Masjid Raya Samarinda

Masjid Raya Samarinda

Sianok

Sianok
Karunia yang berwujud keindahan sebuah ngarai.

Drini, Gunung Kidul

Drini, Gunung Kidul

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Dari Bukit Gundaling, Berastagi.

Senggigi

Senggigi

29 July 2012

Siswa Rapat di Plasa Sekolah, sebuah Hasil Belajar

Siang itu, seusai Shalat berjamaah, ada beberapa anak kelas lima sekolah dasar kami yang berkumpul di plasa sekolah. Di antara anak-anak itu juga saya lihat dua ibu orangtua yang saya kenal dengan baik. Dari koridor sekolah, di balik jendela, saya melihat mereka sedang melakukan diskusi. Ini karena saya masih mendengar berbagai ungkapan pendapat dan usulan yang berseliwer seperti tanpa moderator, juga karena mereka membuat posisi duduk melingkar. Saya saksikan juga bahwa dua ibu yang berada tiodak terlalu jauh dari anak-anak yang sedang melakukan diskusi seru itu hanya manyaksikan diskusi yang berlangsung.

Ada beberapa menit saya berada di koridor di balik jendela yang memisahkan saya dengan ruang plasa dimana mereka berdiskusi itu. Saya dapat memastikan bahwa ini adalah kelanjutan dari apa yang anak-anak itu perbincangkan kemarin pada waktu yang sama. Dimana anak-anak itu mengungkapkan bahwa mereka bersepakat untuk mengadakan buka puasa bersama. Lingkupnya adalah kelas. Jadi buka puasa khusus kelas mereka. Dan tentunya, atas prakarsa mereka, anak-anak itu sendiri.

Waktu itu, seorang diantara anak-anak yang memimpin rapat siang itu, mengatakan kepada saya bahwa waktu dan tempat sudah disepakati. Namun kapannya, waktu pelaksanaan dari acara buka bersama tersebut masih dinegosiasikan. Belum ada kesepakatan.  Jadi dari gambaran kejadian kemarin, saya menduga bahwa rapat pada siang itu adalah rapat dalam rangka untuk memutuskan waktu pelaksanaannya.

Karena didorong rasa ingin tahu saya, maka saya mendekati anak-anak itu tanpa sedikit juga memiliki niat untuk mengungkapkan sesuatu. Selain saya bukan peserta rapat, keberadaan saya di lokasi rapat tersebut hanya ingin tahu apa dan bagaimana anak-anak itu berdiskusi untuk menentukan kapan pelaksanaan kegiatan. Atau juga saya ingin tahu bagaimana mefreka membuat keputusan dalam rapat itu. Tentunya rapat yang terbuka. Karena dilakukan oleh anak-anak diluar koordinasi guru atau orang dewasa lainnya. Dan dari mengikuti bagaimana jalannya rapat, saya mengagumi anak-anak itu.

Kagum saya ini dilandasi oleh beberapa fakta bahwa; Pertama, anak-anak itu melakukan rapat atas inisiatif mereka sendiri. Kedua, bahwa apa yang akan mereka lakukan adalah sesuatu yang luar biasa bagus bagi memupuk ukhuwah atau kebersamaan diantara mereka. Atau dalam bahasa mereka yang paling pas adalah persahabatan. Ketiga, apa yang mereka sedang jalani itu adalah bentuk konkrit aplikasi dari konsep belajar. Anak-anak dengan kemauannya sendiri telah mempraktekkan apa yang selama ini mereka pelajari di kelas. 
Meski rapat itu hanya memutuskan waktu dan tempat pelaksanaan bagi kegiatan buka puasa bersama, dan melupakan budget yang mereka butuhkan, setidaknya menjadi wujud nyata dari sebuah hasil belajar.

Jakarta, 29 Juli 2012.

22 July 2012

Barang Tertinggal di Loker Sekolah

Banyak barang tertinggal dan di simpan dengan baik di loker sekolah. Semua, adalah barang-barang siswa kami. Ada beragam bentuk barang. Kalau dinilai harga, mungkin botol minum dan pakaian seragam menjadi hal yang pantas untuk dihitung. Tapi kertas ulangan yang tercecer dan kemudian berhasil kita kirim ke kelas dimana anak tersebut berada juga bukan hal yang remeh untuk tidak dihitung. Tetapi itulah sekelumit catatan saya pada awal libur akhir pelajaran yang baru berlalu.

Sudah menjadi kebijakan kami bahwa seluruh barang yang tertinggal dimana saja, atau ditemukan oleh siapa saja di lingkungan sekolah, dan kebetulan tidak bernama dan beralamat kelas, maka loker yang kami sediakan di dekat pintu gerbang sekolah adalah tempatnya. Ini kami lakukan karena tidak jarang keesokan harinya akan ada utusan dari rumah siswa untuk mencari barang-barng yang tertinggal itu.

Dan pada siang itu, saya meminta kepada seorang diantara peramubakti kami untuk membantu saya membersihkan seluruh loker-loker yang ada dari berang-barang tertinggal. Baik yang berupa botol minum yang jumlahnya pada siang itu lebih kurang dua puluhan, dan juga barang-barang lain, baik pakaian seragam atau perlengkapan sekolah lainnya. Pendek kata, semua barang itu saya minta untuk benar-benar tidak berada lagi di dalam loker.

Ini kami lakukan karena anak-anak yang tertinggal barang-barangnya itu, tidak merasa kalau ada barang yang dimilikinya tertinggal atau bahkan hilang. Seperti misalnya jika kami mengumumkan beberapa barang yang ada di loker adalah barang-barang kalian yang tertinggal hingga kami eminta mereka mencari barangnya yang mana? Tetapi memang benar-benar bahwa anak didik kami itu benar-benar  tidak tahu dan merasa kalau ada barang yang dimilikinya tertinggal. Jadi? Yang menumpuk saja barang-barang itu di dalam loker untuk selamanya bila kami tidak mengambil tindakan untuk membersihkannya yang berencana untuk menghibahkan kepada pihak yang membutuhkan.

Kenyataan bahwa anak-anak itu tidak mengenali botol minum atau bahkan pakaian seragamnya yang tidak diberi nama oleh orangtuanya, menurut pengamatan saya, karena memang anak-anak itu tidak dibelajarkan untuk mempersiapkan diri sejak dari rumah. Semua serba bantuan dari pihak lain. Jangankan botol minum, saya justru menduga kalau buku pelajaran anak-anak didik saya itu pun masih diintervensi oleh orang dewasa di rumah mereka masing-masing. Alhasil, anak-anak itu semacam robot yang tidak menyadari bahwa botol minum menjadi bagian dari perlengkapan sekolah yang mereka harus bawa pulang kembali.

Itulah sebuah tantangan bagi kami di sekolah dalam menyimpan alat dan perlengkapan sekolah yang tidak mendapat pengakuan dari tuannya.

Jakarta, 13-22 Juli 2012.

02 July 2012

Para Pengunjung Studi Banding

Sebelum menuliskan apa yang tiba-tiba menggelayuti pikiran  saya,  tentu yang berkenaan dengan menimba ilmu atau belajar, ada baiknya bila saya sampaikan sepenggal cerita atau sebuah laporan pandangan mata. Karena dari kisah inilah catatan ini harus saya sampaikan dalam halaman ini agar tidak memberati memori batin saya.

Bahwa ada sebuah  sekolah, seharusnya tidak sekolah saja. Karena sangat boleh jadi Ia berupa lembaga, institusi, atau mungkin juga tempat usaha, sebagai tempat berkumpulnya para pagawai dan bisa jadi bersama pemiliknya. Namun Mengingat saya yang menrangkainya, dan latar belakang saya adalah guru, maka menceritakan tentang sekolah akan jauh lebih mudah dan lebih kontekstual. Karena sekolah sudah menjadi bagian dari diri saya. Ia sudah inheren dan menyatu.

Dan inilah kisah saya yang kebetulan saya dapatkan sore itu di sebuah tangga., di lembaga dimana selama ini menjadi tempat berkaryanya. Teman saya, yang baru saja selesai mendapat kunjungan dari sekolah lain dalam rangka studi banding. Teman saya yang juga berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah swasta di Jakarta itu bercerita keopada saya justru tidak dalam kerangka bangga karena sekolahnya mendapat kunjungan studi banding dari sekolah luar daerah. Teman saya yang bekerja di sebuah sekolah yang menjadi rujukan banyak pihak untuk menimba ilmu dalam mengelola sebuah lembaga sekolah formal berbasis agama yang berhasil. 

Pendek kata, tidak salah bila teman saya akhirnya menceritakan apa yang menjadi pengalamannya atas kunjungan studi komparasi dari guru-guru dari lembaga  sekolah yang berada di luar daerah. Suatu usaha yang bagus bila hasil studi komparasi itu pada akhirnya menginspirasi para pengunjung itu untuk kemudian mengadopsi yang baik yang mereka temui di sekolah yang dikunjungi untuk kemudian mengangkat  mental belajar semua teman dari teman saya yang menjadi pengunjung itu. Mulia bukan?

Namun menjelang penguhujung pertemuan antara saya dengan teman saya itu berakhir, ia emnyampaikan kekecewaannya bahwa, orang-orang yang berkunjung ke sekolahnya, hampir semua, katanya, masih silau dengan fasilitas yang sekolahnya miliki. Dan dari kesilauan itu para pengunjung sering mengukur sebuah keberhasilan. 
  • Para pengunjung studi banding itu hanya memiliki kacamata sarana dan prasarana sebagai pembuka setiap diskusi. Mereka, kata teman saya, tidak melihat bagaimana sebuah hasil itu berproses. Karena mereka sudah terlanjur terkesima bukan kepada effort para gurunya seperti kami ini, katanya, tetapi justru selalu dikaitkannya dengan alat, sarana, dan prasarana yang kami miliki. Jelas teman saya penuh semangat.
  • Mengapa mereka bisa berpandangan seperti itu? Desak saya lebih jauh.
  • Menurut saya, kata teman saya, itu terjadi karena mereka merasa tidak terlibat dalam sebuah keberhasilan. Mereka berpikir bahwa keberhasilan sebuah lembaga itu berangkat dari sarana dan prasarana yang lengkap. Dan bukan karena usaha keras para individu yang berada dalam komunitasnya. Mereka mengeliminir mental belajar mereka sendiri dengan sadar sesadar-sadarnya.
Saya tentu saja pusing mendengar argumentasi yang dikemukakannya. Maklum, apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang masih absurd bagi saya. Ini terjadi mungkin karena besar sekolah dimana saya berada selama ini tidak lebih besar dari sekolahnya. Meski begitu, saya berusaha keras untuk memaknai beberapa pilihan kata yang terlontar dari benaknya tadi. Seperti effort, mental belajar, sarana, dan prasarana sekolah.

Dan dari sekelumit hasil pertemuan tersebut, saya selalu  mensyukuri sebagai pertemuan yang merangsang pikiran saya. Semoga. Amin.

Jakarta, 25/06-02/07/2012

01 July 2012

Tutup Mulut

Sembari menunggu acara kegiatan yang saya hadiri segera digelar, pagi itu, 26 Mei 2012, saya mengisi waktu menunggu dengan membaca berita di media sosial yang ada. Dari sekian barita yang terpampang di layar,  saya memilih berita, yang menurut saya menarik untuk dibaca isinya dan tidak sekedar judulnya saja. Berita itu, di bawah ini saya kutipkan, menarik untuk saya baca karena tampak dari judul yang disajikan, saya merasakan ada kesamaan logika dengan apa yang saya alami di sekolah dimana saya bekerja. Kesamaan itu pada pola perilaku yang ditunjukkan oleh beberapa remaja kami di sekolah dan 'imbalan' para orangtua mereka, yang kebetulan mereka itu adalah anak didik kami.

Berita itu saya temukan dalam @infoSMG: Banyak Orang Tua Jadikan iPhone "Mainan Tutup Mulut" http://t.co/yrFQCoV1.

Kesamaan?

Itulah yang saya dapatkan. Walau dalam berita itu saya menemukan pengungkapan fenomena dengan kalimat yang berbeda, tetapi esensi dari fenomen tersebut terdapat kesamaan. Dengan akar masalah yang pada umumnya sama dengan yang terjadi dan dilakukan oleh para remaja. 

Bahwa ketika ada perilaku yang dalam bahasa yang sebagian orangtua disebut nakal, maka sesungguhnya ada protes terhadap apa yang terjadi. Atau 'nakal' remaja itu identik dengan tuntutan mereka. Remaja-remaja itu harus melakukan protes dalam bentuk berperilaku tidak sesuai dengan harapan lingkungannya karena 'protes' secara lisan dan santun sudah tidak tertangkap oleh radar para orang yang diharapkannya. Kita dan sebagian guru atau orangtua sudah tidak peka dalam menangakap maunya remaja. Setidaknya itu pendapat saya.

Dan kalau protes sebagai sinyal untuk meminta perhatian atau permohonan itu yang tertangkap oleh orangtuanya hanya gejalanya dan bukan sumbernya, maka remaja itu dengan otomatis akan memberikan tambahan gradasi protesnya. Pada tahapan ini, orangtua semakin kesulitan untuk benar-benar dapat menemukan sumber masalahnya.

Sebagai gambaran paling sederhana adalah ketika saya melakukan pembelajaran di dalam kelas. Maka ketika mereka bosan dengan cara dan strategi yang saya hidangkan ke hadapan mereka, maka bentuk 'protes' yang mereka lakukan adalah akan berlaku apatis dan masa bodoh, atau mungkin malah mengobrol. Menyakitkan saya bukan? Namun ketika pada pertemuan berikutnya saya masih tetap dengan gaya dan perilaku saya dalam membelajarkan mereka, maka tahapan berikutnya adalah tidak kondusifnya kelas itu. Maka langkah yang bagus dan sulutif adalah saya merubah gaya dan pendekatan mengajar saya. Dan ini adalah bentuk perubahan yang mendasar. Karena ini adalah sumber dari muncul dan lahirnya masalah manajemen kelas saya.

Bagitu pula dengan mereka yang bermasalah dengan orangtuanya di rumah. Dengan memberikan fasilitas yang seolah-olah sebagai solusi dari tuntutan mereka, maka inilah yang masuk dalam kategori usaha tutup mulut. Apakah masalah dapat berakhir? Saya dapat pastikan bahwa strategi ini akan melahirnya penyakit baru bagi remaja. Sangat boleh jadi masalah yang akan lahirr nanti semakin akan membuat hubungan antara orangtua dan remajanya semakin absurd dan sulit terurai.

Inilah pelajaran yang saya dapat ambil ketika membaca berita tentang stragtegi tutup mulut yang menjadi andalan bagia sebagaian kita dalam menyelesaikan masalah.

Jakarta, 26/05-01/07/2012.

Bagaikan Anjing dengan Kucing

Peribahasa bagaikan anjing dengan kucing ini dapat kita artikan antaralain adalah sepasang sahabat yang saling menyayangi tetapi sekaligus saling bermusuhan. Keduanya tidak atau sulit untuk dapat  dipisahkan. Sebagaimana hewan anjing dan kucing. Keduanya saling membutuhkan untuk bercengkerama tetapi saling pula beradu suara. Lebih kurang seperti itu pulalah kisah dua sahabat yang kebetulan keduanya adalah anak didik saya di sekolah. Mereka berdua seperti sepakat untuk sama-sama berbadan subur. Juga sama-sama bersemangat untuk saling mengejek dengan kesuburan badannya masing-masing. Dan tidak salah kiranya bila salah satu dari gurunya di kelas menjuluki persahabatan keduanya dengan istilah anjing dengan kucing.

Pada suatu sore sepulang jam sekolah, kami terlibat pembicaraan ringan dengan keduanya dipinggir lapangan basket yang juga lapangan futsal yang juga dapat sebagai tempat tunggu jemputan bagi anak-anak yang belum dijemput pulang. Kami bertiga berdiri di dekat tiang bendera lapangan itu. Satu dari sepasang sahabat itu memancing amarah temannya dengan cara melontarkan pertanyaan atau mungkin tepatnya pernyataan dengan suara yang sengaja dapat didengar sahabatnya.
  • Siapa menurut Bapak yang lebih gendut antara saya dengan dia? Katanya sambil telunjuknya diarahkan kepada sahabatnya itu.
  • Pasti dia ya Pak. Sahut temannya yang berada di ujung telunjuk jarinya.
  • Bukan, kata Pak Agus kamu yang lebih jelek. Timpalnya dengan membuat kesimpulan sendiri. Dan tak mau kalah dengan apa yang dinyatakan sang teman, sahabat itu langsung menimpali;
  • Benarkan. kamu memang yang lebih gendut.
  • Loh bukan. Kapan Pak Agus ngomongnya?
  • E... Bully itu Pak. Dia sudah bully. Sergap teman yang lain lagi dari arah belakang kami. Orang ketiga itu membuyarkan diskusi kami bertiga. Karena dengan pernyataan bully tersebut, kami menjadi stop berbicara sambil masing-masing menahan diri.
Itulah lebih kurang gambaran bagaimana sengitnya kadang-kadang bentuk persahabatan antara dua sahabat tersebut. Masing-masing secara bergantian saling mengejek dan menimpali. Masing-masing secara bergantian pula untuk saling mendahului dalam melontarkan ejekan. Tetapi mereka toh tetap bersahabat.

Sayangnya, keduanya harus berpisah mulai awal tahun pelajaran 2012/2013 ini. Karena masing-masingnya memilih sekolah lanjutan yang berbeda. Saya tidak tahu apakah keduanya nantinya benar-benar tidak akan bersahabat lagi.

Boarding School

Perpisahan persahabatan mereka karena pilihan sekolah yang berbeda itu. Yang seorang tetap melanjutkan ke sekolah lanjutan yang ada di sekolah sebelumnya, namun yang satunya memilih untuk di boarding school. Sebuah pilihan yang super hebat bagi anak yang lahir, besar dan hidup dalam lingkungan berkecukupan di Jakarta. Pilihan yang sebenarnya membuat kami, sebagian dari gurunya yang harus mengangkat dua ibu jari. Karena kami ingat sekali bagaimana anak tersebut harus dijemput pulang malam-malam oleh ayahnya ketika kegiatan perkemahan di daerah Puncak, Bogor.

Tapi apapun kelanjutan dari kisah perjalanan persahabatan keduanya nanti, bagi kami keduanya telah menggoreskan kenangan tentang bagaimana anjing dan kucing dalam besahabat...

Jakarta, 01 Juli 2012.

30 June 2012

Percaya akan Potensi Ananda; UN SD 2012 #5

Sebelum peristiwanya berlalu terlalu jauh dan menyisakan lupa, ada baiknya jika saya menuliskan apa yang terjadi sekilas pada saat anak-anak saya menerima hasil Ujian Nasional ditingkat pendidikan SD 2012. Karena disana ada anekdot cerita tentang bagaimana sesungguhnya orangtua dapat dan mampu melihat secara holistik, siapa sebenarnya anandanya.

Kemampuan para orangtua siswa untuk melihat dengan sejelas-jelasnya terhadap potensi anandanya ini sebagai modal bagi dirinya sendiri untuk meletakkan kepercayaan kepada anandanya dalam mengemban tugas. Dalam perkara Ujian Nasional yang dihadapi ananda,  maka kepercayaan tersebut berupa keyakinan para orangtua sebelum UN berlangsung atau selama ananda mempersiapkan diri mereka untuk dan akan keberhasilan UN yang akan dihadapinya.

Sebaliknya, jika kemampuan para orangtua siswa tersebut tidak begitu detil akan potensi dan kapabilatas sang ananda, maka kekawatiranlah yang lahir. Dan kekawatiran ini pada ujungnya akan berimbas kepada ananda yang akan selalu di'cecer'. Pada tingkat tertentu ada orangtua siswa yang akhirnya membuat tambahan stres ananda. 

Percaya akan Potensi Ananda

Dengan hasil UN 2012 tersebut, kami di sekolah akhirnya menemukan sebagian besar  siswa yang konsisten hasil UNnya jika dibandingkan dengan hasil belajarnya sehari-hari di kelas. Tidak menunjukkan grafik yang drastis melonjak atau sebalaiknya.

Tampak beberapa anak diantara mereka yang justru konsisten dengan hasil-hasil try out UN sebelumnnya yang relatif bagus, dan ini berkorelasi berkorelasi linier dengan hasil belajar sehari-hari di sekolah sebelum UN berlangsung. Bahkan juga ada beberapa anak yang telah menunjukkan hasil sangat optimal, nyaris sempurna, juga tetap sesuai dengan prediksi kami sebagai guru mereka.

Akan tetapi justru hasil UN yang optimal itulah yang membuat beberapa orangtua siswa menjadi terperanjat.Terperanjat akan hasil ananda yang bagus. Tidak menyangka. Aneh bukan? Bagi saya sendiri aneh. Bahkan ada diantara orangtua itu yang berkomentar kepada guru anandanya: Saya ngak nyangka kalau ananda saya pintar. Saya harus belajar dan merubah persepsi saya bahwa anak saya adalah anak yang mampu! Dan dari keterperanjatannya itu, kami baru menyadari dan mengetahui bahwa selama ini beberapa orangtua tersebut samasekali tidak menyangka bahwa potensi anandanya sebaik itu.Atau dengan kalimat lain dapat saya katakan bahwa; beberapa orangtua itu tidak memahami potensi yang dimiliki anandanya secara detil.

Namun jika ada orangtua yang terkaget dengan hasil UN anandanya, sesungguhnya tidak bagi kami sebagai gurunya yang memang memahami akan potensi anak sehari-hari. Kenyataan ini menguatkan persepsi saya bahwa ada para orangtua siswa kami yang tidak secara benar-benar dan sungguh-sungguh mengetahui secara persis tentang siapa ananda mereka.

Lalu bagaimana dengan saya sendiri dengan anak-anak saya di rumah? Semoga ini juga menjadi bagian dari pembelajaran saya dan anak-anak.

Jakarta, 30 Juni 2012.

IPK Tinggi dan Berpengetahuan?; Interviu Guru Baru #2

Ini pengalaman saya untuk yang kesekian kali dalam tahun ini, pada saat melakukan rekrutmen calon guru di sebuah lembaga pendidikan formal di Jakarta. Pengalaman yang sejak memulai dan bertemu serta bertatap muka dengan para calon itu, tidak semua memberikan gambaran yang cukup menggembirakan. Padahal di atas kerta lamaran yang mereka masing-masing buat, telah terseleksi secara akademis-administratif bagus.

Namun pada waktu bertemu dan bertatap muka dalam sesi wawancara menjelang akhir rekrutmen sebelum kami mengambil keputusan untuk menerima atau tidaknya mereka menjadi bagian dari kami, kami dihadapkan kepada kenyataan bahwa nilai indeks prestasi akademik atau IPK yang tinggi, diantaranya kami menemukan beberapa dari mereka dengan IPK 3 plus, namun sangat sulit dan cenderung tidak menarik ketika kami mengemukakan sebuah topik untuk bahan diskusi.

Mereka diantaranya tidak menguasai masalah kekinian dalam bidang pendidikan. Pada proses rekrutmen terdahulu kami mencoba mengajak mereka berdiskusi tentang bullying dan mereka justru balik bertanya kepada saya; bullying itu apa Pak? Dan kali ini, saya mengajak mereka berdiskusi tentang bagaimana kecerdasan berganda kita aplikasikan kedalam proses pembelajaran di kelas, mereka tetap mengemukakan pendapat dengan penuh keyakinan akan pendapatnya.  Padahal mereka sama sekali tidak paham apa itu kecerdasan berganda!

Menyedihkan bukan? Karena dalam pandangan kami, mereka yang kami rekrut adalah mereka adalah para calon guru yang berasal dari para lulusan institusi keguruan yang menyelesaikan pendidikannya rekatif baru.


Kami, saya dan teman, akhirnya membuat asumsi bahwa para kandidat itu, yang terdiri dari para sarjana pendidikan tersebut, sangat miskin kemampuan membaca buku. Para sarjana yang menjalani wawancara dengan  kami itu, adalah anak-anak muda yang hanya pintar di pelajaran kuliahnya tetapi mengisolirkan diri dengan dunia dimana ia berada. IPK tinggi yang didapatnya namun sekaligus tidak mencerminkan pribadi yang berpengetahuan.

Jakarta, 30 Juni 2012.

Kelancaran Komunikasi dan Guru Bermasalah; Etos Guru #3

Ada kesadaran baru lagi yang tiba-tiba muncul pada diri saya terhadap apa yang pernah saya dengar dari seorang teman seprofesi yang sehari-hari menjadi pendidik di wilayah Sumatera pada awal tahun ini. Hal ini yang berkaitan dengan kinerja guru. Dimana teman saya membuat pernyataan bahwa ada atau terdapat korelasi yang signifikan antara pendidik yang 'bermasalah' terhadap kinerjanya di sekolah dengan pola ketidakhadiran si pendidik tersebut pada kegiatan 'pembinaan' yang dilakukan oleh lembaga.

Kesadaran ini lahir dalam ingatan saya, ketika dalam sebuah sesi pelatihan saya bertemu dengan beberapa teman yang kebetulan ikut pelatihan dengan sangat tidak menampakkan minatnya untuk menimba ilmu. Datang terlambat ke lokasi pelatihan, sesampai di ruang tempat pelatihan sibuk dengan makanan kecil yang tersedia di bagian belakang ruang pelatihan,tidak berhenti berbincang dengan teman yang duduk di sebelah dalam ruang pelatihan. Sangat menggemaskan. Itulah sebagian dari guru yang ikut pelatihan tapi saya meyakini fisiknya saja yang hadir dalam pelatihan tersebut. Dan bukan semangat serta jiwanya.Dan itulah indikator-indikator guru-guru yang belum tumbuh sikap dan semangat pembelajarnya. Guru-guru yang masih rentan terserang virus 'bermasalah'.

Itulah hal yang akan menjadi isu dari tulisan saya kali ini berkenaan dengan kinerja  teman-teman kita sebagai pendidik di sekolah. Tentunya ini menyangkut apa yang saya tulis pada alinea di atas. Bahwa apa yang disampaikan teman dalam kaitan atau korelasi kehadiran guru dalam sebuah pembinaan rutin lembaga dengan unjuk kerjanya.

Misalnya, begitu kisah teman saya di Sumatera tersebut, teman-temannya yang berkinerja buruk, seperti mereka yang kurang mempertahankan komitmen untuk datang lebih awal dari jam masuk siswa, adalah mereka-mereka yang ketika kegiatan professional development (PD), atau pelatihan dalam istilah saya, di lembaganya sering bolong atau tidak hadir, atau kalaupun hadir maka fisiknya yang datang dan belum jiwa pembelajarnya. Tentu dengan berbagai ragam izin dan keperluan yang disampaikan jika mereka tidak datang untuk ikut PD atau pelatihan yang diselenggarakan oleh sekolah. Meski kepada teman-teman yang memiliki etos kerja semacam itu akan tidak mendapatkan tambahan pendapatan sebagaimana policy lembaga.
Kelancaran Komunikasi dan Bermasalah

Mengapa masih saya temukan sebagian guru-guru yang relatif 'bermasalah' dalam berkinerja baik di sekolah? Maka dari apa yang saya utarakan tersebut, saya berasumsi bahwa hal itu merupakan akibat dari sedikitnya arus komunikasi antara apa yang menjadi tuntutan lembaga dengan apa yang dipersepsikan oleh sebagian guru tersebut. Dan arus kemunikasi itu bukan terletak kepada ada atau tidaknya jaringan komunikasinya dibuat, tetapi juga daya serap sebagian guru tersebut terhadap apa yang pernah dialaminya atau apa yang pernah diikutinya.

Sebagaimana dikemukakan, bahwa bentuk-bentuk komunikasi telah lembaga lakukan  misalnya dalam bentuk pembinaan, pelatihan, rapat rutin, dan sebagainya, tetapi kejadian itu belum diikuti dengan sepenuh hati. Maka dapat dipastikan jika visi berkarya sebagian guru itu belum merupakan bagian integral dari visi kerja lembaganya.

Jalan Keluar?

Lalu adakah jalan keluar untuk menuju kebaikan bagi jenis pendidik seperti yang saya kemukakan tersebut bagi sekolah yang semestinya menjadi komunitas pembelajar? Bagi kami yang berada di sekolah yang dikelola lembaga swasta, maka jalan keluar sesulit dan serumit apapun harus diupayakan untuk dicari dan dibuat. Bagi saya, upaya yang pertama saya sering lakukan adalah mengajak teman-teman yang berkopenten atas masalah-masalah tersebut berdiskusi dan menemukan solusi. Langkah ini selain kita mengacu kepada peraturan atau tata kelola kepegawaian. Karena dengan diskusi, kami biasanya akan menemukan pemecahan masalah dengan strategi penerapan yang egaliter. Sekali lagi, bahwa goal dari kebaikan itu bagi guru dan pendidik di sekolah adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajaran tidak saja bagi siswanya, tetapi yang paling utama dan pertama adalah justru bagi guru dan pendidiknya.

Jakarta, 25-30 Juni 2012.

24 June 2012

Perhatian Horisontal; Etos Guru #2


Pada Etos Guru kedua ini, saya ingin menyampaikan apa yang saya lami selama hidup bersama-sama di lingkungan sekolah degan teman-teman guru. Yaitu tentang bagaimana kepedulian guru terhadap lingkungan yang ada disekitarnya, lebih khusus di sekolahnya. Dan lingkungan yang saya maksudkan adalah lingkungan horisontalnya.Untuk itulah saya menyebutnya, sebagai perhatian horisontal.

Perhatian Horisontal

Saya sedikit merasa tidak pas untuk menggunakan istilah ini,  sebagai penjelasan tentang rasa caring guru, atau rasa kepedulian guru,  terhadap kondisi dan situasi yang berada di  lingkungan, yang berada diluar tugas pokoknya mengajar. 

Sebagai contoh, untuk guru yang memiliki perhatian dan kepedulian horisontal, bilamana ketika guru sedang melintas di koridor sekolah, dari ruang guru menuju kelas dimana ia harus memberikan pelajaran, maka ia harus menunduk untuk memungut kertas tisu kemudian membuang ke tempat sampah. Inilah maksud saya dengan istilah perhatian horisontal itu. Ini sebuah permisalan yang amat sangat sederhana dan kemungkinan akan selalu ditemui guru di lingkungan kerjanya masing-masing.

Kenyataan seperti itu, memperlihatkan kepada kita tentang bagaimana seorang guru yang begitu peduli dan memiliki rasa memiliki yang tinggi untuk ikut terlibat pada lahirnya sebuah lingkungan yang harmoni. Meski perilaku seperti itu adalah bentuk perilaku yang seharusnya normal dan sederhana. Tetapi masih ada diantara kita yang belum memilki radar kepedulian horisontal sebagaimana contoh tersebut.

Contoh lain misalnya, seperti apa yang dialami oleh teman saya yang harus menunda niatnya untuk melaksanakan shalat dhuha, namun  pada saat yang sama ada beberapa siswa yang bermain sepak bola di teras masjid. Meski disadarinya bahwa siswa yang bermain bola tersebut bukan unit sekolah diana ia mendapat amanah. Namun ketika anak-anak itu selesai dinasehati teman saya tersebut baru tersadar bahwa pada waktu yang sama pula,  ada juga seorang guru dari siswa yang bermain bola tersebut, yang baru juga selesai melaksanakan shalat dhuha dengan sama sekali tidak terganggu dengan aktivitas anak yang bermain sepakbola. Karena temannya itu begitu selesai dhuha, langsung menuju ke pintu masjid dan kembali ke ruang guru tanpa menoleh kepada keriuhan anak-anak didiknya yang tengah bermain sepak bola di teras masjid.
Kacamata Kuda

Guru-guru dengan kompetensi perhatian dan sekaligus kesadaran horisontal sebagaimana dua contoh tersebut, adalah guru yang menurut saya, merupakan guru-guru dengan radar sosial dan horisontal yang peka. Itulah sosok guru yang pendidik. Guru yang tidak hanya fokus kepada materi pelajaran yang diampunya saja sebagai tugas satu-satunya. Itulah sosok guru sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik. 

Meski model guru-guru yang pengajar tersebut tetap saja lolos menjadi Guru Profesional dan berhak atas tunjangan profesi dari pemerintah, namun dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, guru pengajar seperti itu tidak dan belum memiliki nilai tambah bagi lingkungannya. Lebih-lebih bagi sekolah swasta yang menjadikan sisi pelayanan guru sebagai nilai tabah bagi hadirnya kesejahteraan. 

Guru dengan nir perhatian horisontal sebagaimana contoh yang saya kemukakan di atas, adalah model  guru dengan perhatian konsentratif atau model guru yang berkacamata kuda. Maka usaha pertama yang harus kita lakukan untuk meningkatkan harkatnya adalah dengan menenggalkan kacamatanya tersebut dan beralih dari perhatian konsentratif menjadi perhatian distributif. Itulah pintu gerbang perubahan pertama dan utama yang harus dijalaninya.

Allahu a'lam bishawab...

Jakarta, 12 Mei-24 Juni 2012.

Ke Sekolah Hanya Untuk Finger Print? ;Etos Guru #1

Ada beberapa anekdot tentang kehidupan teman-teman yang kebetulan berprofesi sebagai guru, yang saya sendiri merasa sayang jika harus terbuang begitu saja. Karena saya sendiri banyak mendapatkan hikmah dan pelajaran dari anekdot-anekdot yang benar-benar ada di lingkungan kita. Baik anekdot yang 'miring'nya ke arah kekanan atau adakalanya malah kekiri. Ke kanan maksudnya ke arah yang kita kehendaki, sedang ke kiri merupakan arah yang tidak kita kehendaki. Begitulah persepsi saya.

Oleh karena itu, beberapa anekdot tersebut sedapat mungkin  saya abadikan dalam tulisan, sehingga darinya akan dapat menjadi bahan renungan kita bersama. Tujuannya satu, agar kita selalu menjadi manusia yang lebih baik pada hari ini dari pada hari sebelumnya. Dan, sebagaimana saya kemukakan di atas, karena anekdot yang saya dengar, lihat, dan percakapkan dari situasi belajar mengajar dan pergaulan di lingkungan sekolah umumnya, dan guru khususnya, baiklah kalau anekdot yang berkenaan dengan anekdot tersebut saya beri Judul Etos Guru.

Ke Sekolah Hanya Untuk Finger Print?

Hari itu, saya mendapat cerita dari seorang teman, tentang pasangannya,  yang meminta diantar olehnya pergi ke sekolah pada sore hari, hanya untuk melakukan absensi sidik jari sebagai bukti bahwa ia telah hadir ke sekolah sepanjang hari pada hari itu.
  • Mengapa harus bolak balik kalau memang pagi sudah datang ke sekolah? Mengapa repot pulang dan untuk kemudian balik lagi ke sekolah hanya untuk kepentingan seperti itu? Tanya saya sebagai orang swasta sejak mencari nafkah hingga sekarang ini. Yang tidak akan sampai di dalam akal saya bagaimana akal-akalan seorang guru yang ada di sebuah sekolah top di Jakarta? Yang kalau di brosur sekolah di tuliskan bahwa sekolah tersebut melahirkan lulusan yang mampu menembus PTN di Indonesia? Ata mungkin fenomena seperti itu yang sekarang menjadi benar dan halal lalu akal saya yang justru keblangsak?
  • Iya Pak. Soalnya di rumah banyak cucian. Jadi setelah absen pagi, istriku balik ke rumah untuk mengerjakan pekerjaan yang ditinggalkan. Habis sayang Pak, dari di sekolah tidak melakukan apa-apa? Jelas kawan saya ini. Tentu tercengang saya. 
Praktek semacam ini sama sekali tidak masuk dalam akal sehat saya. Bukankah kalau memang minimal guru memiliki tugas sebanyak 24 jam pelajaran atau tatap muka di kelas, yang barangkali bermakna bahwa guru datang ke sekolah untuk mengajar selama hanya tiga hari maka sisa waktunya adalah untuk persiapan pembelajaran atau juga barangkali harus mengerjakan tugas-tugas keguruan sebagai amanah yang tertera dalam sertifikat sebagai guru profesional?

Inilah sebuah praktek ironi di negeri yang  menjadi kebanggaan kita semua. Hingga kapan kita dapat menyadari bahwa kegiatan semacam ini dianggap wajar atau lumrah? Atau memang budaya seperti ini yang akan menjadi cikal bakal bagi praktek kehidupan kita pada generasi selanjutnya?

Sangka baik saya, semoga ini hanyalah praktek bagi sebagian kecil oknum. Dan bukan menjadi sebuah fenomena yang dilakukan oleh sebagian dari kita. Semoga. Amin.

Jakarta, 08 Mei-24 Juni 2012.

Mengatupkan Bibir

Ada pengalaman yang sungguh menakjubkan saya. Yaitu tentang siswa saya di Kelompok Bermain, KB, yang memiliki kebiasaan tidak mengatupkan bibirnya. Saya belum meneliti mengapa kebiasaan anak tersebut muncul. Boleh jadi karena struktur gigi susunya yang menyababkan bibirnya tidak membuatnya otomatis tertutup atau terkatub, atau bisa jadi pula karena pipiya yag tembem sebagai penyebabnya. Atau bisa jadi juga dua-duanya itu sebagai penyebabnya. Dan mana yang paling menjadi penyebab utamanya, saya tidak dan kurang memahaminya.

Tapi, dari kenyataan itulah yang menyebabkan hubungan saya dengan siswa saya itu menjadi akrab. Dan sesungguhnya tidak dia sendirian yang memiliki kebiasaan tidak mengatubkan bibir. Masih ada satu temannya. Tetapi mungkin karena dia seorang yang rajin ke sekolah, dibanding temannya, maka saya lebih akrab dengannya.

Keakraban itu muncul manakala saya sering memintanya untuk melihat atau menatap muka saya, dan setelah dia sepenuhnya memandang muka saya, maka pada saya itulah saya memperagakan mengatupkan bibir saya. Gerakan saya mengatupkan bibir ini hampir selalu saya peragakan manakala bibirnya terbuka. Dan jika memang konsentrasinya belum ke saya, maka saya akan memanggil namanya.

Upaya saya untuk membiasakan siswa saya tersebut mengatupkan bibirnya tersebut, tidak hanya sekali dua kali. Bahkan berpuluh kali. Pendek kata setiap saya berkeliling kelas dan menemukan siswa tersebut sedang tidak mengatupkan bibirnya, maka saya akan memintanya menatap muka saya dan segera saya memperagakan mengatupkan bibir saya. Dan dia juga akan segera mengikuti apa yang saya peragakan, yaitu mengatupkan bibirnya.

Dan upaya saya itu, rupanya menjadi bagian penting bagi siswa saya untuk menyadari atau memiliki kesadaran dalam mengatupkan bibir. Sebagaimana ketika kami berjumpa pada saat kegiatan Pentas Kesenian di Taman Mini Indonesia Indah beberapa waktu yang lalu. Dimana dia memanggil saya pada saat kami berjumpa. Dan apa yang dia lakukan setelah saya menengok kepadanya; memperagakan mengatupkan bibirnya.

Kala itulah saya berpikir, bahwa siswa saya telah belajar tentang apa yang menjadi ekspektasi saya kepadanya, yaitu; mengatupkan bibir! Terima kasih siswaku.

Jakarta, 24 Juni 2012.

18 June 2012

Salah Jam Masuk

Pagi itu, mungkin untuk beberapa kali kejadiannya, walau juga tidak sering-sering, saya bertemu dengan seorang anak yang masuk sendirian  di sekolah. Mengapa sendirian, karena seluruh teman-temannya tidak ada yang datang ke sekolah untuk hari itu. Semua temannya datang langsung ke lokasi latihan terakhir untuk kegiatan pentas akhir tahun sekolah di gedung pertunjukkan. Kok bisa? Ya memang bisa dan sebagaimana tadi saya kemukakan kadang-kadang walau tidak sering sekali, hal seperti itu terjadi.

Sebagai guru, kejadian ini memang bukan untuk yang kali pertama. Dan meski kita sebagai guru telah membuat catatan di Buku Komunikasi atau juga kita sebut sebagai Buku Penghubung, juga secara lisan kita sampaikan di kelas, masih ada saja anak-anak yang 'beda' dengan teman-temannya. Dan apapun alasannya, esensinya hanya satu; tidak tahu.

Seperti pagi itu, ketika bertemu dia di halaman sekolah, saya langsung bertanya; mengapa datang ke sekolah pagi hari? Bukankah Ibu guru dan Ibu Kepala Sekolah sudah memberitahukan kalian untuk tidak datang ke sekolah di pagi hari, tetapi datang langsung ke tempat latihan terakhir di gedung pertunjukkan pada siang nanti pukul 14.00? Dan sama saja jawabannya; tidak tahu Pak.

Berbagai Argumen tidak Tahu

Terdapat berbagai argumentasi mengapa anak itu tetap datang ke sekolah. Dari pengalaman sebelumnya, orangtua dan anak memang sama-sama tidak tahu. Maka dengan stel yakin anak itu datang ke sekolah dengan di antar ayahandanya sembari langsung menuju ke kantor. Namun ketika melihat halaman sekolah yang sepi, maka pertanyaannya adalah; kok libur Pak? Dan ketika kita berikan penjelasan bahwa libur untuk hari ini, maka pertanyaan berikutnya adalah; Mengapa tidak memberitahukan Pak?

Atau ada pula pengalaman yang lain, bahwa anak sudah memberitahukan kedua orangtuanya bahwa hari itu libur sekolah karena hari sebelumnya mereka baru saja melaksanakan kegiatan luar sekolah hingga sore harinya, namun pihak orangtua tidak mempercayai penjelasan dan keterangan anak. Ini juga karena si anak kehilangan surat dari sekolah yang menjelaskan sekolah libur di hari tersebut. Alhasil, mereka datang ke sekolah disaat semua temannya libur.

Contoh lain lagi, sebagaimana yang saya temui pada pagi itu. Ketika kedapatan bahwa anak tersebut hadir di sekolah sendirian hingga pukul 08.00, maka kami segera menghubungi pihak keluarga. Dan informasi yang kami dapatkan adalah bahwa orangtua mengetahui bila hari itu adalah hari libur. Namun karena si anak ngotot bahwa hari itu tetap masuk seperti biasa, maka orangtua mengantar juga sang anak ke sekolah. Dan sadarnya anak bahwa informasinya tidak lebih valid dari informasi orangtuanya, menjadikan anak tersebut menginsyafinya.

Dan dari anekdot tersebut, mana yang lebih sering terjadi jika ada anak datang ke sekolah disaat teman lainnya libur? Adalah anekdot pertama. Dan mana yang lebih membuat kesal orangtua? Adalah anekdot pertama dan kedua. Dimana ketika pihak orangtua tidak mengetahui. Untuk itulah, sebagai bagian dari operasional sebuah sekolah, pelajaran yang dapat adalah memastikan secara yakin bahwa orangtua mengetahui jadwal kegiatan yang ada di sekolah minimal satu bulan ke depan. Pengetahuan dan kesadaran ini sebagai langkah prediktif dari terjadinya miss komunikasi. Semoga. Amin.

Jakarta, 12 Juni 2012.

12 June 2012

Anak yang tidak Nyaman Ketika Salah Seragam

Pagi ini, ketika anak-anak baru saja berdatangan dan sampai di halaman sekolah, saya mendapat seorang anak kelas satu yang mendekat dengan wajah yang ingin disapa. Saya hafal benar dengan perilaku anak-anak itu. Pura-pura dekat padahal sebenarnya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Dan penyampaiannya itu sepertinya pas kalau momennya kita sebagai orang dewasa membuka pintu atau memulai percakapan terlebih dahulu. Begitulah gerak-gerik dari perilaku anak-anak yang saya dapat tandai. Termasuk pagi hari itu. Dengan seorang anak laki-laki yang masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Bercelana dan berkemeja pakaian seragam hari Senin, putih-putih.

Pinjam Telepon

Dan itulah memang yang terjadi kemudian. Setelah saya bertanya mengapa wajahnya tampak tidak terlihat bahagia, dan saya bertanya apakah sedang sakit? Dia langsung mengaduan permasalahannya. Dikatakannya bahwa ia mengenakan pakaian seragam yang tidak sama dengan teman-teman di kelasnya. Dima pada saat itu karena kegiatan kelas sedang sibuk dengan persiaan pentas akhir tahun sekolah, maka anak-anak diperkenankan mengenakan pakaian bebas bernuansa hijau, dan dia sendiri justru mengenakan pakaian seragam hari Senin.

Tetapi saya merasakan adanya ketidakpercayaan diri yang pada saat itu menonjol. Hal ini harus kita sadari karena anak tersebut masih duduk di kelas satu sekolah dasar, yang memang menjadi paling berbeda diantara yang lain, yang justru 'seragam' mengenakan kaos. Dan meski jaminan dari saya yang saya sampaikan secara langsung kepadanya bahwa tidak mengenakan kaos sebagaimana teman-temannya kenakan tidak apa-apa, tetap saja anak tersebut meminta saya untuk meminjamkan telpon guna menelpon kepada orangtuanya yang mungkin sudah berada di rumah atau mungkin saja sedang di perjalanan ke kantor, guna memberitahukan apa yang terjadi.

Dan saya berpikir bahwa anak itu akan meminta orang yang ada di rumah untuk mengantarkan kaos agar dia bisa berganti. Namun saya meyakinkan kepadanya bahwa pakaiannya yang salah atau tidak sama dengan apa yang dikenakan teman-temannya tidak menjadi masalah.

Karena belum juga merasa nyaman, maka saya ajak anak tersebut masuk ke dalam kelas menemui gurunya. Nanti, pikir saya, saya akan memberikan jaminan sekali lagi dengan mengatakan bahwa pakaian yang dia kenakan tidak apa-apa langsung kepada guru kelasnya, dihadapannya.

Konfirmasi

Kejadian seperti itu di sekolah, menjadi sebuah kasus atau mungkin paling pas kalau saya katakan sebagai anekdot normal. Karena anak kecil sungguh tidak bisa menerima sesuatu yang diluar norma yang menjadi anutan bersama. Anak begitu bermasalah ketika ia berbeda sendirian, meski itu adalah baju seragam. Itulah barangkali yang harus juga menjadi perhatian kita sebagai orangtua anak di rumah. Kita tidak dapat melepas anak kita di sekolah begitu saja. Dan menyambung silaturahim dengan pihak sekolah ataurajin mengikutinya meski melalui buku komunikasi atau mungkin surat-surat edaran yang ada, menjadi bentuk konfirmasi yang efektif agar anak kita tidak tertinggal atau kehilangan rasa nyaman sebagaimana salah seragam seperti cerita saya ini. Semoga.

Jakarta, 11 Juni 2012.

10 June 2012

Anak-Anak Jujur, Refleksi UN SMP 2012 #8

Dalam menanggapi hasil UN SMP tahun ini, kami memiliki rasa yang campur aduk. Rasa itu adalah rasa bahagia dan sedih. Mengapa harus bahagia dan mengapa pula harus sedih, yang bersabdar di dalam sanubari saya dan teman-teman yang menjadi guru di sebuah sekolah? Bukankah jamaknya jika mendengar hasil yang baik, misalnya kelulusan yang diraih dengan 100% berhasil, maka hanya rasa kebahagiaan yang  dirasakan dan tidak gundah atau bahkan sedih? Tetapi itulah rasa yang benar-benar saya dan teman-teman genggam pada hari-hari ini.

Rasa Sedih

Dan rasa sedih itu akan berkembang menjadi rasa kecewa dan bahkan marah manakala kami sedang memperbincangkan tentang hasil UN itu. Tidak peduli dimana kami berdiskusi, tetapi jika situasi itu muncul, kami benar-benar sepakat untuk geram. Dan kegeraman kami itu bermuara kepada masih dijadikannya para peserta didik kami yang menjadi target penjualan, ini prediksi dan hasil analisa kami dari beberapa kejujuran yang kami dengar dari para peserta didik kami yang lain, dari  kunci jawaban dari tahun-ketahun.

Kalau tahun sebelumnya para peserta didik kami sibuk luar biasa di pagi hari jauh sebelum ujian berlangsung, kalau pada UN tahun ini justru tidak ada kesibukan sama sekali. Maka ketika hasil UN itu sudah keluar, kami dibuat Knock Out. Terutama kepada anak-anak yang tidak seharusnya mendapat angka sempurna karena dalam kesehariannya terlalu sulit kenyataan itu terjadi, namun di dalam DakolUN, daftar kolektif nilai ujian, anak itu justru memperoleh nilai sempurna!

Lalu kepada siapa sumpah serapah kekesalan kami ini harus kami sampaikan? Kepada oknum yang telah melakukan penjualan kunci jawaban UN kepada peserta didik kami! Karena kepada oknuk itulah kami mencurigai terjadinya skenario yang sama yang terjadi tahun-tahun kemarin. Atau bahkan sebelum kami menyadari pratek kotor tersebut. Dan kami lebih gemas lagi terhadap oknum tersebut, terutama untuk tahun pelajaran ke depan. Kami menyeringai bahwa praktek semacam ini akan berulang kembali di tahun depan, tentunya dengan target peserta didik kami, yang dia nilai akan mampu secara finansial untuk melakukan transaksi, dan mau.

Rasa Bahagia

Dan diantara rasa geram itu, kamipun diliputi bahagia. Tidak hanya kepada hasil murni yang telah diraih anak-anak kami pada pelaksanaan UN tahun ini, tetapi justru kepada kejujuran anak-anak itu. Karena kami yakin bahwa anak-anak jujur tersebut satu dan duanya pasti telah diperlihatkan kunci yang dapat mereka gunakan untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tetapi mengapa mereka tidak melakukannya dan lebih memilih dengan keyakinan diri dan tidak bergeming atas tawaran itu? Disinilah kebahagiaan kami membuncah.

  • Buat apa Pak saya ikut beli kunci jawaban? Ngak ada uang saya Pak. Walaupun harus mengambil dari tabungan saya, uang sebanyak itu tidak akan mungkin saya miliki. Kata seorang anak didik saya yang angka IPAnya memperoleh angka sempurna dengan semurni-murninya. Karena anak itu memang anak cerdas di kelasnya dan juga linier dengan hasil-hasil TO yang dilakukan selama sebelum UN.
  • Kalau saya jujur Pak. Saya kan sudah diterima di sekolah X itu Pak. Kalau saya pakai kunci yang beredar itu dan nanti nilai UN saya bagus, saya akan mesuk dalam kelas unggulan mereka ketika duduk di bangku SMA. Saya ngak mau Pak. Nanti saya harus terus menerus bekerja super keras untuk mengejar ketuntasan di kelas tersebut. Kata anak didik saya yang lain. Sebuah jawaban yang menurut saya satu langkah ke depan. Jawaban yang futuristik!
  • Pak Agus, saya jujur untuk masa depan saya sendiri Pak. Apa yang akan terjadi jika saya mampu mengerjakan soal-soal tersebut dengan jujur tetapi justru saya ikut terlibat menggunakan kunci jawaban yang saya dapat dengan tidak benar? Kata anak murid saya yang lain.
Dan juga jawaban-jawaban yang lain, yang saya dapatkan ketika kami bertemu anak-anak itu ketika kami terlibat dalam dialog informal. Dan petikan dialog itu, kami sampaikan kepada teman-teman yang lain untuk menjadikan semangat kami kembali naik. Terima kasih anak-anak jujur!

Jakarta, 06 Juni 2012.

06 June 2012

Hasil UN yang Semurni-Murninya, UN SMP 2012 #7

Ini adalah cita-cita saya dan juga teman-teman yag masih gunsih dirundung kegundahan akan hasil UN 2012 kami. Yang meski semua siswa atau peserta didik kami dinyatakan lulus 100 %, dengan nilai rata-rata sekolah yang tergolong baik, tetapi dengan melihat beberapa anak yang seharusnya tidak mendapatkan nilai yang ujug-ujug melompat, atau mendapatkan nilai yang tiba-tiba tinggi dibanding da\engan nilai mereka sehari-hari, kebanggaan kami bercampur baur dengan kesedihan.

Itu pula yang ketika beberapa anak kelas IX datang untuk latihan pentas akhir tahun, saya tegur dan tanya kabar dan juga nilai UN yang berhail mereka dpatkan serta rencana ke depan untuk melanjutkan sekolah, mereka, anak-anak jujur kami itu, dengan tegas berkata: " Saya jujur Pak". Kata-kata yang bagi kami memberikan kabar bahwa ada diantara teman-teman mereka yang tidak jujur dalam mengerjakan LJUN, Lembar Jawaban Ujian Nasional,  sehingga mendapat hasil yang bagus luar dari kebiasaan nilai mereka sehari-hari, yang justru melahirkan tanya.

Apa yang dikatakan anak tersebut adalah indikator awal sesudah kami sendiri, selaku guru anak-anak itu, terjada ketidak wajaran niai UN anak-anak dalam bentuk grafik yang tiba-tiba melompat pada saat  hasil UN keluar. Dan indikator berikutnya adalah pada saat anak-anak yang lain mengatakan tentang harga kunci jawaban. Juga yang membuat saya sendiri tercengang adalah anak yang mendaptkan nilai sempurna di mata pelajaran tertentu tersebut, justru mengelak atas kecurigaan orang disekitarnya terhadap kesempurnaan yang didapatnya dengan mengatakan: "Saya kan ikut Bimbingan Belajar Pak."

Karena kita semua, diam-diam mengendus bahwa salah satu lembaga itulah yang membuat anak didik kami yang miring secara akademis tersebut 'digarap'. Garapan pertama adalah masuknya anak-anak itu ke lembaga tersebut, dan langkah berikutnya, oknum di lembaga itulah yang 'menjual' ketidakberuntungan tersebut kepada anak-anak didik kami sejak beberapa tahun lalu. Dan ini sudah menjadi rahasia diantara kami yang ada di sekolah atau juga para orangtua siswa.

Lalu, kalau hampir semua kami megetau modus tersebut, mengapa kami tidak membongkar praktek busuk tersebut? Ini berkaitan tentang kesaksian dan barang bukti yang sangat muatahil dapat kami jadikan sebagai alat pembongkar dari permainan drama ini. Oleh karenanya, langkah preventif yang memungkinkan kami lakukan.

Langkah inilah yang saya bincangkan dengan beberapa guru di ruang bersama kami. Antara lain bahwa; Satu, nanti seluruh perabot tulis pada saat UN benar-benar kami yang akan suplai dan langsung kami sediakan di ruang kelas masing-masing, dengan meminta bantuan keada para pengawas UN untuk mendistribusikannya.

Dua, Kami akan benar-benar selektif memperbolehkan peserta UN memasuki ruang ujian. Mereka akan diperbolehkan setelah kami, para panitia UN meneliti 'kebersihan' para peserta tersebut.

Tiga, Dan sebagai upaya agar anak dan orangtua benar-benar memegang teguh akan kemurnian hasil Ujian Nasinal yang semurni-murninya, kembali saya akan mengingatkan kepada mereka akan hebatnya keberkahan. Bahwa kemurnian ikhtiar akan melahirkan kemurnian hasil. Dan hasil yang murni serta bersih, adalah modal pertama untuk memperoleh keberkahan. 

Empat, Untuk melahirkan rasa percaya diri akan kemampuan dan keberhasilan yang akan kita raih, kami akan terus berupaya agar anak-anak kami benar-benar dan bersungguh-sungguh belajar dan bekerja dengan keras dan cerdas. Dan peta keberhasilan anak-anak kami dalam UN adalah kisi-kisi atau SKL.

Lima, Doa untuk selalu menjadi sebuah  kunci pembuka sebuah keberhasilan dan keberkahan. Amin.

Jakarta, 06 Juni 2012.

03 June 2012

Seberapa Besar Daya Juang Mereka, UN SMP 2012 #6

Pada artikel saya sebelumnya, http://www.aguslistiyono.blogspot.com/2012/06/un-smp-2012-5-adakah-praktek-kotor.html, yang berbicara adanya dugaan kami, atau kemungkinan akan adanya aroma buruk tentang praktek kotor dalam pelaksanaan UN SMP tahun ini, yang tentunya pemain utamanya adalah anak-anak kami sebagai peserta UN dengan sponsor langsungnya adalah para penjual kunci jawaban UN dan sponsor tidak langsungnya adalah para penyandang dana, saya akan melanjutkan asumsi dari dugaan tersebut dalam artikel ini. Dimana kelanjutan dari skenario tersebut adalah mereka yang terduga tersebut merupakan prototipe sebuah generasi yang tidak cukup memiliki daya juang. an dari beberapa kasus yang kami lihat, dikemudian harinya, anak-anak dengan nilai UN yang ujug-ujug tinggi tersebut, rata-rata akan menyurutkan langkahnya kebelakang karena memang secara realita kompetensinya tidak berbanding lurus dengan nilai UN yang dimilikinya saat UN. Tetapi kenyataan ini, yang cukup membuat kami sedih adalah tidak atau minimal belum lahirnya kesadaran dari pihak orangtua akan 'gerak-gerik' para anandanya. Alhasil, meski langkah mereka surut kebelakang beberapa langkah  setelah sebelumnya melompat ke depan.
Melompat ke Depan

Yang saya maksud dengan langkah mereka yang melompat ke depan adalah karena secara harian dalam kehidupan normal di dalam kelas, mereka adalah anak-anak yang memang secara khusus butuh perhatian dari para gurunya. Misalnya dalam hal pemahaman terhadap materi pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia. Mereka anak-anak yang benar-benar memerlukan dorongan. Meski secara normal dalam setiap tahunnya jumlah mereka tidak lebih dari lima anak untuk seluruh angkatannya. Sebuah angka normal untuk sebuah kurva normal. Meski juga harus saya sampaikan di sini bahwa mereka bukan anak-anak yang oleh beberapa orang disebut sebagai kurang. Mereka hanya berada satu titik di bawah anak-anak dengan prestasi normal di kelas.

Namun tidak dipungkiri pula bahwa ada diantara mereka yang berada dalam posisi normal atau dalam strata rata-rata di dalam kelasnya. Meski demikian, pada posisi itulah guru menjadi terkaget dan bertanya manakala pada hasil UN nilai mereka yang jumlahnya lebih kurang lima anak tersebut melonjak tinggi dan berada pada posisi sepuluh terbaik.

Lalu darimana hasil UN tersebut menjadi tinggi sebagaimana yang saya uraikan itu? Allahu a'lam bishawa. Karena secara normal, berdasarkan pada  kompetensi akademik yang dimiliki beberapa anak didik kami tersebut, harusnya bukan berada pada titik itu posisi mereka. Inilah yang saya maksudkan dengan istilah melompat.

Surut ke Belakang

Lalu apa yang saya maksudkan dengan surut ke belakang? Karena dengan nilai UN yang melompat tersebut, beberapa anak yang berhasil memperoleh nilai UN melompat tersebut menggunakannya untuk dapat masuk ke SMA dengan passing grade yang bagus-bagus. Meski, sekali lagi, hampir semua dari mereka yang berhasil melompat itu telah memiliki sekolah swasta yang juga telah diselesaikan administrasinya.

Dan inilah yang akhirnya terjadi, beberapa lagi dari mereka yang telah masuk SMA pilihannya dengan modal hasil UN yang melokpat itu hanya masuk lebih kurang satu semester untuk akhirnya surut ke belakang. Langkah surutnya kebelakang ini, sejauh saya mengetahunya, terdapat dua langkah. Langkah pertama adalah berhenti sekolah dan memilih untuk home schooling. Dan langkah keduanya, adalah pindah sekolah ke sekolah yang lebih kurang dengan passing grade yang lebih rendah.

Mengapa mereka yang kami duga memiliki nilai UN dengan melompat tersebut pada akhirnya memilih langkah untuk surut ke belakang? Menurut asumsi saya, karena secara mendasar, kompetensi mereka atau daya juang mereka tidak cukup besar untuk melakukan sebuah lompatan. Atau setidaknya, ketika melakukan lompatan, mereka terlalu jauh.

Dan inilah salah satu implikasi bahwa memperoleh nilai UN dengan cara-cara instan, hanya berakhir kepada sebuah kenangan yang menyakitkan sekaligus tidak akan pernah membanggakan. Apalagi menaikkan martabat kita. Lalu apa pilihan Anda untuk UN tahun berikutnya?

Jakarta, 03062012.

02 June 2012

Adakah Praktek Kotor?, UN SMP 2012 #5

Kamis, 31 Mei 2012, adalah hari dimana seluruh pemangku sekolah untuk tingkat SMP di Indonesia memperoleh hasil UN SMP tahun 2012. Hasil ini merupakan hasil yang akan dan harus diumumkan oleh sekolah kepada para peserta didiknya yang menjadi peserta UN SMP tahun 2012 pada Sabtu, 02 Juni 2012. Alhamdulillah, bahwa 100% peserta UN di sekolah kami lulus.

Namun sebagaimana yang pernah saya tulis dalam blog ini sebelumnya, http://www.aguslistiyono.blogspot.com/2012/04/hasil-un-dari-contekan-itu-sungguh.html, ada semacam ketidak tulusan kami, para pendidik, ketika melihat lembaran hasil UN yang ada tersebut, meski hasilnya berkualifikasi A dalam UN tahun lalu. Ketidaktulusan ini bukan berarti kami tidak mensyukuri atas semua hasil UN para peserta didik kami, tetapi kami masih menemukan beberapa anak yang memperoleh hasil UN yang janggal. Padahal di awal pelaksanaan UN, kami sudah mewanti-wanti anak-anak untuk pasrah dengan ikhtiar jujur yang telah secara keras mereka perjuangkan dengan tanpa melirik iming-iming untuk memperoleh kunci jawaban. Namun dengan melihat kenyataan bahwa beberapa anak kami masih memperoleh nilai aneh, maka kesyukuran kami menjadi tidak sepenuhnya tulus.

Ikut Campur Siapa?

Dan apa yang terjadi tahun lalu dengan kerja keras serta bertahap kami coba usahakan. Untuk meningkatkan diri siswa akan kemampuannya mengerjakan UN dengan harapan hasil yang maksimal, kami lakukan dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi kami jalani dengan secara lebih cermat dan fokus kepada SKL UN yang menjadi patokannya. Dari titik ini kami mencoba berusaha dengan prinsip kerja keras dan kerja cerdas. Sedang pada ranah ekstensifikasi, kami lakukan pemadatan dan pengayaan terhadap materi-materi yang menjadi bagian dari SKL UN yang ditentukan Depdikbud.

Sedang untuk peningkatan aspek percaya diri selain dengan kedua program sukses UN tersebut, kami juga membekali anak-anak dengan membangun konsep berpikir positif melalui kajian dan pelatihan, yang kami kemas secara manarik, rileks, dan mencerahkan. Di bagian ini kami juga menagajak seluruh siswa untuk mempertahankan dan memperjuangkan kejujuran dalam mengerjakan LJUN. Meski, bisa jadi, ada oknum yang menawarkannya pertolongan bagi jawaban.

Dan pada aspek ini pula, saya tidak kurang mengajak para orangtua untuk benar-benar mengontrol keuangan anak-anak mereka. Mngontrol dalam bentuk selalu berhati-hati jika anak mereka meminta budget atau dana di luar dana yang dibutuhkan secara normal. Karena takutnya, uang yang diberikannya itu ternyata untuk budget pembelian atau transaksi kunci jawaban UN. Saya mengingatkan pada bagian ini bahwa kalau saja anak telah membelanjakan uang pemberian orangtuanya untuk maksud tersebut, dan ternyata kunci jawaban UN yang dibelinya benar-benar berkintribusi kepada hasil UN, maka mulai dari situlah royalti ketidakjujuran mulai dihitung.

Oleh karenanya, saya dan teman-teman kembali tercengang dengan kemampuan anak yang relatif perlu dorongan di saat pembelajaran sehari-hari tetapi dalam lembaran hasil UN yang kami unduh darih ttp://www.simdik.info/ tersebut justru berada di urutan lima besar atau paling tidak ada di dalam kelompok sepuluh besar perolehan hasil UN. Bahkan ada diantaranya yang memperoleh angka sempurna. Sebuah realita yang kami meragukan kebenarannya. Tetapi hasil itu benar-benar tertera sebagai hasil UN anak kami.
  • Apalagi yang harus kita lakukan untuk membendung kecurigaan kita atas praktek kotor ini? Kata saya kepada teman-teman di ruang guru ketika kami ngeriung membahas hasil UN pada Jumat, 01 Juni 2012 lalu.
  • Yang pasti kita harus bekerja ekstra keras lagi Pak. Jawab seorang teman.
Kami semua diam. Dan saya meninggalkan ruangan itu.  Dalam perjalanan menuju ruangan bersama, saya berpikir tentang bagaimana strategi menyampaikan dan melaporkan hasil UN yang demikian kepada atasan kami? Meski kami yakini, dari pembahasan kami tadi bahwa hanya ada dua atau tiga dari siswa kami yang memperoleh nilai aneh sehingga melahirkan dugaan kami akan adanya praktek kotor diluar sepengathuan kami sebagai pendidik di sekolah?

Jakarta, 02 Juni 2012.

31 May 2012

Kecerdasan Anak pada Tari Kreasi

Hari-hari ini, kami, para guru kembali terkesiap dengan kepintaran anak-anak didik kami yang luar biasa. Kepintaran dalam menangkap instruksi dan sekaligus menghafalkannya. Yaitu instruksi gerakan tari kontemporer, urutan gerakannya, dari awal pembuka ketika anak-anak itu masuk ke panggung hingga berakhir pada saat anak-anak itu meninggalkan panggung. Hanya butuh pertemua lebih kurang empat kali urutan gerakan telah mereka hafal. Menakjubkan!

Apa yang diperlihatkan oleh anak-anak didik kami itu sungguh sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan apa yang pernah saya alami ketika saya masih duduk di Sekolah Pendidikan Guru (SPG), ketika saat itu harus belajar tari Cantrik. Bahkan hingga latihan tari itu berakhir dan saya lulus sekolah, tidak pernah gerakan dari tari itu yang benar-benar menempel pada ingatan saya. Ini adalah kenyataan yang membuat saya begitu kagum dengan kecerdasan anak-anak itu.

Sekali lagi, perbandingan itu bagi saya perlu saya sampaikan karena begitu berbedanya. Mngkin juga termasuk anak saya sendiri di rumah. Hampir selalu ia mengalunkan lagu yang menjadi irama dari tari itu, yang sembari menunggu giliran kamar mandi kosong ia akan terus menerus mengulang-ulang gerakan tari tanpa lelah.

Itulah, maka ketika pertemuan ketujuh dalam latihan tari di sekolah saya, maka pelatih tari yang disewa dari sebuah sanggar akan digantikan perannya oleh guru kelas yang dengan suash payah menghafal gerakan-gerakan sedetil mungkin dengan, tentunya, tambahan bantuan untuk lebih mudah menghafal dalam bentuk rekaman vedio. Dan ketika guru melanjutkan sesi-sesi latihan  tari tersebut, maka porsi latihan sudah bukan lagi tahapan menghafal gerakan, tetapi lebih fokus kepada kekompakan dan keserasian gerakan. Karena selain gerakan yang telah anak-anak kuasai, mereka juga sekaligus telah menghafal kariografi. Ini penting agar para orangtua siswa yang anak mengambil foto nantinya tetap memperoleh momen wajah anaknya ketika anaknya berada di sisi bagian depan panggung. 

Pintar Tari, Dimana Nilai Rapotnya?

Namun bila ada diantara kita yang bertanya kepada saya tentang  apakah kepintaran tari dari anak-anak itu masuk dalam angka yang ada di dalam rapot ketika anak-anak itu naik kelas? Maka saya akan menjawab secara normatifnya adalah ada tetapi... Nah ketika saya mengucapkan kata tetapi, maka kalimat brikutnya sangat boleh jadi menjadi sesuatu yang sangat normatif.

Untuk itulah, maka saya dan teman-teman menyepakati untuk membuat visi sekolah yang meski dan tetap bahwa nilai tari anak-anak tersebut tidak secara signifikan menjadi bagian dari nilai rapot mereka, tetapi kami menghargai kepintaran itu dalam bentuk menampilkan jenis kepintaran itu dalam sebuah penampilan kolosal di sekolah di setiap akhir tahun pelajaran. Dan kesempatan itu, adalah untuk semua siswa yang ada di sekolah. Bukan kepada mereka yang memang bnar-benar pintar. Karena kami meyakini bahwa semua anak akan dapat berkembang jika ada dan diberikan kesempatan dan dorongan. 

Itulah kecerdasan  anak pada tari kreasi, yang saya lihat pada setiap hari ketika anak berlatih untuk pertunjukan kolosal di akhir tahun pelajaran 2011/2012 ini.
Jakarta, 31 Mei 2012.

29 May 2012

Bermain Futsal, Satu Fasilitas untuk Bersama

Siapa yang tidak senang permaianan ini. Setidaknya pengataman yang saya lakukan kepada siswa saya yang laki-laki, baik yang duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah, hampir sebagian besarnya menyukai permainan ini. Sebuah permainan kelompok yang tidak terlalu membutuhkan lahan yang relatif luas. Dan juga tidak harus berada di atas rumput. Cukup seluas lapangan basket. Bahkan di beberapa tempat kerena minimnya luas lapangan basket yang standar, maka lapangan minipun jadilah pemainan futsal itu di gelar.

Apa yang menjadi indikasi saya untuk mengatakan bahwa futsal itu cukup mendapat tempat di hati anak-anak, ditempat saya mengajar? Adalah ramainya jadwal bergantiannya anak-anak itu untuk menggunakan lapangan guna bermain futsal, khususnya disaat menunggu jemputan sepulang mereka sekolah? Dan karena ramainya jadwal pergantian tersebut, maka kelompok-kelompok tersebut hanya akan mendapatkan jatah bermainnya lebih kurang 15 menit atau palng lama 20an menit untuk satu kali main. Dan setelah giliran itu mereka dapatkan, maka kelompok lain dengan anggota yang berbeda telah siap menanti di pinggir lapangan. Dan karena itulah maka kami sebagai guru yang mendapat tugas piket pada saat tersebut, akan berfungsi sebagai penjaga komitmen agar kelompok-kelompok tersebut menepati sesuai kesepakatan yang dibuat. Juga kadang dan sering, jika itu giliran saya yang berjaga, maka saya akan menjadi wasit mereka.

Satu Fasilitas untuk Bersama

Kenyataan tersebut kadang membuat diantara kita ada yang berpikir, mangapa satu lapangan yang notabene adalah juga satu fasilitas digunakan secara bergantian atau bersama-sama? Bagaimana nanti asesor yang datang ke sekolah kita ketika ia akan bertindak sebagai panitia penilai untuk Akreditasi Sekolah? Apakah adanya  satu fasilitas yang digunakan secara bersama-sama atau secara bergantian tersebut bukan merupakan sebuah kekurangan?

Jika ini yang terjadi, maka sesungguhnya akan merembet kepada keberadaan masjid sekolah yang hanya ada satu tetapi digunakan secara bersama-sama oleh komunitas sekolah yang ada. Baik dari tingkat TK hingga mungkin SMA? Juga bagaimana dengan aula atau ruang bersama yang lain? Bagaimana fasilitas-fasilitas bersama ini nanti masuk dalam sistem administrasi sekolah yang akan menghadapi akreditasi? Dan setelah dicermati kasus demikian kalau di Jakarta atau kota lain di Indonesia adalah kasusnya untuk sekolah swasta dan bukan untuk di sekolah negeri. Mengapa? Karena sekolah swasta hampir selalu dikelola dalam satu atap atau dalam satu manajerial yang sama. Karena memang unit-unit sekolah yang ada di dalam satu lokasi yang sama. Sedang di sekolah pemerintah, meski dalam satu kelurahan terdapat beberapa sekolah pemerintah, maka mereka tidak dalam satu manajemen yang sama sebagaimana yang terjadi dalam sekolah satu atap tersebut. Oleh karenanya semua fasilitas yang ada relatif diperuntukkan bagi komunitas internal mereka.

Untuk itulah, maka sering paradigma demikianlah yang dibawa oleh para asesor Akreditasi Sekolah ketika mereka datang dan mengeses sekolah seperti sekolah saya. Dan untuk itulah saya justru ingin memberikan penjelasan berkenaan dengan keuntungan dari satu fasilitas sekolah untuk kepentingan dan untuk digunakan secara bersama.

Pertama, Itu adalah bentuk efisiensi dan sekaligus efektivitas. Karena dengan banyaknya pengguna dari fasilitas yang tersedia maka berarti bahwa okupasi  ruangan-ruangan yang ada atau fasilitas-fasilitas yang tersedia menjadi tinggi. Ini sangat positif bagi sebuah fasiitas yang memang disediakan bukan untuk gaya-gayaan. Mengapa? Di beberapa tempat yang ada, saya masih melihat pesawat tv yang disediakan di sebuah sekolah di setiap ruang kelasnya. Maka pertanyaan saya adalah: seberapa sering tv-tv tersebut menyala dalam kurun waktu satu tahun? berapa uang yang berlebih jika misalnya terdapat 12 buah tv untuk kemudian dibelikan lcd proyektor dengan vedio playernya?

Cara berpikir yang demikianlah yang kadang masih sering menjadi kendala bagi pelaku pendidikan di sekolah untuk berpikir dengan frame paradigma lama sebagaimana yang saya kemukakan di atas.

Kedua, keberadaan fasilitas bersama tersebut justru menjadi wahana bagi komunitas penggunanya untuk mempraktekkan budaya hidup bersama. Dimana dalam situasi yang demikian sering menuntut para penghuninya untuk menjadi bertambah dewasa ketika harus menggunakan fasilitas yang ada. Dan ini adalah bentuk langsung dari pembelaaran karakter tidak saja bagi para siswa yang mengunakan fasilitas tersebut, tetapi juga para guru-guru dari anak-anak tersebut, bahkan juga termasuk para kepala sekolahnya.

Dalam hal wahana belajar inilah yang sering tidak menjadi bagian penting bagi kita pada umumnya. Paling sering bila berhadapan dengan satu fasilitas  untuk keperluan bersama ini, adalah sebagai kendala dan sebagai hambatan.

Itulah dua hal yang saya dapatkan dari perenungan ketika saya harus berada di halaman sekolah menemani anak-anak bermain futsal secara bergantian.

Jakarta, 29 Mei 2012.

25 May 2012

Pelajaran yang Terlalu Berat

Tidak seua tempat atau sekolah, dan juga tidak semua staf pendidikan yang berpikir fleksibel. Kisah ini merupakan kisah khas yang berkaitan dengan hal-hal dari siswa. Misalnya, adanya permohonan dari pihak orangtua siswa dan siswa itu sendiri yang meminta memperpanjang hari liburnya. Ini mengingat si anak ada di sekolah dan di Indonesia dalam keluarga wali. Sedang orangtua dan saudaranya berada di nun jauh di seberang lautan Pasifik. Untuk itu akan begitu singkatnya bila ia harus kembali ke sekolah setelah berlibur bertemu keluarganya untuk waktu tiga pekan. Bukankah nantinya tidak efisien bila waktu tiga pekan itu dikonversi dengan harga tiket pergi-pulangnya?

Maka untuk pertimbangan itulah, di sela pelaksanaan Ujian Nasional yang lalu, kami berkumpul untuk sekedar mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat kami ambil sebagai pilihan jalan keluar dari permohonan tambahan izin tersebut. Dimana kemungkinan pilihan tersebut nantinya akan kami komunikasikan kepada keluarga wali dimana anak murid kami ini berada.

Dan sebagaimana judul cerita ini, maka kamipun segera menyepakati pilihan-pilihan yang mudah-mudahan menyenangkan si anak didik kami,  yang masih duduk di bangku kelas tujuh, akan pulang ke tempat dimana ayah dan ibundanya berada setelah selama satu tahun ia berada di rantau. 

Terlalu Berat

Dan siang itu, setelah kami menyelesaikan kegiatan bersama di ruang serba guna seolah, saya bertemu langsung dengan anak tersebut untuk kemudian berbincang tentang rencana perjalanan 'pulangnya'. Disampaikan bahwa ia sangat menanti tanggal dimana ia harus berangkat ke bandara. Juga tentang kapan kembalinya ia ke Indonesia untuk kemudian masuk di kelas berikutnya di tahun pelajaran baru nanti. Namun saya menangkap keraguan yang amat sangat akan komitmen dia untuk dapat kembali lagi ke Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya.
  • Saya belum tahu kapan akan kembali ke Indonesia. Atau apakah saya mungkin tidak akan kembali ke Indonesia. Katanya ketika menjawab pertanyaan saya. Padahal pada pertemuan sebelumnya, ia berencana kembali ke Indonesia setelah Idul Fitri, dan akan masuk kembali ke sekolah Senin di awal bulan September, di kelas yang baru. Tetapi sepertinya ia telah lupa akan apa yang pernah disampaikannya kepada saya. Oleh karenanya saya mencoba untuk bertanya lebih anjut tentang apa yang ada direncananya selanjutnya.
  • Mengapa ragu untuk menyebutkan kapan akan kembali ke sekolah? Tanya saya berikutnya.
  • Karena saya ragu apakah akan tetap tinggal di Indonesia atau akan tetap bersama orangtua saya. Jelasnya.
  • Apa yang paling membuat kamu ragu untuk kembali ke Indonesia? Selidik saya. Saya ingin memastikan dan sekaligus berharap kalau masalah pertemanan bukan bagian masalah yang membuatnya ragu kembali ke Indonesia. Karena jika ini yang terjadi, pikir saya, berarti praktek bullying barangkali masih terjadi.
  • Pelajaran di sini berat sekali. Semua berat kecuali Bahasa Inggris. Jelasnya.
Meski saya bersyukur bahwa pertimbangannya untuk kemungkinan tidak kembali ke Indonesia bukan karena masalah dengan pergaulannya di kelas dan di sekolah, namun saya menjadi berpikir; bagaimana mungin pelajaran di sekolah ia nilai lebih berat dibanding dengan apa yang dialaminya ketika sekolah di negerinya? Bukankah 'hasil' dari pendidikan kita, dalam bentuk kualitas SDM jauh berada di bawah? Apakah tidak ada orang pintar di negeri tercinta ini yang mengetahu fakta semacam ini untuk kemudian membuat proses pendidikan kita yang menghailkan SDM yang tidak kalah dengan negeri dimana kedua orangtua anak didik saya ini tinggal?

Jakarta, 25 Mei 2012.