Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

12 February 2013

Uang Jajannya Terbatas

Siang itu, saya meminta seorang siswa untuk kembali ke area sekolah karena ia akan pergi ke kantin luar yang diperuntukkan untuk supir dan pembantu yang menunggui anak asuhannya. Saat itu pukul 13.10, dimana waktu bagi mereka untuk istirahat makan hingga pukul 13.30. Karena dia sendirian tidak berteman seorangpun.

"Saya ingin makan ketoprak Pak." Jawabnya ketika saya memintanya untuk kembali ke kantin siswa yang berada di lantai dua sekolah kami.
"Mengapa tidak membeli makanan di lantai dua?" Tanya saya kepadanya.
"Karena uang jajan saya terbatas Pak. Paspasan. Ngak bisa kalau harus membeli makanan di atas." Jelasnya kepada saya.
"Berapa rupiah yang kamu bilang terbatas itu?"  Tanya saya lagi.
"Saya uang jajajnnya hanya sepuluh ribu." Katanya.
"Jadi saya hanya bisa makan ketoprak tujuh ribu rupiah. Sisanya saya beli minum." Jadi pas Pak." Jelasnya lagi dengan detil.


Uang Jajan

Kenyataan bahwa masih ada didik kami yang mendapatkan jatah makan sepuluh ribu dalam satu hari sebagaimana yang saya temukan pada siang itu adalah sesuatu sekali buat kami, atau saya khususnya. Hal ini karena hampir rata-rata anak-anak itu dibekali uang jajan yang kadang jauh lebih dari cukup. Makanya, tidak salah bila suatu kali saya diceritakan oleh seorang teman yang harus berkomunkasi dengan orangtua siswa gara-gara ditemukan seorang siswanya yang membawa uang jajan dengan pecahan uang yang terlalu besar di usianya. Oleh karenanya, jika pada saat ini seorang siswa yang sudah duduk di bangku SMP dengan uang jajan sepuluh ribu, tidak ada yang patut saya sampakan kepada siswa tersebut selain penghargaan dan apresiasi.

Pertama, karena itu berarti dia adalah anak yang memang diciptakan untuk sederhana. Dan buktinya, dengan sepuluh ribu rupiah pun anak itu tetap eksis. Makan siang dan minumannya dia tetap dapat nikmati.

Kedua, tidak mudah bagi seorang anak dengan uang jajan yang cukup diantara teman-temannya yang dibekali uang jajan secara berlebih. Ini artinya anak tersebut harus belajar bagaimana tidak mengikuti arus yang ada. Anak itu sedang belajar bagaimana menjadi dirinya sendiri. Dan saya yakin sekali bahwa belajar membentuk atau menjadi diri sendiri diantara arus pergaulan yang seperti sekarang ini, tidaklah mudah.

Ketiga, bangga saya juga adalah untuk kedua orangtuanya. Karena saya tahu pasti bahwa mereka adalah orangtua yang mampu memberikan bekal bagi anak-anaknya lebih dari sepuluh ribu rupiah setiap harinya, karena anak itu setiap harinya datang dan pulang sekolah bersama supir pribadi keluarganya. Pasti ada idialisme dari model ayah dan ibu sebagaimana lahir seorang siswa yang begitu komitmen dengan jatah uang jajannya.

Inilah catatan yang saya dapatkan ketika siang itu saya berada di pintu gerbang sekolah. Ada pelajaran berharga sekali saya temukan di situ. Terima kasih saya untuk siswa saya itu.

Jakarta, 12 Februari 2013.

No comments: