negara tidak membutuhkan sama sekali terhadap apa yang diomongkan. Bahkan saling melempar tanggungjawab, sebuah situasi yang seharusnya sekarang ini merekalah yang temukan solusinya.


Buka Tutup dan Contra Flow!

Maka ketika berita parahnya jalur yang berada di Brebes oleh kendaraan para pemudik, hingga hampir-hampir kondisi demikian melupakan dan menanggalkan perilaku gotong royong sebagai bagian dari revolusi mental, dengan berlaku kreatif yang pada ujungnya adalah kepada pengerukan keuntungan dari para pemudik yang terjepit. Para pemudik yang memang benar-benar tidak ada pilihan selain menerima dan membeli. Tidak ada belas dan kasihan kepada pemudik yang terlanjur terjebak.

Hal ini terlihat sekali bagaimana misalnya, nasi bungkus dengan lauk telor dihargai Rp 30,000 per bungkus, atau toilet dadakan dengan terpal biru ala kadarnya di sekitar jalur mudik, atau premiun 1 liter dengan kisaran harga dua puluh ribu hingga 90,000! Semua itu menjadi bentuk bagaimana para pemudik harus melakukan transaksi. Tidak peduli bahwa diantara pemudik itu adalah mereka yang mengendari kendaraan dengan patungan untuk menyewa mobil demi keperluan mudiknya. Semua ikhtiar itu tidak lain hanya untuk bergerak maju, berjuang untuk keluar dari Brebes!

Bersyukur, bahwa dalam kondisi demikian menjadi pelajaran bagi saya dan teman-teman yang lain untuk memilih rute perjalanan yang lebih kondusif. Maka pada situasi seperti inilah saya dengan penuh ketulusan menyampaikan penghargaan kepada petugas kepolisian di wilayah lain, yang telah bekerja begitu sungguh-sungguh, begitu cekatan, dalam memperlakukan pemudik yang lain, yaitu pemudik yang mendapatkan kesempatan merasai rekayasa lalu lintas yang selama ini kami alami ketika Sabtu dan Minggu kami menuju ke Puncak, Bogor.

Yaitu dengan model buka tutup dan bahkan contra flow. Sebuah rekayasa lalu lintas yang saya menilainya sebagai peningkatan kesungguhan dan kecerdasan mereka dalam melayani kami dalam situasi yang memang padat kendaraan. Karena kebijakan seperti ini, selama ini Pak Polisi menjalankannya jauh lokasi arus mudik, yaitu di daerah Puncak, Bogor.

Sebagaimana yang saya dapat rasakan ketika pada Kamis, 7.07.2016 pukul 09.00 di wilayah Ciawi menuju Banjar, Jawa Barat. Dan juga ketika kami berada di Kadipaten-Malangbong menuju Nagrek dan lanjut Cicalengka ketika jam telah menujukkan pukul 00.00 pada Kamis, 14.07.2016, arus lalu lintas tiba-tiba bergerak lancar. Dan saya melihat Bapak-Bapak Polisi begitu sigap dan trengginas mengaturnya meski dengan sepeda motor metik milik pribadi.

Hal yang jauh berbeda ketika kami melihat para pengatur lalu lintas tersebut berada di pos jaganya menunggui lampu lalu lintas yang tetap mengatur kami seperti biasanya, di waktu arus lalin normal, di dua perempatan lingkar luar di daerah Kebumen. Butuh waktu tidak kurang 60 menit untuk lolos dari daerah itu. Padahal akan berbeda jauh jika lampu lalin itu 'direkayasa' untuk kepentingan pemudik dengan berbagi dengan penduduk setempat. Hanya, usaha 'rekayasa' lalin memang membutuhkan usaha dan tingkat kepedulian yang jauh lebih tinggi dari yang menunggui lampu lalin.

Harapan saya sebagai pemudik, semoga musim mudik yang akan datang, kami tidak diuji lagi untuk sabar menanti kondisi parkir di jalanan, termasuk di jalan tol, karena jalanan padat oleh mereka yang mudik memang benar-benar DAPAT DIPREDIKSI. Sehingga memang dapat diantisipasi.

Jakarta, 19.07.2016.

15 July 2016

Mudik 2016 #14; Wisata

Mudik bagi saya dan keluarga adalah wisata. Apakah itu mengunjungi lokasi wisata yang ada di sekitar kampung halaman. Mencoba sesuatu yang ingin kami ketahui lebih jauh lagi. Atau seperti teman-teman pemudik yang lain, menyantap makanan yang memang unik yang ada di lokasi tujuan mudik. Begitulah kira-kira hal yang kami lakukan pada kegiatan udik tahun ini, 2016.
"Perjalanan' menuju Goa Japang yang berlokasi di daerah Gunung Merapi, Kaliurang, DI Yogyakarta

Dimana, tahun 2016 ini, saya harus mudik di dua lokasi yang berdekatan. Orangtua yang berdomisili di daerah Purworejo, Jawa Tengah sebagai lokasi pertama dan utama tujuan mudik saya. Dan juga di Sleman, DI Yogyakarta sebagai lokasi kedua saya, dimana disana tinggal anak dan cucu saya.
Menemani anak membuka dan memakan kenthos, yang ada pada tunas kelapa.
Dan dalam dua lokasi yang berbeda dan berdekatan itulah kami menikmati hari-hari mudik bersama keluarga besar yang ada, yang kebetulan sama-sama melakukan perjalanan mudik. Termasuk diantaranya menemukan menu kuliner baru, seperti Tengkleng Gajah, Angkringan Gajah, Sate Kelinci, atau Bacem Kepala Kambing.
Foto bersama Pak Haji Sukirman (Foto paling kiri), pencetus kuliner Bacem Kepala Kambing yang berlokasi di belakang Pasar Kolombo, Jalan Kaliurang Km 7, Sleman, DI Yogyakarta.
Jakarta, 15.07.2016

Mudik 2016 #13; Memantau Berita Mudik

Menjadi kebiasaan bagi saya untuk selalu 'nguping' dan kepo terhadap berita seputar perjalanan mudik di setiap tahunnya. Utamanya ketika saya juga benar-benar akan mudik. Seperti pada Idul Fitri 1437 H atau 2016 ini. 


Lewat Tweeter, saya akan me-refresh berita yang saya follow secara berkala. Ini tidak lain saya ingin melihat bagaimana teman-teman pemudik dalam melakukan perjalanan mudiknya. Baik waktu perjalanan atau juga rute perjalanan yang mereka pilih. Selain untuk melihat tren para pemudik, saya juga mengikuti berita mudik sebagai hal yang benar-benar membawa angin kegembiraan. Sakalipun misalnya saya tidak melakukan perjalanan mudik. Tetapi membaca berita, yang kebanyakannya adalah hanya melihat head line yang ada di layar Tweeter, cukup memberikan aura liburan Idul Fitri.


Selain Tweeter, untuk kebutuhan perjalanan yang memang saya akan jalani, tidak jarang membuka peta dan kembali mengira-ira rute jalan yang memungkinkan menjadi pilihan rute mudik. Daerah mana saja yang terdapat di peta tersebut yang akan kami lalui. Beruntung bahwa peta sekarang tidak saja tersedia di toko buku tertentu yang dibagikan secara gratis pada setiap tahunnya yang diterbitkan oleh stasiun radio swasta di Jakarta, tetapi juga melalui aplikasi yang ada di seluler.

Dan satu lagi media yang saya juga gemar menggunakannya. adalah SMS ke stasiun radio yang memang fokus kepada perkembangan kondisi jalan dari waktu ke waktu. Terimakasih. 

Jakarta, 15.07.2016.

Mudik 2016 #12; Trik tidak Terjebak pada Pilihan yang Sama

"Kalau menemukan jalan tikus (jalan alternatif maksudnya), jangan bilang-bilang ke orang lain. Kalau bilang-bilang nanti bukan jalan tikus lagi." Demikian suatu saat di obrolan saya dengan orangtua siswa saya di tahun 1986 di saat acara ulang tahun salah satu siswa saya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit di wilayah Bekasi. Padahal beliau tinggal di daerah Cinere. Karena jarak yang tidak pendek itulah maka saya bertanya bagaimana sehari-hari beliau pergi dan pulang kantor? Maka itulah jawaban yang bersangkutan pada waktu itu.

Selain itu, beliau juga menyampaikan pendapatnya kepada kami yang ikut serta dalam lingkaran obrolan tersebut bahwa; "Di Jakarta, jauh dekat itu relatif Pak Agus. Yang utama adalah tidak macet." Demikian antara lain yang masih terekam dalam ingatan saya hingga sekarang ini. 

Percakapan yang masih hangat dalam ingatan saya tersebut muncul kembali pada era mudik tahun ini, 2016. Seperti tahun-tahun sebelumnya, bahwa musim mudik memunculkan kemacetan di jalur yang dilalui pada jalur mudik yang sama dan waktu yang bersamaan. Perbedaannya dari tahun sebelumnya dengan tahun-tahun belakangan ini adalah tingkat kemacetan yang jauh lebih kompleks dan pastinya lebih panjang antriannya. Meski jalan terbangun dan telah dioperasikan sebagai sarana mudik. 

Lalu bagaimana saya menyiasati kondisi seperti itu yang berulang pada setiap tahunnya pada musim mudik Idul Fitri? Supaya saya tidak masuk dalam kelompok yang terjebak dalam pilihan rute jalan dan waktu yang sama? 

Sederhana saja. Pertama, Seperti pendapat orangtua siswa saya di tahun 1986 itu, bahwa saya membaca berita yang berkenaan dengan rute perjalanan mudik teman-teman serta berita tentang volume kendaraan yang ada. Pada hari ini, berita itu dapat saya akses jauh lebih up date dan jauh lebih lengkap
Berita tentang kemacetan di Republika.
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini berkat dari teknologi komunikasi. 

Kedua, Hasil dari apa yang dipercakapkan orang tersebut menjadi pegangan buat saya dalam diskusi dengan keluarga untuk berangkat kapan dan sekaligus mengemukakan rute jalan yang akan kami lalui. Ini penting supaya anggota keluarga saya bersiap secara lahir dan batin. Bahkan pilihan rute dan waktu berangkat pun, tidak jarang berubah, hanya untuk mengikuti arus kendaraan yang ada di berita. Sekali lagi, usaha ini tidak lain agar kami tidak terjebak pada pilihan rute jalan dan waktu mudik yang bersamaan dengan pemudik yang lain.

Ketiga, saya memilih apa yang kadang sebagian besar teman-teman pemudik tidak terpikir. Misalnya pengambilan rute mudik, yang kadang akan menempuh jalan lebih jauh dan berliku, yang pasti tidak semua orang akan malas melakukannya karena terpikir olehnya jauh. Tetapi saya memilih itu karena meski perjalanan akan jauh lebih jauh tetapi jauh lebih lancar. Sedang sebagian besar pemudik akan memilih rute jalan utama. Seperti jalur Pantura, Tol, atau Jalur selatan. Saya sering mengkombinasikan dengan perhitungan waktu sepi ketika masuk pada jalur kecil atau jalur alternatif.

Keempat, Beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang pilihan jalur mudik yang sebagiannya adalah jalur wisata atau jalur alternatif, adalah; "Apakah Pak Agus tidak khawatir ada apa-apa ketika berada pada jalur sepi di saat yang tidak banyak orang?" Saya menjawabnya dengan apa yang menjadi pemikiran saya. Yaitu saya tidak berpikir yang tidak sesuai dengan harapan saya terhadap jalur mudik yang akan saya pilih. Jadi saya selalu optimis bahwa jalur yang saya pilih adalah jalur mudik yang akan memberikan nuansa baru yang menyenangkan bagi perjalanan mudik kami.

Itulah yang menjadikan anggota keluarga saya tetap menikmati perjalanan mudik dengan kendaraan sendiri meski dimusim padat, di masa mudik Idul Fitri.

Jakarta, 15 Juli 2016.

30 June 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #26; SMS dan Surat Kaleng

"Menyampakan keberatan dan masukan untuk pengelola sekolah. Bahwa ada Kepala Sekolah yang terpilih, yang sebelumnya bukan sebagai Wakil Kepala Sekolah? Apakah ini yang namanya kaderasasi?" Demikian SMS yag diterima teman dari nomor yang selama ini tidak tercatat di seluler kami semua. Saya pribadi setelah mendapat forward dari teman yang mendapat SMS tersebut mencoba mengecek kepada teman yang lain tentang nomor asing tersebut. Tetapi semuanya tidak pernah mencatat dengan nomor yang ada. Akhirnya kami sepakat untuk tidak perlu menjadikan SMS tersebut sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Kaderisasi? Memang seharusnya demikian. Ketika seorang Kepala Sekolah karena suatu hal apa dan mengharuskannya untuk bertukar tempat atau mutasi atau bahkan pensiun, maka penggantinya yang paling dekat adalah salah satu dari wakilnya yang ada. Tetapi dalam kenyataannya tidak semua para wakil kepala sekolah, meski menduduki jabatannya tersebut lebih dari lima tahun, tidak semuanya memiliki kompetensi untuk memimpin sebuah sekolah.

Itu jugalah yang antara lain menjadi kendala bagi kami yang mengelola sekolah swasta. Pemilihan akhirnya kami buka untuk guru selain  yang mendapat tugas sebagai Kepala Sekolah. Ada yang masih posisi guru, bahkan guru muda dengan pengalaman bekerja pada posisi guru lebih kurangnya 10 tahun.

Maka ketika dalam panel diskusi yang kami gelar secara terbuka, termasuk diantaranya adalah memberikan kesempatan kepada semua Wakil Kepala Sekolah dan juga para guru-guru untuk mengajukan tulisan yang memberi isyarat untuk mau terlibat dalam audisi yang kami gelar.

Dan ketika audisi berakhir, kemudian kami harus mendiskusikan untuk mengumpulkan semua informasi yang ada guna mengambil kesimpulan, maka justru semua Wakil berguguran dikalahkan oleh seorang guru yang berkobar semangatnya, jelas strategi penerapannya, serta fokus kepada penanganan operasional sebuah sekolah.

"Kami menyayangkan atas terpilihnya si A karena sebelumnya si A bukankah adalah seorang Wakil Kepala Sekolah?" Demikian antara lain bunyi sebuah kalimat yang saya terima langsung dari pengirim via pos surat. Surat tanpa nama lengkap pengirim selain hanya mencantumkan inisial. Yang sekali lagi sulit bagi kami untuk dapat menemukan siapakah orang tersebut?

Dan sama penanganannya. Kami tidak terlalu  menjadikan SMS dan surat kaleng tersebut sebagai masukan berharga. Hasil rapat kami tetap pada keputusan awal kami untuk emilih mereka yang telah memberikan keyakinan kepada kami sebagai pengeliola tentang bagaimana melakukan pengelolaan sekolah swasta yang baik.

Mungkin orang dalam yang telah membuat surat kaleng dan mengirimkan SMS itu memiliki keyakinan akan efektivitas atas apa yang dimintanya, untuk kemudian kami terpengaruh sehingga keputusan yang kami ambil bisa fatal. Namun kami justru meyakinkan diri bahwa apa yang telah kami diskusikan dan kami simpulkan tersebut adalah suatu hal yang baik, Demikian.

Jakarta, 30 Juni 2016.

29 June 2016

Menemani 'Perubahan' Guru #25; Pemimpin di Sekolah

Dalam sebuah perjalanan sekolah yang sedang giat melakukan pembelajaran diri secara internal, maka kepada kami disadarkan akan adanya sosok yang telah atau setidaknya sedang melakukan perjalanan dalam menginternalisasi semangat perubahan itu sendiri. Dan tokoh seperti ini menjadi keberuntungan buat kami ketika ada unit sekolah di bawah kami yang telah memilikinya. Namun bagaimana jika di unit sekolah ternyata tokoh itu justru tidak berada di jajaran pimpinan yang ada?

Terhadap yang telah ada, kami mensyukurinya. Kami mengajak yang bersangkutan untuk kembali menata dan kemudian membuat atau menyusun peta perjalanan menuju arah yang kita inginkan bersama sesuai dengan semangat lingkungan yang menuntut kami untuk melakukan pergerakan yang lebih cepat dan signifikan. Juga kami pastikan apa yang memang seharusnya kami jalani bersama-sama dengan guru. Termasuk di dalamnya mendiskusikan bagaimana jalan yang ingin kami lalui. 

Kami buat bersama-sama parameter impian yang sama-sama kami pahami bersama. Jika keberangkatan kami itu terasa berat dan menyesakkan hati, kami akan menemui teman-teman di luar sekolah, baik kami undang beliau untuk sharing dengan kami, atau kami sendiri yang melakukan kunjungan ke beliau dalam format benchmarking, sebagai cara atau wahana bagi kami untuk terus berjalan maju. Karena dengan dua kegiatan semacam itu akan memungkinkan bagi kami mengukur diri atas koordinat sosial yang ada. Dan pengetahuan kami terhadap pada posisi mana kami berada di koordinat sosial tersebut akan memberikan semangat baru.

Kami juga mendengarkan apa yang seharusnya ada di dalam sekolah. Dan pemimpin di unit sekolah kami akan benar-benar menjadi narasumber bagi kami dalam mengambil kesimpulan dan keputusan untuk sebuah keberhasilan. 

Lalu bagaimana dengan unit sekolah yang memang sosok yang dibutuhkan belum pada tataran tersebut? Tidak bisa tidak, kami harus terus bergerilya, serta memacu waktu untuk pencapaian tersebut.

Kami meminta masukan di lapangan akan seperti apakah langkah yang harus kami jalani. Bagaimana tahapan yang harus kami pilih. Apa yang sesungguhnya memang harus kami simpulkan.

Masukan-masukan tersebut kami perlukan untuk langkah berikut. Dan ketika langkah berikut telah kami pilih sebagai kesepakatan, maka itulah yang akan menjadi fokus dan komitmen kami hingga diujung perjalanan nanti kami harus berakhir. Semoga.

Setidaknya, bagi kami, sosok yang akan kami pilih sebagai pemimpin di sekolah adalah sosok yang mampu, atau setidaknya tokoh yang memiliki keinginan sangat kuat dalam menginternalisasikan visi kami dalam perjalanan membangun budaya di sekolah. Membangun visi tersebut ke dalam individunya, lingkungannya, terutama kepada seluruh guru-gurunya, yang pada akhirnya kepada seluruh masyarakat sekolahnya.

Jakarta, 29 Juni 2016.

Mudik 2016 #11; Persfektif Saya, Menikmati Perjalanan

Sering ketika kami sampai  di kampung halaman, dan ternyata saudara yang juga asal Jakarta telah terlebih dahulu sampai di kampung halaman, tidak jarang saya menerima pertanyaan yang saya sendiri menjadi orang yang lelet dalam mengendara, atau terlalu lama berada di jalanan. Tentunya ini dengan membandingkan waktu tempuh perjalanan saya dengan saudara lain yang dikenal dan diketahuinya.

"Jam berapa berangkat dari Jakarta Gus?" Begitu biasa kalimat tanya kepada saya ketika kami bertemu. Ini karena saya harus berangkat ke kampung H+1 dan kami bertemu dengan keluarga pada hari lebaran ke-3. 

Pertanyaan sederhana sebenarnya, tetapi pertanyaan ini berangkat dari mind set yang berbeda antara beliau dengan saya sendiri dalam memaknai perjalanan mudik. Dan karena berbeda sudut pandang tersebut, maka istri saya sendiri selalu menolak ketika kami diajak bersama di kendaraan beliau atau sebaliknya kalau beliau ingin bersama kami. Letak keberatan terlebih karena perjalanan bersama dia akan membutuhkan daya tahan kami dalam menahan buang air. Karena sepanjang perjalanan kami, beliau biasa akan berhenti untuk keperluan seperti itu dan lain-lain tidak lebih dari dua atau tiga kali. Mengingat prinsip perjalanannya adalah mengejar waktu secepatnya. Sedang perjalanan mudik saya, untuk keperluan istirahat dan keperluan lain-lainnya, tidak kurang dari lima atau enam kali. Dan waktu untuk itu paling cepat masing-masingnya adalah tiga puluh menit.

Menikmati?

Memang kata inilah yang menjadi visi perjalanan mudik saya. Apapun situasinya saya selalu menanamkan kepada anggota perjalanan saya untuk menikmatinya. Menikmati kebersamaan dalam kendaraan yang ada dalam suasana diskusi, tukar pikiran, atau bahkan sekedar mendengarkan cerita anak atau anggota perjalanan. Dan ini menjadi bagian momentum yang luar biasa buat kami.

Menikmati semua kondisi perjalanan yang ada apapun itu. Ketika rute yang kami ambil adalah pegunungan antara Pekalongan, Kajen, Kalibening, Karang Kobar, Banjarnegara, hingga tembus ke Wadas Lintang di perbatasan Wonosobo dengan Kebumen yang penuh selingan tanaman pertanian, maka kami akan selalu mengaguminya. Sesekali anak saya akan mengabadikan hijaunya daun tembakau atau teh atau kol dengan selulernya. Demikian juga ketika kami harus menjadi bagian dari mengantri ketika keluar dari tol Palimanan di tahun 2014 lalu pada pukul 10.00 dan baru masuk di gerbang tol Cikampek pada pukul 21.00.

"Apakah kamu tidak takut memilih jalur alternatif yang tidak biasa seperti itu? Nanti kalau ada apa-apa? Berapa lama kamu lewat jalur itu?" Kembali pertanyaan saudara saya dengan persfektif berpikir yang masih sama, pragmatis. Dan saya menjawabnya dengan kalem. Bahwa perjalanan mudik bagi saya adalah perjalanan wisata. Dengan begitu saya harus menikmati setiap ruas jalan yang menjadi pilihan saya. Dan saya selalu menginginkan situasi yang baik, menyenangkan, sekaligus mengesankan. Oleh karenanya, saya selalu berpikir baik dalam setiap perjalanan saya.  InsyaAllah.

Jakarta, 29 Juni 2016.